fieldnote KKL Bromo
Senin, 31 Maret 2014, pukul 09.00 saya berangkat dari kos menuju ke kampus, kami berkumpul di kampus untuk cek dan lain sebagainya guna mempersiapkan keberangkatan menuju ke Bromo. Tepat pukul 12.00 kami berangkat dari kampus tercinta Fakultas Ilmu Sosial.
Selasa, 1 April 2014, pukul 02.00 dini hari kami tiba di terminal Sukapura. Terminal sukapura merupakan terminal yang lokasinya paling dekat dengan Desa Ngadas, Desa yang akan kami kunjungi untuk melakukan observasi. Setibanya di terminal, disana sudah terdapat banyak jeep yang siap mengantar kami menuju Pananjakan. Dari Terminal Sukapura kami menuju ke Pananjakan dengan menggunakan Jeep nomor tujuh. Setibanya disana kami menunggu matahari muncul dari balik awan, tak lupa saya mengabadikan setiap momen dengan berfoto bersama teman-teman saya.
Setelah kami puas menikmati pemandangan di Pananjakan, kami segera melanjutkan perjalanan menuju lautan pasir. Akhirnya sekitar pukul 06.00 kami tiba di lautan pasir, yang letaknya tepat di bawah kawah Bromo. Di sana banyak kuda yang disewakan kepada pengunjung. Tarif yang ditawarkan mulai 30.000-50.000. Tak lama kemudian kami mendapat informasi bahwa kami harus segera kembali ke jeep dan segera berangkat menuju Desa Ngadas karena masih banyak kegiatan yang harus kami selesaikan.
Sekitar pukul 09.00 pagi, kami tiba di Balai desa Ngadas. Tanpa menunggu lama, kami segera menuju ke home stay, tepatnya di home stay nomor enam. Home stay nomor enam terletak di Desa Wonokerto. Setelah mandi dan bersiap di home stay, pukul 10.00 kami sudah harus kembali ke Balai Desa Ngadas untuk makan pagi dan acara dialog dengan kepala desa juga dukun adat.
Pukul 11.00 acara sarasehan bersama kepala desa yang bernama Bapak Sumartono dan dukun adat yang bernama Bapak Sasmito, juga ada Bapak Mulyono selaku moderator di acara sarasehan pagi itu. Istilah Dukun adat yang di rasa cukup asing dengan kita mulai dijelaskan oleh bapak Mulyono. Dukun adat adalah seseorang yang di sucikan yang melaksanakan acara adat atau agama. Untuk menjadi seorang dukun adat harus melalui proses dan tes, bukan berdasarkan garis keturunan.
Bapak Sumartono menjabat sebagai kepala desa sejak tahun 2008 dan masa jabatannya akan berakhir pada bulan Juli tahun ini. Kegiatan desa Ngadas yang berkenaan dengan kegiatan kemasyarakatan biasanya adalah mengadakan musyawarah antar tokoh setiap satu minggu sekali atau 10 hari untuk membahas kondisi desa Ngadas dan melakukan ritual resik desa setiap satu bulan sekali untuk menanggulangi adanya permasalahan, ritual ini diadakan dirumah Kades. Desa Ngadas berada di ketinggian 1700 meter dpl. yang penduduknya berjumlah 682 jiwa yang terdiri dari pria sebanyak 335 jiwa dan perempuan sebanyak 347 jiwa. Bapak Sumartono juga menjelaskan mata pencaharian penduduk desa Ngadas yaitu mayoritas menjadi petani, kemudian hasil bumi yang dihasilkan di distribusikan ke pasar tradisional, nasional, bahkan hingga internasional. Jenis tanaman yang dihasilkan adalah sayuran seperti kentang, kol, dan brambang yang merupakan komoditi utama di desa Ngadas. Dalam satu tahun para petani bisa panen hingga dua kali, namun saat kemarau penduduk memelihara ternak seperti kambing/sapi atau memilih sektor pariwisata terutama di lautan pasir. Pendapatan per kapita dari sektor pertanian adalah 2 juta per bulan. Selain menjadi petani, warga juga menawarkan jasa wisata seperti jasa transportasi, jasa asongan, dan jasa penginapan. Oleh karena itu banyak paguyuban yang ada disana, seperti paguyuban ojek, jeep, kuda. Semua itu sudah terorganisir agar lancar, tertib, dan aman. Kemudian mengenai agama, mayoritas agama yang dianut oleh penduduk desa Ngadas adalah Hindu yaitu mencapai 99%, sedangan 1% nya adalah muslim, itupun warga pendatang.
Hal lain yang dituturkan oleh bapak Sumartono adalah makanan pokok orang Tengger yaitu jagung. Cara memasaknya adalah pertama di jemur hingga kering, kemudian jagung kering itu di kecres menggunakan lumbung(menghilangkan kulit), selanjutnya direndam 1 minggu lalu di tumpuk menjadi tepung. Di masak kukusan tradisional hingga akhirnya jadilah Nasi Aron. Bapak Sumartono juga menjelaskan bagaimana masyarakat Tengger khususnya masyarakat Ngadas dalam hal berpakaian, yaitu sarung yang digunakan untuk kerudungan, penutup badan namun tidak di blebet. Tujuannya agar badan lebih hangat.
Acara sarasehan pagi itu berakhir pukul 12.00 kemudian langsung dilanjutkan sholat dan makan. Setelah itu kami melakukan observasi.
OBSERVASI
Pukul 13.00 kami mulai berkumpul tiap kelompok untuk membahas pembagian dalam melakukan observasi. Kebetulan kami melakukan observasi di daerah Wonokerto, Wonokerto adalah satu desa di lereng gunung Bromo yang letaknya tepat bersebelah dengan desa Ngadas. Kami berjalan hingga akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang berada di ujung jalan dekat dengan kebun bawang milik warga setempat. Kami kira penghuni rumah itu beragama Hindu karena di depan rumahnya terdapat pendopo seperti pura, namun ternyata kita salah, keluarga di rumah itu beragama Islam. Ibu Yulita namanya, seorang wanita yang menurut saya sangat hebat. Ibu Yulita adalah seorang petani sayur, seorang petani jamur juga menjadi guru bantu sekolah dasar di sebuah desa atas tepatnya di desa Ngadisari. Ibu Yulita menjadi guru bantu di sekolah tersebut karena tenaga pengajar disana masih sangat kurang. Satu sekolah hanya mempunyai guru tetap sebanyak tiga sampai empat orang saja. Begitu juga dengan sekolah menengah, untuk SMA saja harus turun ke Sukapura. Pendidikan di desa Ngadas kondisinya sekarang sudah mulai maju. Ada juga yang kuliah di Malang dan Jember, bahkan sekarang sudah ada yang menjadi perawat, guru, dan dokter. Namun banyak halangan dan banyak pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang yang tinggi itu.
Komoditas utama dari pertanian adalah kol, kentang dan bawang. Untuk kentang biasanya mereka panen tiga bulan sampai empat bulan sejak penanaman, lama dan cepatnya panen itu bergantung dengan bibitnya. Untuk pemasarannya biasanya ada yang menjual sendiri hasil panen ke pengepul, dan ada juga yang menunggu pengkulak datang ke desa untuk mengangkut hasil panen. Selain menanam di ladang, ada juga yang menanam sayuran seperti bawang dan sawi di samping rumah, berkebun di samping rumah itu biasanya disebut dengan istilah kebonan. Kamudian cara untuk mengolah tanah, menurut ibu Yulita masih menggunakan cangkul, meskipun orang kaya sekalipun tetap menggunakan cangkul. Hal ini karena melihat kondisi geografis di daerah Bromo yang curam tidak memungkinkan menggunakan traktor. Traktor hanya digunakan di daerah yang datar seperti kebonan.
Karena mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, maka untuk mendapatkan barang lain kadang masih ada sistem tukar-menukar barang atau semacam barter. Namun itu hanya dilakukan oleh rija atau penjual sayur keliling, misal petani memberi sayur satu kresek lalu ditukar dengan tempe. Menukar barang seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh warga yang tingkat ekonomi nya rendah yang tidak mempunyai uang lebih untuk membeli lauk.
Selain menjadi petani, menurut ibu Yulita warga disana juga bekerja sebagai pedagang. Kebanyakan dari mereka yang berdagang biasanya sudah tidak mau menjadi petani lagi, mereka sudah tidak mau turun ke ladang. Selain itu, ada juga komunitas jeep yang beroperasi ke Bromo. Berdasarkan wawancara dengan ibu Yulita, kami tahu bahwa ternyata jeep-jeep yang kami naiki itu bukanlah jeep milik orang yang mengantar kami. Melainkan milik seorang bos yang biasanya mampunyai banyak jeep yang dipakai oleh supir-supirnya untuk mengantar pengunjung. Jadwal berangkat pun sudah ada jadwalnya masing-masing dan ada nomor urutnya, sehingga apabila belum urutannya maka supir itu tidak bisa menggunakan jeep. Pembagian uangnya adalah penghasilan dikurangi biaya bensin, kemudian sisa dari pembelian di bagi dua untuk pemilik mobil dan supir. Namun berbeda lagi apabila mobil itu milik sendiri, uangnya hanya di potong untuk membeli bensin, dan sisanya untuk pemilik mobil.
Dituturkan juga oleh ibu Yulita agama yang dianut warga disana. Menurut ibu Yulita, mayoritas warga desa Wonokerto adalah muslim bahkan di belakang rumah ibu Yulita pun terdapat mushola yang juga digunakan untuk mengaji bagi anak-anak. Namun di desa Ngadas dan desa-desa di atasnya adalah mayoritas beragama Hindu. Meskipun mereka berbeda keyakinan, namun mereka sangat menjunjung toleransi agar tercipta suasana yang aman dan tentram. Misalnya saja saat Idul Fitri dan hari raya orang Hindu mereka saling berkunjung dan saling menghormati.
Bahasa yang digunakan masyarakat adalah Bahasa Tengger. Bahasa tengger mirip dengan bahasa ngapak di pantura, seperti “kenapa” dalam bahasa jawa berarti “ngopo”, di masyarakat tengger dilafalkan “ngapa”.
Masyarakat desa Ngadas dan Wonokerto yang letaknya jauh dari kota terkadang menyulitkan saat mereka ingin rekreasi. Apabila ingin rekreasi bersama anak dan suami minimal sebulan sekali atau saat liburan untuk membeli keperluan di kota seperti baju dan lain sebagainya.
Desa Ngadas dan Wonokerto yang tepat terletak di lereng Bromo ini membuat warga harus selalu waspada. Seperti erupsi yang terakhir kemarin, jelas membuat aktivitas warga lumpuh. Mereka tidak bisa ke ladang untuk bertani karena banyak tanaman yang rusak karena abu vulkanik dari gunung Bromo. Kemudian anak-anak juga tidak bisa pergi ke sekolah karena sekolah di liburkan. Bahkan untuk keluar rumah pun warga harus menggunakan payung untuk melindungi diri, juga masker agar warga terhindar dari penyakit pernapasan. Keadaan di dalam rumah pun penuh dengan debu dan banyak rumah yang rusak karena hujan pasir.
Setelah berbincang-bincang dengan ibu Yulita, tepat pukul 16.30 kami mengakhiri perbincangan itu dan segera kembali ke balai desa Ngadas. Malam harinya pukul 19.00 kami kembali ke balai desa Ngadas untuk melakukan diskusi malam berkaitan dengan observasi yang telah kami lakukan siang harinya. Dalam malam diskusi itu setiap kelompok menunjuk perwakilan kelompok untuk
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Lina, tulisannya dibuat rata kiri kanan ya biar tambah bagus, makasih 🙂
dirapikan lagi ya tem 🙂
amazing 🙂
good 🙂
semangat menulis
wah jadi pengin KKL lagi