Asal mula cerita Perayaan Cap Go Meh
Pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han , tersebutlah seorang peramal yang bernama Dongfang Shou sedang berjalan-jalan di kebun kerajaan. Saat ia sedang mengagumi indahnya bunga yang ada di kebun itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang hendak melakukan bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke dalam sebuah sumur.
Dongfang Shou berusaha menolong wanita tersebut dengan berbagai cara hingga si wanita mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Akhirnya si wanita menceritakan penyebab ia ingin mengakhiri hidupnya.
“Namaku Yuan Xiao, rumahku di barat laut ibu kota Chang’an. Dulu ketika aku diizinkan masuk ke istana ini, aku tidak dapat pulang lagi, dan setiap tahun baru aku merasa kangen ingin pulang ke rumah. Bila salju turun, aku teringat orang tuaku. Tetapi aku tidak dapat menemui mereka. Itulah sebabnya aku ingin mengakhiri hidupku dengan terjun ke sumur. Tuan Dongfang, Tuan sangat baik, bijaksana dan adil. Semua orang di istana ini menghormatimu. Tolonglah bagaimana aku dapat mengatasi perasaan ini” pinta wanita itu.
Dongfang Shou berjanji akan menolong Yuan Xiao. Ia mendatangi tempat asal Yun Xiao dan mendatangi rumahnya. Dongfang mengatakan bahwa dalam ramalannya akan ada api pada hari ke lima belas pada bulan pertama. Pada hari itu ada seorang wanita bergaun merah menunggang keledai akan masuk ke Chang’an dan membakar kota itu.
Penduduk yang percaya dengan ramalan Dongfang mengaharapkan bantuannya untuk mengatasi malapetaka tersebut. Dengan akalnya yang briliant Dongfang berhasil membuat penduduk percaya padanya.
Maka dimintalah kepada penduduk pada hari ke lima belas nanti, semua orang tua yang berambut putih harus menunggu wanita berbaju merah di suatu tempat yang ditentukan olehnya, kemudian berlutut dan mohon belas kasihannya. Maka seluruh kota akan selamat.
Kemudian pada hari yang ke lima belas, Dongfang mengutus seorang wanita berbaju merah menuju kota Chang’an seolah membawa perintah dari kaisar Jade untuk membakar kota tersebut. Penduduk Chang’an yang sudah menerima petunjuk dari Dongfang langsung memohon agar si wanita bergaun merah tidak membakar kota mereka.
Sebagai jalan keluar untuk memenuhi permintaan penduduk, wanita bergaun merah memberikan saran. Maka diperintahkanlah olehnya agar para orang tua mengirimkan pesan tentang akan adanya bencana di kota mereka. Pesan tersebut nantinya akan disampaikan Dongfang kepada kaisar. Dan kaisar memerintahkan kepada Dongfang untuk mencari solusinya.
“ Saya dengar dewa api senang makan bola nasi ketan” ujar Dongfang.
“Perintahkan semua orang di kota ini untuk membuat sesaji bola nasi ketan. Juga perintahkan pegawai istana dan orang-orang untuk meletakan lentera di semua jalan dan gang pada malam kelima belas bulan purnama. Pada waktu itu nyalan petasan dan kembang api . dengan demikian selurh kota akan menyala terang benderang hingga kaisar Jade akan mengira seluruh kota Chang’an terbakar. Ini akan mengelabuinya” perintah sang kaisar.
“Saya dengar di antara wanita di istana, Yuan Xiao paling terkenal ahli membuat bola-bola nasi ketan. Pada malam ke lima belas itu biar dia yang membawa lentera dengan namanya tertera sebagai penghormatan kepada Dewa Api, dan saya akan mangikutinya” kata Dongfang melanjutkan.
Akhirnya semua rencana berjalan lancar. Pada hari yang ditentukan Yuan Xiao kembali ke tempat asalnya dan bertemu dengan orang tuanya. Semua itu berkat rencana briliant Dongfang .
Sang kaisar senang malapetaka tidak terjadi, maka ditetapkanlah mulai saat itu sampai seterusnya tiap bulan pertama hari ke lima belas semua istana dan rakyat berkumpul. Karena bola nasi ketan yang dibuat oleh Yun Xiao dibuat pada hari ke lima belas bulan pertama orang menyebutnya dengan sebutan Yun Xiao
Arti Perayaan Cap Go Meh
Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Saat itu juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut. Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan.
Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut (suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia).
Tradisi Cap Go Meh di Indonesia atau biasa disebut goan siauw yang berarti purnama pertama di musim semi itu selalu dirayakan meriah dengan pawai budaya. Namun, pawai budaya itu ternyata hanya menjadi tradisi di tanah air. Pada malam itu, rakyat Tiongkok mempunyai kebiasaan memasang lampion berwarna-warni, maka festival ini juga disebut sebagai “Hari Raya Lampion”, Jadi jangan heran kalau setiap “Cap Go Meh” pasti identik dengan keberadaan lampion.
Menurut pengamat budaya Tionghoa Mona Lohanda, perayaan Cap Go Meh dengan pawai budaya tidak ada di negara lain termasuk China. Tidak terlepas dari peranan masyarakat Tionghoa di Indonesia yang memiliki populasi yang cukup besar yang hampir merata berada di Seluruh Indonesia. Hari raya Cap Go Meh yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek adalah salah satu hari raya tradisional Tiongkok. Menurut tradisi rakyat Tiongkok, sehabis Cap Go Meh, maka berakhirlah seluruh perayaan Tahun Baru Imlek.
Di negara asalnya, China, tidak mengenal istilah perayaan Cap Go Meh. Mereka mengenal hari itu sebagai awal musim tanam, dan justru identik dengan festival lentera atau lampion. Pada saat itu, China akan dihiasi dengan banyak sekali lentera. Perayaan Cap Go Meh di Indonesia merupakan akulturasi kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Pawai budaya saat Cap Go Meh, menurutnya dikenal dengan sebutan toa pe kong. Diperkirakan, ritual gotong toa pe kong mulai digelar sekitar abad ke-17. Kala itu di Indonesia sudah banyak menetap masyarakat Tionghoa dari daratan China. Namun, di Jakarta sepertinya baru dimulai pada pertengahan abad ke-18. Keterangan itu berdasarkan fakta sejarah dalam buku Tradisi dan Kultur Budaya Tionghoa yang ditulis Yoest MSH. Buku itu menyebutkan, sebelum perang dunia II, di Glodok-Pancoran (Jakarta Kota), acara Cap Go Meh diisi dengan ritual gotong toa pe kong.
Dengan membawa lentera, peserta arak-arakan datang ke Glodok. Musik tanjidor mengiringi arak-arakan sampai ke Klenteng Marga Tan (kini Vihara Tanda Bakti) di Jalan Tambora. Acara serupa kerap digelar di sekitar Vihara Jatinegara, Jakarta Timur. Mona menambahkan, ritual gotong toa pe kong biasanya dibarengi dengan arak-arakan benda pusaka klenteng dan patung dewa-dewi yang ditaruh di dalam joli atau tandu yang dihias dengan dominasi warna merah.
Diarak dalam radius tertentu untuk memberi berkah keselamatan pada rakyat, bangsa, dan negara. Saat ritual gotong toa pe kong, yang diarak paling depan adalah Sam Kay Kong atau Yang Mulia Penguasa Tiga Alam. Sang dewa dianggap sebagai penguasa langit, bumi, dan air. Baru kemudian, arak-arakan yang lain seperti barongsai, liong, dan joli yang lain. Dalam iring-iringan itu, biasanya ada tatung yang tubuhnya bisa menjadi media bagi para dewa untuk berkomunikasi dengan manusia.
Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat
Bagi yang tak pernah ke Singkawang, mereka acap kali kaget dan keheranan. Puluhan orang Tionghoa, terdiri dari anak, remaja dan dewasa, berjejal dalam mobil bak terbuka. Datang dari berbagai penjuru daerah, menuju pusat Kota Singkawang. Gambaran umum Tionghoa yang identik dengan pengusaha dan kaya, tak sepenuhnya berlaku di Singkawang.
Wisatawan dari dalam dan luar negeri selalu datang ke Kota Singkawang pada perayaan Cap Go Meh. Seperti pasangan Zaenal A. Budiyono dan Rika Kartika dari Jakarta. Pasangan muda ini meluangkan waktu khusus demi menonton perayaan Cap Go Meh.
Cap Go Meh adalah potret nyata beragamnya Indonesia. Dulunya, perayaan itu pernah dikekang. Kini, dapat ditampilkan kepada publik secara bebas dan alami. Dengan demikian, semangat persatuan dalam keberagaman mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sekaligus mematahkan stigma kekerasan antarkelompok yang kerap terjadi. Padahal, sejatinya hanya melibatkan segelintir orang yang tak mau menerima perbedaan.
Cap Go Meh merupakan akulturasi nyata budaya Tionghoa, Dayak, serta kebudayaan lokal di Kalimantan lainnya. Keunikan dan kelokalannya dapat membuat perbedaan dari yang konvensional festival itu sehingga memiliki nilai jual dan mampu menarik orang untuk datang.
Turis asing datang secara rombongan dalam kelompok wisata. Biasanya, dari Kuching, Sarawak, Malaysia. Kondisi ini pula yang membuat hotel dan penginapan selalu penuh saat perayaan Cap Go Meh. Sebagai antisipasi, pemerintah menyediakan rumah penduduk sebagai tempat penginapan.
Perayaan Cap Goh Meh di Singkawang biasanya ditandai dengan arak-arakan para Tatung menuju vihara atau klenteng. Perayaan dipercaya sudah dilaksanakan turun temurun sejak 200 tahun yang lalu. Para tatung berasal dari berbagai vihara yang tersebar di seluruh Singkawang, oleh karena itu tak heran kalau Singkawang juga mendapat julukan kota seribu kuil. Dalam 1 vihara atau klenteng kadang terdiri lebih dari 1 orang Tatung. Pagi hari di hari ke 15 ini, para Tatung akan berkumpul untuk melakukan sembahyang kepada Langit di altar yang sudah disiapkan. Perjalanan para Tatung di tandu dengan menggunakan tandu yang beralaskan pedang tajam atau paku tajam, sambil memamerkan kekebalan tubuhnya. Ada juga yang naik tangga pedang, biasanya terdiri dari 36 atau 72 pundak/tangga. Semakin bisa naik ke atas maka artinya semakin kuat juga ilmu Tatung tersebut.
Perayaan Cap Go Meh di Makassar, Sulawesi Selatan
Perayaan Cap go Meh di Makassar diadakan secara rutin setiap setahun sekali. Pada hari perayaan Cap Go Meh, daerah pecinaan kota Makassar akan ditutup untuk kendaraan sejak pukul 10.00 WITA pagi, namun prosesi perarakan Cap Go Meh atau yang biasa disebut Karnival Budaya Nusantara akan dimulai pukul 14.00 WITA dengan dilepaskannya puluhan ekor burung oleh Walikota Makassar.
Perarakan Cap Go Meh diawali dengan rombongan Bhineka Tunggal Ika yang antara lain terdiri atas berbagai tokoh agama dan masyarakat serta juga diikuti oleh para Dara dan Daeng Makassar, lalu Kelenteng Kwang Kong, masyarakat Kajang dari Bulukumba, Vihara Dharma Loka, kelompok adat Aluk Tudolo dari Tana Toraja, Kelenteng Xian Ma, kelompok adat Kabupaten Bone, Kelenteng Pan Ku Ong dari Galesong Kabupaten Takalar, Vihara Dharma Agung, Komunitas Bissu dari Segeri, Kabupaten Pangkep, Mapanbumi, Kelompok Adat Mappasili Pallawa serta Vihara Girinaga. Di barisan terakhir ditutup oleh Yayasan Budha Tzu Chi yang antara lain membersihkan sampah yang memenuhi sepanjang jalan yang dilalui rombongan prosesi tersebut. Hampir setiap klenteng mengarak dewa dan dewi. Seperti Klenteng Kwan Kong yang mengarak Dewa Kwan Kong sebagai dewa perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Vihara Dharma Loka mengarak Dewa Cho Sua Kong atau dewa pengobatan, dan Klenteng Xian Ma yang membawa Dewi Xian Ma. Karnival ini berakhir sekitar pukul 16.30 WITA.
Kegiatan yang Dilakukan dalam Cap Go Meh
Kegiatan yang dilakukan di kelenteng dalam rangka menyamput Cap Go Meh adalah biasanya masyarakat pergi bersembayang di Klenteng bersama keluarga. Disana mereka berdoa untuk meminta keselamatan, rejeki, kesehatan,dll. Masyarakat Tionghoa yang berkunjung di Klenteng juga memberikan bantuan atau sumbangan kepada pihak atau pengelola Klenteng untuk nantinya dibagikan kepada orang yang tidak mampu.Di Klenteng sering juga diselenggarakan pertunjukkan liong.
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka dirayakannya Cap Go Meh itu tergatung pada masyarakat itu sendiri, ada masyarakat yang merayakan dengan berdoa saja.Di kelenteng biasanya antar kelenteng satu dengan kelenteng lain berbeda. Ada kelenteng yang cuma merayakan Cap Go Meh dengan memanjatkan doa bersama masyarakat yang datang ke kelenteng. Namun di kelenteng yang lain ada juga yang merayakan Cap Go Meh dengan menggelar atraksi liong dan barongsai.
Dalam rangka merayakan Cap Go Meh biasanya masyarakat berdoa di Klenteng yang terletak tidak jauh dari rumah, serta biasanya meraka menyasikan pertunjukkan wayang photehi yang digelar di Gang Lombok. Pertunjukan tersebut selalu disaksikan banyak orang.
Pada saat merayakan Cap Go Meh ia selalu pergi ke Klenteng untuk memanjatkan doa bersama masyarakat lainnya. Setelah berdoa ia tidak lupa memberikan sumbangan kepada pihak pengelola Klenteng dan menyakisikan pertunjukkan barongsai yang diadakan oleh pihak pengelola Klenteng setempat. Pertunjukkan barongsai tersebut selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar pada saat Cap Go Meh Tiba.
Pada saat merayakan Cap Go Meh ia pergi ke Klenteng bersama keluarganya untuk berdoa meminta keselamatan, kebahagiyaan, dan rejeki dan tidak lupa memberikan sedekah kepada pihak Klenteng dan setelah itu dia bersama keluarga menyempatkan melihat atraksi barongsai yang di mainkan oleh pemuda-pemuda sekitar.
Sembayang dan berdoa bersama umat,ada yang menggelar pertunjukan wayang photehi, ada Klenteng yang menggelar pertunjukan barongsai,dan ada pula Klenteng yang mengadakan pertunjukkan liong atau tarian naga.
Penuturan tersebut disampaikan oleh Bapak Sadana yang mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan di Kelentengdalam rangka menyambut Cap Go Meh itu tergantung pada masyarakat sendiri.
Saat Cap Go Meh masyarakat Tionghoa melakukan sembayang di Klenteng atau di muka meja abu. Sembayang pada saat itu harus diselenggarakan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin. Sedangkan wayang photehi merupakan satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Cina bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah nusantara pada masa lampau dan menjadi salah satu jenis kesenian Indonesia.
Photehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Wayang photehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain.
Dahulu wayang photehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan Cina seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di Cina terutama jika dimainkan di dalam Kleteng. Beberapa lakon yang biasa dibawakan dalam wayang potehi adalah Si Jin Kui, Hong Kiam, Chun Chiu, Cu Hun Cauw Kok, dan Pui Si Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali Koan Kong, Utti Kiong, Thia Kau, Kim yang warna mukanya tidak bisa berubah. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang photehi dimainkan dengan bahasa Hokkian.
Seiring dengan perkembangan jaman, wayang inipun dimainkan dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk pribumi pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.
Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasikan menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak . seperti misalnya tokoh Sie Jin Kwie yang diadaptasi menjadi tokoh Joko Sudiro. Alat musik yang mengiringi wayang photehi terdiri dari gembreng, suling, gitar, rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat musik terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, tetapi jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi ”trok”-“trok” seperti seharusya.
Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin yaitu pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad ke 10-13 Masehi. Wayang photehi masuk ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia di sekitar abad 16 sampai bad 19. Wayang photehi bukan sekedar seni pertunjukkan, tetapi bagi masyarakat etnik Tionghoa memiliki fungsi sosial dan ritual, tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.
Pertunjukkan yang kerap ditampilkan saat Cap Go Meh adalah barongsai. Barongsai itu sendiri adalah tarian tradisional Cina dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Tarian singa tersebut terdiri dua jenis utama yakni singa utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan singa utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang singa selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala singa selatan mempunyai tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang kilin.
Gerakan antara singa utara dan singa selatan juga berbeda. Bila singa selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan singa utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa ketika memakan amplop yang berisi uang yang disebut dengan istilah Lay See. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa. Proses memakan Lay See ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian singa.
Untuk pertunjukkan liong sendiri merupakan suatu pertunjukkan dan tarian dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-naga yang diusung dengan belasan tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukan, menyorongkan, dan mengibas-kibaskan kepala naganaga tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari. Terkadang bahkan kepala naga ini mengeluarkan asap dengan menggunkan peralatan pyrotechnic. Para penari menirukan gerakan-gerakan mahluk naga ini, berkelok-kelok dan berombak-ombak. Gerakan-gerakan ini secara tradisional melambangkan peranan historis dari naga yang menunjukkan kekuatan yang luar biasa dan martabat yang tinggi.
Naga dipercaya bisa membawa keberuntungan untuk masyarakat karena kekuatan, martabat, kesuburan, kebijaksanaan, dan keberuntungan yang dimilikinya. Penampilan naga terlihat menakutkan dan gagah berani, namun memiliki watak yang penuh kebajikan. Tarian liong biasanya dimainkan pada saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Biasanya liong atau naga memiliki panjang kurang lebih 12 meter dan dimainkian oleh 9 orang pemain. Bahan yang digunakan harus benar-benar kuat agar tidak mudah rusak ketika dipakai untuk melakukan atraksi.
Selain itu, badan liong harus digambar menyerupai naga asli lengkap dengan kaki dan sisik. Untuk bagian kepala dan buntut liong dibuat terpisah dari badannya, biasanya bahan untuk memuat kepala dan buntut liong terbuat dari kardus. Setiap jarak 1,5 meter dipasangkan tiang atau tongkat setinggi kurang lebih 1,5 meter yang digunakan bagi para pemain liong untuk melakukan atraksi.
Proses Akulturasi Budaya yang Terjadi dalam Cap Go Meh
Perayaan Cap Go Meh dalam sosiokultur masyarakat Tionghoa bukan sekadar sebuah pesta di penghujung tahun baru Imlek. Namun, perayaan yang di negeri asalnya disebut Shangyuan itu merupakan simbol kembalinya waktu setelah musim semi.
Cap Go Meh merupakan sebutan lain dari Goan Siao (Goan Meh), yang berarti Malam Goan.Siang Goan ini berarti hari ke-15 pada bulan pertama awal tahun baru. Goan Meh berarti Malam Tanggal 15 atau Cap Go Meh. Di Indonesia tahun ini perayaan Cap Go Meh dirayakan hari ini. Cap Go Meh berasal dari bahasa Hokkien yang berarti Cap(sepuluh),Go (lima), dan Meh (malam).
Di Negeri Tirai Bambu, perayaan ini juga sering disebut Yuan Xiau Jie. Cap Go Meh merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dilakukan sejak 2.000 tahun lalu di masa kekuasaan Dinasti Han sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Thai Yi. Kemudian di awal kekuasaan Dinasti Tan pada tahun 618 hingga 906, Cap Go Meh disebut Shan Yuan karena pengaruh Taoisme.
Di akhir Dinasti Tan disebutYuan Xiao. Di masa Dinasti Sun pada periode tahun 906 hingga 1297) disebut Malam Lampion.Kata Festival Lampion kemudian digunakan di masa kekuasaan Dinasti Ching (tahun 1644?1911). Menurut ajaran Taoisme,Shan Yuan adalah perayaan untuk petugas surga yang memberkati keberuntungan manusia.
Masyarakat harus menghias lentera di sekitar rumah dan anak-anak membawa lentera lilin kertas di jalan pada malam hari.Cap Go Meh merupakan pesta masyarakat yang dilakukan di luar bangunan rumah dan di jalanjalan, berpusat di kelenteng. Pesta Cap Go Meh terdiri atas banyak bagian di mana prosesi inti meliputi kirab tandu (kio) Toapekkong dan para Sinbing, diiringi naga (liong), barongsai dan samsi, dan menyusul karnaval dan balmasque (pesta bertopeng).
Dalam masyarakat Tionghoa berbagai prosesi itu merupakan simbol yang melambangkan rangkaian prosesi hidup manusia. Kirab tandu (kio) melambangkan perluasan lingkungan. Tujuannya meruwat alam lingkungan setempat untuk menolak bala. Liong menyimbolkan benih-benih yang diangkut dan diturunkan sang naga untuk memberi kesuburan.
Dalam pandangan masyarakat Tionghoa, naga bernapaskan api merah dan air putih, dua unsur kehidupan yang saling bertentangan tetapi saling memerlukan. Sedangkan barongsai menyimbolkan hewan yang membawa tugas suci. Muncul dari dasar sungai,sambil membawa kitab Pakua untuk mengajarkan rahasia hukum alam semesta kepada manusia agar bebas dari kebodohan. Samsi adalah singa yang harus dimainkan dengan tiga kaki, kaki keempat selalu tidak boleh menyentuh tanah.
Seperti Barongsai, Samsi juga dimainkan dua orang. Di atas batok kepalanya selalu dilukiskan huruf ong (wang) yang berarti raja. Cap Go Meh dianggap sebagai hari baik untuk keluarga berkumpul.Menurut tradisi masyarakat Tionghoa, pada malam hari saat perayaan Cap Go Meh masyarakat mengusung lentera ke luar rumah untuk menghargai bulan purnama pertama dalam sistem penanggalan Tionghoa.
Dalam perayaan Cap Go Meh ada makanan yang wajib disantap yaitu yuan xiao, yang disebut juga nasi lem. Terbuat dari tepung beras dibentuk bulat dengan isian manis dan asin.Kue ini melambangkan suatu keutuhan,kebahagiaan, dan hubungan erat sebuah keluarga. Cap Go Meh juga dikaitkan dengan menghilangkan roh jahat dari rumah dengan merayakan dan menjalin hubungan baik antarsesama, alam, dan makhluk lain.
Hal ini dipercaya dapat membawa dan memberikan penghidupan yang lebih baik setiap tahun. Seiring perkembangan zaman, tidak ada lagi anak-anak yang membawa lampion ke kuil.Namun,mereka meletakkannya di tengah alun-alun kota atau samping kuil. Di beberapa lampion terdapat tulisan yang merupakan teka-teki.
Di Indonesia, khususnya di Singkawang, Kalimantan Barat, setiap perayaan Cap Go Meh selalu dilakukan meriah. Banyak atraksi budaya yang ditampilkan. Masyarakat dari berbagai etnis umumnya akan berkumpul di sini tanpa mengenal sekat agama, ras,dan budaya. Karena itu, perayaan Cap Go Meh di telah mengalami akulturasi dengan budaya masyarakat lokal.
Pada hari ke-14,perayaan Cap Go Meh diadakan parade tatung atau louya di jalanjalan kota.Tatung adalah orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur sebagai simbol perlawanan terhadap roh jahat. Keesokan harinya di hari ke-15, ratusan tatung melakukan parade dari pinggiran Singkawang hingga jalan utama.Selama parade ini berlangsung, para tatung melakukan berbagai atraksi seperti berdiri di atas benda tajam, menusuk wajah atau badan dengan senjata tajam. Nuansa magis saat kental dalam prosesi ini.
DAFTAR PUSTAKA
https://tradisicapgomeh/AkulturasiBudayadalamSinarLampion_KoranSindo.htm
https://tradisicapgomeh/ArtiPerayaanCapGoMehdiIndonesia.htm
https://tradisicapgomeh/CapGoMehSingkawang-MajalaWarisanIndonesia.htm
https://tradisicapgomeh/CapGoMehSalahSatuPerayaanTradisionalMasyarakatCina.htm
https://tradisicapgomeh/SejarahCapGoMeh_SejarahTaokwanSinarMuliaBandung.htm
https://tradisicapgomeh/TradisiCapGoMehdiIndonesiaBoozeMagazine.htm
kebudayaan yang menarik sekali untuk dikaji mbak el 😉
penjelasan dan gambar yang tidak membosankan 🙂
Lengkap…
artikel yang menarik