ABSTRAK
Tujuan dari laporan ini memberikan informasi kepada pembaca mengenai bias gender yang ada di masyarakat Desa Ngadas. Di mana banyak terjadi diskriminasi gender yang terjadi di masyarakat Desa Ngadas serta memiliki pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan berbagai aktivitas. Permasalahan dalam artikel ini adalah, terdapatnya ketidaksetaraan gender dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat Desa Ngadas. Hal ini disebabkan adanya perbedaan-perbedaan dalam kedudukan serta peran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Hasil penelitian menunjukan laki-laki desa Ngadas cenderung memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat.
Kata kunci : Bias, Gender, Peran
ABSTRACT
The purpose of this report is giving the reader information about the gender bias that exist in Ngadas village. Gender discrimination that occurs in rural communities of Ngadas village have certain roles between men and women in avariety of activities. This problem of article is the presence of gender inequality in some areas of Ngadas society.This is due to differences in positions and roles between men and women in society. Ngadas village men trend to have a higher position than women.
Keyword: Bias, Gender
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang setara. Laki-laki maupun perempuan keduanya diciptakan dalam derajat yang sama. Meskipun antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut membuat antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi antar satu sama lain.
Dewasa ini, banyak dijumpai bias gender dalam masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya terjadi perubahan peran antar keduanya di dalam masyarakat. Dan berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Salah satu jenis kelamin terkadang memiliki peran ganda baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut maka telah terjadi ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dengan adanya fenomena tersebut, maka penulis bermaksud untuk mengaitkannya dengan kehidupan masyarakat suku bangsa Tengger terutama warga Desa Ngadas. Penulis melakukan penelitian ini di Desa Ngadas kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo, dari hasil penelitian ditemukan bahwa jumlah penduduk Desa Ngadas adalah 682 dengan rincian laki-laki sebanyak 335 jiwa dan perempuan sebanyak 347 jiwa, data tersebut di dapat dari Bapak Sumartono sebagai Kepala Desa Ngadas. Dengan demikian, diharapkan dapat menambah pengetahuanan wawasan pembaca.
Secara umum gender diartikan sebagai karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan Kultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan (Rahmawati, 2004: 19).
Berdasarkan fenomena diatas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Pertama, bagaimana konsep gender secara umum? Kedua, bagaimana pembagian kerja berdasarkan gender pada masyarakat Desa Ngadas? Ketiga, bagaimana implikasi perbedaan gender dalam kehidupan sosial masyarakat di Desa Ngadas? Oleh karena itu tujuan peneliti meliputi, pertama mengetahui konsep gender secara umum. Kedua, mengetahui kesetaraan gender pada masyarakat Desa Ngadas. Ketiga, mengetahui implikasi perbedaan gender dalam kehidupan sosial masyarakat di desa Ngadas.
Metode Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian mengenai perbedaan gender pada masyarakat suku bangsa Tengger di Desa Ngadas Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara serta observasi dan dokumentasi terhadap masyarakat desa Ngadas. Operasionalisasi penggunaan teknik ini bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi yang berkembang di lapangan. Sesuai dengan ciri-ciri penelitian kualitatif, alat atau instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah human intstrumen, yaitu tim peneliti (Rahadyanto, Oki, 2013:231).
PEMBAHASAN
Pengertian dan Konsep Gender
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Kata “gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.
Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman.
Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya. Ada sebagian masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang pantas dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, misalnya tabu bagi seorang laki-laki masuk ke dapur atau mengendong anaknya di depan umum dan tabu bagi seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk bekerja (Puspitawati, 2013:1).
Pembagian Kerja Berdasarkan Gender pada Masyarakat Suku Bangsa Tengger
Pembagian Kerja Berdasarkan Gender dalam perspektif masyarakat Tengger terwujud dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Dalam masyarakat Tengger kesetaran gender terlihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana memang tidak ada perbedaan yang signifikan antara suami-istri-anak perempuan-anak laki-laki dalam lingkungan keluarga. Seluruh anggota keluarga memiliki kewajiban yang sama dalam mencari nafkah, walaupun memang suami tetap yang paling utama namun istri dan anak-anaknya ikut serta membantu menggarap ladang. Dalam aspek keluarga lainnya adalah dalam proses pengambilan keputusan baik dalam hal kecil maupun besar dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga, tidak terkecuali anak-anak mereka.
Kebanyakan masyarakat Ngadas berada pada tingkat pendidikan dasar, ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan pendidikan. Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang masih kuat adatnya, oleh karena itu upacara adat masih menjadi agenda utama yang selalu dilakukan dalam peringatan hari besar. Persiapan upacara-upacara adat tersebut dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Tengger, mulai dari pembuatan tempat sesaji yang berisi makanan persembahan untuk dewa-dewa hingga membawanya ke tempat upacara. Secara rinci pembagian tugas dalam proses persiapan upacara adat adalah sebagai berikut:
- Para ibu membuat makanan persembahan bagi dewa-dewa.
- Remaja baik laki-laki maupun perempuan membuat tempat sesaji yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih muda.
- Para bapak membawa sesaji tersebut ke tempat pelaksanan upacara adat.
Dalam proses persiapan upacara tersebut seluruh warga ikut terlibat. Sementara dalam proses pelaksanaan upacara kesetaraan belum terlihat karena upacara adat Tengger selalu dipimpin oleh seorang Dukun Pandita.
Sebagai masyarakat yang telah terpengaruh modernisasi, faktor ekonomi dalam Desa Ngadas menjadi salah satu penentu kesejahteraan warganya. Mayoritas warga desa Ngadas bermata pencaharian sebagai petani sayuran, namun karena mereka hidup di kaki gunung Bromo yang terkenal pada sektor pariwisatanya maka terdapat pula banyak mata penceharian sampingan yang dapat dikatakan menguntungkan. Seperti laki-laki berprofesi sebagai supir jeep atau kuda, dan perempuan berprofesi sebagai penjual makanan dan oleh-oleh di sekitar gunung Bromo.
Implikasi Perbedaan Gender dalam Kehidupan Sosial Masyarakat di Desa Ngadas
Pada awal sejarah manusia, rentan usia manusia relatif singkat dan untuk melipatgandakan kelompok, perempuan harus melahirkan banyak anak. Agar dapat bertahan hidup, seorang bayi memerlukan seorang ibu yang menyusui dan menggendongnya, yang secara fisik perempuan menjadi terbebani. Sebagai konsekuensinya perempuan mengerjakan tugas yang berkaitan dengan rumah dan pengasuhan anak, sedangkan laki-laki mengambil alih perburuan binatang besar dan tugas lain yang memerlukan kecepatan dan ketidakhadiran di tempat tinggal (Huber, 1990). Pada dasarnya peran laki-laki dan perempuan dalam setiap keluarga itu sama dengan masyarakat di daerah lain. Laki-laki dominan sebagai kepala keluarga dan mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan. Perempuan bertugas mengurus rumahtangga, mengasuh anak, dan mengatur keuangan keluarga.
Dalam pengaturan ekonomi keluarga, antara suami dan istri saling bahu-membahu mengatur perekonomian. Walaupun sama-sama bekerja, namun istrilah yang mengatur keseluruhan keuangan keluarga. Dan jika membutuhkan uang untuk keperluan membeli pupuk untuk ladang mereka, maka suami meminta istri untuk membelikannya dengan uang yang disimpan oleh istri.
Menurut Bapak Sumartono, dalam usaha memenuhi kebutuhan keluarga, antara suami dan istri bekerja sama menggarap ladang, dan karena hasil pertanian yang tidak dapat dirasakan hasilnya setiap hari, maka masyarakat Desa Ngadas memanfaatkan potensi wisata alam daerah mereka, yaitu Gunung Bromo, untuk memperoleh tambahan penghasilan. Dalam pelaksanaannya, terdapat pembagian peran antar laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang dianggap lebih kuat memilih untuk menyewakan kuda bagi pengunjung menuju anak tangga kawah Gunung Bromo dengan tarif yang bervariasi. Sedangkan perempuan memanfaaatkan kemampuan mereka di dapur untuk membuka warung di tengah-tengah lautan pasir Gunung Bromo.
Pada dasarnya, laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan dominan jika dibandingkan dengan perempuan. Buktinya dari lingkup yang kecil saja seperti keluarga, kedudukan tertinggi dalam keluarga adalah kepala keluarga. Kepala keluarga pada masyarakat Desa Ngadas dipegang oleh laki-laki. Otomatis pengambilan keputusan terakhir itu ditentukan dan bergantung pada laki-laki. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan, akan tetapi laki-laki yang memiliki hak dan wewenang lebih, akan menentukan apa yang seharusnya dilakukan keluarga. Perempuan dalam pengambilan keputusan itu hanya membantu memberikan pertimbangan saja, selebihnya keputusan ada di tangan laki-laki sebagai kepala keluarga. Contohnya untuk menetapkan tata tertib dalam keluarga mengenai jam malam bagi anak. Maka dalam musyawarah antaranggota keluarga itu hanya memberi masukkan sedangkan keputusan akhir tetap ada di tangan ayah sebagai kepala keluarga.
Alice, Rossi seorang sosiolog feminis dan mantan presiden Amarican Sosiological Asociation, mengemukakan bahwa kaum perempuan secara biologis, lebih siap untuk menjalankan “tugas keibuan” daripada kaum laki-laki. Rossi (1997) mengatakan lebih peka terhadap perempuan kulit halus dan komunikasi nonverbal bayi.
Dalam pembagian hukum waris di masyarakat Desa Ngadas, tidak terdapat perbedaan pembagian warisan antara anak laki-laki ataupun perempuan. Anak bungsu mendapat harta yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan anak bungsu yang nantinya akan tinggal di rumah orang tuanya dan merawat orang tuanya. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dengan perempuan dalam pembagian warisan. Antara anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal pembagian harta warisan.
Bias gender terlihat dalam menentukan usia ideal pernikahan, di mana usia ideal pernikahan untuk perempuan ssadalah 19 tahuan dan 21 tahun untuk laki-laki. Masyarakat Desa Ngadas menganggap bahwa pada usia tersebutlah pemuda dan pemudi Desa Ngadas sudah benar-benar matang untuk melakukan pernikahan dan dianggap mampu untuk mengurus keluarga. Usia ideal pernikahan di Desa Ngadas memiliki keterkaitan dengan rata-rata pendidikan dan perekonomian masyarakatnya. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang dikatakan rendah dapat mempengaruhi usia ideal pernikahan di desa tersebut, Wiwin mengungkapkan sebagai berikut:
“Warga Ngadas yang menempuh pendidikan sampai ke Perguruan Tinggi masih dapat dihitung dengan jari, masih sedikit sekali mbak”.
Pendidikan yang rendah dapat memengaruhi pola pikir masyarakatnya dalam melakukan segala sesuatunya. Selain itu pendidikan yang rendah juga mempercepat para pemudanya lulus dari sekolah dengan usia muda. Maka dari itu banyak masyarakat Desa Ngadas khususnya para pemuda desa sudah menikah di kisaran umur 19-21 tahun.
Selain itu, perekonomian di Desa Ngadas juga memengaruhi usia ideal menikah pada masyarakatnya. Para pemuda di Desa Ngadas yang berusia ± 21 tahun mayoritas sudah memiliki pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan oleh para pemuda desa yaitu sebagai petani sayur ataupun sopir jeep di daerahnya sendiri. Dari pekerjaan yang sudah dimiliki oleh pemuda desa, mereka dianggap sudah mampu menafkahi keluarganya jika kelak ia menikah.
Setiap masyarakat dalam menentukan usia ideal pernikahan di daerahnya tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat kita ketahui secara langsung. Perbedaan usia ideal pernikahan antara laki-laki dan perempuan di Desa Ngadas hampir sama dengan daerah lain. Di mana usia laki-laki lebih tua dibandingkan usia ideal perempuan dalam sebuah pernikahan. Dengan adanya perbedaan usia ideal pernikahan pada perempuan dan laki-laki dimaksudkan agar seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga dapat membina dan membimbing keluarganya dengan baik.
Adapun istilah-istilah khusus yang disebutkan bagi masyarakat Desa Ngadas yang sudah melewati usia ideal menikah. Wiwin menjelaskan sebagai berikut:
“Warga Desa Ngadas yang berusia 25 tahun. Seorang laki-laki akan disebut bujang lapuk jika laki-laki tersebut memiliki umur diatas 27 tahun dan ia belum menikah. Adapun istilah bagi seorang wanita yang belum menikah di atas 25 tahun yaitu perawan lapuk.”
Menurut Sumartono, pada saat pelaksanaan upacara Kasada, melibatkan seluruh penduduk Tengger itu didominasi oleh peran kaum laki-laki. Pemimpin upacara maupun pembaca mantra dilakukan oleh laki-laki. Hal itu membuktikan bahwa peran laki-laki dalam pelaksanaan upacara adat sangat besar. Wanita masih mempunyai peran yang penting meskipun tidak terlalu besar dan berpengaruh terhadap pelaksanaan upacara Kasada. Jika laki-laki bertugas dalam kelancaran dan prosesi adat, perempuan bertugas menyiapkan makanan. Wanita tidak banyak dilibatkan pada prosesi adat. Peran wanita dalam pelaksanaan upacara Kasada terlihat pada saat upacara akan dilakukan. Para isteri atau wanita berbondong-bondong datang ke rumah Pak Tinggi (kepala desa) untuk mengantarkan sajian makanan yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan adanya fenomena tersebut, maka masih terjadi pembagian tugas berdasarkan gender tertentu.
Dalam pengambilan keputusan wanita masyarakat Tengger masih mendapatkan bagian meskipun tidak terlalu besar. Misalnya, dalam pelaksanaan rapat Karo yang digelar satu tahun sekali. Menurut Wiwin (25 tahun), rapat Karo diadakan dengan tujuan untuk menampung pendapat warga tentang perencanaan suatu upacara adat maupun kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan oleh warga Tengger sendiri. Warga akan dimintai pendapat dan akan dibahas pula mengenai biaya yang dibutuhkan sekaligus iuran yang harus dikeluarkan oleh masing-masing kepala keluarga untuk keperluan umum. Di dalam rapat tahunan Karo hanya dihadiri laki-laki saja sebagai kepala keluarga yang dianggap berhak untuk mengambil suatu keputusan. Dalam rapat yang lain misalnya, rapat menjelang pemilihan Kepala Desa, rapat diadakan dan seluruh warga masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka. Hanya saja, rapat tersebut tidak akan dilaksanakan secara bersamaan antara wanita dan pria/laki-laki. Wanita ataupun kaum ibu warga Tengger akan mengadakan rapat di siang hari, sedangkan laki-laki akan mengadakan rapat di malam hari. Hal tersebut memiliki alasan bahwa wanita ataupun seorang isteri dipandang tidak pantas jika bepergian atau berkumpul pada malam hari sehingga dilaksanakanlah rapat wanita pada siang hari. Dan adanya pemisahan rapat juga mempunyai alasan lain, yaitu agar wanita dapat menyampaikan aspirasi secara bebas tanpa harus segan dengan pihak laki-laki. Wanita masih dianggap berada di bawah laki-laki sehingga jika rapat dilaksanakan secara bersamaan antar keduanya, maka dikhawatirkan wanita tidak dapat menyampaikan pendapat karena dikalahkan oleh suara laki-laki dan adanya perasaan segan terhadap pihak laki-laki. Dalam pelaksanaan rapat tersebut wanita masih diberikan ruang untuk berpendapat. Hanya saja, dapat dilihat bahwa masih adanya anggapan masyarakat bahwa wanita kedudukannya masih di bawah laki-laki. Dan dalam pengambilan suatu keputusan masih didominasi oleh pihak laki-laki. Pada rapat kaum laki-laki yang dilaksanakan pada malam hari membahas tentang penentuan waktu berkumpul, lokasi dan baju adat yang akan dikenakan pada upacara mulunen (upacara pemilihan dukun Pandita) serta mantra yang akan dibacakan para calon dukun Pandita, sedangkan dalam rapat kaum perempuan dibahas mengenai pembuatan sesaji yang berupa hasil dari lahan pertanian dan juga makanan kecil.
Suku bangsa Tengger merupakan suku bangsa yang memiliki banyak ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat suku bangsa Tengger tersebut. Ritual adat-istiadatnya di antaranya :
- Upacara Adat Karo
Biasanya dilakukan pada bulan Puso atau Karo kalender Tengger.
- Upacara Pujan Kapat
Merupakan selamatan bumi, air, kayu, dan segala macam tanaman beserta hasil buminya. Yang bertempat di Rumah Sanggar.
- Upacara Megeng Dukun
Bersifat pribadi yaitu dilakukan oleh orang yang akan melakukan ritual untuk menjadi dukun.
- Hari Raya Yadya Kasada
Merupakan sebuah hari upacara sesembahan berupa persembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi. Setiap bulan Kasada hari-14 dalam Penanggalan Jawa diadakan upacara sesembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Selain itu masih banyak lagi ritual adat yang dilakukan oleh suku bangsa Tengger.
Dalam ritual adat seperti itu, ada pembagian tugas masing-masing dari para laki-laki dan perempuan dari masyarakat setempat. Seperti contohnya saja, menurut penuturan Kepala Desa Ngadas dalam ritual adat seperti itu pasti ada yang namanya sesajen sebagai bentuk rasa syukur masyarakat desa Ngadas. Sesajen itu biasanya berisi makanan-makanan ringan atau besar yang nantinya dijadikan sebagai sarat ritual yang akan dilakukan. Di sini dapat terlihat peran seorang perempuan yaitu sebagai tukang masak dan menyiapkan sesajen tersebut untuk nantinya dibawa atau diusung ke tempat dimana ritual adat tersebut akan dilaksanakan. Intinya peran seorang perempuan adalah memasak makanan di dapur dan nantinya peran seorang laki-laki dalam ritual adat tersebut adalah sebagai pembawa atau pengusung sesajen ke tempat di mana ritual akan dilaksanakan. Selain itu juga peran laki-laki dalam ritual adat seperti itu adalah pembaca mantra yang mana dalam pembacaan mantra itu akan diwakilkan oleh salah satu orang yang dianggap sudah mampu dan berkompeten dalam bidang perdukunan yang disebut sebagai ‘Dukun’. Dukun di sini selalu didominasi oleh kaum laki-laki, belum pernah ada bahwa jabatan Dukun itu diduduki oleh seorang wanita, hal ini terjadi karena memang dari dulu sejak nenek moyang mereka pendahulu mereka belum pernah terjadi bahwa kedudukan Dukun diduduki oleh kaum perempuan. Menurut Sri Harmina (40 tahun),”Masyarakat Ngadas belum pernah ada dukun Pandita dan Kepala Desa perempuan karena tidak pantas menjadi seorang pemimpin”. Di Desa Ngadas terlihat perbedaan peran antara kaum perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan ritual adat. Pada umumnya masyarakat Tengger tidak ada yang namanya kesederajatan peran antar kaum laki-laki dan wanita, terdapat perbedaan yang tentunya berhubungan dengan konstruksi masyarakat yang mengatakan bahwa peran seorang wanita itu pasti berhubungan dengan perasaan dan gaya wanita yang feminin jika dibandingkan dengan laki-laki yang maskulin dan bermain logika (Beynon:2002).
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh penulis di masyarakat suku bangsa Tengger Desa Ngadas Kecamatan Sukapura, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang kaitannya dengan gender itu setara contohnya dalam pembagian kerja dan pembagian hak waris antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi lain ada juga yang masih belum setara contohnya dalam pemilihan dukun pandita, dalam rapat pengambilan keputusan, dan pembagian tugas dalam pelaksanaan upacara kasada. Jadi, pada masyarakat Suku Bangsa Tengger di Desa Ngadas masih banyak ditemukan ketidaksetaraan Gender.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irawan, ed. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Puspitawati, Herien. 2013. “Konsep, Teori, dan Analisis Gender”. Tersedia : https://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf (dikutip pada 24 Mei 2014).
Saadawi, Nawal. EL.2001. Perempuan dalam Budaya Patriarki.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Triyanto, dkk. 2013. “Warak Ngendog: Simbol Akulturasi Budaya Pada Karya Seni Rupa”. Smg, August 2013, 162-167.
Semoga segera terwujud kesetaraan gender
kajian yang bagus untuk diteliti