Sumpah “Sampah” Serapah, Problematika “Sejuta Umat”

Drainase tempat strategis sebagai sarana pembuangan sampah. Gambar: makassar.tribunnews.com

Drainase tempat strategis sebagai sarana pembuangan sampah.
Gambar: makassar.tribunnews.com

Ngomongin sampah tidak akan pernah ada habisnya, ibarat gosip di gosok makin sip. Permasalahannya kian hari kian meruncing saja, tanpa tanya?. Meski pemerintah setempat telah menyediakan berbagai fasilitas tempat pembuangan sampah, dasar manusianya males buang sampah pada tempatnya, buangnya ya??? sembarang tempat, pelampiasan termudah adalah buang dari atas kendaraan umum dan pribadi, bakar di tempat, buang ke dalam GOT atau DRAINASE dampaknya sama-sama kita tahu, nggak perlu di jelaskan panjang lebar.

Sampah diperkotaan seperti Kota Metropolitan di indonesia sampah bak “parasit” menjadi masalah yang serius. Mengotak-atik proyek penanganan sampah selalu saja ada kendalanya. Sama halnya membahas artis selebritis, selalu saja ada hal-hal baru untuk “dibicarakan.”

Paradigma sampah musibah hal itu sudah usang, hanya manusianya yang terkadang “jijik” ketika melihat barang sampah atau limbah. Tapi buktinya? Masih ada masyarakat menjadikan sampah sebagai ladang “uang” asal saja bukan “sampah masyarakat” satu ini hukumnya WAJIB dibinasakan. Kesadaran akan kebersihan harus dibiasakan sejak usia dini, agar memoriable terhadap kebersihan lingkungan selalu di ingat hingga akhir hayat. Kapan kebiasaan buang sampah pada tempatnya sekedar “sumpah serapah” maka percayalah semakin menumpuk saja sampah di jalanan ibukota. Lama-lama “Indonesia dijuluki kota sampah,” hahahaha jangan marah yaaa???

Kepadatan penduduk salah satu faktor potensial penyumbang terbesar menggunungnya sampah, semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka permasalahan sampah kian mendelik. Jumlah penduduk ini berkorelasi langsung terhadap sampah. padatnya jumlah penduduk suatu daerah maka sampah yang dihasilkan juga semakin banyak. Selain itu, kesejahteraan penduduk di suatu daerah dapat dilihat dari sampah yang dihasilkan.

Parahnya lagi, peningkatan penduduk ini tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengendalian sampah, kalau hal ini tidak ditangani serius dampak ke depan merupakan BENCANA.

Tetek bengek birokrasi terkadang menjadi “struktur kapitalis” sarang pengonggokan sampah pinggir jalan. Ancaman terbesar gunungan sampah, mengganggu estetika kota, banjir sudah pasti, pendangkalan sungai, aspek sosial masyarakat. Masyarakat kota yang cenderung bersikap egois, jangankan mau berbagi materi, tempat sampah pun enggan untuk berbagi. Untuk itu, masalah-masalah seperti ini perlu mendapat perhatian oleh seluruh masyarakat karena masalah sampah bukan masalah personality tetapi problematika sejuta umat.

Tidak heran belakangan ini beberapa kota mengalami penolakan dari warga, daerahnya menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, seperti Bantar Gebang Bekasi. Pemblokiran dilakukan warga karena selain merusak pemandangan, timbulan sampah tersebut menjadi sarang penyakit, aroma tak sedap sampah merupakan “wabah” tersendiri bagi warga sekitar TPA, miris memang!!!, tapi inilah resikonya Kota Metropolitan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai karakter. Sepertinya memerangi sampah sama ribetnya memberangus korupsi di negeri ini.

Masih “hitungan jarinya” komunitas, relawan peduli sampah “tanpa tanda jasa” menyiasati penumpukkan sampah hambatan terbesar di indonesia, melalui program daur ulang sampah, bank sampah. Esensi membangun bank sampah sebenarnya bukanlah bank sampah itu sendiri, tetapi adalah strategi dalam mengembangkan dan membangun kepedulian masyarakat agar dapat “mendisiplinkan” dengan sampah bukan “indisipliner.”

Nyesak!!! Melihat kondisi seperti ini, dari miliaran penduduk indoneia hanya segelintir saja bersama-sama meminimalisir sampah. Ormas/komunitas belumlah cukup jika tidak dibarengi kesadaran dari dalam diri untuk tidak merusak lingkungan dengan buang sampah sembarangan. Dengan mengantongi bekas bungkus permen gula-gula contoh kecil mengurangi sampah. Yang terjadi sering di dapati masyarakat membuang sampahnya dari atas kendaraan umum/pribadidi tengah jalan raya, tanpa sadar sebenarnya mereka para “pembuang” sampah tersebut adalah “biang” bencana.

Cukup diakui tidak semudah membalikkan telapak tangan, cara memilah sampah dan limbah rumah tangga, hotel, rumah sakit, kampus, serta perkantoran, yang paling sederhana adalah dengan memberi contoh, tidak hanya koar-koar di muka seminar, tapi dia sendiri buang sampah sembarangan. Diperlukan relevansi kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan.

Islam mengajarkan “kebersihan sebagian dari iman” prinsip lama kini kembali kini di dengungkan manusia-manusia moderen berakhlak “konsumtif” kemarin-kemarin kemana bung!!!

Al-Qur’an dan Hadist nabi mengajarkan kebersihan dengan mudah tanpa intimidasi, regulasi berorientasi uang. Semisal ketika kita hendak sholat, terlebih dulu harus melalui ritual bersuci/wudhu’, contoh lain tatkala kulit kita tersentuh binatang kategori najis berat (mughaladhah) harus bersuci tujuh kali, salah satunya menggunakan pasir atau debu. Inikan contoh bahwa kebersihan itu “tidak ribet” juga tidak dipersulit. Saat membuat gerakan peduli sampah, kita tak bisa gerak sendiri untuk mengatasinya. Butuh orang lain buat bahu-membahu menatap ke depan bahwa sampah juga bermanfaat.

Program kebersihan sampah sangatlah banyak, tidak hanya terfokus pada sampah tertentu, diantaranya program bersih-bersih sungai, bersih-bersih kanal. Kegiatan ini harus mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat seperti kepala suku/ketua adat, kepala desa serta perangkat desa setempat.

Kompos merupakan salah satu solusi mudah mengurai sampah dengan memanfaatkan sampah organik seperti dedaunan, sisa sayuran sebagai pupuk bernilai ekonomis. Sampah anorganik/plastik bisa di kreasikan menjadi barang berharga. Daur ulang kertas menjadi barang bermanfaat serta masih banyak lagi.

Memberi sanksi tegas terhadap para pembuang sampah sembarangan merupakan contoh konkrit pemerintah. Tanpa pandang bulu, sebab hukum di indonesia ini selalu berpihak pada pemegang kekuasaan, sedang rakyat jelata “tumbal” (Pemberi Harapan Palsu) PHP pemilik kepentingan. Cape’ dech!!!

Tidak afdol tanpa mengutip filosofi mendalam BUYA HAMKA “Kalau hidup sekedar hidup, Babi di hutan juga HIDUP. Kalau bekerja sekedar bekerja Kera juga BEKERJA.”

materi: kompasiana.com

Tags: ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas:


Skip to toolbar