Jaman mahasiswa dahulu adalah hal yang absurd ketika kita tidak pernah “darmaji”, dahar lima ngakuna hiji, apalagi untuk anak-anak rantau yang ongkos transportasi pun dirapel dengan jatah apel. Tanpa disadari, kita telah berlaku koruptif, walaupun kecil-kecilan. Harus diakui, kata “walaupun” disini sering kali hadir sebagai sebagai sebuah laku permisif bahwa bila nominalnya sedikit maka serta merta tidak lagi merugikan orang lain. Buat masyarakat Indonesia, premis ini sepertinya telah mengakar budaya.
Bicara soal akar berarti bicara juga tentang bibit. Bibit-bibit korupsi, menakutkannya, sudah mulai dipupuk sejak dini. Yang paling kentara dan sering kali dianggap sepele adalah, ambil contoh, perilaku buang sampah sembarangan. Ketika anak kita atau saudara kita yang masih kecil tidak sengaja – atau sengaja – dengan enteng melempar bungkus snack ke sungai atau ke jalan seringkali kita biarkan atau mencari pembenaran. Continue reading →