Sejarahku

selamat datang pejuang bangsa !

kekuasaan jawa

Posted by Mugiarto Raharjo On December - 1 - 2015

MAKALAH
KEKUASAAN JAWA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Guna memenuhi tugas mata kuliah sejarah politik
Dosen pengampu :
Bapak Ibnu Sodiq
Bapak Hamdan Tri Atmaja

Oleh :
Mugiarto Raharjo
3101413093
Pend. Sejarah / R.2

Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep-konsep tentang kekuasaan oleh konsepsi Jawa berbeda secara radikal , beberapa filusuf yang telah menuangkan pemikirannya tentang kekuasaan adalah Machevelli dan Hobbes, para pemikir barat ini lebih fokus kepada, sifat, sumber dan pengunaan kekuasaan. Untuk menjelaskan kekuasaan Jawa mungkin tidak mudah, kalau berbicara pada kekuasaan yang dibandingkan dengan konsep Eropa moderen dapat disimpulkan dibawah empat judul yakni kekusaan itu bersifat abstrak, sumber bersifat heterogen, akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inheren, tidak mensoalkan keabsahan. Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik yang berasal dari nusantara sendiri.
Tradisionalisme Jawa, sesuatu yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik.
Konsepsi kekuasaan Jawa dalam perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan. munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya, Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa, yang menekankan dimensi ngalah, linuwih, lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsepsi kekuasaan Jawa ?
2. Bagaimankan Pemikiran Tradisionalisme Jawa ?
3. Bagaimanakah Kekuasaan Jawa kekinian ?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsepsi kekuasaan Jawa
2. Mengetahui Pemikiran Tradisionalisme Jawa
3. Mengetahui Kekuasaan Jawa kekinian

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep kekuasaan Jawa
Konsep-konsep tentang kekuasaan oleh konsepsi Jawa berbeda secara radikal , beberapa filusuf yang telah menuangkan pemikirannya tentang kekuasaan adalah Machevelli dan Hobbes, para pemikir barat ini lebih fokus kepada, sifat, sumber dan pengunaan kekuasaan. Untuk menjelaskan kekuasaan Jawa mungkin tidak mudah, kalau berbicara pada kekuasaan yang dibandingkan dengan konsep Eropa moderen dapat disimpulkan dibawah empat judul
Pertama, kekusaan itu bersifat abstrak , kekuasaan itu tidak ada, kekuasaan itu biasannya untuk menerangkan suatu hubungan atau lebih, seperti menjelaskan kewibawaan atau keabsahaan, maka kekuasaan abstraksi, sesuatu rumusan dengan pola-pola interaksi sosial yang suatu kebetulan sedang diamati. Jadi biasannya kita menyimpulkan kekuasan itu ada dalam berbagai macam keadaan, dimana dalam suatu kegiatan orang patuh terhadap kemauan orang lain, baik secara sukarela maupun tidak. Kita dapat melihat kekuasaan itu sendiri ketika terjadi interaksi hubungan sebab akibat antara perintah dan pelaksanaannya.
Kedua,sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen, karena kekuasaan dapat disimpulkan dalam pola-pola hubungan sosial tertentu, sehingga banyak para filusuf barat kemudian memikirkan klatifikasikan dan menganalisis pola-pola hubungan-hubungan ini. Mencurahkan pemikirannya bagaimana kemudian membedakan berbagai sumber kekuasaan. Maka orang barat telah menerima sumber kekuasaan itu sendiri berupa harta kekayaan, status sosial, jabatan formal atau organisasi, senjata, jumlah penduduk dan sebagainya.
Ketiga,akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inheren, kerena kekuasaan hanya mengambarkan suatu abstraksi yang mengambarkan hubungan tertentu antara manusia, maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Orang Barat mengangap kekuasaan mencakup senjata, kekayaan, organisasi dan teknologi maka mereka harus mengakui bahwa sekurang kurangnya dalam akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya.
Keempat,tidak mempersoalkan keabsahan, karena kekuasaan dari dahulu berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu lebih dahulu dari pada masalah- masalah buruk atau baik, menurut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak kekuasaan berasal dari sumber-sumber kekuasaan yang berbeda, kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada kekayaan adalah absah, sedangkan kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada senjata adalah tidak absah. Jadi orang Jawa memandang kekuasaan bersifat konkrit, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, yang tidak memunculkan implikasi moral yang inheren.
Mencari Kekuasaan, kekuasaan tidak hanya berbicara bagaimana mengunakan kekuasaan, melainkan bagaimana menghimpunnya, sebagian besar kepustakaan tradisional lebih mengutamakan bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, dari pada masalah bagaimana mengunakannya dengan wajar, di Jawa kekuasaan dapat diperoleh dengan mempraktekkan yoga dengan cara berpuasa, tidak tidur, bersemadi dan tidak melakukan hubungan suami istri, pemurnian ritual untuk menyempurnakan sesajian. Semuannya untuk memusatkan dan memfokuskan kekuasaan. Orang percaya para pembuat keris, legendaries zaman dahulu mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi, dengan pamornya yang indah dengan panas yang terpusat pada ibu jari mereka , dalam cerita wayang pada bagian gara- gara yang khas dimana orang pertapa tidak dikenal namanya bersemedih maka perwujudan yang paling menyolok dari kosentrasinya adalah, seperti yang dikatakan para dalang , lautan mulai mendidih dan bergolak.
Para ortodoks berbiacara tentang jalan kekuasaan, di Jawa juga terdapat keterodoks, seperti pribadi raja Singosari yang terakhir yaitu raja Kertanegara, kekuasaan dicari melalui mabuk- mabukkan, pesta seks, dan pembunuhan ritual (tradisi Bhairavis). Ajaran yang mengikuti hawa nafsu yang secara sistimatis dalam bentuk yang paling ekstrem adalah menghabiskan nafsu itu sendiri, sehingga tidak menghalangi seseorang untuk memusatkan kekusaannya. Menurut tradisi Jawa lama, para penguasa harus mengumpulkan sesuatu yang mengangap atau mempunyai kekuatan, seperti di kraton banyak alat-alat yang dipenuhi oleh banda-benda pusaka, seperti keris tombak, alat-alat musik suci dan lain-lain.
Pratanda-pratanda kekuasaan, sebagai tradisi pemikiran politik Jawa, sebagai pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, bukan pada perbuatan memperlihatkan, pemakaian dan pengunaannya. Pratanda ini dicari orang baik sebagai pemegang kekuasaan maupun didalam masyarakat dimana ia memegang kekuasaanya. Konsep yang penting menurut orang Jawa adalah hubungan batin seseorang dan kemampuan untuk mengendalikan lingkungannya. Jadi pratanda sebenarnya orang yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya untuk berkosentrasi, memfokuskan kekuasaan individunya sendiri, menyerap kekuasaan dan memusatkan dalam dirinya dalam hal-hal yang kelihatannya bertentangan. Para pengamat asing dari pristiwa-pristiwa yang terjadi di Indonesia, sering mengatakan bahwa kegiatan seksual Soekarno yang disebarkan secara luas, kelihatannya tidak merugikan dari segi politik, malah dikatakan orang Jawa merasa memang sudah kodratnya, jika para penguasa bertindak seperti itu, jika analisis diatas memang benar maka aspek-aspek kehidupan pribadi Soekarno tidak diperhatikan dalam perspektif seperti itu. Sebab pratanda-pratanda kejantanan penguasa adalah petunjuk-petunjuk politik bahwa ia masih mempunyai kekuasaan, sebaliknya penurunan menyolok dalam seksual dapat diangap sebagai tanda surutnya kekuasaan dalam hal-hal lain. Istana ketika itu yang selalu menyiarkan kehidupan pribadi Soekarno tidak lebih tujuannya adalah untuk mempertahankan kewibawaaan itu sendiri.
Kekuasaan dan sejarah, pandangan Jawa tradisional tentang sifat dan struktur proses sejarah Sartono mengatakan bahwa perbedaan pokok antara pandangan Jawa tradisional tentang sejarah dan perspektif Barat modern adalah sejarah dipandang sebagain suatu gerakan yang mengikuti garis lurus yang berjalan mengikuti waktu, sedangkan orang Jawa seringkali mengangap sejarah mereka sebagai rangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang. Kesatuan dan pusat, masyarakat yang baik tidak bersifat hirarkis secara ketat, karena hirarkis memerlukan sebuah otonomi pada masa tertentu yang masing-masing berbeda tingkatannya. Cahaya lampu yang berangsur-angsur meredup secara tidak putus-putus dengan semakin jauhnya cahaya tersebut dari bola lampunya, adalah bentuk perumpamaan konsepsi Jawa yang tepat mengenai hubungan pusat dan daerah juga kedaulatan teritorial. Sementara cahayannya tidak berbeda- beda ini menunjukkan homogenitas kekuasaan, maka warna cahaya yang putih yang merupakan persenyawaan sinkritisme dari semua spktrum cahaya itu, melambangkan aspek-aspek yang memperstukan dan memusatkan. Penguasa dan kelas yang berkuasa, structural kekuasaan kerajaan Jawa sebelum masa penjajahan perluasan rumah tangga dan staff pribadi raja, para pejabat diberi kedudukan dan keuntungan yang menyertai pangkat, sebagai anugrah raja dan dapat dipecat dan diberhentikan sekehendak raja. Konsep kawula gusti atau poros gusti, dimana kekuasaan gusti yang tertinggi yaitu yang terdiri dari kelompok gusti yang sampai pada akhirnya kaum petani, jadi status raja jelas berbeda dengan anggota keluarga dekat yang biasa.
Kekuasaan dan etika Jawa tradisional yang terdiri dari priyayi merupakan sebutan paling umum mengandung nilai-nilai etika, sifat dari priyayi untuk membedakan dengan kelompok lain adalah dari kehalusan sifat mereka. Kehalusan jiwa berarti penguasaan diri dan kehalusan penampilan tampan dan bercita rasa, tata krama, dan perasaan peka. Kekebalan yang halus merupakan sifat khas satria yang sangat didambakan, baik sebagai tokoh militer maupun negarawan yang lawannya adalah pamrih yang sangat membahayakan. Sampai hari ini kekusaan kiyai masih kita rasakan di tanah Jawa, sangat dihormati, bahkan berdoa di kuburan kiyai mendapatkan berkah dan bertambah rezeki. Kiyai pernah berkuasa walaupun secara fisik tidak memenuhi syarat untuk berkuasa tapi karena pengaruh kharisma yang dominan, misalnya Gusdus pernah jadi Presiden di negeri ini begitu dihormati dan sanjung, kiyai di terima pemikiranya secara [I]taken for granted[/I] bahkan bekas air basuh kakinya di minum supaya berkah dan sehat, ketika Gusdur meninggal, tanah kuburannya diambil, begitu kuatnya kekuataan spiritual yang berpengaruh di kehidupan Jawa. Kekuasaan ini yang dimiliki oleh kiyai sampai hari ini .
B. Pemikiran Tradisionalisme Jawa
Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik yang berasal dari nusantara sendiri.
Tradisionalisme Jawa, sesuatu yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik.
Tradisi pemikiran politik Jawa secara khas memberikan tekanan kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan dan bukan kepada perbuatan yang memperlihatkan pemakaian atau pengunaanya. Pertanda ini di cari orang baik pada diri pemegang kekuasaan maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan.
C. Kekuasaan Jawa dalam Kekinian
Konsepsi kekuasaan Jawa dalam perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan. munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya, Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa, yang menekankan dimensi ngalah, linuwih, lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
Dalam kepemimpinan SBY, sebagai orang Jawa, lebih memperhatikan dan menggunakan tuntutan politik Jawa dalam pengambilan keputusan. Kekuasaan Jawa juga selalu ditandai oleh upaya konsentrasi kekuasaan. SBY telah sangat jitu mengikuti pola ini dengan mengambil seluruh kuasa yang menyebar di berbagai kekuatan politik. Pilihan SBY untuk mengambil Boediono menjadi Wapres dapat dipahami sebagai usaha untuk menggenggam seluruh kekuatan politik. Berbagi tugas, seperti periode SBY-JK dipastikan sulit muncul karena tak pernah ada dalam konsep budaya kekuasaan Jawa.
Dalam penyusunan Kabinet SBY I dan II, nampak jelas upaya akomodasi terhadap seluruh kekuasaan politik, yang tadinya saling bertentangan. Jika oposisi mau sedikit mengalah, seluruh kekuatan politik akan terkonsentrasi dalam diri SBY seorang. Belum lagi dengan konfrontasi SBY dengan Ketua Umum Partai Demokrat, menunjukkan bahwa kekuasaan itu harus berpusat pada satu orang yakni SBY sendiri. Begitu juga dengan konsep “Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap” dimengerti SBY sebagai langkah bagaimana memperbesar kekuasaan sembari memperkecil kekuasaan pihak lain. Hal ini dilakukan baik itu dengan cara mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik diseberang dirinya masuk dalam lingkaran kekuasaanya dengan imbalan-imbalan yang bervariasi.
SBY merupakan sosok pemimpin yang kharismatik bagi kalangan Jawa, artinya mempunyai kekuasaan dalam arti yang banyak persamaannya dengan yang dipunyai oleh para penguasa tradisional Jawa, yang diangap sebagai pusat pancaran kekuasaan, dan orang yang percaya akan menempelkan kekuasaanya, dari pada tunduk sebagaimana halnya yang dilakukan kepada penguasa rasional legal, kekuasaan lebih nampak dari pada apa yang telah dipertunjukkan, kelemahan seorang pemimpin yang kharismatik mengenai pusat yang telah dilemahkan seperti yang dipikirkan oleh orang Jawa.
Oleh karena itu, menjadi menarik dalam kontestasi pemilu 2014, setiap calon penguasa yang akan bertarung dalam kontestasi politik juga tidak lupa akan konsep-konsep kekuasaan Jawa. Bagaimana konsep menghimpun kekuasaan daripada menggunakan bisa diterapkan sebagai tindakan politik untuk memenangkan pertarungan.

DAFTAR PUSTAKA
Pangi Syarwi Chaniago_ Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa.html
Philosopheryn Jurnal_ “Pemikiran Tradisionalisme Jawa _ Konsepsi Kekuasaan Jawa dan Kekinian”.html

Add your comment