Sejarahku

selamat datang pejuang bangsa !

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Kehidupan Kaum Tionghoa Masa Kolonial hingga Orde Baru di Semarang

Posted by Mugiarto Raharjo On December - 1 - 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad ke 17, Belanda mulai menduduki sebagian daerah Semarang dan mendirikan Tangsi militernya ditepi timur muara kali Semarang. Pertengahan abad 17 Belanda menarik tol bagi semua kapal yang masuk kali Semarang, hal ini tentu menjadi beban bagi masyarakat Tionghoa yang tinggal di Simongan yang jauh dihilir sungai. Kemudian menimbulkan reaksi masyarakat Tionghoa menyerang tangsi militer Belanda, namun tentara Belanda berhasil mengalahkan mereka. Semenjak itu, masyarakat Tionghoa yang kalah perang dipindahkan dari Simongan ke arah utara, di sisi timur sungai dekat tangsi militer Belanda. Sehingga dengan mudah dapat mengawasi kegiatan mereka. Pada saat pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, secara umum terjadi segregasi etnis yaitu dengan menetapkan pembagian masyarakat di daerah jajahannya dalam tiga golongan yaitu golongan masyarakat Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Pribumi.
Pemukiman berdasarkan etnis secara lebih tegas ditetapkan dengan tujuan politis, yaitu antara lain dengan diberlakukannya officieren pada tahun 1672 (mengangkat pejabat/kapiten dari kelompok-kelompok etnis untuk mengatur masyarakat dan menjadi perantara bila ada masalah-masalah yang terjadi dalam kelompok etnisnya dengan pemerintah kolonial), wijkenstelsel pada tahun 1841-1915 (penentuan pemukiman untuk kelompok-kelompok etnis), passenstelsel pada tahun 1863 (pass/surat jalan).
Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap Republik Rakyat Tiongkok dan dijalinnya hubungan diplomatik pada tahun 1950 membuat orang Tionghoa yang tidak pro komunis Tiongkok dan kelompok anti-komunis Indonesia menjadi takut bahwa warga keturunan Tionghoa akan menjadi agen dari komunis Tiongkok. Pada bulan agustus taun 1951 ada tingkatan yang dikenal dengan Razia Sukiman . Memasuki periode 1960-an, sikap presiden Soekarno terhadap keturunan Tionghoa menjadi pasif.
Keterlibatan politik keturunan Tionghoa menjadi masif sejak awal 1960-an, yaitu dengan semakin besarnya organisasi Baperki. Ada fakta bahwa di kalangan kaum keturunan Tionghoa ternyata secara politik terbagi menjadi dua kelompok, kelompok Kiri yang dekat dengan PKI dan Soekarno serta kelompok yang dekat dengan Angkatan Darat, musuh-musuh PKI dan Soekarno. Kelompok yang dekat dengan Soekarno adalah warga keturunan Tionghoa yang tergabung dalam Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), yang waktu itu berkiblat pada RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kubu satunya adalah LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Baperki secara jelas sangat dekat dengan kelompok komunis, sedangkan LPKB sangat dekat dengan kelompok anti-komunis dan Angkatan Darat.
Pemerintah Orde Baru waktu itu meragukan nasionalisme keturunan Tionghoa. Mereka dicurigai secara politis masih berorientasi ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) meskipun sudah turun-temurun tinggal di Nusantara. RRT dituding telah ikut membesarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan punya andil dalam gerakan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Itu pula yang menjadi salah satu alasan pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan RRT pada tahun 1967.
Pada awal orde baru Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia. Tujuannya adalah lewat asimilasi, semua komunitas keturunan Tionghoa sebagai komunitas yang terpisah akan lenyap. Adapun isi instruksi tersebut adalah “ tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadah Tionghoa yang memiliki aspek kultural pada negeri leluhur. Pelaksanaanya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan, perayaan pesta agama dan adat istiadat Tionghoa dilakukan tidak mencolok didepan umum, tetapi dilakukan dilingkungan keluarga saja”.
kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa di Pecinan Semarang mengalami masa-masa kehidupan yang memilukan. Keluarnya peraturan dan undang-undang yang diskriminatif itu membuat kelompok keturunan Tionghoa mempunyai ruang kebebasan yang sangat sempit. Segala yang berhubungan dengan upacara ritual keagamaan, adat istiadat, kebudayaan Tionghoa seperti pertunjukan barongsai, arak-arakan toapekong, wayang potehi, dan perayaan Imlek dirayakan dalam lingkungan interen atau keluarga saja. Sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Tionghoa pun ditutup. Kehidupan mereka yang semestinya ditandai oleh pesta-pesta dari tradisi mereka, tidak ada lagi.
Dampak dari kebijakan Orde Baru ini selama 30 tahun masyarakat keturunan Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaan mereka sendiri. Sikap diskriminatif yang mereka terima baik secara politik maupun sosial, membuat sebagian warga keturunan Tionghoa merasa perlu menyamarkan identitas etnik dan kebudayaan mereka hanya agar bisa tetap survive di tengah – tengah masyarakat Indonesia. Antara lain dengan mengganti nama Tionghoa mereka dengan nama Indonesia. Untuk tujuan sama, sebagian secara resmi juga meninggalkan ajaran Khonghucu warisan orang tua dan memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah. Situasi berubah setelah runtuhnya rezim Soeharto.
Begitu Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh pada 21 Mei 1998, orang-orang Tionghoa seakan-akan terlepas dari sebuah rantai belenggu besar. Orang-orang keturunan Tionghoa mengalami kebebasan dan kemerdekaan, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk. Begitu pula orang-orang keturunan Tionghoa, yang selama 30 tahun itu mengalami pembatasan dan pembelengguan atas hak-hak mereka. Tahun baru Imlek menjadi hari libur fakultatif (Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2001) dan dua tahun kemudian Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kesenian seperti Barongsai dan liong bangkit lagi dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa di Semarang masa kolonial ?
2. Bagaimana kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa di Semarang selama orde baru ?
3. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tionghoa di Semarang pasca orde baru ?
C. Tujuan
1. Mengetahui kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa di Semarang masa kolonial
2. Mengetahui kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tionghoa di semarang selama orde baru.
3. Mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tionghoa di Semarang pasca orde baru.

D. Manfaat
Bedasarkan tujuan diatas diharapkan penelitian ini dapat menuai manfaat yang besar bagi pembaca antara lain :
1. Menambah pengetahuan tentang kehidupan rakyat Tionghoa di semarang dari masa kolonial hingga orde baru.
2. Menjadikan refresensi bagi peserta didik untuk memperoleh informasi tentang kehidupan rakyat Tionghoa di Semarang dari masa kolonial hingga masa orde baru.

E. Ruang Lingkup
Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan ruang lingkup tempat (spasial) dan waktu (temporal). Ruang lingkup spasial yang penulis pilih yaitu masyarakat pecinan Semarang merupakan sekumpulan masyarakat keturunan Tionghoa yang bermukim di kawasan kota lama Semarang. Sedangkan ruang lingkup temporal dalam penelitian ini adalah masa kolonial hingga orde baru. Penulis memilih ruang lingkup temporal tersebut, karena pada kurun waktu tersebut mulai adanya perubahan kehidupan rakyat Tionghoa di Semarang.

F. Basatan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian. Penulis menjelaskan terlebih dahulu mengenai judul penelitian “ Kehidupan Sosial ekonomi masyarakat Tionghoa masa kolonial hingga Orde Baru” yaitu :
1. Kehidupan sosial ekonomi
Yang dimaksud kehidupan dalam penelitian ini adalah wujud nyata dari interaksi yang terjadi pada saat itu. Serta bentuk sosialisasi dan kondisi ekonomi pada masa itu.
2. Masyarakat Tionghoa
Yang dimaksud masyarakat Tionghoa yaitu keturunan cina yang tinggal di Indonesia, khususnya di Kota Semarang.
3. Masa kolonial hingga Orde Baru
Masa Kolonial hingga Orde Baru merupakan ruang lingkup temporal yang penulis pilih dalam penelitian
4. Di Semarang
Merupakan kota dimana peneliti melakukan penelitian
G. Kajian Pustaka
Pada penelitian ini, tentunya tidak lepas dari studi kepustakaan. Tujuan pustaka ini sebagai upaya mempelajari bagaimana kerangka pemikiran selanjutnya terhadap permasalahn yang ditulis. Terutama yang berkaitan masyarakat pecinan di Semarang. Sumber yang mendukung tentang judul diatas adalah sebuah skripsi karya Intan Fajarwati. Skripsi ini membahas tentang kehidupan masyarakat pecinan di Semarang. buku karangan Pratiwo yang berjudul “arsitektur tradisional TIONGHOA dan perkembangan kota”. Selain itu juga menggunakan sumber artikel internet yang berkaitan dengan judul sebagai pelengkap atau pembanding.
H. Sistematika penulisan
Terdiri atas empat bab, yaitu :
Bab 1 terdiri dari :
a. Latar Belakang
b. Rumusan masalah
c. Tujuan
d. Manfaat
e. Ruang Lingkup
f. Kajian pustaka
g. Sistematika Penulisan
h. Metode Penelitian

Bab II terdiri dari :
Sekilas tentang masyarakat pecinan di Semarang
Bab III terdiri dari :
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pecinan semarang masa kolonial
Bab IV terdiri dari :
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pecinan Semarang masa orde baru (1966-1998)
Bab V terdiri dari :
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pecinan Semarang pasca orde baru
Bab VI terdiri dari :
a. Kesimpulan
b. Saran
I. Daftar pustaka
Skripsi Intan Fajarwati
Artikel Internet tentang masyarakat pecinan di Semarang
Buku yang berjudul Arsitektur Tradisional TIONGHOA dan Perkembangan Kota

BAB II
Sekilas Tentang Masyarakat Pecinan Semarang
Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki beragam budaya. Peninggalan buadaya Eropa dapat kita saksikan di kawasan kota lama melalui bangunanya yang khas. Dikawaan kota lama terdapat sebuah permukiman masyarakat keturunan Tionghoa. Tepatnya di kawasan Pecinan yang terletak di kelurahan kranggen. Pada awal kedatangannya masyarakat Tionghoa tinggal di gedung batu, Simongan. Pemberontakan orang Tionghoa terhadap Belanda di Batavia pada tahun 1740 ternyata merembet sampai Semarang. Tahun 1743 pemberontakan dapat dipadamkan, orang Tionghoa yang selamat melarikan diri ke Semarang dan bermukim di Gedung batu. Masyrakat Tionghoa kembali melakukan perlawanan namun berhasil ditumpas Belanda. Ketakutkan belanda terhadap kaum Tionghoa inilah yang mengakibatkan Belanda memindahkan kaum Tionghoa ke kawasan kota lama. Karena disitu dekat dengan Tangsi Militer Belanda sehingga Belanda dapat dengan mudah mengawasi pergerakan masyarakat Tionghoa.
Kepindahan ini berpengaruh terhadap masyarakat Tionghoa terhadap kegiatan peribatan mereka. Untuk pergi ke klenteng Agung sam poo kong mereka harus berjalan kaki sejauh 4 kilometer. Belum lagi harus membayar pajak besar kepada johanes, tuan tanah Yahudi yang menguasai Gedung batu pada waktu itu. Dari situlah masayarakat Tionghoa kemudian mendirikan kelenteng dikasawan pecinan. Salah satu klenteng bersejarah adalah klenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang Lombok. Klenteng yang dibangun pada tahun 1746 tidak hanya sebagai tempat beribadah melainkan juga tempat bersosialisai etnis Tionghoa.

Gambar 1. Klenteng Tay Kak Sie
Keberadaan klenteng-klenteng tersebut merupakan salah satu keunikan yang dimiliki Pecinan Semarang dibandingkan dengan kawasan Pecinan lain di nusantara. Bahkan ada yang menyebut kawasan Pecinan di Semarang sebagai surganya Pecinan di Indonesia dengan eksotika 1001 klenteng dimana hampir di setiap ujung gang di kawasan ini terdapat kelenteng yang masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri. Selain keberadaan klenteng, keunikan lain adalah masih banyak ditemukannya bangunan tempat tinggal yang bercorak ke-Cinaan dengan bentuk atapnya yang khas dan ornamen-ornamen detail lainnya seperti bentuk konsol, daun pintu dan jendela. Ditinjau dari aspek struktur morfologinya Kawasan Pecinan Semarang yang merupakan kawasan hunian padat menunjukkan pola grid yang masih jelas dan tipologi kawasan ini menunjukkan dengan jelas sebagai kawasan perdagangan (the Chinnese business districts) (Kurniati, 2001: 30).
Kawasan Pecinan Kota Semarang tidak hanya kaya dari segi arsitekturnya yang khas seperti bangunan klenteng, namun sekaligus kaya juga dengan berbagai atraksi budaya atau festival seperti Festival Sam Po, serta nuansa dan keberadaan pasar-pasar eksklusif di sekitar Gang Baru. Dikaitkan dengan kondisi yang ada sekarang fungsi kawasan Pecinan sebagai kawasan preservasi atau cagar budaya mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata terutama wisata budaya sehingga selain dapat mempertahankan fungsinya sebagai cagar budaya juga dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai tempat rekreasi alternatif, yaitu alternatif objek wisata yang sifatnya tradisional, orisinil dan unik serta sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Sebagai sebuah kawasan yang pernah menjadi pusat perdagangan dan jasa kaum Tionghoa pada jaman dahulu. Pecinan Semarang mempunyai potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat kuat. Kawasan ini sudah di pertegas oleh Pemerintah Kota Semarang masuk dalam daftar kawasan revitalisasi melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No. 650/157 tanggal 28 juni 2005 mengatur tentang Revitalisasi kawasan pecinan dan sekaligus sebagai pusat wisata budaya Tionghoa di Kota Semarang. Pada tanggal 3 Januari 2005 diresmikan Gapura Pecinan Semarang (San Bao Long Tang Ren Jie) yang terletak di perempatan jalan Beteng, Jalan Gang warung, Jalan pedamaran dan Jalan Wahid Hasyim (kranggan). Batas Wilayah Kawasan Pecinan: Batas Utara : Jl. Gang Lombok (Klenteng Tay Kak Sie) ; Batas Timur : Kali Semarang; Batas Selatan : Kali Semarang, Jl. Sebandaran I; Batas Barat : Jl. Beteng

Gambar 2. Peta Kawasan Pecinan Semarang

Untuk dapat mencapai kawasan Pecinan ini setidaknya ada 4 jalan utama yang langsung membawa Anda berada di kawasan Pecinan Semarang, yaitu :
1 dari Jalan KH. Agus Salim (Jurnatan) masuk ke Jalan Pekojan akan tembus ke Jalan Gang Pinggir
2. dari Jalan Jagalan ke jalan Ki Mangunsarkoro tembus ke Jalan Gang Pinggir
3. dari Jalan Gajahmada ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan) lalu masuk lewat Jalan Beteng
4. dari Jalan Gajahmada ke jalan Wotgandul lalu lewat Jalan Wotgandul Timur
Kawasan Pecinan Semarang terkenal sebagai Kawasan Pecinan dengan bermacam-macam kelenteng yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri:
1. Kelenteng Siu Hok Bio (1753) – Jl. Wotgandul Timur No.38
2. Kelenteng Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa (1756) – Jl. Gang Pinggir No.105-107 (menghadap Jl. Sebandaran)
3. Kelenteng Tay Kak Sie (1771) – Jl. Gang Lombok No.62
4. Kelenteng Kong Tik Soe, bagian dari Kelenteng Tay Kak Sie (1771)- Jl. Gang Lombok No. 62
5. Kelenteng Hoo Hok Bio (1779) | Jl. Gang Cilik No. 7
6. Kelenteng Tong Pek Bio (1782) – Jl. Gang Pinggir No.70
7. Kelenteng Wie Hwie Kiong (1814) – Jl. Sebandaran I No.26
8. Kelenteng Ling Hok Bio (1866) – Jl. Gang Pinggir No.110 (menghadap Jl. Gang Besen)
9. Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong (1881) – Jl. Sebandaran I No.32
10. Kelenteng Hian Thian Siang Tee, berada di daerah Grajen yang terletak dekat kawasan Pecinan Semarang – J. Grajen Karanglo No. 203
Kawasan Pecinan Semarang memiliki beberapa aktifitas masyarakat yang dapat dikatakan semua masyarakat kota Semarang mengetahuinya, seperti:
• Pasar tradisional Gang Baru, dinamakan sesuai nama jalan itu sendiri dan terletak diantara jalan Wotgandul dan jalan Gang Warung, pasar Gang Baru dapat dikunjungi setiap hari di pagi hari mulai pukul 05.00 sampai selesai.
• Waroeng Semawis, aktivitas wisata kuliner di semarang, dimana aneka jajanan makanan dan minuman dijajakan sepanjang jalan Gang Warung yang berlangsung setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu mulai sore hari pukul 18.00 – 23.00 WIB.
• Pasar Imlek Semawis, kegiatan event ini masuk dalam agenda tahunan wisata kota Semarang dan diadakan selama 3 hari dalam rangka menyambut tahun baru Imlek.
Kawasan Pecinan Semarang ini berdekatan dengan Kawasan Kota Lama Semarang (Little Netherlands), Komplek Jurnatan (pusat perdagangan di kota Semarang), dan Pasar Tradisional Johar (salah satu bangunan karya Herman Thomas Karsten yang memiliki desain arsitektur terbaik waktu itu).

BAB III
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Semarang
Masa Kolonial
a. Kehidupan Sosial
Di masa kolonial, Belanda mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar kapiten Cina yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunita Tionghoa. Pada tahun 1740 di Batavia masyarakat Tionghoa menyerang Belanda karena merasa tidak puas dengan kebijakan yang diberikan Belanda. Di tahun 1743 kembali melakukan perlawanan di Semarang namun kembali berhasil ditaklukan oleh Belanda. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan beberapa kali masyarakat Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan masal atau penjarahan.
Dalam rangka pelaksanaan politik etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passentelsel.
Pada masa wijkenstelsel dan passenstelsel setiap tindakan yang dilakukan etnis Cina selalu mendapat pengintaian dan pengawasan serta rintangan dari Pemerintah. Orang-orang Cina diwajibkan untuk membawa obor atau lentera ketika keluar rumah sesudah jam 19.30 sore. Siapa saja yang berani melanggarnya maka mereka akan ditangkap dan ditahan kemudian dibawa meghadap ke pengadilan politie rol. Disana nasib mereka akan ditentukan apakah dijebloskan ke penjara atau dikenakan denda. Peraturan-peraturan di atas sangat merugikan orang Cina. Passenstelsel sengaja diberlakukan untuk orang-orang Cina oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membatasi ruang gerak mereka.

b. Kehidupan Ekonomi
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.
Pada masa kekuasaan VOC (1678-1799), pendatang dari Cina mendominasi perdagangan. Mereka menguasai perdagangan dari pedalaman ke Kota Semarang, dan melakukan perdagangan impor dari negeri asalnya melalui Batavia. Berakhirnya pemerintahan VOC dan digantikan pemerintahan Hindia Belanda, peran pedagang Cina tetap unggul dan tidak tergoyahkan.
Pada tahun 1825-1830 terjadi perlawanan Diponegoro yang mengakibatkan hancurnya keuangan Belanda. Kerugian yang besar dalam menghadapi perlawanan dan kas Belanda yang mengalami kekacauan membuat pemerintah Belanda tidak mau terjadi perlawanan yang lebih besar lagi. Oleh sebab itu, kemudian pemerintah kolonial Belanda menutup akses hubungan berbagai etnis dengan memberlakukan suatu sistem yang sangat merugikan terutama untuk orang-orang Cina.
Keadaan yang lebih tidak menguntungkan lagi ketika pada tahun 1870 ditetapkan Undang-Undang Agraria yang melarang orang-orang bukan pribumi untuk memiliki tanah pertanian. Peraturan ini semakin menyulitkan orang-orang Cina dalam bekerja dalam bidang pertanian hasil bumi. Di tahun 1816 dikeluarkan sebuah surat keputusan yang mengharuskan setiap orang yang akan mengadakan perjalanan di Jawa mempunyai surat pas.
Pemberlakuan sistem wijkenstelsel dan passenstelsel mengakibatkan banyak imigran baru dari negeri Cina yang datang ke Jawa awal abad ke-19 dan tinggal di desa bersama masyarakat pribumi, harus pindah ke kampung pecinan yang diperluas ke utara. Mereka harus membawa surat jalan agar bisa bepergian keluar dari pecinan. Akibatnya pecinan menjadi semakin padat dan tidak sehat lingkungannya.
Surat keputusan ini tentu saja sangat menyakiti hati orang-orang Cina dan terutama akan menghalangi perdagangan mereka. Dalam bidang perekonomian, sejak masa berlakunya sistem liberal menunjukkan suatu perkembangan yang pesat sekali khususnya dalam bidang perkebunan. Hal ini tidak berlaku untuk etnis Cina, pemberlakuan sistem wijkenstelsel yang memisahkan permukiman Cina membuat orang-orang Cina tidak bebas bergerak. Walaupun orang-orang Cina pada waktu itu tetap berperan dalam perekonomian, tetapi ketidakleluasaan membuat peranan orang-orang Cina tidak begitu maksimal.
Peraturan pemerintah yang merugikan orang-orang Cina tidak hanya peraturan pemisahan permukiman atau wijkenstelsel (1816) dan peraturan surat pas jalan atau passenstelsel (1835) saja. Selain kedua peraturan tersebut, ada beberapa peraturan lain seperti larangan untuk menjalankan perdagangan primer (1804), kewajiban untuk melapor (1838), pembatasan-pembatasan imigrasi (1837), larangan mencari nafkah dari hasil tanah pada tahun 1823, dan catatan sipil untuk golongan Timur Cina (1917-1930). Peraturan-peraturan tersebut sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk membatasi ruang gerak orang-orang Cina.

BAB IV
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Semarang
Selama Orde Baru (1966-1998)
A. Kehidupan Sosial Masyarakat Tionghoa di Semarang selama Masa Orde Baru
Masa orde baru merupakan masa kelam bagi masyarakat keturunan Tionghoa. Bagai hidup di dalam jeruji besi, tak mampu bebas berekspresi. Melakukan ibadah pun tak bebas, tidur tak nyenyak, makan tak nyaman. Mungkin seperti itulah gambaran kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa pada masa itu. Tidak hanya di Semarang tapi juga di kota kota lain. Semua itu karena Agama yang mereka anut tidak diakui oleh Pemerintahan Orde Baru. Tidak hanya itu masyarakat Tionghoa juga dituding oleh masyarakat dan pemerintah terlibat dalam peristiwa Gestapu oleh PKI.
Banyak masyarakat Tionghoa yang ditangkap dan kemudian dibunuh. Pemerintah pada masa Orde Baru mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat dikriminatif. Salah satunya adalah instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang intinya berupa pembatasan segala hal yang berkaitan dengan budaya dan kepercayaan keturunan Tionghoa di muka umum. Pemerintah Orde Baru juga menegaskan kepada keturunan Tionghoa agar berbaur atau beraslimilasi dengan penduduk asli Indonesia. Asimilasi terhadap keturunan Tionghoa berdampak pada kebudayan mereka yang tidak boleh dipertunjukan kepada masyarakat umum, hanya untuk keluarganya saja dan tidak boleh ditampilkan secara meriahdi depan umum. Karena dapat menghambat proses asimilasi. Akan tetapi masyarakat Tionghoa berusaha untuk mematuhi peraturan pemerintah tersebut. Mereka melakukan sembahyang, ritual keagamaan, serta mempertunjukan kesenian Tionghoa dilingkungan intern atau keluarga saja.

B. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Tionghoa Selama Orde Baru
Dalam bidang ekonomi, pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan kepada keturunan Tionghoa untuk mengembangkan usahanya dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta pembangunan Indonesia. Akan tetapi, hal ini dirasa oleh keturunan Tionghoa masihada unsur diskriminasi dan eksploitasi secara tidak langsung yang dimanfaatkan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa Orde Baru adalah masa kejayaan para pengusaha, pelaku perekonomian atau para pebisnis keturunan Tionghoa. Akan tetapi apabila dilihat dari sisi lain, mereka berjuang dan memulai bisnisnya ditengah-tengah peraturan yang mengekang mereka.

BAB V
Kehidupan Setelah Masa Orde Baru Berakhir
a. Kehidupan Sosial
Masa kelam berpuluh- puluh tahun lamanya di rasakan oleh masyarakat Tionghoa akhirnya berakhir berbarengan dengan berakhirnya masa Orde Baru. “Setelah 30 tahun lamanya, masyarakat Tionghoa dapat kembali menghirup udara segar”, begitulah yang dikatakan bapak Bejo Santoso (70). Kehidupan kami kembali normal setelah masa Orde Baru berakhir, lanjutnya. Beliau mengaku merasakan kembali udara segar yang selama ini tak ditemuinya. Klenteng – klenteng yang dahulu diutup hanya untuk keluarga saja, kini sudah dibuka untuk umum. Sehingga membuat mereka dapat berkomunikasi dan bersosialisasi kembali. Pada masa pemerintahan presiden Gus Dur masyarakat Tionghoa seolah-olah mendapatkan pengakuan atas agama yang dianutnya. Bahkan hari beasrnya pun dijadikan sebagai hari libur nasional. “saya senang karena pada Gus Dur jadi presiden terdapat toleransi beragama, kami jadi bebas melakukan sembahyang tanpa adanya kekanganan”. Ujarnya.

b. Kehidupan Ekonomi
Perdagangan yang dilakukan oleh etnis Cina membawa pengaruh yang besar bagi pembangunan Kota Semarang. Pembangunan Kota Semarang tidak pernah lepas dari peran serta kaum pedagang dan industri, terutama orang Cina dan Asia Timur lainnya. Setelah itu bangsa Eropa yang kemudian datang ke Semarang. Bangunan-bangunan di kota lama baik itu di Semarang ataupun di kota-kota lain di Jawa menjadi saksi bahwa perdagangan mampu menciptakan sebuah kota dagang yang besar.
Pelabuhan Semarang semakin memiliki posisi yang penting pada awal abad ke-20 karena meningkatnya sektor perdagangan ekspor dan impor. Pada masa itu, barang-barang yang diekspor dari pelabuhan Semarang antara lain: gula, kopi, tembakau, kulit, kopra, tapioka, kayu, karet, rempah-rempah, dan hasil industri kerajinan dari seluruh penjuru Jawa Tengah serta beberapa pulau lain seperti Kalimantan, Lampung, dan Bengkulu. Barang-barang tersebut ditumpuk terlebih dahulu di gudang-gudang pelabuhan, kemudian didistribusikan ke pasar dunia seperti Singapura, Amerika, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Sejak dulu orang Cina memainkan peranan yang sangat penting dalam perdagangan ekspor. Gula merupakan hasil utama yang di ekspor ke berbagai negara seperti Tiongkok, Hongkong dan Singapura. Orang-orang Cina mendirikan pabrik-pabrik gula untuk mengolah gula bagi keperluan penduduk setempat dan untuk di ekspor.
Peranan orang Cina dalam perdagangan Impor di Jawa sangat terbatas. Sebagai tangan pertama mereka membatasi pemasukan barang-barang dari Tiongkok yang jumlahnya sangat kecil. Barang-barang impor dari Tiongkok antara lain seperti rokok, buah-buahan dalam kaleng, makanan dari Tiongkok, tekstil, korek api, kertas dan sebagainya. Orang Belanda menguasai bidang perkapalan dan usaha ekspor-impor. Selain itu mereka juga memungut pajak dan bea dari beberapa tempat di dalam jaringan perdagangan tersebut. Orang-orang Cina juga dipekerjakan sejak tahun 1860-an sampai 1930-an, sebagai buruh di perkebunan dan pertambangan yang menghasilkan komoditi untuk pasaran Eropa.

BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan
Pada awal abad ke 17, Belanda mulai menduduki sebagian daerah Semarang dan mendirikan Tangsi militernya ditepi timur muara kali Semarang. Pertengahan abad 17 Belanda menarik tol bagi semua kapal yang masuk kali Semarang, hal ini tentu menjadi beban bagi masyarakat Tionghoa yang tinggal di Simongan yang jauh dihilir sungai. Kemudian menimbulkan reaksi masyarakat Tionghoa menyerang tangsi militer Belanda, namun tentara Belanda berhasil mengalahkan mereka. Semenjak itu, masyarakat Tionghoa yang kalah perang dipindahkan dari Simongan ke arah utara, di sisi timur sungai dekat tangsi militer Belanda. Sehingga dengan mudah dapat mengawasi kegiatan mereka.
Di masa kolonial, Belanda mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar kapiten Cina yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunita Tionghoa. Pada tahun 1740 di Batavia masyarakat Tionghoa menyerang Belanda karena merasa tidak puas dengan kebijakan yang diberikan Belanda. Di tahun 1743 kembali melakukan perlawanan di Semarang namun kembali berhasil ditaklukan oleh Belanda. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan beberapa kali masyarakat Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan masal atau penjarahan.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.
Pada masa kekuasaan VOC (1678-1799), pendatang dari Cina mendominasi perdagangan. Mereka menguasai perdagangan dari pedalaman ke Kota Semarang, dan melakukan perdagangan impor dari negeri asalnya melalui Batavia. Berakhirnya pemerintahan VOC dan digantikan pemerintahan Hindia Belanda, peran pedagang Cina tetap unggul dan tidak tergoyahkan.
Pada awal Orde Baru (1966-1998), Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia. Tujuannya adalah lewat asimilasi, semua komunitas keturunan Tionghoa sebagai komunitas yang terpisah akan lenyap. Kebijakan pada rezim Soeharto itu dilakukan melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967. Adapun isi instruksi tersebut adalah “tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki aspek kultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan; perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Tionghoa dilakukan secara intern atau keluarga saja.
Situasi berubah setelah runtuhnya rezim Soeharto. Begitu Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh pada 21 Mei 1998, orang-orang Tionghoa seakan-akan terlepas dari sebuah rantai belenggu besar. Orang-orang keturunan Tionghoa mengalami kebebasan dan kemerdekaan, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk. Begitu pula orang-orang keturunan Tionghoa, yang selama 30 tahun itu mengalami pembatasan dan pembelengguan atas hak-hak mereka. Tahun baru Imlek menjadi hari libur fakultatif (Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2001) dan dua tahun kemudian Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kesenian seperti Barongsai dan liong bangkit lagi dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia.
Perdagangan yang dilakukan oleh etnis Cina membawa pengaruh yang besar bagi pembangunan Kota Semarang. Pembangunan Kota Semarang tidak pernah lepas dari peran serta kaum pedagang dan industri, terutama orang Cina dan Asia Timur lainnya. Setelah itu bangsa Eropa yang kemudian datang ke Semarang. Bangunan-bangunan di kota lama baik itu di Semarang ataupun di kota-kota lain di Jawa menjadi saksi bahwa perdagangan mampu menciptakan sebuah kota dagang yang besar.
Pelabuhan Semarang semakin memiliki posisi yang penting pada awal abad ke-20 karena meningkatnya sektor perdagangan ekspor dan impor. Pada masa itu, barang-barang yang diekspor dari pelabuhan Semarang antara lain: gula, kopi, tembakau, kulit, kopra, tapioka, kayu, karet, rempah-rempah, dan hasil industri kerajinan dari seluruh penjuru Jawa Tengah serta beberapa pulau lain seperti Kalimantan, Lampung, dan Bengkulu.

DAFTAR PUSTAKA
Pratiwo, “arsitektur tradisional TIONGHOA dan perkembangan kota”, yogyakarta : ombak
Fajarwati Intan. 2010. “kehidupan masyarakat Tionghoa Semarang”.semarang : skripsi
Artikel intenet “PENGEMBANGAN PECINAN SEMARANG SEBAGAI
KAWASAN WISATA WARISAN BUDAYA BERDASARKAN
PERSEPSI MASYARAKAT SETEMPAT” diunduh tanggal 13 juni 2015 jam 9.42
Artikel internet “Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Kolonial di Hindia Belanda” di unduh tanggal 13 juni 2015 jam 10.00

kekuasaan jawa

Posted by Mugiarto Raharjo On December - 1 - 2015

MAKALAH
KEKUASAAN JAWA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Guna memenuhi tugas mata kuliah sejarah politik
Dosen pengampu :
Bapak Ibnu Sodiq
Bapak Hamdan Tri Atmaja

Oleh :
Mugiarto Raharjo
3101413093
Pend. Sejarah / R.2

Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep-konsep tentang kekuasaan oleh konsepsi Jawa berbeda secara radikal , beberapa filusuf yang telah menuangkan pemikirannya tentang kekuasaan adalah Machevelli dan Hobbes, para pemikir barat ini lebih fokus kepada, sifat, sumber dan pengunaan kekuasaan. Untuk menjelaskan kekuasaan Jawa mungkin tidak mudah, kalau berbicara pada kekuasaan yang dibandingkan dengan konsep Eropa moderen dapat disimpulkan dibawah empat judul yakni kekusaan itu bersifat abstrak, sumber bersifat heterogen, akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inheren, tidak mensoalkan keabsahan. Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik yang berasal dari nusantara sendiri.
Tradisionalisme Jawa, sesuatu yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik.
Konsepsi kekuasaan Jawa dalam perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan. munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya, Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa, yang menekankan dimensi ngalah, linuwih, lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsepsi kekuasaan Jawa ?
2. Bagaimankan Pemikiran Tradisionalisme Jawa ?
3. Bagaimanakah Kekuasaan Jawa kekinian ?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsepsi kekuasaan Jawa
2. Mengetahui Pemikiran Tradisionalisme Jawa
3. Mengetahui Kekuasaan Jawa kekinian

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep kekuasaan Jawa
Konsep-konsep tentang kekuasaan oleh konsepsi Jawa berbeda secara radikal , beberapa filusuf yang telah menuangkan pemikirannya tentang kekuasaan adalah Machevelli dan Hobbes, para pemikir barat ini lebih fokus kepada, sifat, sumber dan pengunaan kekuasaan. Untuk menjelaskan kekuasaan Jawa mungkin tidak mudah, kalau berbicara pada kekuasaan yang dibandingkan dengan konsep Eropa moderen dapat disimpulkan dibawah empat judul
Pertama, kekusaan itu bersifat abstrak , kekuasaan itu tidak ada, kekuasaan itu biasannya untuk menerangkan suatu hubungan atau lebih, seperti menjelaskan kewibawaan atau keabsahaan, maka kekuasaan abstraksi, sesuatu rumusan dengan pola-pola interaksi sosial yang suatu kebetulan sedang diamati. Jadi biasannya kita menyimpulkan kekuasan itu ada dalam berbagai macam keadaan, dimana dalam suatu kegiatan orang patuh terhadap kemauan orang lain, baik secara sukarela maupun tidak. Kita dapat melihat kekuasaan itu sendiri ketika terjadi interaksi hubungan sebab akibat antara perintah dan pelaksanaannya.
Kedua,sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen, karena kekuasaan dapat disimpulkan dalam pola-pola hubungan sosial tertentu, sehingga banyak para filusuf barat kemudian memikirkan klatifikasikan dan menganalisis pola-pola hubungan-hubungan ini. Mencurahkan pemikirannya bagaimana kemudian membedakan berbagai sumber kekuasaan. Maka orang barat telah menerima sumber kekuasaan itu sendiri berupa harta kekayaan, status sosial, jabatan formal atau organisasi, senjata, jumlah penduduk dan sebagainya.
Ketiga,akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inheren, kerena kekuasaan hanya mengambarkan suatu abstraksi yang mengambarkan hubungan tertentu antara manusia, maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Orang Barat mengangap kekuasaan mencakup senjata, kekayaan, organisasi dan teknologi maka mereka harus mengakui bahwa sekurang kurangnya dalam akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya.
Keempat,tidak mempersoalkan keabsahan, karena kekuasaan dari dahulu berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu lebih dahulu dari pada masalah- masalah buruk atau baik, menurut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak kekuasaan berasal dari sumber-sumber kekuasaan yang berbeda, kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada kekayaan adalah absah, sedangkan kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada senjata adalah tidak absah. Jadi orang Jawa memandang kekuasaan bersifat konkrit, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, yang tidak memunculkan implikasi moral yang inheren.
Mencari Kekuasaan, kekuasaan tidak hanya berbicara bagaimana mengunakan kekuasaan, melainkan bagaimana menghimpunnya, sebagian besar kepustakaan tradisional lebih mengutamakan bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, dari pada masalah bagaimana mengunakannya dengan wajar, di Jawa kekuasaan dapat diperoleh dengan mempraktekkan yoga dengan cara berpuasa, tidak tidur, bersemadi dan tidak melakukan hubungan suami istri, pemurnian ritual untuk menyempurnakan sesajian. Semuannya untuk memusatkan dan memfokuskan kekuasaan. Orang percaya para pembuat keris, legendaries zaman dahulu mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi, dengan pamornya yang indah dengan panas yang terpusat pada ibu jari mereka , dalam cerita wayang pada bagian gara- gara yang khas dimana orang pertapa tidak dikenal namanya bersemedih maka perwujudan yang paling menyolok dari kosentrasinya adalah, seperti yang dikatakan para dalang , lautan mulai mendidih dan bergolak.
Para ortodoks berbiacara tentang jalan kekuasaan, di Jawa juga terdapat keterodoks, seperti pribadi raja Singosari yang terakhir yaitu raja Kertanegara, kekuasaan dicari melalui mabuk- mabukkan, pesta seks, dan pembunuhan ritual (tradisi Bhairavis). Ajaran yang mengikuti hawa nafsu yang secara sistimatis dalam bentuk yang paling ekstrem adalah menghabiskan nafsu itu sendiri, sehingga tidak menghalangi seseorang untuk memusatkan kekusaannya. Menurut tradisi Jawa lama, para penguasa harus mengumpulkan sesuatu yang mengangap atau mempunyai kekuatan, seperti di kraton banyak alat-alat yang dipenuhi oleh banda-benda pusaka, seperti keris tombak, alat-alat musik suci dan lain-lain.
Pratanda-pratanda kekuasaan, sebagai tradisi pemikiran politik Jawa, sebagai pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, bukan pada perbuatan memperlihatkan, pemakaian dan pengunaannya. Pratanda ini dicari orang baik sebagai pemegang kekuasaan maupun didalam masyarakat dimana ia memegang kekuasaanya. Konsep yang penting menurut orang Jawa adalah hubungan batin seseorang dan kemampuan untuk mengendalikan lingkungannya. Jadi pratanda sebenarnya orang yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya untuk berkosentrasi, memfokuskan kekuasaan individunya sendiri, menyerap kekuasaan dan memusatkan dalam dirinya dalam hal-hal yang kelihatannya bertentangan. Para pengamat asing dari pristiwa-pristiwa yang terjadi di Indonesia, sering mengatakan bahwa kegiatan seksual Soekarno yang disebarkan secara luas, kelihatannya tidak merugikan dari segi politik, malah dikatakan orang Jawa merasa memang sudah kodratnya, jika para penguasa bertindak seperti itu, jika analisis diatas memang benar maka aspek-aspek kehidupan pribadi Soekarno tidak diperhatikan dalam perspektif seperti itu. Sebab pratanda-pratanda kejantanan penguasa adalah petunjuk-petunjuk politik bahwa ia masih mempunyai kekuasaan, sebaliknya penurunan menyolok dalam seksual dapat diangap sebagai tanda surutnya kekuasaan dalam hal-hal lain. Istana ketika itu yang selalu menyiarkan kehidupan pribadi Soekarno tidak lebih tujuannya adalah untuk mempertahankan kewibawaaan itu sendiri.
Kekuasaan dan sejarah, pandangan Jawa tradisional tentang sifat dan struktur proses sejarah Sartono mengatakan bahwa perbedaan pokok antara pandangan Jawa tradisional tentang sejarah dan perspektif Barat modern adalah sejarah dipandang sebagain suatu gerakan yang mengikuti garis lurus yang berjalan mengikuti waktu, sedangkan orang Jawa seringkali mengangap sejarah mereka sebagai rangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang. Kesatuan dan pusat, masyarakat yang baik tidak bersifat hirarkis secara ketat, karena hirarkis memerlukan sebuah otonomi pada masa tertentu yang masing-masing berbeda tingkatannya. Cahaya lampu yang berangsur-angsur meredup secara tidak putus-putus dengan semakin jauhnya cahaya tersebut dari bola lampunya, adalah bentuk perumpamaan konsepsi Jawa yang tepat mengenai hubungan pusat dan daerah juga kedaulatan teritorial. Sementara cahayannya tidak berbeda- beda ini menunjukkan homogenitas kekuasaan, maka warna cahaya yang putih yang merupakan persenyawaan sinkritisme dari semua spktrum cahaya itu, melambangkan aspek-aspek yang memperstukan dan memusatkan. Penguasa dan kelas yang berkuasa, structural kekuasaan kerajaan Jawa sebelum masa penjajahan perluasan rumah tangga dan staff pribadi raja, para pejabat diberi kedudukan dan keuntungan yang menyertai pangkat, sebagai anugrah raja dan dapat dipecat dan diberhentikan sekehendak raja. Konsep kawula gusti atau poros gusti, dimana kekuasaan gusti yang tertinggi yaitu yang terdiri dari kelompok gusti yang sampai pada akhirnya kaum petani, jadi status raja jelas berbeda dengan anggota keluarga dekat yang biasa.
Kekuasaan dan etika Jawa tradisional yang terdiri dari priyayi merupakan sebutan paling umum mengandung nilai-nilai etika, sifat dari priyayi untuk membedakan dengan kelompok lain adalah dari kehalusan sifat mereka. Kehalusan jiwa berarti penguasaan diri dan kehalusan penampilan tampan dan bercita rasa, tata krama, dan perasaan peka. Kekebalan yang halus merupakan sifat khas satria yang sangat didambakan, baik sebagai tokoh militer maupun negarawan yang lawannya adalah pamrih yang sangat membahayakan. Sampai hari ini kekusaan kiyai masih kita rasakan di tanah Jawa, sangat dihormati, bahkan berdoa di kuburan kiyai mendapatkan berkah dan bertambah rezeki. Kiyai pernah berkuasa walaupun secara fisik tidak memenuhi syarat untuk berkuasa tapi karena pengaruh kharisma yang dominan, misalnya Gusdus pernah jadi Presiden di negeri ini begitu dihormati dan sanjung, kiyai di terima pemikiranya secara [I]taken for granted[/I] bahkan bekas air basuh kakinya di minum supaya berkah dan sehat, ketika Gusdur meninggal, tanah kuburannya diambil, begitu kuatnya kekuataan spiritual yang berpengaruh di kehidupan Jawa. Kekuasaan ini yang dimiliki oleh kiyai sampai hari ini .
B. Pemikiran Tradisionalisme Jawa
Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik yang berasal dari nusantara sendiri.
Tradisionalisme Jawa, sesuatu yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik.
Tradisi pemikiran politik Jawa secara khas memberikan tekanan kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan dan bukan kepada perbuatan yang memperlihatkan pemakaian atau pengunaanya. Pertanda ini di cari orang baik pada diri pemegang kekuasaan maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan.
C. Kekuasaan Jawa dalam Kekinian
Konsepsi kekuasaan Jawa dalam perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan. munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya, Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa, yang menekankan dimensi ngalah, linuwih, lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
Dalam kepemimpinan SBY, sebagai orang Jawa, lebih memperhatikan dan menggunakan tuntutan politik Jawa dalam pengambilan keputusan. Kekuasaan Jawa juga selalu ditandai oleh upaya konsentrasi kekuasaan. SBY telah sangat jitu mengikuti pola ini dengan mengambil seluruh kuasa yang menyebar di berbagai kekuatan politik. Pilihan SBY untuk mengambil Boediono menjadi Wapres dapat dipahami sebagai usaha untuk menggenggam seluruh kekuatan politik. Berbagi tugas, seperti periode SBY-JK dipastikan sulit muncul karena tak pernah ada dalam konsep budaya kekuasaan Jawa.
Dalam penyusunan Kabinet SBY I dan II, nampak jelas upaya akomodasi terhadap seluruh kekuasaan politik, yang tadinya saling bertentangan. Jika oposisi mau sedikit mengalah, seluruh kekuatan politik akan terkonsentrasi dalam diri SBY seorang. Belum lagi dengan konfrontasi SBY dengan Ketua Umum Partai Demokrat, menunjukkan bahwa kekuasaan itu harus berpusat pada satu orang yakni SBY sendiri. Begitu juga dengan konsep “Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap” dimengerti SBY sebagai langkah bagaimana memperbesar kekuasaan sembari memperkecil kekuasaan pihak lain. Hal ini dilakukan baik itu dengan cara mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik diseberang dirinya masuk dalam lingkaran kekuasaanya dengan imbalan-imbalan yang bervariasi.
SBY merupakan sosok pemimpin yang kharismatik bagi kalangan Jawa, artinya mempunyai kekuasaan dalam arti yang banyak persamaannya dengan yang dipunyai oleh para penguasa tradisional Jawa, yang diangap sebagai pusat pancaran kekuasaan, dan orang yang percaya akan menempelkan kekuasaanya, dari pada tunduk sebagaimana halnya yang dilakukan kepada penguasa rasional legal, kekuasaan lebih nampak dari pada apa yang telah dipertunjukkan, kelemahan seorang pemimpin yang kharismatik mengenai pusat yang telah dilemahkan seperti yang dipikirkan oleh orang Jawa.
Oleh karena itu, menjadi menarik dalam kontestasi pemilu 2014, setiap calon penguasa yang akan bertarung dalam kontestasi politik juga tidak lupa akan konsep-konsep kekuasaan Jawa. Bagaimana konsep menghimpun kekuasaan daripada menggunakan bisa diterapkan sebagai tindakan politik untuk memenangkan pertarungan.

DAFTAR PUSTAKA
Pangi Syarwi Chaniago_ Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa.html
Philosopheryn Jurnal_ “Pemikiran Tradisionalisme Jawa _ Konsepsi Kekuasaan Jawa dan Kekinian”.html

Hello world!

Posted by Mugiarto Raharjo On November - 17 - 2015

Welcome to Jejaring Blog Unnes Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!