Salam Agent of Change! 🙂
Tulisan saya kali ini adalah mengenai refleksi orang jawa . Maksudnya adalah bagaimana kita menjadi jawa, apakah kita sudah pantas disebut dan di akui menjadi orang Jawa yang Njawani? berikut penjelasannya ..
Saya ialah orang Jawa asli. Saya hidup di jawa, dimana saya tinggal di daerah Pemalang yang merupakan bagian dari suku bangsa Jawa yakni Jawa Tengah. Saya di lahirkan dari kedua orang tua saya yang mereka juga berasal dari suku bangsa Jawa. Ibu kandung saya orang Tegal dan Bapak kandung saya asli Grobogan Purwodadi Semarang, Jawa Tengah. Karena saya orang Jawa dan keturunan dari orang jawa dan menetap di jawa, saya telah di ajarkan dan dibimbing oleh kedua orang tua saya tentang bagaimana tata kelakuan, bahasa, rasa hormat, sopan dan santun (etika budaya jawa) serta sampai sekarang saya masih tetap berusaha mempergunakan kebudayaan jawa dan mempertahankan atau menguri-uri kebudayaan Jawa dalam kehidupan saya sehari-hari. Walaupun saya sudah di ajarkan kebudayaan jawa oleh kedua orang tua saya , saya masih belum banyak mengetahui dan mengerti tentang kebudayaan Jawa. Selama ini saya hanya melakukannya saja di dalam kehidupan saya sehari-hari tanpa memperdulikan makna apa dibalik semua pola perilaku yang patut atau pantas dan tidak pantas dalam kehidupan bermasyarakat sebagai orang jawa. Baik dalam hal Religi maupun Etika yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa sendiri.
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya saya mempelajari kebudayaan jawa selama perkuliahan ,pada semester lalu saya mempelajari beberapa mata kuliah yang mempelajari kebudayaan Jawa seperti Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa dan Struktur Masyarakat Jawa. Kemudian pada semester 3 ini saya mendapat kesempatan kembali untuk mempelajari lebih detail dan lebih mendalam tentang semua kebudayaan jawa khususnya Religi dan Etika yang ada di dalam Kebudayaan Jawa dengan mata kuliah religi dan etika jawa. Banyak sekali hal-hal yang masih belum saya mengerti dan belum juga saya ketahui apa sih makna dibalik kebudayaan suku bangsa Jawa ini. Seakan-seakan saya diajak untuk mengingat dan melakukan apa saja yang harus saya lakukan sebagai keturunan asli orang jawa , karena pada dasarnya meskipun saya orang jawa saya masih belum melakukan hal-hal yang harus dilakukan oleh sebagaimana orang jawa pada hakikatnya atau istilahnya ialah Njawani. Dengan adanya mata kuliah religi dan etika jawa ini serta mempelajarinya selama satu semester saya berharap menjadi lebih mengetahui dan lebih mengerti bagaimana kebudayaan jawa secara lebih mendetail dan jelas, makna dibalik sebuah tindakan atau perilaku dalam budaya jawa,etika-etika apa saja yang harus dilakukan oleh orang jawa dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat dan bagaimana orang jawa memandang sebuah agama atau religi di dalam kehidupan bermasyarakat baik masyarakat jawa maupun masyarakat suku bangsa lain.
Pada mata kuliah religi dan etika jawa , saya mempelajari banyak sekali hal-hal mengenai kebudayaan jawa yang mana semakin menambah ilmu pengetahuan dan wawasan saya untuk dapat melaksanakan nilai dan norma serta perilaku sebagai orang jawa di dalam kehidupan sehari-hari. Pertama , saya mempelajari mengenai mitologi dan toleransi orang jawa dalam bab mitologi dan toleransi orang jawa saya mengetahui bagaimana sistem religi atau keagamaan yang ada menurut pandangan orang jawa. Menurut Anderson (2003:4-5) mengatakan bahwa agama islam yang mana dianut oleh mayoritas masyarakat jawa terutama di kota-kota dagang yakni bagian pesisir (pantai utara) yang dipengaruhi banyak kebudayaan asing seperti Cina,Arab, dan Eropa. Toleransi mereka terhadap kepercayaan lain yang bukan islam jarang merupakan hal yang prinsipil seringkali hanya sebagai suatu pertahanan untuk melawan tuntutan politik dan moral dari minoritas islam. Ini menandakan bahwa toleransi hanya sebagai alat atau senjata untuk menyangkal dan melawan minoritas islam saja dan mendukung dominasi dari kalangan masyarakat yang bukan beragama islam di jawa. Salah satu perbedaan yang menonjol antara masyarakat barat dengan masyarakat jawa ialah terletak pada ada tidaknya suatu mitologi – religius secara umum di kalangan masyarakat barat dibanding dengan di kalangan masyarakat jawa. Di jawa masih tetap terdapat mitologi – religius yang hampir diterima secara universal, hal ini menyebabkan adanya ketaatan emosional dan intelektual yang mendalam yakni pada tradisi wayang. Wayang jawa merupakan upaya untuk menyelidiki secara puitis posisi eksistensial orang jawa, hubungannya dengan tatanan alam kodrati dan alam adikodrati, yakni sikap manusia dengan orang lain dan dengan diri sendiri. Tradisi wayang dapat dijadikan sebagai sarana untuk merefleksikan keberagaman hidup manusia seperti yang dirasakan oleh orang Jawa (Anderson,2003:10-11).
Kedua, saya mempelajari tentang dua kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dalam etika jawa yang mempelajari seluruh tata kelakuan hidup masyarakat jawa kedua prinsip ini yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi didalam kehidupan orang jawa. Prinsip pertama ialah prinsip rukun, menurut Mulder (dalam Suseno, 1984 :39) mengatakan bahwa :
“Prinsip kerukunan sendiri memiliki tujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, selaras, tentram, tanpa perselisihan atau pertentangan , dan saling membantu antar anggota masyarakat. Prinsip rukun sendiri merupakan relasi selaras yang berlaku di dalam masyarakat. Prinsip ini juga menuntut kita sebagai orang jawa agar mampu dalam hal menghindari adanya konflik didalam kehidupan sehari-hari ,karena pada dasarnya orang jawa tidak baik memperlihatkan amarahnya atau emosinya ketika sedang marah kepada seseorang.”
Dari penjelasan di atas saya dapat memahami bahwa kita orang jawa haruslah dapat menunjukkan sikap tenang dan bersifat terbuka terhadap siapapun serta dapat menguasai segala tingkah laku kita dan tidak membiarkan suatu pertentangan terjadi dalam masyarakat. Walaupun menunjukkan sikap tenang pada saat marah itu sulit namun kita dapat menyembunyikannya dengan sikap kita yang masih dapat saling menerima, berinteraksi dengan tetangga atau masyarakat yang memiliki salah kepada kita dengan cara kita berpura-pura (ethok-ethok) tidak terjadi sesuatu apapun. Prinsip yang kedua ialah prinsip hormat, prinsip hormat ini merupakan relasi hierarkis dimana orang jawa wajib mempertahankan dan membawa diri sesuai dengannya. Prinsip hormat ini bisa kita lihat dari segi usia, kedudukan, kekayaan, pendidikan, kekerabatan, atau relasi keluarga. Prinsip hormat ini mengatakan apabila kedua orang saling bertemu satu sama lain, terutama orang jawa maka bahasa, pembawaan dan sikap mereka harus mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam tatanan masyarakat. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat, sedangkan mereka yang kedudukannya lebih rendah adalah mempunyai sikap kebapaan atau keibuan yang mana mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Apabila setiap orang jawa menaati dan menerima prinsip ini sesuai dengan perannya di dalam masayarakat masing-masing maka suatu tatanan sosial di dalam masyarakat akan terjamin dan berjalan lancar serta dapat menghindari munculnya konflik dalam masyarakat.
Selanjutnya, saya mempelajari bab yang membahas tentang koordinat-koordinat umum etika jawa. Salah satu pokok pembahasan dari bab ini ialah bahasan mengenai sikap batin yang tepat, sebagai orang jawa di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suseno (1984: 139) menyatakan bahwa dalam sikap batin yang tepat ada dua ancaman yang berbahaya untuk manusia yakni napsu (hawa nepsu) dan egoisme (pamrih). Ancaman tersebut berfungsi untuk menjaga dan mengontrol serta mengendalikan manusia dari perilaku yang tidak diinginkan akibat napsu yang berlebihan dan manusia yang tidak dapat melepaskan pamrihnya. Salah satu deretan yang populer adalah malima yaitu kelima napsu yang dengan m (ma): madat, madon, minum, mangan,main. Orang jawa harus menghindari malima napsu tersebut karena sangat berbahaya dan sangat menentang nilai dan norma baik nilai dan norma agama maupun sosial di masyarakat. Pamrih atau egoisme, sikap pamrih ini merupakan sikap yang tidak disukai oleh orang jawa misalnya dalam menolong orang lain kita sebagai orang jawa tidak boleh mengharapkan apa-apa dari orang yang sudah kita tolong tersebut , tidak boleh selalu ingin menang sendiri bila menginginkan sesuatu , dan lain sebagainya. Apabila sikap ini dapat kita hindarkan maka tatanan sosial orang jawa akan berjalan lancar dan selaras. Beberapa sikap khas yang dinilai sebagai kematangan moral orang jawa ialah sabar ,nrima, ikhlas, jujur (temen), dan berbudi luhur. Sabar sebagai tanda pemimpin yang baik, ia maju dengan hati-hati dan mencoba tenang sebelum bertindak. Nrima berarti menerima segala apa yang mendatangi kita sebagai orang jawa tanpa adanya protes dan pemberontakan. Nrima menuntut kita bahwa ketika kita sedang kecewa kita tetap bertahan supaya tidak patah semangat dan tidak menyerah serta selalu bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Ikhlas , berarti bersedia. Sikap ini menuntut kesediaan kita untuk melepaskan ego atau kepentingan diri sendiri dan mampu menyelaraskan dirinya dengan alam sebagaimana semestinya. Nrima dan ikhlas mengajarkan kita untuk bersyukur atas apa yang sudah di tentukan oleh-Nya. Selanjutnya adalah bersikap jujur (temen) , siapa yang jujur akan adil. Jujur haruslah menepati janjinya. Pada hakikatnya orang jawa selalu bersikap sederhana (prasaja) dan rendah hati (andhapasor) dimanapun mereka berada. Yang terakhir ialah sikap budi yang luhur. Sikap budi luhur ini sebagai rangkuman dari segala yang dianggap watak utama orang Jawa. Budi luhur merupakan sikap yang amat terpuji karena budi luhur berarti orang jawa mempunyai sikap yang tepat bagaimana bersikap dengan orang lain, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dan dikatakan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah saya mempelajari beberapa materi yang di berikan dalam mata kuliah religi dan etika jawa selama satu semester ini. Saya menjadi lebih tahu dan mengerti serta memahami makna dibalik kebudayaan yang kita miliki sebagai orang jawa yang telah di wariskan oleh para sesepuh kita. Banyak sekali yang kita lihat berbagai kegiatan perilaku orang jawa yang menunjukkan arti dari makna perilaku orang jawa yang sesuai dengan falsafah jawa atau materi yang saya pelajari selama di perkuliahan.
Seperti halnya pada daerah tempat tinggal saya Desa Bojongnangka, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Dimana masyarakatnya masih saling membangun dan menerapkan prinsip hormat dan rukun, ialah masyarakat yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan di hormati oleh masyarakat yang memiliki kedudukan yang lebih rendah. Misalnya jika ada masyarakat yang lebih rendah tingkat kedudukannya jika ia bertemu dengan seorang kepala desa , bidan dan lain sebagainya mereka menyambut, menyapa dan berinteraksi dengan sopan dan dengan bahasa yang lebih halus pada mereka yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Kemudian pada saat saya berbicara atau berinteraksi kepada orang yang lebih tua daripada saya ketika dimanapun saya berada saya menggunakan bahasa jawa krama alus seperti yang diajarkan oleh kedua orang tua saya walaupun terkadang saya masih menggunakan bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia di dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian ketika saya mempelajari mengenai dua kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa, saya sendiri telah menyadari bahwa apa yang sudah saya lakukan ketika saya merasa kesal terhadap seseorang ataupun sedang marah saya hanya membatin saja dan saya mengendalikan emosi saya untuk tidak menimbulkan konflik , saya memilih untuk diam dan mengalah saja daripada menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Dalam hal ini sesuai dengan makna dibalik salah satu kaidah dasar kebudayaan jawa adalah kita dapat mempertahankan rasa rukun di dalam kehidupan bermasyarakat. Saya juga menyadari adanya beberapa sikap dan sifat yang harus dilakukan oleh orang yang bersuku bangsa jawa pada pembahasan materi koordinat-koordinat umum orang jawa diatas, misalnya saja seringkali saya merasa selalu kekurangan dan tidak pernah puas dengan apa yang saya miliki dan saya sering sekali mendapat nasihat dari orang tua saya bahwa kita sebagai orang jawa hendaknya selalu bersyukur dan selalu rendah hati serta sederhana dalam kehidupan kita, karena banyak sekali orang yang masih berada dibawah kita yang memang masih sangat membutuhkan dan masih kekurangan. Sikap dan sifat sebagai orang jawa itulah yang menjadi salah satu panutan kita dalam bermasyarakat. Pada hakikatnya sebagai orang jawa haruslah menaati semua aturan yang sudah ada dari dahulu dan menjauhi apa saja pantangan yang di berikan oleh sesepuh atau orang yang lebih tua dari pada kita sebagai generasi penerus bangsa.
Melalui mata kuliah ini, saya menjadi lebih menambah wawasan ilmu pengetahuan saya mengenai religi dan etika di dalam masyarakat jawa beserta maknanya,saya pun ingin untuk lebih dan terus menguri-uri kebudayaan jawa yang telah melekat dalam diri saya dan saya juga ingin lebih menjadi orang jawa dewasa yang sangat paham tata cara kelakuan sebagai orang jawa baik di dalam masyarakat yang mayoritas orang jawa maupun masyarakat yang minoritas orang jawa. Adanya pengetahuan yang sudah bertambah melalui mata kuliah religi dan etika jawa ini saya akan menginterpretasikannya didalam kehidupan sehari-hari sebagai orang jawa dan saya dapat memperbaiki sifat serta sikap yang mana dianggap orang jawa tidak pantas maupun pantas di dalam kehidupan masyarakat. Karena dengan itu semua, maka keselarasan, keharmonisan, dan ketentraman akan berjalan lancar dan berkurangnya konflik antar masyarakat. Saya menjadi seorang yang berkebudayaan jawa juga haruslah paham tentang semua makna di balik kebudayaan yang telah saya miliki sejak lahir , apa saja yang harus dan wajib saya lakukan, apa saja yang harus dan wajib saya jauhkan di dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga saya tidak dikatakan sebagai seorang yang ora njawani (bukan jawa tulen) oleh masyarakat jawa di lingkungan sekitar saya baik dalam keluarga, teman sebaya maupun lingkungan masyarakat yang mayoritas maupun minoritas orang jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O’G. 2003. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta : Bentang.
Suseno, Magniz. 1984. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : PT. Gramedia.
Hai niken,
Artikel yang kamu posting cukup menambah wawasan saya mengenai Refleksi orang jawa,cara kita bagaimana menjadi orang jawa asli atau njawani, tetapi kenapa tidak diberi foto agar terlihat lebih menarik? Agar kita bisa tahu orang jawa jaman sekarang itu bagaimana, kenapa dikatakan tidak njawani?
terima kasih putri ayu atas sarannya 🙂
hai niken, artikel yang kamu posting sangat menarik sekali, karena dengan begitu kita juga dapat merefleksikan kembali ke diri kita sendiri apakah kita sudah njawani atau belum..
terima kasih efvi sudah mampir ke blog saya. saya akan memposting postingan berikutnya! semoga dapat selalu bermanfaat! 🙂
Hai niken, artikel yang km posting cukup menarik. Kita jadi bisa lebih mengenal mengenai etika masyarakat Jawa. Terus semangat dalam menulis yaa