Salam Agent of Change!
Hy Guys! Kali ini disajikan postingan tugas saya pada mata kuliah Sosiologi Politik Semester 5 yang berisikan bagaimana sih isi dari jurnal berikut saya tulis hasil review saaya terkait degan jurnal “Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai – Nilai dan Etika Masyarakat Jawa” karya Nugroho Trisnu Brata. Happy reading 🙂
Artikel jurnal yang ditulis oleh Nugroho Trisnu Brata dengan judul “Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa” ini menjelaskan bahwasannya masyarakat Jawa ialah masyarakat yang memiliki ciri khas dimana masyarakatnya halus, ramah, dan penuh dengan tata krama baik dalam berperilaku maupun bertutur kata di dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat kita lihat dari lemah gemulainya “Putri Solo” atau bahkan para penari di beberapa seni tari yang ada dalam kebudayaan Jawa seperti Tari Gambyong, tari srimpi, tari bedhoyo dan seni tari lain yang bersumber dari kedua Kraton Jawa yang terkenal akan budaya jawanya yang halus serta penuh tata krama yakni kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta. Selain itu, kebudayaan jawa memiliki nilai dan etika yang sangat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat. Nilai dan etika pada kebudayaan jawa ini berfungsi sebagai penuntun, pengarah serta pemaksa bagi masyarakat jawa dimana di dalamnya mengandung segala sesuatu yang berkaitan dengan baik atau buruk, pantas atau tidak pantasnya tata kelakuan hidup bermasyarakat yang telah disepakati bersama oleh masyarakat itu sendiri.
Adapun nilai-nilai dan etika dalam masyarakat Jawa menurut Franz Magnis Suseno (1993) yang telah terintegrasi mejadi tiga prinsip yaitu hormat, rukun dan isin. Prinsip hormat berarti bahwa setiap orang harus dapat menghormati dirinya dan orang lain sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Rukun memiliki arti bahwa dalam hubungan sosial tercipta keselarasan dan ketentraman. Isin mempunyai pengertian dimana orang akan merasa malu jikalau mereka berperilaku tidak sesuai dengan peraturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan etika dalam masyarakat jawa ini telah mengatur dan menjadi patokan guna menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram.
Hadirnya simbol-simbol bermakna dalam pisowanan ageng dapat kita hubungkan dengan konteks alus dan kasar. Menurut James T. Siegel kategori alus dan kasar merupakan salah satu kategori hierarki dalam masyarakat Jawa yang dapat diwujudkan dalam bahasa dan perilaku. Dimana watak yang alus adalah suatu kondisi ideal orang Jawa yang untuk mencapai watak tersebut memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak main-main. Sedangkan watak kasar adalah watak yang mendasari manusia sehingga untuk memilikinya tidak diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Secara hierarki watak alus mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada watak kasar. Watak alus diidentikan dengan para ksatria, bangsawan, dan priyayi. Sedangkan watak kasar diidentikkan dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing). Namun, sebenarnya pada masa lalu masyarakat Jawa merupakan bangsa yang keras serta penuh dengan kekerasan yang mana diwariskan secara tradisi dari generasi satu ke generasi lainnya. Kekerasan pada masyarakat jawa ini selalu dipandang negatif dimana pada kekerasan tersebut mengandung makna bahwa orang jawa berperilaku kasar dan tidak pantas dilakukan di masyarakat serta harus dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku kasar dan kekerasan ditandai oleh rasa amarah (marah / angkara murka) yang terdapat dalam diri manusia, sehingga rasa amarah tersebut dapat kita redam atau jinakkan dengan gunungan garebeg yakni menggerebek makanan untuk dimakan secara bersama-bersama. Dengan memakan makanan bersama-sama inilah maka akan menciptakan rasa solidaritas, menghilangkan sekat-sekat perbedaan dari masing-masing yang terlibat dan menumbuhkan kebersamaan. Karena jika dalam kondisi lapar serta haus itulah dapat memicu seseorang untuk bersikap kasar serta berbuat kekerasan, sehingga untuk mencegah serta meredamnya dengan makanan sebagai pengisi perut.
Adanya pergeseran budaya telah berpengaruh pada kebudayaan jawa masa kini. Dimana yang dulunya masyarakat jawa adalah bangsa yang keras dan kasar kini telah berubah menjadi budaya yang halus dan memiliki unggah-ungguh atau tata krama yang harus dijadikan pedoman serta tolak ukur dalam berperilaku sehari-hari di masyarakat. Apabila masyarakat belum dan tidak berperilaku sesuai dengan unggah-ungguh atau tata krama baik dalam bahasa, halus dalam tutur kata serta berperilaku kasar terhadap orang lain maka masyarakat tersebut mendapat cemoohan dan dianggap durung njawani, dudu wong jawa dalam artian masyarakat tersebut “belum menjadi jawa , bukan orang jawa”.