ورود الفاقات أعياد المريدين السالك
“Datangnya musibah dan cobaan adalah hari raya yang indah bagi orang-orang yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah swt (السالك /المريد).”
1. Kelemahan manusia
الفاقة atau biasa diartikan sebagai puncak kelemahan , kefakiran dan kekurangan adalah sebuah sifat asli manusia yang tidak bisa lepas dari diri manusia di dalam segala keadaan. Hanya saja datangnya musibah dan cobaan yang menimpa seorang manusia, akan mengingatkan ia kembali tentang kelemahan dan serba kekurangannya setelah ia lupa dengan sifat asal ini karena kekayaan dan kebahagiaan yang di jalaninya .
Artinya, terkadang seseorang melupakan sifat lemah dan kurang yang melekat kepadanya ketika sedang diliputi nikmat , kebahagiaan dan dijauhkan dari musibah. Ia menyangka bahwa dirinya adalah orang yang kuat, hebat kaya dan sebagainya , padahal sebenarnya ia adalah orang yang lemah . Ia mengira dirinya kaya raya dengan limpahan harta yang dimilikinya meskipun hakikatnya ia adalah miskin.
Tak lain karena yang dinamakan orang yang kuat adalah orang yang memiliki kekuatan serta mampu mempertahankannya sesuai apa yang ia inginkan di segala hal, namun kenyataannya ia tak bisa menahan atau menolak sakit jika menimpanya atau ia masih membutuhkan tenaga atau bantuan dari orang lain, ini adalah bukti bahwa ia adalah orang yang sangat lemah.
Begitu juga jika ia merasa menjadi orang kaya seharusnya dengan kekayaan yang dimilikinya ia dapat melakukan apa yang diinginkan dan tidak membutuhkan orang lain ,
Dan jika kita mau berkata jujur, di dalam dunia ini tidak ada manusia yang memiliki kekuatan yang kemudian dengan kekuatan tersebut ia dapat mempertahankan segala sesuatu yang akan menimpanya sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Sama halnya, tak ada seorang pun yang benar-benar memiliki kekayaan yang ia dapat menggunakan sepenuhnya , hingga ia sama sekali tidak membutuhkan pekerjaan atau membutuhkan orang lain.
Pada dasarnya, hakikat semua manusia adalah orang-orang yang fakir , terbukti bahwa sekaya apapun manusia ia masih kurang dan ia masih butuh orang lain untuk membantunya .
Pada hakikatnya manusia akan selalu membutuhkan kepada Dzat yang memberikan makanan agar mereka tidak kelaparan dan membutuhkan Dzat yang menganugerahkan kekuatan serta menghadiahkan kekayaan kepada mereka sehingga mereka menjadi kaya dan tidak membutuhkan kepada orang lain. Tak lain dan tak bukan Dzat tersebut adalah Allah Yang Maha Sempurna.
seperti yang tertulis dalam Al-qur an “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 3-4)
Apabila Allah swt menganugerahkan kekayaan dan kekuatan atau memberikan makanan dan rasa aman kepada seseorang manusia, maka hal itu tidaklah serta merta menjadikannya lepas dari sifat lemah dan kurang, yang melekat pada dirinya. Karena kelemahan adalah sifat asli yang selalu melingkupi kehidupan manusia. Adapun kekuatan, kekayaan ataupun kemakmuran, semua itu hanyalah perkara-perkara yang datang dan pergi silih berganti, sesuai dengan ketetapan Allah swt dan selalu menyimpan hikmah-hikmah tertentu.
Kata pepatah, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa (الإنسان محل الخطاء والنسيان )”. Dan memang benar, kebiasaan manusia saat berada dalam limpahan rahmat dan nikmat-Nya, ia menjadi lupa diri dan sifat aslinya yaitu, kelemahan dan kehinaan. Ia baru teringat lagi sifat asalnya ketika sedang dirundung musibah dan kemalangan.
Berarti yang di kehendaki dengan kata الفاقات oleh Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini adalah musibah-musibah dan cobaan-cobaan semisal sakit, kemiskinan dan ketakutan yang melanda seseorang, dimana ia telah merasakan sehat, kaya, ketentraman, dan lain sebagainya. Bukan seperti penjelasan di awal bab ini, yang mengatakan bahwa الفاقة ialah puncak kelemahan, kefakiran dan kekurangan.
2. Rahasia di balik musibah
Seorang hamba yang sedang berusaha menempuh jalan pendekatan diri kepada Allah swt, akan melihat rahasia di balik musibahdan bencana yang menimpanya. Cobaan yang ia terima akan menjadi alarm yang membangunkan tidurnya sehingga ia sadar dan ingat kembali akan jati dirinya yaitu kelemahan dan kekurangan. Ia menganggap bahwa musibah tersebut adalah snugerah yang sangat agung melebihi nikmat kesehatan atau kekayaan, dan lain-lainnya.
Karena itu, ia akan merasa gembira dan bahagia menyambut datangnya berbagai macam musibah dan bencana. Hari-hari yang ia lalui bersama musibah, akan ia anggap sebagai hari raya yang penuh dengan kebahagiaan, karena datangnya pertolongan dan kasih sayang Allah swt kepadanya. Ia menjadi sadar, ternyata Allah ‘Azza wa Jalla tidak membiarkan dirinya tersesat dalam khayalan-khayalan yang membingungkan, yaitu fenomena kekuatan, kekayaan serta kemakmuran dan kekuasaan. Akhirnya ia teringat kembali kepada sifat asli kehambaannya, jati diri yang selalu melekat dan tak akan pernah lepas darinya, yaitu sifat lemah dan butuh kepada pertolongan dan anugerah Allah swt.
Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjadi dalil tentang kebenaran hakikat ini. Saya pribadi juga pernah merasakan pengalaman seperti ini. Singkat saja, di Damaskus aku pernah mengenal seorang lelaki yang cukup terhormat dan ia juga menempati jabatan terkemuka. Setelah beberapa saat ia menikmati kemakmuran hingga mencapai titik puncaknya, Allah swt memberikan cobaan kepadanya berupa sakit yang menyebabkan kelumpuhan separuh badannya.
Tak terduga, ternyata dalam sakit yang menimpa tubuhnya, ia menemukan sebuah keadaan yang sangat mengagumkan. Ia merasa begitu dekat kepada Allah swt sehingga timbul kegembiraan dan kebahagiaan yang tak pernah ia temui dan sama sekali belum pernah ia nikmati. Sebelumnya, ia tek pernah membayangkan anugerah dan keindahan semacam ini.
Suatu hari, aku bersama orang tuaku menyempatkan diri untuk menjenguk laki-laki yang sedang sakit tersebut. Setelah dirasa cukup, orang tuaku berpamitan kepadanya dan tak lupa mendoakan agar ia segera sembuh dari sakit yang menderitanya. Mengejutkan sekali karena laki-laki tersebut kemudian berkata, “Wahai temanku, aku mempersaksikan ucapanku kedapamu jikalau kesembuhanku akan meyebabkan hilangnya sebuah anugerah Allah swt yang sangat agung, maka aku sungguh tidak membutuhkan kesembuhan seperti itu”
Dengan cukup terkesan orang tuaku membalas ucapannya, “Bukan seperti itu yang kuinginkan, maksudku adalah aku meminta kepada Allah swt agar melimpahkan kesembuhan dari sakit yang menimpamu, namun dengan tetap membiarkan anugerah agung (kebahagiaan [الحال] yang ia rasakan ketika sakit) tersebut berada dalam dirimu.
Dari kisah tersebut, kita bisa menemukan kebenaran hikmah Ibnu ‘Athaillah ini. Lihat saja, lelaki yang sakit tersebut ternyata malah merasakan sebuah kebahagiaan yang melebihi nikmat kesehatan. Tak lain karena sakit yang ia derita merupakan perantara yang mendekatkan dirinya kepada Allah swt ke dalam hati.
3. Hari raya selamanya
Orang-orang yang sedang berusaha keras menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, akan menyambut datangnya musibah dan bencana dengan gembira laksana hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan. Lalu apakah orang-orang arif rabbani tidak merasakan kebahagiaan seperti ini ketika terkena musibah?
Orang-orang arif dan rabbani adalah hamba-hamba Allah SWT yang telah memiliki jiwa yang teguh dan stabil keadaanya. Tak ada perbedaan yang ia ia rasakan baik dalam masa indah ataupun masa-masa yang buruk. Artinya nikmat apapun yang ia terima tidak akan menyebabkan jiwanya lupa dan lalai dari Allah SWT. Sehingga jika ia dilanda oleh suatu musibah, maka hal itu tidaklah menjadi alarm pengingat baginya. Bagaimana mungkin cobaan itu jadi pengingat kalau ia tidak pernah lupa ataupun lalai.
Memang sudah menjadi sifat dasar bagi orang-orang yang termasuk dalam kategori hamba arif, bahwa ia selalu bersama Allah SWT disetiap waktu dalam setiap keadaan. Segala sesuatu yang datang kepadanya akn selalu ia sambut dengan gembira dan bahagiahingga hatinya senantiasa diliputi perasaan ridla kepada Allah SWT.
Ketika sedang memperoleh kenikmatan, ia akan menggunakan dengan sebaik-baiknya dengan tetap meyakini bahwa apa yang ia terima adalah anugerah agung dari Allah SWT. Ia tidak akan pernah cemas ataupun gelisah karena bencana atau musibah yang menimpanya. Sebaliknya ia akan menyambut musibah itu dengan tangan terbuka karena ia sadar bahwa itu semua itu adalah ketetapan Allah SWT. Tak hanya sekedar sabar, ia bahkan menerima cobaan itu dengan penuh keridloan serta yakin jika hal itu adalah yang terbaik untuknya.
Dengan keadaan seperti itu, tentunya seorang arif tak akan terdorong untuk menyambut musibah yang melandanya melebihi sambutan yang ia lakukan saat menerima nikmat. Penyebabnya tak lain karena ia selalu menjadi sorang tamu dihadapannya Allah SWT. Apa yang disuguhkan oleh Allah kepadanya akan selalu ia yakini sebagai hidangan penghormatan, baik musibah ataupun nikmat, semua itu ia yakini sebagai anugerah agung dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Hamba yang arif akan selalu merasa butuh kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik di masa susah ataupun gembira. Kenyamanan dan kekayaan yang ia rasakan tidak akan menjadikannya mabuk kepayang dan terlena dari Allah swt.
Kejadian semacam ini sering kita jumpai dari kehidupan para sahabat dan ulama’ salaf yang telah mencapai kedudukan arif dan rabbani. Misalnya saja keberadaan Sayyidina Umar ibn Khaththab r.a setelah berhasil menaklukan negeri Kisro sehingga memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak dan melimpah ruah. Atau kehidupan Abdullah ibn Mubarak r.a yang menjadi teladan bagi pengusaha sukses yang kaya raya, dan lain-lain. Kekayaan dan kenyamanan yang mereka nikmati sama sekali tidak menghalangi untuk menyadari kelemahan yang menjadi jatidiri mereka. Mereka tidak membutuhkan musibah atau bencana untuk mengingatkan hakikat kemanusiaan yang selalu melekat pada diri mereka.
4. Kesimpulan
Meski sebenarnya manusia selalu diliputi sifat kelemahan dan kekurangan, namun terkadang hakikat ini terlupakan oleh seorang السالك المريد, yaitu orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah SWT. Biasanya keadaan ini terjadi saat ia sedang merasakan kenyamanan hidup dengan disertai kemewahan dan kekayaan yang berlimpah-limpah.
Ia baru teringat kembali jati diri kelemahannya saat tertimpa suatu musibah atau bencana. Karena itu ia akan menyambut musibah tersebut dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ia bahkan bersyukur karena Allah SWT masih memperhatikannya dan tidak membiarkan dirinya larut dalam fenomena kesempurnaan yang menyebabkan lalai dari hakikat kehinaan yang melekat pada dirinya.
Lain halnya dengan keadaan hamba-hamba arif dan rabbani yang selalu ingat akan jatidiri kelemahannya. Dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, mereka selalu yakin dengan sebenar-benarnya bahwa manusia adalah makhluk yang butuh kepada Allah dalam segala keadaan.
Nikmat yang mereka terima ataupun musibah yang melanda, semuanya mereka sambut dengan tangan terbuka tanpa perbedaan sedikit pun. Mereka menganggap semua itu adalah anugerah dari Allah SWT yang telah diputuskan dan pasti akan mereka rasakan. Semua hari yang mereka lalui adalah hari raya yang harus dijalani dengan kegembiraan dan kebahagiaan.