Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku.
Rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri institusional, yang ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antar pelaku kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampai lebih dari satu tahun, misalnya sumbang menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerja sama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada.
Disini penulis akan memaparkan mengenai proses resiprositas di daerah tempatnya tinggal yaitu Kabupaten Batang tentang pertukaran atau resiprositas yaitu tradisi sinoman yang masih dipertahankan di daerah tersebut. Pertukaran yang akan dibahas disini bukan pertukaran berupa uang melainkan pertukaran berupa jasa.
Asal mula Sinoman
Istilah sinoman muncul pertama kali abad 14 di daerah pesisir utara dengan pembatasan daerah dari Tuban sampai dengan Pasuruan. Kemudian tradisi ini mulai tumbuh di setiap kampung di Surabaya dengan memiliki kegiatan membantu warga yang tertimpa musibah seperti kematian ataupun warga yang memiliki hajatan dengan menjadi peladen atau pelayan dan sekaligus meminjamkan alat-alatnya seperti keranda jenazah, gelas, piring, kursi, meja, tenda dan sebagainya. Kegiatan lain Sinoman adalah penjagaan keamanan kampung atau pos ronda, acara keagamaan, peringatan hari kemerdekaan Indonesia, kursus-kursus peningkatan kapasitas warga kampung di Surabaya.
Wujud dari kegiatan sinoman ini adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” yang berarti rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.Dalam bahasa Jawa atau Sansekerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat, disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan. Dan semua aspek kerukanan,persatuan dan kegotong-royongan telah terwakili dengan adanya perkumpulan sinoman tersebut.
Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.
Ragam Tradisi Sinoman
- Ngedekke Omah atau mendirikan rumah
Mendirikan rumah atau tempat tinggal dalam prakteknya membutuhkan cukup dana. Karena banyaknya kebutuhan, tidak jarang dana atau anggaran yang tersedia sangat kurang dari memadai. Banyak di antara mereka yang sudah menabung barang material yang dibutuhkan untuk membangun rumah memalului sinoman. Biasanya mereka merencanakan jauh sebelum membangun rumah, tentang segala
kebutuhan dalam mendirikan sebuah rumah dengan ikut sinoman atau menaruh barang material sepeti kayu, semen, pasir pada tetangga yang membangun duluan. Maka pada gilirannya, setelah dirasa cukup matreal yang tersimpan di tempat tetangga, barulah diputuskan waktu yang tepat untuk mendirikan rumah. Sedangkan kekurangannya, mereka dapat membuka peluang bagi para tetangga atau famili mereka untuk ikut sinoman atau menaruh barang-barang yang dibutuhkan. Sehingga, kekurangan dana atau anggaran tidak menghalangi rencana mendirikan rumah, karena ditopang oleh hasil sinoman. Dilihat dari sisi ragam yang didapat dari sinoman yang ditawarkan oleh yang berhajat dalam mendirikan
rumah, terdapat antara lain: barang-barang matreal, seperti semen, kayu, genteng, kaca, batu, paku, batu bata dan sebagainya. Bentuk lainnya dapat berupa rokok, beras, atau kebutuhan dapur lainnya yang dibutuhkan untuk melayani para tukang
dan pekerja sambatan. Di samping bentuk matereal dalam membangun rumah, terdapat pula bentuk sinoman tenaga atau jasa, seperti para pekerja sambatan yang ikut membantu dalam mendirikan rumah. Biasanya si punya rumah (yang berhajat) menghitung berapa hari mereka ikut sambatan, dan jika pekerja punya hajat, ia harus membayarnya dengan menjadi pekerja sambatan paling tidak dalam hitungan hari yang sama.
- Duwe Gawe (Mempunyai Hajat)
Secara umum duwe gawe atau hajatan pada prakteknya membutuhkan biaya yang relatif banyak, terutama pada momen acara seperti duwe gawe mantenan, ngunduh mantu atau sunatan. Di samping ngundang banyak tamu atau kondangan, juga pihak yang berhajat mengundang sanak tetangga dan famili untuk acara selamatan, sebagai serangkaian dari kegiatan duwe gawe. Maka tuan rumah harus menyediakan suguhan lebih untuk undangan dalam kondangan dan para undangan selamatan. Maka wajar apabila seseorang atau hendak mempunyai hajat sebagaimana disebut di atas haruslah mempersiapkan dana yang cukup. Praktek sinoman dalam hajatan atau duwe gawe, modelnya hampir sama dengan sinoman ngedekke rumah, hanya saja dalam sinoman hajatan atau duwe gawe, barang yang ditawarkan adalah barang yang dibutuhkan bagi orang duwe gawe, seperti beras, daging, kelapa, rokoh, panganan dan sebagainya.
Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Pada dasarnya sinoman sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari budaya Jawa yang sangat mendasar yakni gotong royong. Sinoman adalah sebutan bagi orang-orang yang menjadi juru laden atau orang-orang yang melayani para tamu manakala ada hajatan (acara besar seperti pernikahan atau khitanan) yang tengah dilakukan oleh tetangga atau apabila tengah ada acara di kampung (halal bihalal, tujuh belasan, dsb). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa meskipun terkadang para orang tua juga ikut membantu. Pekerjaan para sinoman benar-benar bagaikan pramusaji, manakala hidangan telah selesai dipersiapkan para sinoman harus segera bergerak untuk membagikan hidangan tersebut ke para tamu satu per satu lalu setelah para tamu selesai menyantap hidangan para sinoman pun bergerak kembali dengan mengambil piring, gelas ataupun mangkok yang ditinggalkan oleh para tamu dan segera diberikan kepada para tukang cuci piring.
Namun tidak hanya di Surabaya seperti yang dipaparkan diatas tradisi sinoman juga terdapat di Jawa Tengah bagian selatan yaitu di Kabupaten Batang. Seperti yang dipaparkan pada asal mula sinoman kegiatan sinoman di kabupaten Batang pun hampir sama yaitu gotong royong manakala ada tetangga yang sedang mempunyai hajatan seperti pernikahan atau khitanan. Salah satu hal yang unik dari tradisi sinoman di kabupaten Batang adalah biasanya para sinoman memakai seragam. Dulu sinoman menggunakan atasan berupa kemeja/hem berwarna putih dan bawahan berupa celana/rok berwarna hitam. Hal ini digunakan agar para sinoman mudah dikenali oleh pemilik acara hajatan, panitia dan juga para tamu. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman sekarang model atasan bawahan putih hitam digantikan dengan atasan batik dan bawahan hitam atau biasanya juga seragam disediakan dari yang mempunyai hajatan. Hal unik lainnya adalah sinoman dilakukan secara sukarela. Tidak ada kewajiban bagi pemilik acara hajatan untuk membayar para sinoman meskipun terkadang ada yang berbaik hati memberikan kompensasi berupa uang atau rokok. Pekerjaan sinoman ini murni dilakukan untuk menolong tetangga kita yang tengah membutuhkan bantuan saja. Salah satu imbalan yang diberikan oleh para pemilik acara hajatan biasanya adalah para sinoman dibebaskan untuk mengambil makan dan minuman sepuasnya. Sebelum acara hajatan digelar biasanya si pemilik hajat mengumpulkan remaja-remaja yang akan dimintai tolong untuk sinoman atau menjadi juru laden saat acara hajatan digelar atau sering di sebut dengan rapat sinoman. Dan jika acara hajatan sudah selesai sang pemilik hajatan juga mengumpulkan remaja-remaja sinoman lagi di rumahnya pada beberapa hari setelah hajatan digelar yaitu untuk mbubarne sinoman. Pada acara mbubarne sinoman tersebut orang yang punya hajat mengucapkan terima kasih kepada remaja-remaja atas segala tenaga dan waktu yang telah disumbangkan demi terselenggaranya acara hajatan tersebut sehingga acara hajatan dapat berjalan lancar dari awal hingga akhir. Meskipun tradisi ini sudah mulai di tinggalkan pada masa modern seperti ini khususnya dikota-kota namun tidak jarang juga masih ada yang menggunakan tradisi ini dalam acara pernikahan atau hajatan lainnya. Dalam tradisi sinoman di kabupaten Batang ini walaupun tingkat partisipasi pemudanya tidak sebanyak pada tahun-tahun yang dulu tetapi dalam setiap acara pernikahan di kabupaten Batang selalu mengikutsertakan pemuda dalam partisipasinya sebagai sinoman dari mulai yang bertugas melayani tamu undangan hingga yang mengatur keamanan demi terselenggaranya acara hingga selesai. Hal ini dilakukan agar tradisi jawa yang sudah mulai tergerus oleh perkembangan zaman ini tetap lestari.
Sumber:
https://sandaransepiantropologi.blogspot.com/2012/02/teori-resiprositas.html
https://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village.html
#1 oleh Novita Windiarti pada November 19, 2015 - 3:55 pm
Kasih kesimpulan dong kaaak biar menguatkan tulisan 😉
#2 oleh Diah Rohmatul Laeli pada November 20, 2015 - 12:34 pm
kesimpulan dari artikel tersebut apa rim ? 🙂
#3 oleh Arrum yuni pada November 21, 2015 - 12:38 pm
sangat menarik ceritanya. lanjutkan 🙂
#4 oleh renny ayuningsih pada November 21, 2015 - 1:21 pm
Tema sama backgroundnya kurang menarik, terlalu polos. tunjukkan kreatifitasmu :)b
#5 oleh PUTRI AYU pada November 22, 2015 - 4:02 am
wah makasih kak, telah menambah wawasan saya.. 😉
#6 oleh Afnada Saffanata pada November 22, 2015 - 7:27 am
nice :wowcantik
#7 oleh wijayanti octavia pada November 23, 2015 - 8:44 am
apakah tradisi sinoman di Kabupaten Batang semuanya sama? atau ada perbedaan-perbedaan di setiap daerah di Kabupaten Batang?
terimakasih ? 🙂
#8 oleh zakaria ahmad pada November 23, 2015 - 10:57 am
good job . .
lanjutkan rim . …
#9 oleh Syarafina Nandanisita pada November 29, 2015 - 4:09 am
budayanya hampir sama kaya di pemalang
#10 oleh Resti Bona Yulita pada November 30, 2015 - 2:38 am
Sangat bermanfaat
#11 oleh Lenni Novia Lestari pada November 30, 2015 - 4:32 am
Teriamakasih, informasinya menambah wawasan saya yang notabene bukan masyarakat batang
#12 oleh siti zakiyatur rofi'ah's blog pada November 30, 2015 - 6:35 am
Semoga bisa menulis sinom di daerah” lain bu
#13 oleh nuufid rahayu ambarwati pada Desember 1, 2015 - 12:08 am
paragrafnya di rapikan geh kakak
#14 oleh Anis Istiqomah pada Desember 2, 2015 - 5:18 am
artikelnya menarik sekali rima,,,
#15 oleh annisaluthfiani pada Desember 2, 2015 - 11:48 am
terima kasih infonya.. njica 😀
#16 oleh Andhika Cahya pada Desember 2, 2015 - 5:18 pm
mana ujungnya ???
#17 oleh ignasia intan pada Desember 2, 2015 - 8:22 pm
menambah wawasan ttg budaya yang ada di Indonesia kaka, lanjutkan