Akhir-akhir ini kita merasa prihatin, melihat tayangan televisi dan berita di media massa bahwa semakin banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh generasi-generasi muda atau para remaja. Beberapa contoh yang bisa diambil adalah meningkatnya angka kriminalitas, tawuran antar pelajar, miras, narkoba, free sex remaja, dan masih banyak kasus lainnya.
Kondisi ini semakin memperkuat asumsi bahwa dewasa ini telah terjadi dekadensi moral generasi muda yang luar biasa, yang dalam istilah Alqur’an disebut sebagai generasi dzurriyatan dhi’afan yaitu suatu generasi yang lemah iman, ekonomi, fisik, mental, serta menjadi beban hidup orang lain.
Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa dekadensi moral ini tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, namun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk anak-anak dan para pelajar.
Faktor-faktor penyebab Dekadensi Moral
Dalam pengamatan penulis, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dekadensi moral ini, antara lain; Pertama, lemahnya perhatian orang tua terhadap perkembangan kebutuhan fisik dan psikis anak. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya ketidakharmonisan keluarga (broken home), orang tua sibuk kerja, sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan anaknya, dan lemahnya kontrol dari orang tua misalnya kurangnya pendampingan pada saat menonton TV, main game, internet, dan aktivitas harian lainnya.
Kedua, pengaruh media massa dan lingkungan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat, yang tidak disertai kontrol budaya yang beradab turut menjerumuskan generasi muda pada hal-hal yang negatif. Banyak informasi dan tayangan-tayangan yang negatif mudah diakses oleh generasi muda yang sebenarnya tidak pantas untuk usia mereka. Praktik pornografi, pornoaksi yang sudah terang-terangan hingga di tempat umum, merebaknya tempat-tempat maksiat berkedok karaoke, cafe, serta munculnya fenomena baru game porno tiga dimensi, dimana dalam game tersebut anak-anak secara fulgar bisa malihat adegan mesum yang dimainkan oleh tokoh-tokoh tiga dimensi, dan perilku asusila lainnya semakin memperparah moral generasi muda.
Ketiga, pengaruh negatif dari arus globalisasi. Pengaruh budaya cinta materi secara berlebihan (materialistik), hidup boros (konsumeristik), sikap senang dengan kenikmatan hidup sesaat (hedonistik), dan pemisahan kehidupan duniawi dari nilai-nilai agama (sekularistik), telah menggejala di masyarakat muslim tidak hanya di daerah perkotaan tapi telah menjalar sampai ke desa-desa. Nafsu-nafsu duniawi tersebut juga memiliki andil kuat terhadap munculnya berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadi krisis moral secara meluas yang jauh dari nilai-nilai dan tradisi budaya luhur yang santun dan beradab.
Keempat, dangkalnya pengetahuan agama dan hilangnya tokoh panutan. Semakin acuh tak acuhnya tanggung jawab orangtua, lingkungan masyarakat, pemangku adat, para pejabat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru seringkali dilecehkan. Tontonan telah menjadi tuntunan, sementara yang seharusnya menjadi tuntunan justru menjadi tontonan yang disepelekan.
Kelima, Krisis Uswatun Hasanah. Salah satu hal yang penting dilakukan oleh semua pihak dalam membangun generasi khoira ummah adalah adanya uswatun hasanah atau keteladanan. Dewasa ini kita mengalami krisis keteladanan, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, masyarakat, maupun pejabat dan pemimpin-peminpin bangsa.
Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa. Nilai-nilai budi pekerti yang telah diajarkan dan ditanamkan dengan susah payah oleh dunia pendidikan, dengan serta merta dibantahkan oleh perilaku-perilaku masyarakat dan pemimpin negeri yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah.
Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa.
Kesuritauladanan yang baik (uswatun hasanah) terhadap generasi muda sangat penting dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis, dunia pendidikan, hingga para pemimpin bangsa harus proaktif andil bagian dalam hal ini.
Pentingnya Character Building
Pendidikan di Indonesia banyak dikritik belum mampu membangun karakter (caracter building) peserta didik menjadi pribadi yang unggul dan berbudi pekerti luhur (akhlaqul karimah). Pendidikan masih sekedar melakukan proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) yang kering dari nilai-nilai budi pekerti dan belum banyak mengarah pada tranforfasi nilai-nilai budi pekerti (transfer of value).
Ironisnya, kondisi ini juga telah menjalar pada lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai basis pendidikan agama. Dewasa ini kita masih sering menjumpai perilaku dan karakteristik peserta didik yang kurang menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Agama Islam itu sendiri, disebabkan oleh lemahnya implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Idealnya, pendidikan bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama di dalam kurikulumnya saja, tetapi yang lebih penting adalah mengimplementasikan perwujudan dari nilai-nilai keagamaan didalam totalitas kehidupan peserta didik di dalam maupun di luar sekolah/madrasah melalui berbagai pembiasaan perilaku terpuji.
Pada dasarnya metode Pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode pendidikan memungkinkan dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam.
Oleh karena itu masyarakat juga memiliki tanggung jawab secara sosial terhadap masa depan generasi muda kita. Diantara upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini baik melalui pendidikan formal di madrasah, pondok pesantren maupun pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan Alqur’an, Madrasah Diniyah, Majlis Ta’lim, dan sebagainya, serta membangun tradisi keteladanan (uswatun hasanah) dalam setiap aktivitas keseharian.
Hal yang tidak kalah penting juga dilakukan oleh para orang tua adalah senantiasa memberikan perhatian yang penuh pada setiap aktivitas anak-anaknya, termasuk selektif dalam memilihkan informasi dan teknologi, senantiasa mengontrol buah hatinya untuk tidak salah dalam memilih komunitas (teman bergaul), turut menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan jasmani dan rohani remaja ke arah yang lebih baik, memberikan informasi yang konstruktif, membimbingnya dan memberikan pemahaman keagamaan sesuai dengan pertumbuhan kejiwaan sejak dini, sehingga tercipta generasi remaja mengetahui tanggungjawabnya sebagai abdi (hamba) dan juga sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk membangun masyarakat yang berperadaban tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, guru, kyai, ulama saja, tetapi ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, GP. Ansor, Fatayat, IPNU-IPPNU juga memiliki peran yang sangat strategis dalam melakukan kontrol sosial dan pembinaan generasi muslim, melalui berbagai aktivitas sosial keagamaan turut berperan dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang khoiro ummah.
Generasi Khoira Ummah masa depan yang diharapkan di era globalisasi ini adalah generasi yang lahir dengan budaya luhur (tamaddun), dijiwai oleh nilai-nilai tauhid yang kokoh, kreatif dan dinamik, memiliki wawasan ilmu yang tinggi, berbudi pekerti luhur. Dengan kata lain adalah generasi ulama yang intelek dan intelektual yang ‘alim.
Betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa, kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya tidak bermoral, maka akan menghancurkan peradaban suatu bangsa. Demikian juga sebaliknya, apabila generasi mudanya maju, berkualitas, berakhlaqul karimah, maka akan tercipta bangsa yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafuur.
Sumber : Majalah SPEKTRA Edisi Pertama
[Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I]