JAKARTA – Kurikulum 2013 menjadi polemik di tengah masyarakat, khususnya kalangan pendidik di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Penerapan kurikulum 2013 secara serentak sejak tahun ajaran 2014/2015, dinilai masih kurang persiapan. Bahkan, sebagian siswa dan guru merasa kesulitan beradaptasi dalam proses pembelajaran.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menjadi penanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia langsung mengambil langkah dengan membentuk tim review dan evaluasi kurikulum 2013. Hasilnya, Menteri Pendidikan dan Kebudyaan (Mendikbud), Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum pada 14 Oktober 2014, atau tiga bulan setelah kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Anies kemudian membuat kebijakan represif; sekolah yang baru memberlakukan kurikulum 2013 kurang dari tiga semester disarankan kembali kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Sementara, 6.221 sekolah yang telah menjalankan kurikulum 2013 selama tiga semester diminta tetap menggunakan kurikulum tersebut. Ribuan sekolah itu juga akan dijadikan sebagai model dalam pelaksanaan kurikulum 2013 yang ideal bagi sekolah-sekolah lain.
Seiring dengan penerapannya yang dianggap kurang persiapan, instruksi baru tersebut juga dinilai banyak kalangan sebagai langkah yang tergesa-gesa. Bahkan, keputusan ini dikritik keras oleh Mendikbud di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Mohamad Nuh.
(Iradhatie Wurinanda dalam Okezone News)