Pada suatu kesempatan, dalam sebuah penerbangan, pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Dr. Tony Wagner duduk di samping rekayasawan Clay Parker yang memimpin divisi kimia di sebuah perusahaan multinasional dan berbincang-bincang.
Dalam kesempatan itu, perbincangan sampai pada kecakapan untuk hidup di dunia modern ini. Dr. Wagner bertanya kecakapan utama apa yang Tuan Parker paling cari pada pelamar kerja yang baru lulus dari universitas. Tuan Parker menjawab, “Pertama dan yang utama, saya mencari lulusan yang mampu membuat pertanyaan bagus.” Ini mengejutkan Dr. Wagner, karena tadinya ia berpikir jawabannya akan berkisar kecakapan praktis dan terkait langsung dengan pengetahuan teknisnya, yakni kimia rekayasa.
Sepanjang sejarah, kecakapan bertanya selalu merupakan kunci pembangunan peradaban manusia. Khususnya, pengetahuan ilmiah, teknologi, bahkan seni dan filsafat dapat berkembang terus sampai detik ini karena keberaniannya bertanya dan sikap tak mudah puas dengan jawaban.
Namun, terlepas dari perannya dalam pengembangan keilmuan, merumuskan pertanyaan merupakan kecakapan pertama dan utama dari bernalar. Tidak saja itu, untuk menyelesaikan masalah tentu seseorang pertama harus mampu merumuskan pertanyaan atau permasalahannya.
Di dunia abad 21 dengan kehidupannya yang tiap detik lahir permasalahan baru sekaligus kompleks seperti sekarang, kemampuan menyelesaikan masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya menjadi semakin dibutuhkan manusia. Penyakit atau virus jenis baru yang belum pernah ada risetnya harus dihadapi kedokteran di masa sekarang. Permasalahan yang diakibatkan pemanasan global merupakan permasalahan yang benar-benar baru bagi manusia. Akibatnya kecakapan merumuskan pertanyaan guna menyelesaikan masalah kompleks menjadi semakin dibutuhkan, sepenting solusinya.
Kecakapan bernalar di era sekarang mutlak dibutuhkan bukan saja di dunia pendidikan, tetapi juga sebagai warga biasa. Dr. Wagner berkata bahwa kecakapan bernalar merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk berfungsi efektif dalam belajar, bekerja, dan bahkan dalam berbangsa.
Dari filsafat Yunani kuno sampai Teori Belajar modern, kecakapan bertanya berperan penting guna meningkatkan pemahaman, sekaligus kecakapan bernalar seseorang. Kedisiplinan bertanya sama pentingnya dengan bernalar.
Permasalahannya sekarang, apakah persekolahan hari ini sudah secara sistematis dan terencana membelajarkan kecakapan bertanya ini? Beberapa dari kita memang memperoleh kecakapan ini saat sekolah, tetapi mungkin itu diperolehnya secara kebetulan, bukan direncanakan sungguh-sungguh dalam sebuah sistem. Ini keberuntungan semata.
Dalam praktik di persekolahan umum hari ini, siswa lebih diutamakan segera menyerap informasi, ketimbang mempertanyakan dahulu. Jawab disuapkan sebelum pertanyaan dipikirkan dan diajukan. Terlebih, kenyataannya siswa lebih banyak dituntut untuk menjawab, atau malah memilih jawab yang diharapkan guru, ketimbang bertanya.
Kapan terakhir kita dengar siswa diminta menulis esai yang menuntut mereka menyusun penafsiran sebuah karya sastra atau buku berdasar hasil bernalarnya sendiri? Terlebih, seberapa sering kita orangtua mencoba mendengar anak menjelaskan pendapatnya pada suatu isu dan kita dengarkan tanpa kita hakimi?
Akibatnya, atmosfer kelas melahirkan komunitas takut berpikir, takut mengambil risiko. Saat di kelas, jika guru menyajikan masalah, murid kerap mendatangi guru dan bertanya, “Pakai rumus ini, Bu?” atau “Betul caranya seperti ini?” Malah kadang lebih parahnya murid ada yang memohon, “Tunjukkan cara menjawabnya, Pak.”
Ini semua karena kebenaran sekaligus kecepatan jawab lebih diutamakan ketimbang keasyikan berpetualang dalam bernalar. Di sistem pendidikan kita yang dikuasai tradisi belajar-mengajar demi ujian, bukan gairah, murid sering bertanya, “Ada rumus cepatnya, pak?” Bukankah keadaan ini semua pertanda jelas bahwa atmosfer di kelas kebanyakan masih belum subur bagi calon pemikir masa depan. Lebih jauh, iklim kelas seperti ini jelas menempatkan guru sebagai sumber kebenaran dan mahkamah paling agung yang berkuasa menentukan benar tidaknya suatu pendapat. Murid belum merasa menjadi subjek yang berwenang menyatakan benar tidaknya suatu gagasan.
Padahal dalam studi lanjutnya nanti, kecakapan anak bertanya akan menjadi penentu kesuksesannya. Api motivasi belajar dari dalam diri justru utamanya dipantik serta terjaga nyalanya karena kita berani bertanya. Pada karirnya nanti, kecakapan bertanya akan menjadi unsur mengelola diri dan manajemen. Sedangkan pada perannya sebagai warga negara, kecakapan bertanya dan bernalar akan menjadi modal utama untuk berperan efektif dalam bernegara. Kemudian, pada perannya sebagai manusia, kecakapan bertanya dan bernalar ini akan membantu dirinya untuk peduli dan mampu terlibat dalam melestarikan planet Bumi ini.
Namun sayangnya tak ada jalan pintas untuk persekolahan mampu membelajarkan kecakapan ini. Guru yang cakap mengelola kelas sebagai komunitas pemikir bebas merupakan kuncinya. Dan untuk sebuah negara berkekuatan bala guru cakap bertanya itu perlu upaya penyiapan serius. Tak ada jalan pintas untuk ini. Kurikulum, buku, dan aturan pemerintah semata tak akan mampu meningkatkan kecakapan anak kita bertanya.
Pelatihan guru yang selama ini berjalan yang kerap menggunakan pendekatan ceramah satu-arah tentulah jalan yang mustahil untuk membangkitkan kecakapan guru bertanya. Bagaimana mungkin membelajarkan kecakapan bertanya, jika pendekatannya adalah ceramah, pengumbaran jawaban, instruksi, dan guru sekedar diminta mendengar dalam pelatihan? Peluang guru berlatih bertanya dan langsung melalui substansi keilmuan mutlak dibutuhkan. Tentulah, Guru Sejarah harus berlatih mengelola kelasnya bak komunitas pecinta sejarah.
Masa depan kekuatan ekonomi negara, kekokohan Sang Republik, dan kelestarian ekosistem planet Bumi tergantung pada seberapa cakap anak-anak kita bernalar. ***
[https://www.bincangedukasi.com]