Teori Belajar Bloom

Pada tahun 1956, Bloom telah mengklasifikasikan dimensi proses kognitif dalam enam kategori yaitu, pengetahuan(knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi(evaluation). Model taksonomi ini dikenal sebagai Taksonomi Bloom. Selanjutnya Anderson dan Krathwohl (2001) melakukan revisi mendasar atas klasifikasi kognitif yang pernah dikembangkan oleh Bloom, yang dikenal dengan Revised Bloom’s Taxonomy (Revisi Taksonomi Bloom).

Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali oleh Benjamin S Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.usun

Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:

  1. Cognitive Domain(Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berfikir.
  2. Affective Domain(Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
  3. Psychomotor Domain(Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.

Revisi Taksonomi Bloom terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif berkaitan dengan proses yang digunakan siswa untuk mempelajari suatu hal, sedangkan dimensi pengetahuan adalah jenis pengetahuan yang akan dipelajari oleh siswa (Amer, 2006 :214).

Menurut Krathwohl (2002: 215) tingkatan proses kognitif hasil belajar berdasarkan Revisi Taksonomi Bloom ini bersifat hierarkis, yang berarti kategori pada dimensi proses kognitif disusun berdasar tingkat kompleksitasnya. Understand lebih kompleks daripada Remember, Apply lebih kompleks daripada Understand, dan seterusnya. Namun, kategori proses kognitif pada taksonomi Bloom, dimungkinkan untuk saling overlap dengan kategori proses kognitif yang lain.

Pengertian C1, C2, C3, C4, C5, dan C6

  1. Pengetahuan (C1)

Pengetahuan adalah aspek yang paling dasar dalam taksonomi Bloom. Pengetahuan hafalan yang perlu diingat seperti rumus, batasan definisi, istilah pasal dalam undang-undang, nama dan tokoh, nama-nama kota dan lain-lain. Hafal menjadi prasyarat bagi pemahaman, misalnya hafal suatu rumus maka kita akan paham bagaimana menggunakan rumus tersebut atau hafatl kata-kata akan memudahkan membuat kalimat.

  1. Pemaharnan (C2)

Pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tingkat rendah seperti menterjemah. Tingkat kedua yaitu pemahaman penafsiran yaitu menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutrya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian. Pemahaman tingkat ketiga, yaitu pemahaman ektrapolasi yang mengharapkan seseorang mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas.persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.

  1. Aplikasi (C3)

Menerapkan aplikasi ke dalam situasi baru bila tetap terjadi proses pemecahan masalah. Pada aplikasi ini siswa dituntun memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau memilih suatu abseksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar.

  1. Analisis (C4)

Dalam analisis, seseorang dituntut untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya.

  1. Sintesis (C5)

Pada jenjang ini seserang dituntut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada.

  1. Evaluasi (C6)

Seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi, keadaan, pernyataan, atau
konsep berdasarkam suatu kriteria tertentu.

 

Problematika Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku/pembentukan pribadi yang terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha mendewasakan peserta didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan, pendidikan sebagai kegiatan pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara yang berjiwa patriotik, serta pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, menjadikan pendidikan harus mendapatkan perhatian besar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana dan prasarana ppendidikan itu sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan ini merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran.

Mutu sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-sekolah yang keadaan gedungnya tidak aman dan kurang memadai untuk digunakan melaksanakan proses belajar mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau dinas pendidikan; letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses pendidikan misalnya letak sekolah berada di tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-lain; perabotan berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksanaan proses pendidikan misalnya meja/kursi yang kurang layak digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku paket yang kurang memadai, dan lain-lain.

Di Indonesia sendiri sudah terdapat undang-undang yang berkaitan dengan pengontrolan dan pemeliharaan administrasi pendidikan yang berupa sarana dan prasarana pendidikan. Dengan adanya undang-undang tersebut, diharapkan dapat melindungi administrasi pendidikan dari segala hambatan yang ada. Namun, jika kita melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sangat jauh dari perhatian pemerintah. Terutama sarana dan prasarana yang banyak tidak sesuai standar atau tidak layak seperti contoh-contoh diatas. Hal inilah yang akan dibahas lebih jauh pada pembahasan berikutnya tentang problematika sarana dan prasarana pembelajaran yang ada di Indonesia.

  1. PERMASALAHAN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
  2. Fasilitas Yang Minim

Volume sarana dan prasarana yang minim masih mejadi permasalahan utama disetiap sekolah di Indonesia. Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Kasus seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Selain itu masih banyak fasilitas yang belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Hal seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas tersebut, para pelajar mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang negatif.

  1. Alokasi dana yang terhambat

Banyaknya kasus penyalahgunaan  dana adminitrasi sekolah, membuat sarana dan prasarana sekolah tidak terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang dalam adminitrasi membuat pendidikan semakin tidak cepat mencapai titik kebehasilan.

  1. Perawatan yang Buruk

Ketidak pedulian dari sekolah terhadap perawatan fasilitas yang ada menjadikan buruknya sarana dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya pengawasan dari pemerintah, membuat banyak fasilitas sekolah yang terbengkalai. Ketidaknyamanan menggunakan fasilitas yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak, membuat para pelajar enggan menggunakannya. Kasus seperti ini biasanya terjadi karena tidak adanya kesadaran dari setiap guru, siswa, dan pengurus sekolah.

Dari ketiga point di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan sarana dan prasana akan menghambat proses pembelajaran, yang akibatnya berpengaruh pada ketercapaian dari tujuan pendidikan.

  1. DAMPAK YANG TIMBUL DARI PERMASALAHAN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Dengan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:

  1. Rendahnya Mutu Output Pendidikan

Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya. Ironisnya pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini. Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat pemilu saja.

  1. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang

Secara psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium, perpustakaan,  ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka. Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya,  pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma. Di indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini.

  1. SOLUSI DARI PERMASALAHAN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antara lain:

ü  terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun sehingga tidak terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.

ü  Dengan adanya koordinasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka selanjutnya kita dapat meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.

Sarana fisik

Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sarana non fisik

Sarana non fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika software ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

  1. Peningkatan kualitas guru

Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan sebagainya.Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis

2. Pembentukan lembaga studi mandiri

Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian siswa.Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.

[]

Karakteristik Guru Teladan

Peran guru dalam implementasi/pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak mudah. Guru dituntut menjadi figur: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ungkapan ini, menurut Ki Hajar dewantara diartikan sebagi sikap pimpinan (guru) harus mampu memberi teladan kepada murid-muridnya, seperti bertindak jujur dan adil. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada murid untuk belajar keras. Guru juga perlu untuk memberikan kepercayaan kepada muridnya untuk mempelajari sesuatu sesuai minat dan kemampuannya. Guru tinggal merestui dan mengarahkan saja.

Pendek kata, guru hendaknya menjadi garda (garis depan), memberi contoh, menjadi motivator, dalam penanaman budi pekerti. Sering ada pepatah yang menyinggung pribadi guru, yaitu sebagai figur yang harus digugu (dianut) dan ditiru. Inilah figur ideal yang didambakan setiap bangsa. Figur inilah yang menghendaki seorang guru perlu menjadi suri teladan dalam aplikasi pendidikan budi pekerti. Jika guru sekedar bisa ceramah atau omong kosong saja, kemungkinan besar anak akan kehilangan teladan.

Sikap dan tindakan guru, langsung ataupun tidak langsung akan menjadi acuan dan contoh murid-muridnya. Kalau begitu, budi pekerti guru harus juga mencerminkan pribadi luhur yang ideal.

Untuk itu, dalam tulisan ini akan diungkap karakteristik guru ideal yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Berdasarkan citra guru ideal itu, murid-murid akan belajar budi pekerti. Jika seorang guru sampai berbuat yang menyimpang dari kriteria tersebut, berarti murid akan semakin kacau balau. Hal ini menunjukkan manakala seorang guru memberikan teladan yang buruk, murid-murid akan semakin runyam keberadaannya. Karena itu, guru harus menjadi potret budi pekerti yang luhur, agar murid-muridnya semakin berakhlak baik. Ahmad Syauqi berkata: “Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah siswa-siswa yang lebih buruk darinya.”

Karakteristik Guru Teladan

Saya sudah mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna, pernah berbuat salah, khilaf ataupun dosa. Begitu juga dengan seorang guru, ia juga manusia biasa seperti yang lainnya. Namun, ketika guru melakukan sebuah kesalahan atau kekhilafan maka respon masyarakat akan lebih besar bila dibandingkan dengan yang lain. Mungkin akan terucap: “Guru saja sudah berbuat seperti itu, apalagi yang lain.”

Hal ini terjadi, karena pada dasarnya guru itu adalah teladan bagi murid-muridnya dan juga yang lain untuk mewujudkan hal-hal yang baik. Dengan demikian, bagi para guru harus senantiasa hati-hati agar senantiasa terpelihara dari perbuatan yang tidak baik.

Untuk bisa menjadi teladan, maka ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan sebagaimana diungkap oleh Mahmud Samir al-Munir dalam bukunya al-Mu’allimur RabbanyGuru Teladan.

Pertama, Karakteristik Akidah, Akhlak dan Prilaku, yaitu: Guru harus mempunyai akidah yang bersih dari hal-hal yang bertentangan dengannya. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah swt. (muraqabah) dimanapun berada, melakukan koreksi diri (muhasabah) atas kelalaian dan kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati), jangan sampai timbul perasaan ujub dan ghurur, karena orang yang tawadhu’ akan diangkatkan derajatnya oleh Allah Swt. Guru harus berakhlak mulia, berkelakuan baik, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam maupun di luar kelas. Mampu mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada waktu yag terlewatkan tanpa mendatangkan manfaat duniawi dan ukhrawi. Senantiasa melandaskan niat ibadah kepada Allah ketika mengajarkan ilmu. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan usaha belaka dalam mengajar, tetapi juga berdo’a meminta taufiq serta pertolongan dari Allah Swt. Guru harus menjadi teladan siswa-siswa dalam segala perkataan, perbuatan dan prilaku. Guru harus selalu jujur, adil, berkata yang baik, dan memberi nasihat serta pengarahan kepada anak didik. Umar ibn Utbah, berpesan kepada pendidik anaknya: “Hendaknya dalam memperbaiki anakku, kamu perbaiki dirimu dahulu. Mata mereka mengikutimu. Yang baik menurut mereka adalah apa yang kamu perbuat. Dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang kamu tinggalkan.”

Kedua, Karakteristik Profesional. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Risalah yang diemban guru sangat agung. Seorang guru harus memiliki bekal dan persiapan agar dapat menjalankan profesi dan risalahnya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang guru dan dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, yakni sebagai berikut: Menguasai materi pelajaran dengan matang melebihi siswa-siswanya dan mampu memberikan pemahaman kepada mereka secara baik. Guru harus memiliki kesiapan alami (fitrah) untuk menjalani proses mengajar, seperti pemikiran yang lurus, bashirah yang jernih, tidak melamun, berpandangan jauh ke depan, cepat tanggap, dan dapat mengambil tindakan yang tepat pada saat-saat kritis. Guru harus menguasai cara-cara mengajar dan menjelaskan. Dia mesti menelaah buku-buku yang berkaitan dengan bidang studi yang diajarkannya. Sebelum memasuki pelajaran, guru harus siap secara mental, fisik, waktu dan ilmu (materi). Maksud kesiapan mental dan fisik adalah tidak mengisi pelajaran dalam keadaan perasaan yang kacau, malas ataupun lapar. Kesiapan waktu adalah dia mengisi pelajaran itu dengan jiwa yang tenang, tidak menghitung tiap detik yang berlalu, tidak menanti-nanti waktu usainya atau menginginkan para siswa membaca sendiri tanpa diterangkan maksudnya, atau menghabiskan jam pelajaran dengan hal-hal yang tidak ada gunanya bagi siswa. Sedangkan maksud kesiapan ilmu adalah dia menyiapkan materi pelajaran sebelum masuk kelas. Dia menyiapkan apa yang dikatakannya. Sebiasa mungkin, dia menghindari spontanitas dalam mengajar jika tidak menguasai materinya.

Inilah garis besar yang diberikan oleh Mahmud Samir al-Munir, saya kemukakan kembali karakteristik ini adalah sebagai wahana refleksi (renungan) buat kita semua para guru. Untuk bisa sempurna 100 % memenuhi karakteristik, saya pikir hal yang mustahil, sebab manusia jauh dari kesempurnaan. Namun, paling tidak ini menjadi tolok ukur untuk terus melakukan yang terbaik buat murid-murid kita ke depan.

Masyarakat secara umum juga harus bijaksana dalam menilai guru, jangan dianggap bahwa guru itu adalah makhluk sacral (tidak pernah berdosa). Untuk itu kesalahan dari seorang guru bukan berarti karirnya yang terakhir sebagai seorang pendidik, guru juga butuh nasehat, kritik yang konstruktif sehingga kesempatan yang ada bisa menjadi wahana perubahan menjadi lebih baik. Wallahu a’lamu. (Diah Widya Ningrum, S.Pd.I : Penulis adalah Guru Madrasah Aliyah Al-Jam’iyatul Washliyah Perbaungan-Serdang Bedagai dan Aktivis Perempuan Perduli Pendidikan Islam.)

[https://www.waspadamedan.com]

Orang Tua, Peran Utama dalam Pendidikkan Putra-Putrinya

Orang tua seharusnya memahami bahwa merekalah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan putra-putrinya. Dan secara umum, berhasil tidaknya pendidikan seorang anak biasanya dihubungkan dengan perkembangan pribadi orang tuanya dan baik tidaknya hubungan, komunikasi dan role model dalam keluarga.

Dewasa ini banyak orang tua memutuskan untuk memberikan sistim pendidikan home-schooling bagi anak-anaknya. Tetapi tidak semua orang tua mempunyai cukup waktu, keahlian dan kesabaran untuk memberikan sistim pendidikan ini kepada anaknya. Juga perlu diwaspadai apakah anak akan berkembang secara utuh, terutama dari aspek sosial, dan emosional, karena mereka hanya berhubungan dengan orang-tuanya saja.

Di kota-kota besar dengan menjamurnya sekolah-sekolah internasional ataupun nasional plus, banyak orang tua berpandangan bahwa apabila mereka mengirimkan putra-putrinya ke sekolah yang bergengsi atau sekolah favorit, mereka tidak perlu berurusan lagi tentang pendidikan anaknya. Mereka berpendapat, tugas mereka adalah membayar uang sekolah, urusan pendidikan urusan sekolah.

Juga ada pandangan umum bahwa apabila anak mereka sudah menginjak remaja, orang tua tidak perlu mengawasi terlalu dalam tentang pendidikan putra-putrinya, semua diserahkan kepada sekolah. Kecenderungan ini dapat dilihat apabila ada pertemuan orang tua, seminar oang tua, maupun performance anak-anak, orang tua yang anaknya masih kecil biasanya lebih menyempatkan waktu untuk hadir, daripada mereka yang mempunyai anak remaja. Pandangan yang salah ini harus segera dibenahi karena akan membawa dampak yang sangat negatif kepada anak.

Pendidikan yang kaya tercipta secara optimal melalui kolaborasi dari orang tua dan guru, sehingga tercipta harmoni yang sempurna antara rumah dan sekolah. Ini merupakan suatu proses yang dapat membantu anak-anak untuk mengenal diri mereka sendiri dan komunitas di mana mereka berada. Hal ini memampukan mereka untuk dapat membuat keputusan yang bebas tetapi bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan profesionalnya.

Supaya pendidikan menjadi lengkap dan efektif, sistim pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual dan fisikal tetapi juga harus mengajarkan nilai-nilai spiritual, moral dan sosial. Di Sekolah Tunas Muda, dengan tm e-ducation systemnya, sistim pendidikan yang seimbang itu digambarkan dengan 5 bintang, yang mencerminkan bahwa dengan kolaborasi dengan orang tua, guru dan komunitas sekitar, dan melalui pendidikan rohani, pendidikan moral dan pendidikan akademis yang saling melengkapi, dan dengan kepercayaan bahwa setiap anak adalah unik, mereka berhak berkembang dalam semua aspek kehidupannya, dan menjadi terbaik menurut talenta masing-masing, diharapkan dapat terbentuk individu-individu yang utuh dan seimbang, siap untuk menghadapi berbagai tantangan di kehidupan mereka di masa mendatang.

KOLABORASI ORANG TUA-GURU-ANAK
Salah satu aspek utama yang ditawarkan di Sekolah Tunas Muda yang berada di Meruya dan Kedoya, Jakarta Barat ini adalah program CARE yang dibentuk untuk menyediakan wadah yang konkrit dalam menyediakan pendidikan yang menyeluruh dan personal untuk para siswanya. Program CARE ini bertujuan meningkatkan kolaborasi antara rumah-sekolah-komunitas luar melalui diantaranya dengan mengajak orang tua untuk berperan aktif dalam pendidikan putra-putrinya. Para orang tua sebagai partner dalam pendidikan putra-putrinya, diberikan seminar dan workshop untuk orang tua supaya dapat secara efektif menjalankan peran mereka yang vital ini.

Dan yang unik dari program CARE ini adalah sistim Mentoringnya, dimana setiap siswa mendapat mentor pribadi, dimana siswa – mentor – orang tua mengembangkan suasana akrab, untuk memupuk rasa saling percaya untuk menciptakan keharmonisan antara rumah dan sekolah.

PERKEMBANGAN SPIRITUAL ANAK
Dalam bidang spiritual, peran orang tua sangat vital. Taat beragama atau tidaknya seorang anak banyak dipengaruhi oleh contoh dan cara orang tua mereka menjalankan ibadahnya. Orang tua tidak dapat menyerahkan pendidikan agama ke sekolah, walaupun sekolah tersebut berbasis agama. Di dunai modern ini banyak sekolah yang tidak berbasis agama, dimana pelajaran agama diberikan menurut kepercayaan masing-masing. Komunitas sekolah yang beragam ini mempunyai nilai positif karena komunitas seperti ini mencerminkan keadaan di masyarakat global pada saat ini dimana anak-anak kita tidak mungkin hanya bergaul dengan orang-orang yang satu iman saja, anak-anak diajarkan untuk terbiasa bersikap toleran dan hormat terhadap agama lain, sehingga mereka dapat berperan dalam terciptanya perdamaian dunia.

PERKEMBANGAN KARAKTER ANAK
Pembentukan karakter anak juga sangat dipengaruhi oleh karakter, perilaku bahkan kata-kata yang biasa diucapkan oleh orang tua. Banyak anak yang merasa kurang percaya diri, atau terlalu percaya diri karena kesalahan pola asuh orang tua, Banyak anak yang menjadi kurban pelecehan dari orang tuanya secara fisik, tetapi tanpa disadari banyak dari kita sebagai orang tua melukai anak dengan kata-kata kita, yang juga dapat ‘membunuh’ anak kita. Kata-kata sederhana seperti ‘anak bodoh’, anak sial’, ‘anak malas’, ‘anak nakal’, ‘si buruk rupa’, ‘kamu tidak sepintar kakakmu’, dapat meninggalkan luka yang sangat dalam di diri anak-anak, yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam perkembangan karakternya.

Peran penting orang tua dalam perkembangan mental dan emosi anak perlu diimbangi dengan peran sekolah dalam pendidikan karakter anak. Salah satu program pendidikan yang sangat kuat mengarahkan anak dalam pembentukan karakternya adalah program International Baccalaureate, dimana program ini memfokuskan pembentukan setiap individu secara utuh dan seimbang, dengan sederetan karakter yang menjadi tujuan tercapainya program pendidikan ini, yang biasa disebut ‘Learner Profile’, setiap anak diharapkan dapat mengembangkan sikap yang bertanggung jawab, penuh empati, berintegritas, berprinsip, dan sikap-sikap lain yang menyiapkan mereka sebagai inidividu yang sukses sebagai masyarakat global.

PERKEMBANGAN AKADEMIS ANAK
Diantara perkembangan spiritual, emosi, mental, dan akademis, bidang ini adalah bidang dimana sekolah mempunyai andil yang lebih besar dari orang tua. Oleh karena itu perlu dicermati program akademis sekolah yang menjadi tujuan orang tua bagi putra-putrinya. Sekali lagi kita sebagai orang tua perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apakah kita ingin anak kita menjadi seorang individu yang berkembang secara utuh dan seimbang, atau kita ingin anak kita menjadi juara olimpiade sains, atau yang penting anak kita bisa berbahasa mandarin dan inggris dengan cas cis cus sehingga membuat bangga para orang tua, terutama para ibu, apabila membawa putra-putrinya ke mal-mal, tanpa menyadari bahwa seorang anak tidak akan mempunyai identitas diri yang kuat, seperti sebuah pohon yang tidak mempunyai akar kuat, apabila tidak bersandar pada budayanya, termasuk bahasa ibunya.

Dalam program International Baccalaureate yang selama lebih dari 40 tahun ini telah mendapat reputasi baik untuk standar akademiknya yang tinggi, dan lulusannya diterima di universitas-universitas ternama di dunia, walaupun program ini mewajibkan setiap anak harus minimal fasih dalam dua bahasa, tetapi program ini menekankan bahwa setiap siswanya harus mempelajari bahasa ibu mereka dahulu, sebelum mempelajari bahasa kedua yang menjadi pilihan mereka. Hal ini dilandasi oleh filosofi pendidikan yang benar bahwa untuk menyiapkan anak-anak kita untuk menemukan identitasnya dan mampu menjadi anggota masyarakat global yang sukses, anak kita harus mempunyai landasan budaya yang kuat.

Progam IB yang diajarkan di 2,740 IB World School, di 138 negara yang menyebar di seluruh dunia, yang membina 755.000 siswa ini juga tidak hanya bertujuan untuk membentuk pelajar yang berkembang hanya secara akademis, tetapi berfokus untuk mengembangkan sederetan profil/ karakter, yang disebut learner profile, bahwa diharapkan siswa lulusan IB adalah siswa yang berkembang sebagai individu yang seimbang dan utuh.

Hal ini sesuai dengan misi IB, yaitu untuk mengembangkan generasi muda yang berpengetahuan, penuh rasa ingin tahu, dan berbelas kasih, yang membantu terciptanya dunia yang lebih baik dan damai, melalui pemahaman dan rasa hormat antar bangsa dan budaya.

ANAK KITA ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG UNIK
Sebagai orang tua harus sadar dan menerima bahwa setiap anak kita unik, anak pertama, berbeda dengan anak kedua. Bahkan saudara kembarpun berbeda. Oleh karena itu, sebagai orang tua juga harus menyadari bahwa mungkin anak pertama kita unggul di matematika, tetapi anak kedua kita sangat lemah dimatematika. Tetapi apakah berarti anak kedua kita bodoh? Pasti anak tersebut mempunyai talenta di bidang lain, yang tidak dimilik kakaknya. Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk membantu masing-masing anak kita untuk menemukan keunggulannya, tanpa membanding-bandingkan dengan saudara kandungnya, apalagi dengan anak teman kita, atau dengan teman mereka.

Sebagai orang tua kita perlu dengan cermat meneliti bagaimana sebuah sekolah memperlakukan setiap anak, apakah sekolah tersebut menempa semua anak dengan tujuan menjadi juara Olympiade matematika, padahal anak kita berbakat dalam bidang bahasa atau ilmu sosial misalnya. Apa yang terjadi? Anak kita akan merasa gagal dan bodoh karena dalam pandangan guru, mungkin juga kita sebagai orang tua, dan anak itu sendiri, bahwa karena dia lemah dalam bidang matematika, dirinya adalah anak bodoh. Hal ini akan berdampak negatif, bahkan mungkin merusak masa depannya. Padahal kalau kita pikirkan dengan hati-hati berapa anak yang akan menjadi juara Olympiade matematika diantar ratusan bahkan ribuan anak. Dan kalaupun anak kita juara Olympiade matematika, apakah masa depan anak kita akan terjamin?. Masa depan setiap anak adalah masa depan yang cerah, apabila kita sebagai orang tua bijaksana dalam mengarahkan mereka, termasuk memilihkan sekolah yang tepat bagi mereka.

Di Sekolah Tunas Muda, setiap individu adalah sebuah “Shinning star – Bintang yang Bersinar”; manusia yang unik dan istimewa dengan kemampuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, untuk menjadi yang terbaik menurut talenta masing-masing.

Sistim pendidikan dan lingkungan sekolah yang mengayomi dapat memacu keinginan dalam setiap anak untuk mengembangkan rasa bangga pada diri mereka untuk selalu berusaha mencapai kemampuan terbaik mereka sebagai seorang yang seimbang dan berkembang secara utuh, untuk mengembangkan kualitas dan keterampilan yang diperlukan sebagai pembelajar sejati dan sebagai bagian dari masyarakat global.

 [https://sekolahtunasmuda.com]

Maluku Utara Alami Tragedi Pendidikan

TERNATE– Peritiwa tewasnya salah satu siswa SMA Negeri 7 Pulau Moti   Kota Ternate Provinsi Maluku Utara pada Jumat (9/10) pekan lalu, merupakan sebuah tragedy pendidikan di Provinsi Maluku Utara. Peristiwa ini merupakan kejadian paling tragis sepanjang sejarah pendidikan di Maluku Utara bahkan Indonesia. Hal ini disampaikan Saiful Bahri Ruray anggota Komisi III DPR-RI Daerah Pemilihan Maluku Utara   Minggu (11/10).

Peritiswa ini katanya menjadi gambaran semrawutnnya pengelolaan pendidikan di Maluku Utara. Sudah begitu semrawutnya pendidikan di Maluku Utara, ditambah peristiwa tewasnya seorang siswa di tangan gurunya menjadi tragedy paling memiriskan yang dialami daerah ini,” katanya dari Jakarta. Peristiwa guru menganiaya siswa hingga tewas ini mungkin saja baru pertama kali terjadi di Indonesia. Apalagi penganiayaan itu terjadi di sekolah hingga siswa tewas. “Tragedi ini sangat mengenaskan ,”ujarnya.

Karena masalah ini Saiful meminta pemerintah dan stakeholder di bidang pendidikan daerah ini     memahami maksud dan tujuan pendidikan. Tidak itu saja para stakeholder pendidikan juga harus menata sistim kontrol yang efektif lagi agar tidak terulang   tragedy seperti ini. Pemerintah daerah Kabupaten/ Kota dan Provinsi tidak hanya tinggal diam dan hanya berkutat dengan masalah politik Pilkada. Masalah pendidikan yang serius seperti ini harus segera diurus,” harapnya.(ici)

[https://kabarpulau.com]

URGENSI CHARACTER BUILDING Upaya Dini Mengatasi Dekadensi Moral Generasi Muda

Akhir-akhir ini kita merasa prihatin, melihat tayangan televisi dan berita di media massa bahwa semakin banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh generasi-generasi muda atau para remaja. Beberapa contoh yang bisa diambil adalah meningkatnya  angka kriminalitas, tawuran antar pelajar, miras, narkoba, free sex remaja, dan masih banyak kasus lainnya.

Kondisi ini semakin memperkuat asumsi bahwa dewasa ini telah terjadi dekadensi moral generasi muda yang luar biasa, yang dalam istilah Alqur’an disebut sebagai generasi dzurriyatan dhi’afan  yaitu suatu generasi yang lemah iman, ekonomi, fisik, mental, serta menjadi beban hidup orang lain.

Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa dekadensi moral ini tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, namun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk anak-anak dan para pelajar.

Faktor-faktor penyebab Dekadensi Moral

Dalam pengamatan penulis, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dekadensi moral ini, antara lain; Pertama,  lemahnya perhatian orang tua terhadap perkembangan kebutuhan fisik dan psikis anak. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya ketidakharmonisan keluarga (broken home), orang tua sibuk kerja, sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan anaknya, dan lemahnya kontrol dari orang tua misalnya kurangnya pendampingan pada saat menonton TV, main game, internet, dan aktivitas harian lainnya.

Kedua, pengaruh media massa dan lingkungan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat, yang tidak disertai kontrol budaya yang beradab turut menjerumuskan generasi muda pada hal-hal yang negatif. Banyak informasi dan tayangan-tayangan yang negatif mudah diakses oleh generasi muda yang sebenarnya tidak pantas untuk usia mereka. Praktik pornografi, pornoaksi yang sudah terang-terangan hingga di tempat umum, merebaknya tempat-tempat maksiat berkedok  karaoke, cafe, serta munculnya fenomena baru game porno tiga dimensi, dimana dalam game tersebut anak-anak secara fulgar bisa malihat adegan mesum yang dimainkan oleh tokoh-tokoh tiga dimensi, dan perilku asusila lainnya semakin memperparah moral generasi muda.

Ketiga, pengaruh negatif dari arus globalisasi. Pengaruh budaya cinta materi secara berlebihan (materialistik), hidup boros (konsumeristik), sikap senang dengan kenikmatan hidup sesaat (hedonistik),  dan pemisahan kehidupan duniawi dari nilai-nilai agama (sekularistik), telah menggejala di masyarakat muslim tidak hanya di daerah perkotaan tapi telah menjalar sampai ke desa-desa. Nafsu-nafsu duniawi tersebut juga memiliki andil kuat terhadap munculnya berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadi krisis moral secara meluas yang jauh dari nilai-nilai dan tradisi budaya luhur yang santun dan beradab.

Keempat, dangkalnya pengetahuan agama dan hilangnya tokoh panutan. Semakin acuh tak acuhnya tanggung jawab orangtua, lingkungan masyarakat, pemangku adat, para pejabat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru seringkali dilecehkan. Tontonan telah menjadi tuntunan, sementara yang seharusnya menjadi tuntunan justru menjadi tontonan yang disepelekan.

Kelima, Krisis Uswatun Hasanah. Salah satu hal yang penting dilakukan oleh semua pihak dalam membangun generasi khoira ummah adalah adanya uswatun hasanah atau keteladanan.  Dewasa ini kita mengalami krisis keteladanan, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, masyarakat, maupun pejabat dan pemimpin-peminpin bangsa.

Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa. Nilai-nilai budi pekerti yang telah diajarkan dan ditanamkan dengan susah payah oleh dunia pendidikan, dengan serta merta dibantahkan oleh perilaku-perilaku masyarakat dan pemimpin negeri yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah.

Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa.
Kesuritauladanan yang baik (uswatun hasanah) terhadap generasi muda sangat penting dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis, dunia pendidikan, hingga para pemimpin bangsa harus proaktif andil bagian dalam hal ini.
Pentingnya Character Building
Pendidikan di Indonesia banyak dikritik belum mampu membangun karakter (caracter building) peserta didik menjadi pribadi yang unggul dan berbudi pekerti luhur (akhlaqul karimah). Pendidikan masih sekedar melakukan proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) yang kering dari nilai-nilai budi pekerti dan belum banyak mengarah pada tranforfasi nilai-nilai budi pekerti (transfer of value).
Ironisnya, kondisi ini juga telah menjalar pada lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai basis pendidikan agama. Dewasa ini kita masih sering menjumpai perilaku dan karakteristik peserta didik yang kurang menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Agama Islam itu sendiri, disebabkan oleh lemahnya implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Idealnya, pendidikan bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama di dalam kurikulumnya saja, tetapi yang lebih penting adalah mengimplementasikan perwujudan dari nilai-nilai keagamaan didalam totalitas kehidupan peserta didik di dalam maupun di luar sekolah/madrasah melalui berbagai pembiasaan perilaku terpuji.
Pada dasarnya metode Pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode pendidikan memungkinkan dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam.
Oleh karena itu masyarakat juga memiliki tanggung jawab secara sosial terhadap masa depan generasi muda kita. Diantara upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini baik melalui pendidikan formal di madrasah, pondok pesantren maupun pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan Alqur’an, Madrasah Diniyah, Majlis Ta’lim, dan sebagainya, serta membangun tradisi keteladanan (uswatun hasanah) dalam setiap aktivitas keseharian.
Hal yang tidak kalah penting juga dilakukan oleh para orang tua adalah senantiasa memberikan perhatian yang penuh pada setiap aktivitas anak-anaknya, termasuk selektif dalam memilihkan informasi dan teknologi, senantiasa mengontrol buah hatinya untuk tidak salah dalam memilih komunitas (teman bergaul), turut menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan jasmani dan rohani remaja ke arah yang lebih baik, memberikan informasi yang konstruktif, membimbingnya dan memberikan pemahaman keagamaan sesuai dengan pertumbuhan kejiwaan sejak dini, sehingga tercipta generasi remaja mengetahui tanggungjawabnya sebagai abdi (hamba) dan juga sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk membangun masyarakat yang berperadaban tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, guru, kyai, ulama saja, tetapi ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, GP. Ansor, Fatayat, IPNU-IPPNU juga memiliki peran yang sangat strategis dalam melakukan kontrol sosial dan pembinaan generasi muslim, melalui berbagai aktivitas sosial keagamaan turut berperan dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang khoiro ummah.
Generasi Khoira Ummah masa depan yang diharapkan di era globalisasi ini adalah generasi  yang lahir dengan budaya luhur (tamaddun), dijiwai oleh nilai-nilai tauhid yang kokoh, kreatif dan dinamik, memiliki wawasan ilmu yang tinggi, berbudi pekerti luhur. Dengan kata lain adalah generasi ulama yang intelek dan intelektual yang ‘alim.
Betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa, kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya tidak bermoral, maka akan menghancurkan peradaban suatu bangsa. Demikian juga sebaliknya, apabila generasi mudanya maju, berkualitas, berakhlaqul karimah, maka akan tercipta bangsa yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafuur.
Sumber : Majalah SPEKTRA Edisi Pertama
[Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I]

Edukasi Bahaya Merokok, Padang Panjang Sasar Anak & Remaja

Edukasi Bahaya Merokok, Padang Panjang Sasar Anak & Remaja
MEMBUAT anak mengerti bahaya merokok tidaklah mudah. Apalagi, bagi Padang Panjang, Sumatera Barat, yang ingin menjadikan Kota Tertib Rokok.

Wakil Wali Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Mawardi, mengatakan bahwa mengajari bahaya rokok kepada anak bukanlah hal mudah. Terlebih di beberapa kota yang memiliki hawa dingin seperti Padang Panjang, rokok sering digunakan sebagai penghangat tubuh.

Menangani kondisi tersebut, Pemkot Padang Panjang memiliki siasat tersendiri dalam menekan angka perokok pada anak dan remaja. Upaya itu dilakukan melalui penyuluhan berbasis edukasi dan sains yang menarik mengenai bahaya merokok.

“Seperti, misalnya, kami edukasi anak SD dengan memerlihatkan bahwa cacing yang dimasukkan ke asap rokok di sebuah gelas, bisa mati dengan cepat.  Sementara, untuk para remaja, atau anak SMP dan SMA kami memberikan contoh ikan yang mati dalam tujuh menit setelah diberi rokok dalam sebuah wadah,” kata Hariyanto, Ketua Forum Kota Sehat, Padang Panjang, saat kunjungan media di kantor Balai Kota, Padang Panjang, Sumatera Barat, baru-baru ini.

Upaya inipun menghasilkan penurunan jumlah perokok di Kota Padang Panjang. Hariyanto menerangkan bahwa pada 2009 jumlah orang sakit yang datang ke puskesmas mencapai 937 orang. Setelah tahun 2010 hingga 2011, hanya ada 463 orang. Yang menarik, imbuh dia, pernah ada Komandan Brimob mengaku berhenti merokok karena anaknya.

“Adanya edusains (edukasi dan sains-red) ini, anak-anak jadinya mengerti. Dan, lucunya, mereka jadi suka mengusir orangtua yang suka merokok dalam rumah, kayak Komandan Brimob yang cerita ke kami. Anaknya itu sekolah di PAUD sekitar sini, melihat ayahnya merokok dia bilang, ‘Ayah, enggak baik merokok. Kata ibu guru bisa sakit. Kalau merokok di luar, jangan di dalam rumah’. Mungkin karena tidak tega dan malu pada anaknya, Komandan itu akhirnya menyatakan berhenti merokok,” urainya.

Adapun edukasi berupa edusains diberikan setiap bulannya dengan cara dan waktu yang berbeda. Untuk siswa TK dan Paud dua kali sebulan, dan SLTP serta SLTA sebulan sekali.

[https://lifestyle.okezone.com]

Perisakan Akal

Perisakan Akal

Dimuat di Koran Tempo, 3 Mei 2015

Saat menginginkan atau mendapatkan mainan baru, anak kecil kerap segera melupakan mainan lamanya sekaligus menggumuni atau menyukainya mainan barunya dengan berlebihan. Kadang tidak cukup dengan melupakan yang lama, tetapi kadang disertai memburuk-burukkan yang lama. Tampaknya, perilaku seperti ini tertanam pada beberapa orang sampai dewasa, tanpa disadarinya.

Demikian pula pada dunia gagasan. Sesaat mendapatkan suatu gagasan baru dan melihat kebaikannya, orang kerap begitu menggumuninya sekaligus menjelek-jelekkan yang lama.

Dikotomis

One wayPerilakunya seperti bandul ayunan, yang selalu berada di posisi ektrem mutlak. Jika tidak menggumuni sesuatu, ya menjelek-jelekkannya sampai terkesan mem-bully atau merisak yang lama. Berpikirnya dikotomis, jika tidak +1 ya -1. Tak ada antaranya, atau malah tak ada kemauan melihat keunggulan dan kekurangan keduanya.

Perilaku bak bandul ayunan ini juga dapat dirasakan saat muncul gagasan “Pendidikan Karakter” atau Kurikulum 2013 di dunia pendidikan nasional. Saat itu, kata “kognitif” jadi bulan-bulanan. Jika ada tawuran pelajar atau kecurangan, dibilang itu karena persekolahan kita menekankan unsur “kognitif” atau akal. Kambing hitam keadaan yang tak baik sudah divonis, yaitu pendidikan yang menekankan akal.

Padahal jika disimak kenyataan yang ada, pendidikan kita justru jauh dari berhasil membelajarkan akal. Fakta bahwa siswa kita berada di peringkat kedua dari bawah dalam kemampuan kognitif ini misalnya dapat ditemukan dalam Laporan PISA sejak satu dekade lampau sampai sekarang. Dari situ dapat dikatakan justru pendidikan kita belum berhasil membelajarkan akal. Sebaliknya bukankah fakta di atas itu justru menyiratkan bahwa permasalahan sosial seperti tawuran pelajar justru mungkin dikarenakan persekolahan kita gagal membelajarkan akal?

Akal tentulah dibutuhkan untuk mengembangkan karakter masing-masing kita. Sulit membelajarkan dampak buruk korupsi atau intoleransi, misalnya, jika akal tidak berkembang dengan berimbang. Pendidikan karakter sejatinya bukan berarti bahwa akal tak dibutuhkan lagi.

EQ1Saat masyarakat mulai berkenalan dengan gagasan EQ atau Kecerdasan Emosional serta kecerdasan lainnya, saat itu pula IQ yang sudah dikenal lama disepelekan, sampai malah dijelek-jelekkan. Kursus dan sekolah-sekolah saling berlomba membuat spanduk dengan berbagai jargon gagasan baru EQ, SQ, dan yang lain-lainnya. Kursus komersial pengembangan diri dengan iming-iming kecerdasasan “baru” ini menjamur. Gelombang menggumuni yang baru dan sekaligus menyinyiri yang lama ini tetap berlanjut sampai sekarang.

Demikian pula saat dirasa unsur “rasa” penting dalam pendidikan bahkan dalam budaya berilmu-pengetahuan, lalu berdatanganlah gelombang menggumuni “rasa” itu sekaligus gelombang merisak “akal”. Bahkan sampai ada yang mencap pendidikan “akal” ini salah, seharusnya “rasa”.

Maka berayunlah bandul ke ujung ekstrem baru. Dari satu ujung ekstrem Akal berayun secara mutlak ke ujung ekstrem lainnya, yakni Rasa. Menggumuni Rasa, merisak Akal. Yang berkembang jadinya cara berpikir secara dikotomis semata. Hitam-putih.

Padahal, bukankah hidup sama-sama membutuhkan keduanya, baik akal maupun rasa? Walau keduanya memang berbeda dan dapat dikaji secara terpisah, namun bukankah dalam menjalani kehidupan ini manusia menggunakan keduanya sekaligus dan tanpa dapat menyadarinya dengan mutlak? Manusia melibatkan keduanya secara bersamaan dalam memutuskan sesuatu. Hampir mustahil manusia menggunakan yang satu semata sekaligus mengabaikan secara mutlak yang lainnya di saat membuat pertimbangan pada masalah di kehidupan nyata.

Pendikotomian akal dan rasa ini selain mustahil dalam praktik kehidupan, juga tak perlu sekaligus menentang sejarah. Di Jaman Pencerahan, akal dan rasa dikembangkan oleh ilmuwan yang seniman dan seniman yang ilmuwan. Di jaman itu tak ada segregasi ilmu pengetahuan dan seni.

Rasa berakal

Bersains dan bermatematika kerap dicitrakan sebagai kegiatan yang mengandalkan akal dan mengabaikan rasa. Sebaliknya, berkesenian kerap dicitrakan sebagai kegiatan yang mengandalkan rasa dan mengabaikan akal.

Relativity, M.C. Escher, 1953

Padahal untuk bersains dan bermatematika justru dibutuhkan unsur rasa. Matematikawan seperti G.H. Hardy malah berkata bahwa ujian pertama teori matematika terletak pada keindahannya, bukan kebenarannya. Beliau melanjutkan lagi bahwa tak ada tempat untuk matematika yang jelek. Rasa mutlak dibutuhkan dalam bermatematika dan rasa merupakan unsur utama yang mendorong manusia berhasrat bermatematika.

Sedang di sisi lainnya, untuk berkesenian dibutuhkan akal yang sama sekali tidak sepele. Demikian pula bidang desain yang sarat menggunakan akal selain rasa.

Hasil karya seniman seperti Mondrian, Picasso, Leonardo Da Vinci, Escher, Beethoven, Bach, dsb menunjukkan bahwa akal terjalin menyatu erat dalam proses berkesenian. Itulah rasa yang melibatkan akal atau rasa berakal. ***

[https://www.bincangedukasi.com]

Bertanya, Kecakapan Abad 21

Bertanya, Kecakapan Abad 21

Pada suatu kesempatan, dalam sebuah penerbangan, pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Dr. Tony Wagner duduk di samping rekayasawan Clay Parker yang memimpin divisi kimia di sebuah perusahaan multinasional dan berbincang-bincang.

Dalam kesempatan itu, perbincangan sampai pada kecakapan untuk hidup di dunia modern ini. Dr. Wagner bertanya kecakapan utama apa yang Tuan Parker paling cari pada pelamar kerja yang baru lulus dari universitas. Tuan Parker menjawab, “Pertama dan yang utama, saya mencari lulusan yang mampu membuat pertanyaan bagus.” Ini mengejutkan Dr. Wagner, karena tadinya ia berpikir jawabannya akan berkisar kecakapan praktis dan terkait langsung dengan pengetahuan teknisnya, yakni kimia rekayasa.

Sepanjang sejarah, kecakapan bertanya selalu merupakan kunci pembangunan peradaban manusia. Khususnya, pengetahuan ilmiah, teknologi, bahkan seni dan filsafat dapat berkembang terus sampai detik ini karena keberaniannya bertanya dan sikap tak mudah puas dengan jawaban.

Namun, terlepas dari perannya dalam pengembangan keilmuan, merumuskan pertanyaan merupakan kecakapan pertama dan utama dari bernalar. Tidak saja itu, untuk menyelesaikan masalah tentu seseorang pertama harus mampu merumuskan pertanyaan atau permasalahannya.

Di dunia abad 21 dengan kehidupannya yang tiap detik lahir permasalahan baru sekaligus kompleks seperti sekarang, kemampuan menyelesaikan masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya menjadi semakin dibutuhkan manusia. Penyakit atau virus jenis baru yang belum pernah ada risetnya harus dihadapi kedokteran di masa sekarang. Permasalahan yang diakibatkan pemanasan global merupakan permasalahan yang benar-benar baru bagi manusia. Akibatnya kecakapan merumuskan pertanyaan guna menyelesaikan masalah kompleks menjadi semakin dibutuhkan, sepenting solusinya.

Kecakapan bernalar di era sekarang mutlak dibutuhkan bukan saja di dunia pendidikan, tetapi juga sebagai warga biasa. Dr. Wagner berkata bahwa kecakapan bernalar merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk berfungsi efektif dalam belajar, bekerja, dan bahkan dalam berbangsa.

Dari filsafat Yunani kuno sampai Teori Belajar modern, kecakapan bertanya berperan penting guna meningkatkan pemahaman, sekaligus kecakapan bernalar seseorang. Kedisiplinan bertanya sama pentingnya dengan bernalar.

Permasalahannya sekarang, apakah persekolahan hari ini sudah secara sistematis dan terencana membelajarkan kecakapan bertanya ini? Beberapa dari kita memang memperoleh kecakapan ini saat sekolah, tetapi mungkin itu diperolehnya secara kebetulan, bukan direncanakan sungguh-sungguh dalam sebuah sistem. Ini keberuntungan semata.

Dalam praktik di persekolahan umum hari ini, siswa lebih diutamakan segera menyerap informasi, ketimbang mempertanyakan dahulu. Jawab disuapkan sebelum pertanyaan dipikirkan dan diajukan. Terlebih, kenyataannya siswa lebih banyak dituntut untuk menjawab, atau malah memilih jawab yang diharapkan guru, ketimbang bertanya.

Kapan terakhir kita dengar siswa diminta menulis esai yang menuntut mereka menyusun penafsiran sebuah karya sastra atau buku berdasar hasil bernalarnya sendiri? Terlebih, seberapa sering kita orangtua mencoba mendengar anak menjelaskan pendapatnya pada suatu isu dan kita dengarkan tanpa kita hakimi?

Akibatnya, atmosfer kelas melahirkan komunitas takut berpikir, takut mengambil risiko. Saat di kelas, jika guru menyajikan masalah, murid kerap mendatangi guru dan bertanya, “Pakai rumus ini, Bu?” atau “Betul caranya seperti ini?” Malah kadang lebih parahnya murid ada yang memohon, “Tunjukkan cara menjawabnya, Pak.”

Ini semua karena kebenaran sekaligus kecepatan jawab lebih diutamakan ketimbang keasyikan berpetualang dalam bernalar. Di sistem pendidikan kita yang dikuasai tradisi belajar-mengajar demi ujian, bukan gairah, murid sering bertanya, “Ada rumus cepatnya, pak?” Bukankah keadaan ini semua pertanda jelas bahwa atmosfer di kelas kebanyakan masih belum subur bagi calon pemikir masa depan. Lebih jauh, iklim kelas seperti ini jelas menempatkan guru sebagai sumber kebenaran dan mahkamah paling agung yang berkuasa menentukan benar tidaknya suatu pendapat. Murid belum merasa menjadi subjek yang berwenang menyatakan benar tidaknya suatu gagasan.

Padahal dalam studi lanjutnya nanti, kecakapan anak bertanya akan menjadi penentu kesuksesannya. Api motivasi belajar dari dalam diri justru utamanya dipantik serta terjaga nyalanya karena kita berani bertanya. Pada karirnya nanti, kecakapan bertanya akan menjadi unsur mengelola diri dan manajemen. Sedangkan pada perannya sebagai warga negara, kecakapan bertanya dan bernalar akan menjadi modal utama untuk berperan efektif dalam bernegara. Kemudian, pada perannya sebagai manusia, kecakapan bertanya dan bernalar ini akan membantu dirinya untuk peduli dan mampu terlibat dalam melestarikan planet Bumi ini.

Namun sayangnya tak ada jalan pintas untuk persekolahan mampu membelajarkan kecakapan ini. Guru yang cakap mengelola kelas sebagai komunitas pemikir bebas merupakan kuncinya. Dan untuk sebuah negara berkekuatan bala guru cakap bertanya itu perlu upaya penyiapan serius. Tak ada jalan pintas untuk ini. Kurikulum, buku, dan aturan pemerintah semata tak akan mampu meningkatkan kecakapan anak kita bertanya.

Pelatihan guru yang selama ini berjalan yang kerap menggunakan pendekatan ceramah satu-arah tentulah jalan yang mustahil untuk membangkitkan kecakapan guru bertanya. Bagaimana mungkin membelajarkan kecakapan bertanya, jika pendekatannya adalah ceramah, pengumbaran jawaban, instruksi, dan guru sekedar diminta mendengar dalam pelatihan? Peluang guru berlatih bertanya dan langsung melalui substansi keilmuan mutlak dibutuhkan. Tentulah, Guru Sejarah harus berlatih mengelola kelasnya bak komunitas pecinta sejarah.

Masa depan kekuatan ekonomi negara, kekokohan Sang Republik, dan kelestarian ekosistem planet Bumi tergantung pada seberapa cakap anak-anak kita bernalar. ***

[https://www.bincangedukasi.com]

Pendidikan Didaerah Pelosok

Image result for pendidikan pelosok
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Satu juta lebih anak rentang usia 7-15 tahun (SD dan SMP) setiap tahun putus sekolah. Terutama anak-anak di pelosok daerah terpencil.

Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orangtua.

Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.

Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi.

”Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas,” ujar Arevi Yestia, salah seorang siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8/7).

Menurut Arevi, orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil.

Sera, siswa SD dari Wamena, Papua, menambahkan, di SD tempatnya bersekolah hanya ada tiga guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6. “Semua guru mengajar di semua kelas,” ucapnya.

Wamendiknas Fasli Jalal mengakui sekitar 3-4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sementara kemampuan pemerintah terbatas.

Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi 4 juta anak yang lahir setiap tahunnya.

Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD sudah masuk atau telat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.

Sekolah SD dan SMP satu atap, kata Fasli, merupakan salah satu solusi agar anak di pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, ia juga berjanji akan menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.

Nantinya, Fasli berjanji akan mengkoordinasikan dengan dinas pendidikan daerah. Dia juga menyesalkan jika masih ada guru yang melakukan cara kekerasan dalam mengajar di kelas. ”Seharusnya guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dan sudah jelas transaksi apa pun, termasuk transaksi jual beli buku dan nilai itu dilarang,” tegasnya.

Pahlawan Pendidikan di Indonesia

Tak perlu diperdebatkan lagi, dua figur berikut ini adalah pelita pengubah bangsa. Menurut pandangan saya, pahlawan adalah orang yang membela tanah air dan berusaha membebaskan bangsa dari penjajahan. Dan guru adalah orang yang membagikan ilmu dan juga pengalaman pada kita. 

Sering kita dengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, guru memang pahlawan yang berusaha untuk membebaskan bangsa dari penjajahan yang bernama “kebodohan”. Jika kita mendengar kata “guru”, bayangan kita akan lari pada sesosok “Oemar Bakrie” yang dinyanyikan oleh penyanyi kawakan Iwan Fals yang mencoba mendeskripsikan guru. Guru sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya pembimbing. Dalam bahasa Jawa, guru adalah “digugu lan ditiru”, artinya didengarkan dan dicontoh. Guru merupakan panutan bagi anak didiknya atau bahkan lingkungan sekitarnya.

Menurut wikipedia, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu, dan dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan melatih anak didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Guru pertama kita adalah orangtua, dan guru, baik formal maupun informal, adalah representasi dari orangtua.

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Guru merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan, dan merupakan unsur terpenting dan terdepan dalam penentuan hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran. Guru berhubungan langsung dengan masa depan sebuah bangsa. Namun juga guru harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang masih mengandalkan sisi akademik, namun dari sisi moral kurang tersentuh.

Guru memiliki sifat-sifat dari seorang pahlawan, namun ada beberapa oknum tertentu yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan sifat pahlawan tersebut, sehingga dalam melakukan pengabdian hanya setengah hati. Namun itu juga tidak bisa disalahkan, karena sangat manusiawi jika guru mempunyai kebutuhan hidup.

Akan tetapi masih ada sosok pahlawan dalam hati sanubari guru yang dengan bermodalkan dedikasi dan semangat yang luar biasa mendidik dan mengajar siswa dengan gaji yang minim demi kemajuan bangsa. Mereka tidak mengharapkan gelar. Biarlah Ibu Pertiwi sebagai saksi bisu dan jasa mereka akan selalu terkenang dalam sanubari anak didiknya. Guru hendaknya tidak hanya mengajar sekaligus pembelajar, Guru adalah pekerja sosial yang bertugas mencerdaskan anak didiknya bukan mengutamakan komersil belaka.

Pahlawan jaman dulu berjuang melawan kemerdekaan saat ini Indonesia sudah merdeka sebagai generasi penerus bangsa kita tinggal meneruskan cita-cita pahlawan melalui pendidikan. Guru sebagai pejuang pendidikan, mereka berjuang melawan korupsi dan kolusi melalui tindakan, pengajaran, inovasi. Metode pengajaran yang hanya satu arah, diubah dengan metode dua arah, dimana terjadi interaksi antara guru dan murid. Dan tidak hanya mementingkan nilai akademik saja, namun juga pendidikan moral bermasyarakat.

Mari kita tengok sejenak perjalanan hidup dari salah satu pahlawan pendidikan yang napak tilasnya terekam hingga diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat anti kolonial.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik eens Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut :

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi : “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

Betapa mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang kemajuan suatu bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian ?

Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di zaman ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa. Jika bukan bangsa ini yang memberi apresiasi atau penghargaan yang selayaknya pada guru, lalu siapa lagi ? Ataukah kita harus berharap pada bangsa lain? Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada bangsa lain ?

Sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang amat mulia hanya dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, Padahal gurulah yang mengantarkan manusia-manusia Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ibaratnya pengorbanan dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan sekali pun.

Suhartono (Guru dalam Tinta Emas, 2006:ix} menjelaskan bahwa kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru kita tidak dapat seperti sekarang ini.

Begitu besar peran seorang guru dalam kehidupan kita. Namun, ketika kita sudah berhasil meraih impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa guru. Ketika murid-muridnya telah berhasil menjadi presiden, gubernur, pengusaha, atau apa pun, guru tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang berubah dari guru hanyalah usianya yang semakin menua.

Kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai pengabdian yang tanpa pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun gaji yang layak tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan (dibaca: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani), bukankah kata pahlawan mengandung makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di negeri ini? Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan.

Nasib guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul ‘Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan. Dalam lagu tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua. Meskipun gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil, namun Oemar Bakrie tetap semangat mengajar murid-muridnya.

Saat munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar Bakrie tetap saja sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnya pun tak kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instan, dan serba modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam gambaran Iwan Fals.

Seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar di SD dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari program wajib belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini pun melibatkan peran guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya jika pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di kalangan para guru dan dunia pendidikan pada umumnya menjadi secercah harapan bagi para guru. Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi itu sendiri menjadi begitu rumit karena banyak sekali komponen atau syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan lulus uji sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta. Tunjangan bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh dari pemerintah.

Kita semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan nasional adalah guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk. Keceriaan para guru menjadi keceriaan bangsa ini.

Sebenarnya siapa saja yang bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan itu ? Teringat akan beberapa sosok pahlawan nasional yang bergerak di bidang pendidikan dengan tujuan mulia yakni mencerdasakan anak bangsa. Sebut saja Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu pelopor pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa dan banyak mengangkat anak-anak bangsa khususnya yang dari kalangan pribumi. Sedangkan RA Kartini, atau Dewi Sartika juga srikandi di dunia pendidikan dengan mengangkat harkat dan martabat kaumnya meskipun menghadapi kendala yakni nilai-nilai yang berlaku di masa mereka yang sangat menentang hal tersebut.

Apakah semua guru itu adalah pahlawan pendidikan? Tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru itu benar-benar orang yang mendedikasikan diri untuk memajukan pendidikan bagi sekitarnya. Ada segelintir yang menjadikan profesi pendidik (dalam kata lain guru) sebagai pelarian sementara sebelum menemukan pekerjaan yang diidam-idamkannya. Jadi pendek kata bukan itu panggilan jiwanya, dan pastinya salah satu andilnya adalah kesejahteraan.

Menyoal kesejahteraan guru, memang hal ini menjadi masalah utama yang harus dihadapi. Di satu sisi guru di beberapa bagian negeri sudah menikmati berbagai fasilitas yang memadai seperti tunjangan, sertifikasi dan lainnya, sementara banyak guru lain yang harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga ada yang setelah mengajar menjadi juru parkir, pemulung atau mengajar privat dari pintu ke pintu karena penghasilannya yang tidak memadai. Dari sini kadang kesejahteraan berpengaruh pada kinerja serta kemaksimalan seorang pendidik dalam menghidupkan lentera ilmu dalam diri anak-anak didiknya, terlebih jika guru tersebut mengabdi di tempat-tempat terpencil yang jauh dari fasilitas perkotaan yang memadai dan dengan sarana prasarana ala kadarnya. Barangkali bila sang pendidik itu tidak mempunyai gairah kuat dalam dirinya sebagai lentera bagi masyarakatnya, bisa jadi dia akan pergi dan meninggalkan tempat mengajarnya dalam kegelapan. Namun bersyukur masih banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik di tempat-tempat yang jauh seperti di pedalaman, mereka melakukan segalanya melalui kendala dan keterbatasannya dengan satu misi, yakni mencerdaskan serta memberi sinar terang bagi daerah yang ditempatinya.

Program Indonesia Mengajar, dimana programnya menempatkan muda-mudi terpilih untuk mengajar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia, juga menjadi salah satu program untuk mencerdaskan anak-anak bangsa utamanya di kawasan terpencil. Para pengajar muda ini ditempatkan di berbagai sekolah diseluruh Indonesia untuk mengajar selama satu tahun, dan diutamakan kawasan yang sulit dijangkau fasilitas perkotaan, dan tentunya hanya dipilih yang benar-benar punya integritas tinggi tanpa pamrih untuk mengabdi pada daerah yang jadi pilihan. Walaupun mungkin masih belum seperti para guru yang rela menempuh jarak berkilo-kilo demi mencapai sekolahnya dengan rasa rela dan ridha untuk berbagi.

Profesi pendidik sekali lagi merupakan profesi yang sangat mulia, karena dari pendidiklah semua profesi dicetak. Mau jadi ekonom, agamawan, ilmuwan, astronom dan lain-lainnya semua itu takkan ada bila tidak ada yang mendidiknya dan itu merupakan proses getok tular yang terus menerus dan takkan berhenti.

Saya sadar kalau tidak semua pendidik itu bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan. Karena seperti yang telah saya tulis sebelumnya, tidak semua orang yang jadi pendidik itu benar-benar berjiwa pendidik, siap mendidik dan juga dididik. Sementara gelar pahlawan pendidikan itu bukanlah penggelaran dari diri pendidik itu sendiri, melainkan diberikan oleh orang sekitarnya, yang merasakan kiprah sosok ini dalam memajukan daerahnya. Bukan sekedar mendidik, tapi juga memberi kontribusi sekecil apapun itu bagi dunia pendidikan.

Meskipun mungkin dia bukanlah seperti Ki Hadjar Dewantara, RA Kartini atau bahkan selevel Dewi Sartika, masyarakat yang memberi penilaian. Semoga para guru diseluruh Indonesia dan dimanapun mereka berada bisa lebih meneladani sosok pahlawan pendidikan yang telah memberi warna bagi kemajuan pendidikan di negeri yang masih berkutat dengan segala permasalahan yang ada saat ini.

Pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Peningkatan harus dilakukan merata dan tidak condong ke beberapa daerah saja. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang dianak-tirikan oleh pemerintahan di pusat. Mereka merasa tidak mendapat perhatian yang layak, dan itu terlihat jelas dari pendidikan di daerah mereka yang masih jauh ketinggalan. Salah satu daerah yang mengeluh tersebut adalah Papua.

Kemakmuran seakan-akan jauh dari Bumi Cendrawasih. Kemiskinan berada di setiap penjuru desa. Fasilitas kesehatan masih sangat minim didapat di sana. Sarana prasarana umum tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah. Pendidikan yang tidak merata pun semakin melengkapi penderitaan masyarakat. Rakyat Papua sulit untuk melangkah maju membangun daerahnya karena rendahnya tingkat pendidikan. Kemerdekaan sepertinya masih menjadi mimpi bagi banyak orang disana. Mereka masih merasa hanya sebagai penumpang di tanah sendiri.

Beruntung, Papua masih memiliki beberapa orang pahlawan pendidikan yang berusaha untuk membangkitkan Sang Mutiara Hitam dari tidurnya. Beberapa mereka seperti Johannes Surya dan Daniel Alexander. Ketimbang memilih kenikmatan pelayanan di perkotaan, mereka lebih memilih untuk melangkahkan kaki mereka di jalanan rusak desa-desa di Papua. Tanpa memandang suku, ras, dan agama, mereka berusaha meningkatkan taraf kehidupan di daerah Papua. Dan menurut mereka, salah satu aspek kunci dari kemajuan Papua adalah kecerdasan dari rakyatnya. Oleh karena itu, kedua orang ini berfokus mengembangkan pendidikan di daerah tersebut.

Ketidakadilan masih bersembunyi di banyak pelosok daerah. Kemiskinan selalu menjadi momok yang harus dihadapi rakyat. Pendidikan terus menjadi mimpi yang sulit diraih oleh banyak anak-anak Indonesia. Papua dan daerah-daerah tertinggal lainnya masih membutuhkan para pahlawan pendidikan lainnya yang mau menjejakkan kakinya di tanah berlumpur pedesaan; berani meninggalkan kemapanan demi kemajuan daerah-daerah tertinggal.

Sebutan pahlawan biasanya hanya diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada orang lain. Seseorang yang berjuang, bahkan juga berkorban hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sekalipun sukses, mereka tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan. Tidak pernah ada pahlawan untuk dirinya sendiri. Pahlawan selalu dikaitkan dengan jasa yang diberikan kepada orang lain.

Ada berbagai jenis atau tingkat kepehlawanan. Orang-orang yang berjuang dan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya, maka mereka itu disebut sebagai pahlawan bangsa. Bagi mereka yang berjasa hingga diakui oleh kalangan luas dan bahkan oleh pemerintah, maka tatkala meninggal dimakamkan pada tempat tersendiri, yang kemudian tempat itu disebut sebagai taman makam pahlawan.

Cara tersebut dilakukan adalah sebagai tanda penghormatan kepada yang bersangkutan, dan sekaligus juga agar menjadi tauladan bagi berbagai generasi setelahnya. Prestasi, keberhasilan, kebesaran terkait dengan apa saja, selalu diperoleh dari perjuangan yang tidak sederhana. Perjuangan itu bahkan juga memerlukan pengorbanan. Tidak pernah ada keberhasilan yang diperoleh secara gratis atau tanpa usaha.

Bangsa Indonesia menjadi merdeka seperti sekarang ini adalah merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawannya. Mereka itu telah mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk meraih kemerdekaan, baik pengorbanan itu berupa harta, tenaga, dan bahkan jiwanya. Ribuan orang mati, atau cacat tubuh, oleh karena berjuang merebut kemerdekaan.

Namun pahlawan tidak selalu diartikan dalam lingkup besar sebagaimana dicontohkan di muka. Tetapi benar, bahwa sebutan pahlawan selalu dikaitkan dengan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan itu bisa dilakukan di dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, seni, agama, dan lain-lain. Para perjuang masing di-masing bidang dimaksud telah melahirkan berbagai jenis pahlawannya. Oleh karena itu muncul sebutan pahlawan pendidikan, pahlawan gerakan sosial, budaya, politik, dan lain-lain.

Ada juga sebutan pahlawan dalam pengertian terbatas, misalnya dalam lingkup keluarga. Seorang ibu dan ayah adalah menjadi pahlawan bagi para anak-anak dan cucunya. Mereka itu telah berjuang dan berkorban untuk mengantarkan mereka meraih keberhasilan hidup. Itulah sebabnya, sering kita mendengar ucapan seseorang dengan mengatakan bahwa, ibu atau ayahnya sendiri adalah pahlawannya. Penyebutan itu tentu dimaskudkan untuk memberikan penghargaan, bentuk rasa terima kasih, dan rasa syukur yang mendalam atas jasa yang telah diterimanya.

Betapa pentingnya dalam hidup ini agar seseorang berbuat dan bekerja, bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi seharusnya juga untuk orang lain, maka hingga ukuran terbaik bagi seseorang ternyata dilihat dari seberapa besar yang bersangkutan mampu memberi manfaat bagi orang lain. Selanjutnya, supaya bisa memberi manfaat, maka siapapun harus berjuang dan sekaligus berkorban.

Hidup, jangan sampai hanya menjadi orang yang diperjuangkan, tetapi sebaliknya, ialah harus menjadi pejuang. Disebutkan bahwa, tangan di atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Maka agar pesan dimaksud bisa ditunaikan, maka sebagai manusia seharusnya lebih berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, sosial, dan lain-lain. Perjuangan itu manakala dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka pelakunya akan tercatat sebagai pahlawan, yaitu posisi yang sangat ideal dalam kehidupan ini.

[https://ganjarsayogo.wordpress.com]