A. Pengertian Proses Internalisasi.
Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran-sasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.[1] Jadi teknik pembinaan agama yang dilakukan melalui internalisasi adalah pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai relegius (agama) yang dipadukan dengan nilai-niali pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter atau watak peserta didik. Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standart tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Proses Internalisasi nilai ajaran Islam menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk dapat mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga tujuan Pendidikan Agama Islam tercapai. Upaya dari pihak sekolah untuk dapat menginternalisasikan nilai ajaran Islam kepada diri peserta didik menjadi sangat penting, dan salah satu upaya tersebut adalah dengan metode pembiasaan di lingkungan sekolah. Metode pembiasaan tersebut adalah dengan menciptakan suasana religius di sekolah, kegiatan-kegiatan keagamaan dan praktik-praktik keagamaan yang dilaksanakan secara terprogram dan rutin (pembiasaan) diharapkan dapat mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada peserta didik.
B. Nilai-nilai dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak.
Jika kita membicarakan tentang nilai-nilai yang akan atau harus di internalisasikan dalam pembelajaran Aqidah Akhlak MI, maka secara ptpmatis kita akan merujuk pada dua aspek pengajaran yang ada dalam pembelajaran Aqidah Akhlak. Kedua pengajaran tersebut adalah pengajaran Aqidah dan pengajaran Akhlak. Adapun rincian keduanya adalah sebagai berikut:
1. Pengajaran Aqidah.
Yang dimaksud denga aqidah dalam bahasa Arab, menurut etimologi adalah ikatan atau sangkutan. Dalam pengertian teknis aqidah dapat diartikan sebagai iman atau keyakinan. Kedudukannnya menjadi sangat fundamental karena iman atau tauhid menjadi inti dari segala aspek.
Adapun nilai-nilai yang tergambar dalam pengajaran aqidah ini adalah rukun iman, yaitu:
1. Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
4. Iman kepada Rasul Allah.
5. Iman kepada hari Akhir.
6. Iman kepada qada’ dan qadar.[2]
2. Pengajaran Akhlak.
Akhlak secara etimologi berasal dari kata khalaqa, yang berarti perangai, tabiat, adat, atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimo;ogi akhlak itu berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem penilaian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akhlak identik maknanya dengan pekerti atau budi pekerti. Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasan. Dalam pengajaran Akhlak ada dua nilai yang kita kenal. Yakni Akhlak tercela dan Akhlak terpuji. Dalam hal ini tentu nilai yang berusaha kita internalisasikan dalam diri peserta didik kita adalah nilai yang berkaitan dengan akhlak terpuji (Akhlakul Kharimah). Contoh-contoh akhlakul kharimah adalah:
1. Akhlak yang berhubungan dengan Allah; mentauhidkan Allah, taqwa, berdoa, tawakka.
2. Akhlak terhadap diri sendiri; sabar, syukur, tawadhu’ (rendah hati), jujur dan amanah.
3. Akhlak terhadap keluarga; Birrul Walidain, adil terhadap saudara, membina dan mendidik keluarga.
4. Akhlak terhadap masyarakat; tolong-menolong, adil, pemurah, ukhuwah atau persaudaraan, pemaaf, menepati janji, musyawarah.
Akhlak dapat dididikan atau ditanamkan melalui dua pendekatan, yaitu:
1. Rangsangan-jawaban (stimulus-renspon) atau yang disebut proses mengkondisi sehingga terjadi automatisasi dan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Melalui latihan;
2) Melalui tanya jawab;
3) Melalui contoh.
2. Kognitif yaitu penyampaian informasi secara teoritis yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1) Melalui da’wah;
2) Melalui ceramah;
3) Melalui diskusi, dan lain-lain.[3]
Pengajaran aqidah dan akhlak dalam pembelajaran aqidah akhlak tentu harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan pola pikir siswa atau peserta didik. Penerapan pengajaran aqidah dan akhlak di MI masih sangat lah sederhana. Konsep-konsep tnetang nilai diatas pun masih sangat sederhana. Misalanya saja tentang iman kepada Allah, penerapannya baru sampai pada mengenal asmaul husna dan sifat-sifat Allah. Iman kepada malaikat-malaikat Allah baru sampai pada tahap mengenal nama-nama dan tugasnya. Penerapan pengajaran akhlak pun masih sangat sederhana. Mengenal macam-macam akhlak yang terpuji dan tercela, pembeiasaan berakhlakul kharimah dan lain-lain.
C. Proses Internalisasi dan Tahapan dalam Menginternalisasikan Nilai.
Proses pembelajaran Aqidah Akhlak atau umumnya pengajaran agama dapat dipandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan bahan atau materi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perubahan tingkah laku siswa setelah menerima dan mengikuti pembelajaran dinamakan dengan hasil belajar.
Hasil belajar atau bentuk perubahan yang diharapakan meliputi tiga aspek, yaitu: pertama aspek kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan perkembangan keterampilan/kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan tersebut. Kedua adalah aspek afektif,meliputi perubahan-perubahan dalam segi sikap mental, perasaan dan kesadaran. Dan yang ketiga adalah aspek psikomotorik, meliputi perubahan-perubahan dalam segi bentuk-bentuk tindakan motorik.[4]
Jika kita membahas tentang proses internalisasi dalam pembelajaran Aqidah Akhlak, maka secara tidak langsung kita akan mebicarakan hasil belajar dalam aspek afektif. Karena aspek afektif merupakan aspek yang bersangkutan dengan sikap mental, perasaan dan kesdaran siswa dan hasil belajar pada aspek ini diperoleh melalui proses internalisasi.
Hasil belajar dalam aspek ini terdiri dari lima tahapan. Kelima tingkatan tersebut adalah:
1. Penerimaan
Yang dimaksud dengan penerimaan adalah kesediaan siswa untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh terhadap bahan pelajaran tanpa melakukan penilaian, berperasangka, atau menyatakan sesuayu sikap terhadap pengajaran tersebut. Penerimaan mencakup:
a. penyadaran, aritnya siswa menyadari akan segala sesuatau yang sedang diberikan, sehingga ia menarik perhatian penuh terhadapnya, termasuk ke dalam:
1) mengembangkan kesadaran itu, sehinnga ia merasa bahwa bahan pelajaran yang diberikan itu diperlukan baginya.
2) Mengamati perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam bahan, dari yang sederhana hingga yang kompleks.
b. kemauan untuk menerima, artinya siswa bersikap mau menerima berbagai kenyataan dalam pengajaran agama.
1) Dapat menerima berbagai pendapat, sikap, aliran atau mazhab.
2) Mengembangkan saling pengertian, kerukunan dalam hidup beragama.
c. perhatian yang terarah, artinya setelah siswa memiliki persepsi,perhatiannya terarah kepada sesuatu rangsangan tertentu yang baru, misalnya:
1) Tetap dapat mendenganrkan atau menikmati pembicaraan Al-Qur’an, walaupun dengan qiraat, lagu dan suasana yang berbeda-beda.
2) Perhatiannya terarah kepada sesuatu yang baru dalam pembacaan itu dan menyimak serta mengenalinya.
2. Memberikan renspon dan jawaban.
Berkenaan dengan renspon-renspon yang terjadi karena menerima atau mempelajari suatu materi. Dalam hal ini siswa diberi motivasi agar menerima secara aktif, ada partisipasi atau keterlibatan siswa dalam menerima pelajaran yang merupakan pangkal dari belajar sambil berbuat. Jawaban ini mencakup:
a. Persetujuan untuk menjawab, artinya siswa berkemauan untuk menyesuaikan diri dan mengamati berbagai ajaran agama islam.
b. Keikut sertaan dalam menjawab, artinya ikut serta dengan kemauan sendiri dlam berbagai kegiatan keagamaan dan tahu bilamana harus diam atau ikut bicara menyumbangkan pikiran.
c. Keputusan dalam menjawab, artinya siswa dpat memilih dan menemukan kepuasan dalam melakukan berbagai kegiatan dan senang terhadap kebajikan dan keindahan yang sesuai dengan ajaran agama islam.
3. Penialaian
Penilaian di sini menunjuk pada asal artinya, yaitu bahwa sesuatu memiliki nilai atau harga. Dalam hal ini, tingkah laku siswa dikatakan bernilai atau berharga, jika tingkah laku itu dilakukan secara tetap atau konsisten. Penilaian mencakup:
1. Penerimaan suatu nilai, berarti siswa merasa bertanggung jawab mendengarkan pelajaran agam dan mengikuti segala kegiatan-kegiatannya.
2. Pemilihan suatu nilai, artinya dengan memilih suatu nilai, maka yang bersangkutan:
1) Dapat mendorong siswa-siswa lain agar menaruh perhatian terhadap pelajaran agama.
2) Berminat, yang memungkinakan siswa lain merasa senang dan puas atas apa yang diminatinya.
3) Mau berusaha meningkatkan pelaksanaan ajaran-ajaran agama.
3. Pertanggungan jawab untuk meningkatkan diri atau menjadi peringatan bagi diri sendiri, yang ternyata dari perbuatannya:
1) Bersikap loyal kepada teman dan keluarganya serta masyarakat di mana tempat ia menjadi anggotanya.
2) Secara aktif melakukan perintah agama dan meninggalkan larangan-Nya di mana pun ia berada.
3) Dapat menggunakan akal sehat di bawah tuntunan wahyu Ilahi dalam setiap usaha kegiatan atau dalam musyawarah.
4. Pengorganisasian nilai.
Untuk memiliki sesuatu nilai atau sikap diri yang tegas jelas terhadap sesuatu harus dilalui proses pilihan terhadap berbagai nilai-nilai yaang sama-sama relevan diterapkan atas sesuatu tersebut. Di sinilah kebutuhan akan kemampuan siswa untuk: pertama, mengorganisasikan nilai-nilai ke dalam suatu sistem, kedua menetapkan saling hbungan antar nilai-nilai dan ketiga menentukan mana yang dominan dan mana yang kurang dominan. Dengan singkatnya, siswa memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan nilai-nilai. Pengorganisasian mencakup:
1. Konseptualisasi suantu nilai:
1) Siswa berkehendak untuk menilai sesuatu yang dihadapkan kepadanya atau sesuatu yang disadarinya.
2) Siswa mampu menemukan dan mengkristalisasikan kaidah-kaidah etika islam secara tepat.
2. Menata sesuatu sistem nilai:
Siswa mampu menimbang berbagai alternatif (pilihan), baik sosial, politik maupun ekonomi, sehingga membangun sistem nialai pribadi yang memberikan keuntungan dan manfaat bagi kepentingan diri, keluarga dan kehidupan masyarakat islam.
5. Karakterisasi dengan suatu nilai.
Pada tingkatan ini internalisasi telah menjadi matang. Sehingga menyatu dengan diri. Artinya nilai-nilai itu sudah menjadi milik dan kedudukannya telah kokoh sebagai watak atau karakter dari pemiliknya, dan mengendalikan seluruh tingkah laku dan perbuatannya. Karakterisasi mencakup:
1. Perangkat yang tergeneralisasi:
1) Siswa bersedia untuk mengubah dan memperbaiki penilaian dan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran islam dalam keadaan bagaimanapun ia berada.
2) Siswa dapat menerima kebenaran yang datangnya dari mana pun juga dan merasa puas serta tentram jiwanya dengan memiliki iman, islam dan ihsan sebagai pandangan hidupnya.
1. Karakterisasi:
1) Siswa mampu secara nyata mendukung (drager) ajaran islam, sehingga selaras, serasi dan seimbang dalam iktikad, ucapan dan perbuatan sehari-hari.
2) Siswa dapat mengembangkan kepribadiannya dalam segala segi kehidupan masyarakat dengan penuh kesadaran sebagai seorang muslim yang senantiasa meningkatkan ketaqwaannya untuk mencapai keridhaan Allah SWT semata-mata.[5]
D. Upaya Yang Dapat Dilakuakan Untuk Menginternalisasikan Nilai-Nilai Yang Terkandung dalam Aqidah Akhlak MI.
Upaya untuk mewujudkan ciri khas Agama Islam sekaligus sebagai upaya dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran Aqidah Akhlak adalah dengan menciptakan suasana keagamaan di lingkungan sekolah atau madrasah. Suasana keagamaan tersebut bukan hanya makna simbolik tetapi lebih jauh dan dalam yakni berupa penanaman dan pengembangan nilai-nilai religius oleh setiap tenaga pendidikan kepada peserta didik. Dalam penciptaan suasana keagaman di sekolah ini mencerminkan metode pemebalajaran pembiasaan, teladan, dan praktik. Selain itu juga memerlukan dukungan sarana dan prasarana sekolah atau madrasah yang memadai dan tentunya masyarakat sekitar.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya penciptaan suasana keagamaan di lingkungan sekolah atau madrasah adalah sebagai berikut:
1. Mengenalkan kepada peserta didik semua perangkat tata nilai, institusi yang ada dalam masyarakat serta peran yang harus dilakukan berdasarkan status yang dimiliki masing-masing individu yang ada dalam lembaga tersebut.
Setelah peserta didik mengenal semua perangkat nilai, institusi dan peran yang ada, maka mereka dilatih agar membiasakan diri dengan tata nilai dalam lingkungan yang terbatas. Madrasah tempat peserta didik menjalani proses sosialisasi hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan peserta didik dapat mengenal, menghayati, dan melaksanakan sendiri apa yang seharusnya dikerjakan. Dengan demikian, setiap peserta didik telah dibekali dengan pengetahuan, pengahayatan, dan sekaligus pengalaman yang dapat membentuk kepribadiannya.
2. Mengupayakan agar setiap tenaga kependidikan bersikap dan berprilaku sesuai dengan ajaran islam.
Sikap dan perilaku Islam yang demikian dimulai dari kepala sekolah, para pendidik dan semua tata usaha dan masyarakat yang ada disekitar sekolah. Setelah itu peserta didik harus mengikuti dan membiasakan diri dengan sikap dan perilaku Islam. Hubungan dan pergaulan sehari-hari antara pendidik dengan pendidik, antara peserta didik dengan pendidik dan seterusnya, juga harus mencerminkan kaidah-kaidah pergaulan Islami.
3. Menciptakan hubungan yang islami dalam bentuk rasa saling toleransi (tasaamuh), saling menghormati (takaaruh), saling menyayangi (taraahuni), saling membantu (ta’aawun) dan mengakui akan eksistensi masing-masing, mengakui dan menyadari akan hak dan kewajiban masing-masing.
4. Menyediakan sarana pendidikan yang diperlukan dalam menunjang terciptanya ciri khas agama Islam. Sarana pendidikan tersebut antara lain:
a. Tersedianya mushalla/masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan aktivitas peserta didik.
b. Tersedianya perpustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku dan berbagai disiplin, khususnya mengenai keislaman.
c. Terpasangnya kaligrafi ayat-ayat dan hadis nabi kata hikmah tentang semangat belajar, pengabdian kepada agama, serta pembangunan nusa dan bangsa.
d. Terpeliharanya suasana sekolah yang bersih, tertib, indah dan aman serta tentanam rasa kekeluargaan.
5. Adanya komitmen setiap warga madrasah menampilkan citra Islami, antara lain:
a. Cara dan pilihan model pakaian setiap tenaga kependidikan memakai pakaian yang sopan dan rapi mempertimbangkan aturan agama dalam berpakaian.
b. Tata cara pergaulan yang sopan mencerminkan sikap akhlakul karimah di kalangan warga madrasah.
c. Disiplin dengan waktu dan tata tertib yang ada, sehingga dapat menumbuhkan sikap hormat dari pendidik dan masyarakat terhadap tenaga kependidikan.
d. Tata beribadah menjalankan syariat agama dan diharapkan terbiasa untuk memimpin upacara keagamaan bukuan saja di lingkungan sekolah, tetapi juga di luar sekolah/madrasah.
e. Memiliki wawasan pemikiran yang luas, sehingga dalam menghadapi heterogenitas paham dan golongan agama tidak bersikap sempit dan fanatik.
6. Melakukan pendekatan terpadu dalam proses pembelajaran dengan memadukan secara serentak pendekatan. Pendekatan terpadu itu meniputi pendekatan:
a. Keimanan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk.
b. Pengalaman memberikan peluang kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman ibadah dan akhlak dalam kehidupan.
c. Pembeiasaan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah dengan cara melatih diri untuk itu.
d. Rasional memberikan peran pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar yang berkenaan dengan tindakan baik dan buruk yang ada dalam kehidupan di dunia.
e. Emosional, merupakan upaya menggugah emosi peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesui dengan agama dan budaya bangsa.
f. Fungsional, menyajikan materi-materi ajaran-ajaran yang berguna dalam kehidupan peserta didik.
g. Keteladanan, menjadikan sesama tenaga kependidikan sebagai figur idenifikasi atau uswatun hasanah bagi peserta didik.
7. Melakukan berbagai kegiatan yang dapat terciptanya suasana keagamaan berupa:
a. Doa bersama sebelum memulai dan sesudah selesai kegiatan belajar-mengajar (KBM).
b. Tadarus Al-Qur’an (secara bersama-sama atau bergantian) selama 15-20 menit sebelum waktu belajar ja, pertama dimulai. Tadarus Al-Qur’an dipimpin oleh pendidik yang mengajar pada jam pertama.
c. Shalat Dzuhur berjamaah dan kultum (kuliah tujuh menit), atau pengajian/bimbingan keagamaan secra berkala.
d. Mengisi perinagatan hari-hari besar keagamaan denga kegiatan yang menunjang internalisasi nilai agama, dan menambah ketaatan beribadah.
e. Mengintensifkan praktik ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah sosial.
f. Melengkapi bahan kajian mata pelajaran umum dengan nuansa keislaman yang relevan dengan nilai-nilai agama/dalil nash Al-Qur’an tau hadist Rasulullah SAW.
g. Mengadakan pengajian kitab di luar waktu terjadwal. Mengembangkan semangat belajar, cinta tanah air, dan mengagungkan kemuliaan agamanya. Menjaga ketertiban kebersihan dan keindahan secara bersama dan berkelanjutan baik oleh tenaga kependidikan maupun oleh peserta didik.[6]
Dalam kehidupan sehari-hari pembeiasaan itu merupakan hal yang penting, karena banyak kita lihat orang berbuat dan bertingkah laku hanya karena kebiasaan. Rasulullah sendiri telah memrintahkan kepada para pendidik agar mereka mmenyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat, tatkala berumur tuju tahun. Hal ini berdasakan hadits nabi yang artinya “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika enggan mengerjakan kalau mereka sudah berumur 10 tahun, dan pisahkan antara mereka ketika mereka tidur”. (H.R. Muslim)[7]
Pada dasarnya untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran Aqidah Akhlak MI adalah pengajaran dengan tauladan yang baik dan prinsip pembiasaan. Bahkan kedua prinsip tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Proses internalisasi adalah penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan orang tua atau yang bertanggung jawab atas perkembangan dan perilaku anak.
1. Nilai yang terkandung dalam pembelajaran Aqidah Akhlak di MI ada dua yakni nilai Aqidah yang berhubungan dengan kepercayaan dan niali Akhlak yang berhubungan denga prilaku atau tingkah laku.
2. Prosed internalisasi dalam pembelajaran Aqidah Akhlak sangat erat kaitannya dengan hasil belajar aspek afektif. Adapun tahapannya ada lima yakni penerimaan, pemberian renspon atau jawaban, penilaian, pengorganisasian nilai, dan karakterisasi dengan suatu nilai.
3. Upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai yang terkandunga dalam proses pembelajaran Aqidah Akhlak adalah dengan menciptakan suasana kegamaan dalam lingkungan sekolah/madrasah. Dalam melakukan upaya tersebut di dalamnya tercerminkan beberapa macam metode antara lain metode pembiasaan, metode teladan, dan metode praktik. Selain itu upaya ini juga harus didukung denga saran yang memadai dan msyarakat sekitar lingkungan sekolah/madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu & Noor Salim.2008.Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.Jakarta: Bumi Karsa
Ali, Mohammad Daud.2011.Pendidikan Agama Islam.Jakarta: RajaGrafindo Jaya
Daradjat, Zakiah,dkk.2011.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. CET ke-4. Jakarta: PT Bumi Aksara
DEPDIKBUD.1989.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno.2011.Strategi Belajar Mengajar.Bandung: Refika Aditama
Ramayulis.2005.Metodologi Pendidikan Agama Islam.CET ke-4,edisi revisi.Jakarta: Kalam Mulia
[1] DEPDIKBUD,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1989) hlm 336.
[2] Ali, Mohammad Daud, pendidikan agama islam, (Jakarta:RajaGrafindo Jaya,2011), hlm 201
[3] Ahmadi, Abu & Noor Salim, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:Bumi Karsa,2008) hlm 199
[4] Zakiah Daradjat,dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara,cet.5, 2011), hlm 197
[5] Ibid, hlm 201-205
[6] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, cet.4, 2005), hlm 156-159.
[7] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar,(Bandung:Refika Aditama), hlm 141