Konsepsi kebudayaan Indonesia memang sangat sulit untuk menentukan kriteria yang cocok untuk masyarakat yang hidup di negara ini. Pancasila sebagai basis ideologi, yang menyimpan nilai-nilai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ belum cukup untuk membicarakan kebudayaan Indonesia. Secara tekstual, Pancasila memang sangat relevan dengan ragam budaya yang ada. Akan tetapi, dalam realitasnya, masih banyak yang menanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dari sini, kita tidak dapat menyalahkan kondisi realitas tersebut. Pemerintah sebagai pemegang kekuasan dalam hal ini, harus cepat tanggap, melihat fenomena-fenomena ketidakpuasan terhadap nilai-nilai ideologi pancasila, gejolak dekadensi moralitas bangsa. Karena, ketimpangan sosial, kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan yang ada dalam pancasila, sudahkah aplikatif terhadap masyarakat saat ini. Kalau memang belum, satu kewajaran bila ada yang mempertanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila yang dianggap sebagai nilai-nilai dan identitas kebudayaan bangsa Indonesia. Kalau memang sudah, mari kita lihat bersama realitas obyektif yang terjadi dalam masyarakat saat ini.
Ketidak jelasan akan pemahaman nilai-nilai kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pola fikir yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Arus budaya globalisasi yang sudah mengakar dan mendarah-daging pada pola fikir masyarakat sosial. Demikian itu sudah jelas, bila dilihat dari budaya konsumtif, instan, stail, gaya hidup dan lain-lain. Budaya globalisasi tidak dapat dibendung, ditentang, apalagi ditolak. Yang mesti kita lakukan sekarang ini adalah bagaimana budaya globalisasi mendatangkan manfaat bagi budaya Indonesia, serta bagaimana memfilterisasi budaya tersebut yang mempengaruhi pada pola fikir kebudayaan bangsa Indonesia.[1]
- Budaya Indonesia dan Globalisasi
Kesadaran akan pentingnya memperhatikan kebudayaan nampaknya semakin meningkat. Hal ini jelas tidak bertentangan dengan titik berat bidang kesadaran akan adanya rongrongan dari luar (globalisasi). Sebaliknya, justru kesadaran akan pentingnya pendekatan budaya, mengingatkan kita bahwa bagaimanapun jalan yang ditempuh, tetaplah manusia sebagai tujuan dan subyek globalisasi.[2] Hendaknya manusia tidak dikorbankan untuk mencapai tujuan lain selain dirinya.
Kendati ada sinar-sinar cerah yang menggembirakan, cukup memprihatinkan juga bahwa lalu pendekatan kebudayaan diartikan semata-mata sebagai kesenian. Sedangkan kita sudah cukup paham bahwa kesenian dan kebudayaan yang kebanyakan diperlihatkan melalui pendekatan visualisasi simbol-simbol seni dan budaya tersebut. Sepertihalnya dunia hiburan, film-film, sinetron dan tontonan televisi yang itu semua produk globalisasi.[3] Pada dasarnya, kebudayaan adalah keseluruhan hidup, proses dan aktivitas manusia dalam keberadaannya dimuka bumi ini. Jika membicarakan bangsa ini, maka arti kebudayaan adalah penjelmaan kelakuan sekelompok manusia berpokok pada pola sikap budi manusia yang berdasarkan pemandangan hidup dunia serta melahirkan mentalitas dan cara berfikir kebudayaan.
Lain dari pembicaraan kesadaran akan kebudayaan yang ada di Indonesia, hal yang paling utama yang harus disadari adalah mengenai globalisasi. Keberadaan globalisasi di tengah-tengah budaya yang belum jelas adalah satu keniscayaan. Berbicara mengenai globalisasi berarti membicarakan dunia dalam konstalasi politk, ekonomi, social-budaya. Bangsa ini disatu sisi memiliki kebudayaan, sisi lain budaya globalisasi cukup erat kaitannya dengan perubahan kebudayaan tersebut.
Dalam arus globalisasi, tidak luput juga membicarakan negara-negara maju, bekembang, dunia pertama, kedua dan ketiga. Sebab, keberadaan negara-negara tersebut turut menentukan kemana arah arus globalisasi nantinya. Sebagaimana yang dikatakan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o, menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika, sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya.[4] Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, dulu dipaksakan lewat imperialisme dan kini dilakukan dalam bentuk yang lebih meluas dengan nama globalisasi.
Globalisasi secara defenitif memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Globalisasi menyentuh berbagai aspek kehidupan, antara lain seni. Dalam rangka mengamati dan meneliti proses globalisasi dalam dunia seni, baru-baru ini di Teheran, Iran, telah diselenggarakan sebuah seminar internasional dengan tema “Seni dan Globalisasi”. Seminar ini dihadiri oleh 20 cendikiawan Iran dan 23 cendikiawan asing dari 15 negara, antara lain Perancis, Tunisia, Russia, Nigeria, Turki, Zimbabwe, Kenya, Italia, Cina, Lebanon, Mesir, Afrika Selatan, Kanada, dan Tanzania.
Banyak tanggapan dari budayawan Indonesia. Tanggapan-tanggapan itu tentunya berhubungan dengan pesan yang dapat diambil dari seminar itu. Salah seorang budayawan yang menyatakan harapannya agar seminar ini berhasil mendefinisikan dengan baik berbagai kesempatan dan ancaman yang akan melanda manusia pada era globalisasi. Selain itu, peserta seminar hendaknya mencari jalan praktis dalam meningkatkan kemampuan seni dan budaya pribumi, agar mampu berdiri kokoh di dalam tatanan baru dunia. Salah seorang peneliti Iran yang aktif dalam bidang budaya tradisional, meyakini bahwa dalam era globalisasi ini bangsa-bangsa harus memproduksi karya-karya budaya yang sesuai dengan tuntutan pasar dunia. Dalam hal ini sudah waktunya para budayawan Indonesia harus menggali dan menemukan keistimewaan-keistimewaan budaya yang terkandung dalam nilai-nilai ideologi pancasila, lalu memperkenalkannya kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat bangsa-bangsa lain umumnya.
- Dampak Globalisasi Terhadap Seni dan Budaya
Mengenai globalisasi dalam kerangka Barat yang ingin menyamakan budaya masyarakat yang ada di dunia ini, dapat dicurigai bahwa hal itu merupakan satu campur tangan terhadap hukum alam dan penciptaan. Pada dasarnya, proses globalisasi yang alami haruslah sesuai dengan yang disebut oleh Al-Quran, yaitu “bahwa Allah menciptakan manusia dalam berbagai bangsa dan suku, supaya mereka lebih saling mengenal antara satu sama lain”. Namun globalisasi telah menimbulkan masalah kepada proses ini karena berusaha memaksakan satu budaya agar diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda, dan itu artinya kebudayaan pribumi (Indonesia) bangsa-bangsa saat ini menjadi tersingkir dan tidak mendapatkan ruang artikulasinya.[5]
Proses globalisasi yang seimbang dengan kehidupan manusia dan sepanjang sejarah manusia, memang selalu terdapat upaya manusia untuk mendekatkan diri antara satu sama lain dan mencari titik persamaan. Tetapi, di sepanjang 30 tahun terakhir, negara-negara Barat berusaha memaksa masyarakat dunia untuk menerima nilai-nilai Barat secara mutlak. Hal itu sangat berbahaya dan jika terus berkelanjutan, proses ini akan menyebabkan hegemoni Barat dan Amerika terhadap negara-negara lain.[6]
Selanjutnya, globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada seni dan kebudayaan kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dan kebudayaan Indonesia menemukan identitasnya. Tapi kerena masuknya budaya globalisasi, kebudayaan kita terreduksi oleh arus budaya yang lebih besar. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Indonesia yang percaya kepada kekuatan akar budaya tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni dan kebudayaan bisa menjadi benteng pertahanan identitas dan tradisi kita selanjutnya.
- Globalisasi dan Tantangan Masa Depan Budaya Indonesia
Melihat budaya Indonesia dalam arus globalisasi, sedikit dan banyaknya pasti mengalami perubahan. Untuk mempertahankan identitas keindonesian, perlu kiranya kita memikirkan kembali konsepsi kebudayaan Indonesia. Sekedar sebuah refleksi, budaya Indonesia seharusnya dapat ditentukan bagaimana ciri khas pola laku, fikir dan moraliras bangsa ini semestinya. Untuk memenuhi hal tersebut, maka diperlukan pengkajian ulang kebudayaan yang identik dengan masyarakat dan realitas social di Negara ini.
Agar tercipta apa yang dinamakan ‘melek budaya’,[7] kita mestinya mengupayakan rekosntruksi kebudayaan Indonesia dengan menimbang beberapa hal; Pertama, meneliti dengan seksama gagasan-gagasan para pemikir kebudayaan Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Kedua, meneliti politik kebudayaan setiap rezim pemerintahan yang berkuasa di Indonesia, sejak semula kemerdekaan, Orde lama, Orde baru dan zaman reformasi yang meliputi konsepsi kebudayaan apa, konstruk kebudayaan seperti apa, oleh siapa, strategi kebudayaan macam apa saja yang digunakan, rancang proyeksi kebudayaan Indonesia yang bagaimana, sehingga sekarang kita perlu merekonstruksi. Ketiga, meneliti secara seksama nilai-nilai asli yang ada di masyarakat dan perubahan-perubahan pada masyarakat. Keempat, posisi Indonesia di tengah-tengah kepungan arus besar globalisasi dan ragam kuasa kebudayaan dunia.[8] apapun konsepsi tentang perubahan, rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang ditawarkan, apakah jawaban-jawaban kita untuk merekonstruksi kebudayaan nantinya secara riil benar-benar tepat, relevan, fungsional dan efektif terhadap masalah-masalah kita? Tugas para budayawan, intelektual adalah melakukan penelitian, lewat ragam cara, persfektif, pisau analisis dan formulasi, sosialisasi, gerak politis sosio-kultur, lalu merekomendasikan hasilnya kepada pemerintah, pemilik kekuasaan dan political will.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Berger, Asa, Artur. 2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontempore. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ø Poespawardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ø Karim, Abdul, Sukandi. 1999. Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik KebudayaanMenyongsong Satu Abad S. Takdir Alisyahbana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Sukandi Abdul Karim, Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisyahbana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 5-7.
[2] Artur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hal 1-5.
[3] Soerjanto Poespawardojo, Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal 87-90.
[4] Ibid. hal 105-110.
[5] Sukandi Abdul Karim, Op.Cit., hal 336-337.
[6] Soerjanto Poespawardojo, Op.Cit., hal 63-65.
[7] Artur Asa Berger, Op.Cit ., hal.205-207.
[8] Sukandi Abdul Karim, Op.Cit., hal xix-xx.