Mencicipi Manis Buah Kejujuran

Mencicipi Manis Buah Kejujuran
apel

Keputusan Ayah dan Bunda untuk pindah rumah ternyata tidak serta merta membuat Ifah bahagia. Selain harus berpisah dengan Kakek dan Nenek, Ifah merasa rumah barunya membuat ia kesepian. Ifah kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Hingga merasa tak betah, karena tak memiliki teman bermain seperti sebelumnya.
“Ifah kangen teman-teman di kampung Kakek,” bisiknya sedih mengenang teman-temannya. Teman sekolah, teman bermain di rumah, juga teman mengajinya di TPA.
Sampai kemudian, pada suatu pagi hari Minggu, gadis enam tahun itu menemukan teman baru.
Anak laki-laki yang tiba-tiba menghampirinya ketika sedang bermain di halaman. Wajah dan rambutnya tampak kusut, selaras dengan pakaian kusam dan kumal yang dikenakannya.
Sejak pertama datang, bocah itu terus mengawasi Ifah yang sedang menghitung uang jajannya. Sebelumnya, Ifah baru saja mendapatkan jatah dari Bunda. Uang saku mingguan untuk ditabung.
Namun, hari itu, Ifah sedang ingin membeli permen coklat kesukaannya. Meskipun sedang bulan Ramadhan, ia tak kuasa menahan keinginannya.
Padahal biasanya, di hari-hari biasa bukan Ramadhan, Bunda selalu melarangnya. Maka, jika menginginkan, ia akan meminta pada Kakek atau Nenek untuk membelikan permen itu untuknyaa. Namun sekarang, ia tak sebebas dulu lagi. Ifah harus kucing-kucingan membelinya, tanpa sepengetahuan Sang Bunda.
“Sedang apa kamu?” tanya anak laki-laki itu kemudian.
Ifah yang terbiasa menjaga jarak dengan orang asing kaget dengan sapaannya.
“Siapa kamu?” tanyanya kembali sebagai jawaban.
Ketika itu Ayah dan Bunda tidak ada di rumah. Ayah sedang ada acara di luar kota, dan Bunda sedang ke pasar.
“Aku Aji, rumahku di kampung sebelah,” jawabnya mengenalkan diri.
Ifah masih terlalu kecil untuk menilai sorot mata orang lain. Yang ia tahu, Aji kelihatan baik dan ramah. Karenanya, ia pun mencoba membuka diri.
“Saya Ifah. Baru seminggu kemarin pindah.”
Gadis kecil itu bahagia, karena mendapat teman untuk yang pertama kalinya. Dan, ia tak mempedulikan penampilan teman barunya .
Ketika sedang asyik bermain, tiba-tiba Bunda pulang. Saat itulah Ifah meninggalkan Aji sendirian di halaman.
“Bunda, Ifah punya teman baru, namanya Aji,” katanya sambil menarik-narik lengan ibunya. Ia ingin memperkenalkan sahabat yang baru dikenalnya.
“Oh, ya?” Sang ibu mencoba menanggapi dengan semangat.
Akan tetapi, ketika mereka menuju halaman, teman yang mau dikenalkan sudah tidak ada.
Ifah merasa kehilangan. Dan, kehilangan itu bertambah, saat mengetahui urang recehnya tak lagi berada di tempatnya. Padahal Ifah sangat ingat, ia meninggalkan uangnya di dekat sandal jepitnya, ketika harus membukakan pintu gerbang untuk Bunda.
“Loh, uang Ifah ke mana? Uang Ifah hilang,” isaknya sambil merengek melayangkan pandang ke seluruh halaman.
“Maksudnya uang yang Bunda kasih buat tabungan tadi pagi?” Bunda mencoba menguasai keadaan. Ia tak ingin memarahi anak semata wayangnya, lantaran kehilangan uang sepuluh ribu, yang berupa pecahan 500 rupiah itu hilang.
“Iya, Bunda, yang dua puluh keping itu,” Ifah mulai menangis.
Bunda segera memeluk dan membawa sang anak masuk ke rumah. Anak kecil itu tak lagi memedulikan keberadaan teman barunya. Ia lebih fokus pada uangnya yang entah ke mana.
Sampai keesokan harinya saat harus berangkat sekolah, Bunda tidak menanyakan perihal uang itu pada Ifah.
Perempuan itu sadar betul, anaknya telah merasa bersalah atas kejadian tersebut, karenanya ia tak ingin membebani pikiran putri kecilnya itu. Ia justru menghiburnya dengan mengganti uang tersebut. Ifah diberi uang 10 ribu lagi.
“Ini buat ditabung di sekolah saja, ya,” pesannya sebelum mengantarnya ke sekolah.
Namun, lagi-lagi Ifah tak menurut. Setelah pulang sekolah, ia tetap pergi ke warung untuk membeli cokelat kesukaannya.
Sambil menikmati perjalanan menuju warung, ia bertemu Aji. Dengan polos ia menceritakan kejadian kehilangan uangnya.
Aji mendengar ceritanya dengan seksama. Dan menyarankan, agar selembar uang yang digenggam erat disimpan di kantong bajunya.
Ifah menuruti nasehat tersebut.
Bahkan, Aji menawarkan diri menemaninya ke warung. Mereka berjalan mereka berdua. Ifah di depan, Aji di belakang.
Namun, ketika mau masuk warung, tiba-tiba Ifah tak mendapati Aji di belakangnya lagi. Ia justru melihat teman barunya telah lari meninggalkannya. Berlari kencang tanpa berpamitan padanya.
Saat itulah, ia menyadari sesuatu. Uang di kantong bajunya sudah tak ada.
Ifah terkejut dan menangis. Ia menjadi yakin bahwa uangnya kemarin juga dicuri oleh Aji.
Ia akhirnya pulang dengan tangan hampa. Kembali gagal membeli permen coklat untuk kedua kalinya.
Gadis kecil itu pun melaporkan pada Bunda. Bahkan, ia akhirnya mengaku semuanya. Bahwa tadinya ia berniat membatalkan puasa. Juga, uangnya tak jadi ditabung di sekolah, karena akan menggunakan untuk membeli coklat pelangi kesukaannya.
“Jadi Ifah nekat, meski pun Bunda sudah melarang?” tanya Bunda dengan hati-hati.
“Maafin Ifah, Ifah kangen coklat pelangi. Tapi Ifah takut Bunda marah karena batal puasa….”
Meski terbukti berbohong, Bunda tak serta merta marah padanya. Perempuan itu justru terharu melihat keluguan anaknya.
“Ya sudah, Ifah nggak usah nangis lagi. Uang yang buat beli permen juga nggak akan kembali kan? Makanya Ifah jangan bohong lagi, kalau pengen permen besok kita beli, tapi jangan pakai bohong. Dan jangan di siang hari. Juga, abis makan, harus langsung sikat gigi,” ucap ibunya mengusap kepala Ifah dengan penuh kasih sayang.
Ifah mengangguk tanda mengerti.
Sementara, pada waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Aji sedang menyuapi seorang lelaki renta yang tergeletak lemah di gubuknya. Dari uang yang diambil dari kantong baju Ifah, ia bisa membeli dua bungkus nasi dan dua plastik teh hangat.
Sang kakek merasa heran, selama dua hari cucunya selalu pulang membawa nasi bungkus untuknya.
Tak perlu menunggu lama, sang kakek pun bertanya, “Kamu dapat uang darimana?”
Aji mendadak gugup mendengarnya. Ia tidak mungkin mengaku begitu saja. Rasa sayangnya pada sang kakek membuatnya tak tega melihatnya kelaparan dalam sakitnya.
“Anu…Ini… itu, Kek. Dari hasil ngamen,” Aji tiba-tiba mendapatkan jawaban sebisanya.
Tapi kakeknya tahu, cucunya tak pernah mengamen sebelumnya. Karena dia selalu melarang ngamen di perempatan. Khawatir dengan keselamatannya dari banyaknya kendaraan.
“Jujur saja. Kakek nggak pernah ngajari kamu bohong.”
Karena tidak terbiasa berdusta, Aji pun mengaku. Ia lalu menjelaskan alasannya.
“Kakek hargai niatmu. Tapi caramu, Kakek tidak setuju. Lebih baik Kakek kelaparan daripada harus makan barang curian,” nasehatnya.
“Iya, Kek. Aji minta maaf. Aji salah. Aji nggak tega melihat Kakek. Aji sudah berusaha ngamen, tapi selalu kena palak. Sesekali Aji juga nyoba jualan koran, tapi sekarang orang nggak suka beli koran. Akhirnya Aji nggak punya pilihan lain…..”
Akhirnya Aji menceritakan pertemuannya dengan anak kecil penghuni perumahan. Ia menuturkan semuanya, termasuk uang yang didapatkannya.
Sang Kakek berbesar hati menerima penjelasan cucunya.
“Ya sudah. Sekarang kembalikan makanan ini. Bagaimana pun ini makanan tidak halal. Lagipula Kakek sudah niatkan tetap berpuasa, walau sahur hanya dengan air putih. Dan jangan lupa minta maaf padanya.”
Aji hanya bisa diam tertunduk lesu. Ia harus membuang rasa malunya. Harus meminta maaf dan mengembalikan uang yang sudah berubah jadi nasi bungkus.
“Berangkatlah, siapa berbuat harus bertanggungjawab,” ucap kakeknya sambil menepuk pundak Aji.
Sesampainya di rumah Ifah, Aji sudah menduga akan mendapat sambutan yang tidak menyenangkan.
“Kamu pencuri! Bunda melarang Ifah dekat-dekat kamu lagi!” teriak Ifah.
Aji kehilangan harapan untuk meminta maaf. Tapi, niatnya sudah bulat. Dia harus menjalankan perintah kakeknya.
“Maaf . Saya nyuri karena terpaksa….”
Ifah terdiam mendengar penjelasan dari Aji.
Setelah menceritakan semuanya, Aji pun mengembalikan dua bungkusan dalam tas plasik kepada Ifah.
Tanpa disadari, Bunda mengamati kejadian itu dari balik pagar. Sedikit tertegun ia melihat sikap anak sekecil itu yang berani jujur untuk mengakui kesalahannya.
Perempuan muda itu menatap Aji dari kejauhan. Mendadak, ia merasa iba dengan penampilannya. Dengan melihat rambut dan baju yang dipakainya.
Ia kemudian mendekati Ifah dan memanggil Aji.
“Aji, kamu tidak perlu mengembalikan nasi ini. Ini buat kamu dan kakekmu di rumah,” katanya sambil mengembalikan kantong plastiknya lagi. “Kalau tidak puasa, makanlah. Tapi kalau sedang puasa, bisa buat berbuka saja.”
Ifah hanya melihat kejadian itu dengan tatapan wajah yang lugu.
“Jangan, Bu. Kakek saya melarang. Lagipula Kakek masih berpuasa,”
“Kamu sendiri puasa?” tanya Bunda. “Kan udah gede, harusnya udah kuat berpuasa.”
Aji kemudian menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Bunda pun tersenyum melihatnya. Ia menghargai kejujuran Aji. Dalam hati ia merasa kakeknya telah berhasil mendidik anak kecil itu menjadi pribadi yang jujur. Sebab ia percaya, kejujuran adalah modal awal yang perlu ditanam sejak dini.
“Sudah diterima saja,” katanya memaksa agar Aji menerima nasi bungkusnya. “Ini sudah bukan lagi barang curian. Halal.”
“Terima kasih, Bu….,” mata Aji berkaca-kaca. Ia seakan telah mencicipi buah manis dari kejujurannya.
“Oh iya, satu lagi, ini juga diterima ya. Semoga cukup untuk beli obat buat Kakek dan makan sahur besok pagi,” ucap Bunda memasukkan selembar uang warna merah ke saku Aji. [erlina]

Quote 1:
Kejujuran adalah modal awal yang perlu ditanam sejak dini pada setiap anak.
Quote 2:
Ia seakan telah mencicipi buah manis dari kejujurannya

Sumber : Primadani, erlina. 2015. majalah embun. Solo: KSU Ihsan Mandiri.