Kenapa tidak ada bidadara di surga?

Dalam salah satu kultumnya, Bapak Quraish membahas salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang indahnya surga. Intinya bahwa untuk menggambarkan surga yang sebenarnya itu sangatlah sulit karena surga jauh lebih nikmat dan indah dari kenikmatan dan keindahan yg ada didunia. Jadi, Al-Quran menjelaskannya dengan sesuatu yang bisa dicerna oleh akal manusia.

Salah satu kenikmatan yang akan ditemukan oleh orang-orang yg beriman di surga adalah mereka dijanjikan akan bertemu dengan bidadari-bidadari. Well, bayangan saya, bidadari itu pasti cantik rupawan. Siapapun yang melihat, pasti bilang cantik. Tidak ada kata2 lumayan, atau jika dinilai 0-10, nilai bidadari pasti 10, paling gak 9,75 lah. Halah,ribet amat ya. Well, jadi, jargon “cantik itu relatif” sudah tidak relevan lagi disini. Setuju?

Nah, sebagai wanita, saya jg pengin dong ketemu bidadara, hehe. Ternyata, pak Quraish sudah tahu, pasti ada perempuan-perempuan (seperti saya) yang bertanya-tanya dan berharap ada pembahasan bidadara sebagai makhluk indah untuk perempuan di surga?

Well, beliau menjelaskan kenapa tidak disebut atau tidak ada pembahasan bidadara.  Jawaban beliau memuaskan (paling tidak bagi saya pribadi). Tidak ada dijelaskan bidadara karena wanita itu suka dengan loyalitas,atau kesetiaan. Jadi, secara naluri, ketampanan bukan menjadi hal utama yang wanita inginkan dari lawan jenis. Wanita lebih suka dengan kesetiaan daripada wajah rupawan.

Baiklah, mungkin, menurut saya, bisa jadi bagi wanita yang masuk surga, akan bertemu dengan suatu bentuk loyalitas disurga dengan versi (keinginan/harapan) masing-masing. Entahlah.

Takhayul dan Nalar: Mana yang akan bertahan (lama)?

Tulisan Damhuri Muhammad di kolom Opini Kompas, 7 Oktober 2016, membuat saya selalu tersenyum bahagia dan mengiyakan saat penulis mencontohkan beberapa cerita “mistis” yang sering dijumpai di Indonesia. Saya tersenyum bahagia karena beberapa kejadian yang saya alami mempunyai rasa takhayul yang serupa dengan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya saja, suatu ketika, saat saya berkumpul dengan teman-teman seperjuangan dalam Pertukaran Pemuda ASEAN-Korea 10 tahun silam, tidak sedikit dari kami yang menghindari berfoto bertiga. Alasannya, dalam bahasa Jawa, berfoto bertiga, salah satu kategori aktifitas yang disebut “ora ilok” atau “tidak diperkenankan (melekat ke nuansa alasan yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat)”. Konon, jika foto bertiga, orang yang menempati posisi ditengah akan tertimpa suatu kejadian yang tidak baik. Pernyataan datang dari sahabat saya, anak kota, yang notabene pelajar pilihan sebagai salah satu kandidat pertukaran pemuda mewakili Indonesia. Apakah kami berdiskusi lebih lanjut mengenai hal tersebut saat itu? Tentu saja tidak. Bagi yang percaya, mereka lebih memilih diam dan tidak berfoto bertiga karena tidak bisa memberikan alasan logis. Bagi yang tidak percaya, ya hanya tetap melanjutkan berfoto bertiga dengan meyakinkan yang lain bahwa setelah berfoto jika ada yang tidak berkenan, foto akan dengan mudah di crop, atau bisa juga ditambah orang lain dengan rekayasa digital sederhana. Case Closed.

Sumber: faktakah.com
Sumber: faktakah.com

Dr. Paul Stange, seorang ilmuwan asli Amerika yang menghabiskan masa kecilnya di Indonesia, memberikan kesaksian pengalaman pribadinya tentang perbedaan perasaan saat berada di Amerika dan Indonesia. Dr. Stange mengalami “suasana hidup” yang berbeda ketika berada di Amerika dan tanah Jawa yang ditulis dalam buku berjudul “Kejawen Modern”.

“ Ketika menginjakkan kaki di pulau Jawa, secara batiniah ataupun lahiriah saya selalu disambut oleh angin, merasa kegandengan hidup, dan kesambungan rasa dengan gema hidup lingkungan yang secara nyata terkait kehadiran Ilahi, yaitu “kepercayaan (dalam batin, tidak hanya angan-angan) adanya Tuhan”. Bisa disebut keajaiban karena ketika berada di (alam ) Eropa (Barat), seolah-olah megah, diumpamakan “mati jalur cipta” demi penjelasan batiniah…” (hal.xi).

Apakah yang dialami Dr. Stange hanya karena kebetulan saja jika saat diba di Indonesia memang cuaca sedang berangin, atau mood Dr. Stange sedang sendu, sehingga perasaan melankolislah yang terasa? Entahlah. Tapi ingat, penulis yang tinggal 6 tahun di Jakarta ini, tidak hanya sekali dua kali saja melakukan perjalanan pulang pergi dari Indonesia ke Amerika. Artinya, pengalaman pribadi tentang “rasa” ini tidak bisa dianggap biasa.

Damhuri dalam tulisannya “Takhayul dan Nalar yang Lumpuh” mengilustrasikan bagaimana “ilmu nalar” yang dipelajari oleh seorang sekaliber guru besar pun tidak berfungsi saat dipertemukan dengan kejadian beraliran paham ketakhayulan yang sudah tertanam dalam darah (kebanyakan) manusia di Indonesia. Pertanyaan saya sekarang adalah, “rasa” manakah yang akan hidup atau bertahan lebih lama, apakah “rasa” takhayul atau nalar. Jawabannya untuk sementara adalah, “entahlah”. Ada alasan yang mendasari jawaban saya terkait dengan pendidikan.

Penerimaan ilmu dalam dunia pendidikan di Indonesia (hingga pendidikan tinggi) masih sebatas penerimaan input, teori, pemahaman yang dipercaya “hendaknya” diterima, bukan untuk ditelaah, dikaji, dan diselesaikan jika tidak sesuai pada kondisi tertentu. Jikapun ada studi kasus yang dibahas, hanya sekedar mengetahui, tidak dikaitkan dengan kenyataan yang sedang dihadapi, tidak disikapi perbedaan antara studi kasus yang dibahas dengan pengalaman riil yang dihadapi masing-masing orang. Seolah, ilmu yang dipelajari sungguh “tidak dekat” dengan pengolahan argumen, pencarian fakta, dan proses merangkum kenyataan didunia yang sebenarnya dialami masing-masing pribadi. Pendidikan tinggi yang menghasilkan ijazah seolah hanya mensyahkan secara formal saja bahwa kita sudah melampaui jumlah SKS mata kuliah dalam kurun waktu tertentu. Kita (mungkin amannya saya akan sebut saya sendiri J ) terbiasa menghindari “konflik” dari pernyataan yang ditulis oleh penulis terkenal, public figure, dan orang-orang terkenal lainnya. Saya tersadar setelah mengenyam pendidikan saya di Eropa. Beberapa pengalaman kesengajaan mencari “konflik” dalam proses menimba ilmu, menjadi hal yang lumrah saja di negeri kincir angin. Menghindari “konflik” menjadi hal yang tidak lumrah lagi. Tidak berpendapat sama saja dengan tidak mempunyai pendirian. Hanya “nrimo”, menerima, atas suatu teori atau ide, atau kejadian, terkesan kita menjadi orang yang tidak bisa berfikir. Dalam hitungan bulan, akhirnya tertanam juga bagaimana asyiknya berargumentasi, menelaah, mendebat, termasuk menerima atau menolak berbagai informasi setelah melalui proses pemahaman yang tidak mudah. Pengalaman “berhijrah” dari yang suka “nrimo” (yang terpaksa diharuskan) menjadi “penelaah” pun akhirnya dilakukan dengan penuh duka daripada suka, terseok-seok, susah payah, dan terasa sangat berat. Berbeda pendapat dengan pembimbing thesis (terpaksa) menjadi hal yang biasa. Beradu argumen dengan anggota kelompok belajar yang berpengalaman, sudah senior, dan yang mempunyai jabatan di negara asalnya pun menjadi hal yang umum. Kesusahan saya saat berakit-rakit berhijrah menjadi “penelaah” bukan hal yang mudah mengingat bahwa budaya “nrimo” tidak bisa dihilangkan begitu saja dari aliran darah Jawa saya.

Sekembalinya dari Eropa, beberapa bulan pertama dasar-dasar berfikir nalar dalam kehidupan sehari-hari masih melekat. Misalnya, saya tetap akan manyapu lantai dimalam hari jika saya dalam seharian belum sempat membersihkan lantai rumah. Alasanya mudah, karena lantai kotor, dan malam hari saya sempat, ya saya bersihkan. Itu saja. Bagaimana dengan rasa “ora ilok” atau “tidak diperkenankan” tadi? Rasa itu justru bergeser menjadi kepercayaan bahwa “tidak diperkenankan diam saja jika sudah merasa lantai rumah kotor, bersihkan saja kapanpun waktunya saat saya sempat, bahkan ditengah malam sekalipun”.

Sumber: bintang.com
Sumber: bintang.com

Beberapa bulan yang lalu, suatu ketika, saat teman saya di satu studio olahraga melihat ada tahi lalat saya sebesar biji pepaya dipunggung, dia mengingatkan, bahwa, hendaknya saya segera menghilangkan tahi lalat tersebut, karena tahi lalat dipunggung, baik dibagian kiri, kanan, atau tengah, berarti akan selalu ada beban dalam hidup yang kita jalani. Ini berdasarkan pengalaman beliau yang juga sudah menghilangkan tahi lalat yang berada diposisi yang sama. Spontan reaksi pertama saya adalah mengeluarkan pertanyaan nyinyir dengan dahi mengkerut, “masa sih?”. Setelah merasa terkesan arogan (tidak percaya atau berargumen (berkonflik) dengan orang yang lebih tua), saya lalu merasa perlu mendengarkan kisah tahi lalatnya dengan seksama dan (berusaha) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Singkat cerita, tahi lalatnya diambil dan sudah menghilang dari peredaran area punggung. Kemudian apa yang terjadi, kehidupan beliau menjadi lebih baik, tidak punya beban, dan jauh lebih bahagia. Lalu, kira-kira langkah apa yang akan saya ambil? Jujur saja saya belum bertindak apa-apa. Alasanya sederhana, diakhir tahun, tabungan menipis, untuk berkonsultasi ke dokter dan mengambil tahi lalat yang saya rasa tidak mengganggu, perlu mengeluarkan sejumlah uang, belum menjadi prioritas saya. Apakah saya masih akan asyik berargumentasi tentang kisah perlu tidaknya melakukan tindakan operasi tahi lalat saya? Bisa iya, bisa tidak. Jika terjadi ketidakseimbangan rasa nalar, mungkin tahi lalat ini akan lenyap dalam waktu yang tidak lama lagi. Namun, bisa juga sebaliknya.

Jadi, kemungkinan, misalnya kita berandai-andai, banyak dari orang Indonesia yang seperti saya, manakah yang akan bertahan? Rasa takhayul atau Nalar?