Orang Jawa mempunyai tradisi pemikiran yang unik, bersifat metafisik, dan lekat dengan mistikisme. Tradisi pemikiran di aplikasikan dalam segala aspek budaya baik yang bersifat material ataupun nonmaterial. Cara berpikir masyarakat jawa yang lekat dengan mistikisme paling tampak ketika mereka menghadapi situasi ketidakberdayaan seperti ketika terkena wabah atau penyakit dan cara- cara penyembuhan yang di lakukan untuk mengatasinya tidak rasional. Cara irasional dapat berupa pusaka sakti yang dapat di gunakan untuk mencegah wabah penyakit. Kondisi masyarakat jawa saat ini telah berubah dengan adanya arus modernisasi dengan rasionalitas instrumental sebagai unsur utamanya.
Perubahan Budaya (Aspek Fisik)
Budaya merupakan gambaran dari seluruh proses kehidupan manusia yang terkait dengan elemen fisik dan non fisik. Budaya merupakan pola piker dan karya dari pola pikir tersebut. Salah satu wujud karya fisik budaya jawa adalah tatanan rumah. Jika memeriksa tatanan rumah zaman dulu akan di temukan rumah yang selalu menghadap ke utara dan selatan. Banyak rumah yang tetap menghadap ke kedua arah tersebut meskipun jika menghadap ke arah lain lebih strategis. Di masa itu ada konstruksi berpikir bahwa menghadapkan rumah selain ke arah utara dan selatan di anggap membelakangi aau nyingkuri Keraton Yogyakarta, Kraton Laut Selatan, dan Merapi. Jika hal itu di langgar akan mendatangkan kualat. Dewasa ini, khas model berfikir masyarakat jawa tersebut bergeser menjadi tafsiran yang lebih rasional. Masyarakat memberi tafsir baru bahwa pilihan arah rumah merupakan pilihan yang cerdas berdasarkan logika kesehatan yaitu, dengan menghadapkan rumah ke arah utara atau selatan, angin dari gunung dan dari pantai mudah masuk sehingga rumah menjadi sehat. Selain itu menghadapkan rumah ke arah barat dan arah timur akan membuat mata silau karena dua arah tersebut merupakan arah terbit dan tenggelamnya matahari. Tetapi masyarakat pada masa itu lebih menerima alas an mistis terkait alasan ketidakpantasan nyingkuri keraton
Perubahan Budaya (Aspek Non Fisik)
Secara umum kepercayaan terhadap hal-hal mistis tidak lagi di percaya secara mantap. Masyarakat berubah menuju pola pikir yang rasional dan pragmatis. Di dalam masyarakat bagian dalam masih ada orang – orang yang percaya dengan logika mistis, di lapisan yang lebih luar terdapat orang – orang yang “setengah percaya” dengan logika mistis. Di lapisan selanjutnya merupakan orang yang “percaya tidak percaya”, dan bagian terluar merupakan orang -orang yang menggunakan logika rasional dan anti terhadap pola pikir mistikisme.
Pola pikir “setengah percaya” merupakan pola pikir yang menganggap suatu tradisi tidak masuk nalarnya, tetapi dia mengabaikan ketidaknalaran tersebut karena takut jika akibat kosmologis mistis yang di khawatirkan tersebut benar-benar terjadi. Konstruksi pengetahuan tersebut muncul karena masih adanya pengetahuan lama dari crita dan pengalaman masa lampau yang menunjukkan kesesuaian mitos dengan kenyataan. Pengetahuan lama tersebut sering mucul dan meneror orang untuk mengikuti tradisi sehingga mereka mengabaikan kesangsian rasionalnya. Langkah yang kemudian di ambil adalah lebih baik melaksanakan tradisi yang tidak masuk akal daripada bencana benar – benar datang. Hal ini tampak dari ketidakberanian masyarakat untuk menggelar acara hajatan paada hari pantangan seperti bulan Sura. Orang yang “percaya tidak percaya” yaitu orang yang sebenarnya sangat yakin tidak percaya dengan “petungan” tetapi mereka takut untuk meninggalkan, karena mitos ini dapat menggerakan mekanisme sosial kelembagaan, bahkan sangsi sosial jika seseorang mengabaikan tradisi.
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang di pakai dalam percakapan sehari – hari oleh orang jawa dalam masyarakat yang menjadi identitas diri bagi masyarakat asli suku jawa. Pergeseran bahasa jawa dari krama inggil ke krama ngoko berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakatnya yang menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi. Pergeseran bahasa krama inggil ke krama ngoko dapat di lihat seperti saat ini anak muda menganggap berbicara atau berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing daripada menggunakan bahasa jawa krama inggil. Pergeseran bahasa jawa yang terjadi pada masyarakat, misalnya masyarakat jawa yang tinggal di lingkungan daerah pulau jawa yang murni dan kental adanya tradisi dan kebudayaan asli jawa seperti pada keluarga golongan priyayi. Hal tersebut secara tidak mereka sadari berawal dari bahasa yang mereka gunakan dapat mempengaruhi atau membawa perilaku diri mereka menjadi tidak seperti biasanya. Ketika generasi penerus yang termasuk itu anaknya dan cucunya yang erlahir dari golongan priyayi menjadi berbeda karena mengikuti arus zaman modern saat ini. Mereka tidak lagi memperhatikan dan menjaga tradisi kebudayaan jawa yang telah di ajarkan nenek moyang dan orang tua mereka dengan bertindak tanduk yang sopan, berbicara dengan bahasa krama inggil yang halus tnapa kata-kata kasar. Ketika keaslian tradisi budaya jawa mulai memudar dari diri masyaraka, dapat membawa perubahan negatif bagi diri mereka mulai dari perilaku hingga menjadi kebiasaan yang terus di bawa dan mendapat pengaruh dari lingkungan dan masyarakat luar.
Sumber :
hai wiwin…. tulisan yang sangat menarik, menambah pengetahuan saya mengenai masyarakat jawa… senang sekali bisa mengikuti tulisan-tulisan wiwin selanjutnya 🙂
hai wiwin, tulisanmu sangat menarik bagi saya yang berasal dari luar Jawa. dari awalnya saya belum begitu paham tentang masyarakat Jawa menjadi lebih paham. semoga postingan-postinganmu selanjutnya dapat menambah pengetahuan bagi kita semua…salam 2 jari
Terima kasih mbk aminah yusuf
hai mba wiwin, postingannya sangat positif dan menarik, membuat saya pribadi lebih peka terhadap kebudayaan jawa, saya tunggu postingan-postingan berikutnya ya mba, semangat!