Haii sahabat blogger…
Kali ini saya akan membagikan postingan mengenai Pendidikan Karakter yang ada dalam Taman Siswa. Tulisan ini merupakan hasil review dari sebuah buku yang berjudul “Aneh Tidak Seperti Biasanya”, dan juga merupakan tugas yang berkaitan dengan mata kuliah Antropologi Agama
“Mencari Pendidikan Berkarakter Menapaki Pendidikan Indonesia dari Taman Siswa”
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membangun dan mengangkat budaya suatu bangsa, melalui proses transfer pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan saat ini diartikan pada pencapaian hasil akhir yang memuaskan, sehingga proses dalam mencapai hasil tersebut seringkali tidak lihat. Hal ini yang menyebabkan terjadinya salah kaprah dalam pendidikan saat ini. Akibatnya sekolah-sekolah saat ini berlomba-lomba untuk meningkatkan jumlah kelulusan dengan nilai yang tinggi dan meningkatkan akreditasinya dengan tujuan untuk menarik minat calon siswa untuk mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Selain itu pendidikan saat ini lebih banyak menekankan pada ranah kognitif (daya cipta). Namun hal ini berbeda dengan sistem pendidikan pada Pendidikan Perguruan Taman Siswa yang memiliki sistem among dengan menggunakan asas kemerdekaan, kekodratan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan atau yang dikenal dengan “Panca Dharma Tamansiswa”. Dalam Pendidikan Perguruan Taman Siswa juga melibatkan tiga unsur antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan menggabungkan antara olah pikir, olah rasa, dan seni. Taman siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1992, dengan nama awal National Onderarijs Instituut Tamansiswa oleh R.M Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), yang menekankan pada kesamarataan tanpa memandang status, suku, agama , dan ras. Guru pada Perguruan Taman Siswa disebut dengan pamong, untuk laki-laki dipanggil Ki, dan untuk perempuan dipanggil Nyi.
Pembelajaran dalam Taman Siswa tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga diluar kelas seperti pendapa, untuk mata pelajaran tari, gamelan, dan pencak silat. Menurut Ki Hadjar Dewantara manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya, sehingga pengembangan dari ketiga aspek tersebut haruslah seimbang, karena apabila hanya menekankan pada satu aspek akan menyebabkan siswa kurang memiliki jiwa sosial yang berakibat pada hubungan yang jauh dari masyarakatnya. Dalam Pendidikan Taman Siswa ketiga aspek tersebut dijalankan secara seimbang untuk pengembangan diri dan kepribadian siswa. Selain itu juga terdapat pendidikan kesenian yang menjadi ciri khas dari Pendidikan Taman Siswa, yang dapat membentuk watak, kemandirian, serta budi pekerti pada siswa. Bentuk pendidikan budi pekerti dan sopan santun diwujudkan dalam bentuk berbahasa daerah yaitu bahasa Jawa untuk menghormati gurunya seperti ketika izin bertemu pamong atau izin keluar, meskipun dalam pengantar pelajaran juga menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam Perguruan Taman Siswa terdapat pamong anggota dan pamong keluarga. Pamong anggota yaitu pamong yang telah menjadi anggota dan memiliki nomor anggota, sedangkan pamong keluarga pamong yang masih baru dan belum memiliki nomor anggota (pamong honorer). Penentuan menjadi pamong didasarkan pada pengabdian di atas lima tahun, prestasi, dan ketentuan dari Majelis Luhur. Inti dari Pendidikan Perguruan Taman Siswa adalah penerapan dari Panca Dharma, di mana pamong (guru) mampu melaksanakan asas-asas tersebut, sehingga hubungan pamong dan siswa dekat dan memiliki rasa kekeluargaan, serta tidak ada rasa takut pada pamong, tetapi tetap hormat dan segan. Pamong tidak hanya ada saat di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Seperti yang dikatakan oleh Wintolo seorang alumni Taman Siswa, bahwa sudah menjadi hal yang biasa jika guru main ke rumah siswa, dan sebaliknya murid main ke rumah gurunya, sehingga murid tidak ada rasa takut kepada pamongnya tetapi tetapi hormat pada pamongnya. Namun setelah reformasi sekolah Taman Siswa mengalami perubahan, yang disebabkan pengajar dalam sekolah Taman Siswa mulai tua dan kurang adanya kaderisasi.
Meskipun sebulan sekali setiap hari Rabu Wage (pertemuan Rabu Wagen) diadakan sarasehan yang berisi tentang pemahaman taman siswa, dan pertemuan Selasa Kliwon yang berisi tenatng mengenang etos kerja Ki Hadjar Dewantara, namun pamong muda (pamong keluarga) jarang hadir sehingga pemahaman tentang ajaran taman siswa kurang dipahami dan di mengerti oleh para pamong muda, sehingga menyebabkan memutusnya kaderisasi. Hal ini menyebabkan beberapa hal yang berubah seperti pamong berkunjung ke rumah siswanya hanya jika ada permasalahan siswa da nada kasus di sekolah yang menyangkut siswa, sedangkan kunjungan guru ke rumah siswa atau sebalinya hanya untuk sekedar main sudah tidak dilakukan lagi. Selain itu banyak pamong yang tidak memberikan contoh yang baik kepada siswanya seperti pamong yang merokok, datang terlambat. Selain itu perubahan profesionalias pada guru juga mulai terlihat, yang sebelumnya guru bekerja sebagai bentuk pengabdian, mulai berubah menjadi bekerja harus mendapatkan imbalan yang sesuai dengan keahliannya dan jam kerjanya. Saat ini tanggungjawab guru hanya ketika guru ada di sekolah, sehingga ketika diluar sekolah maka siswa sudah dikembalikan kepada orang tua dan bukan lagi tanggungjawab guru.
Menurut salah satu pengurus keungan Taman Siswa, Pak Budi Angkoso Perguruan Taman Siswa tidak dapat menjamin kesejahteraan pamongnya, sehingga saat ini ketika pamong sudah di luar jam sekolah maka akan bekerja mencari penghasilan tambahan ditempat lain. Permasalahan lain yang dialami Taman Siswa yaitu adanya orientasi pendidikan yang mulai berubah. Orientasi pendidikan masyarakat yang lebih kebarat-baratan seperti adanya sekolah bertaraf internasional dan kemudian saat ini lebih banyak berorientasi pada agama lebih banyak diminati dibandingkan sekolah-sekolah yang mengusung pendidikan karakter kebangsaan seperti sekolah Taman Siswa. Akibatnya jumlah murid yang masuk ke sekolah Taman Siswa dari tahun ke tahun semakin mengalami penurunan, bahkan ada beberapa sekolah Taman Siswa yang gulung tikar karena peminatnya semakin sedikit. Selain itu terdapat faktor lain seperti orientasi orang tua yang memilih sekolah yang berbasis agama, dengan pemikiran bahwa pendidikan agama harus dimulai sejak kecil sebagai bekal hidup dan citra nilai lulusannya siswanya juga baik. Hal ini yang menyebabkan citra sekolah Taman Siswa kalah dengan sekolah-sekolah berbasis agama, sekolah bertaraf internasional dan sekolah negeri. Hal ini ditambah dengan adanya kebijakan bahwa sekolah harus menerima siswa berkebutuhan khusus sebanyak 5-10% dari total siswa. Tetapi di sekolah taman siswa justru jumlah siswa berkebutuhan khusus melebihi jumlah tersebut bahkan sampai mencapai 50% dari total siswa.
Banyaknya siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah taman siswa, menyebabkan orang tua tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah taman siswa. Hal ini dikarenakan pemikiran orang tua jika anaknya disekolahkan di sekolah Taman Siswa, yang seharusnya anak normal membantu belajar anak berkebutuhan khusus, tetapi jika jumlah anak berkebutuhan khusus lebih banyak maka hal tersebut menjadi dipertanyakan bagaimana siswa normal dapat membantu anak yang berkebutuhan khusus yang justru jumlahnya lebih banyak, sehingga hal tersebut yang kemudian mengurungkan niat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Taman Siswa.