haiii sahabat blogger, kali ini penulis akan membagikan sedikit pengetahuan mengenai kearifan lokal dalam masyarakat. Postingan kali ini berkaitan dengan materi antropologi kelas XII mengenai sumber-sumber kearifan lokal dan tradisi lisan
Kearifan Lokal
Alwasilah (dalam Trisna 2016) mengatakan bahwa kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, kepercayaan, yang mencakup cara mengamati dan mengukur alam sekitar, menyelesaikan masalah, sehingga kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan. Kearifan lokal terbentuk suatu kurun waktu yang cukup lama, misalnya suatu kepercayaan yang bersifat mitos. Terbentuknya suatu mitos tersebut biasanya melalui suatu pewarisan dari suatu generasi ke generasi. Pewarisan dilakukan melalui penuturan dari penutur kepada generasi berikutnya sehingga membentuk suatu tradisi lisan
Beberapa sumber –sumber kearifan lokal dalam masyarakat yaitu :
- Petuah-petuah, yang merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok tertentu, yang biasanya dinyatakan berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya
- Kisah-kisah, yang merupakan kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group account) yang bersifat magis religius, sehingga kisah-kisah tersebut dapat berupa fakta yang dengan cepat bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan di masyarakat.
- Cerita kepahlawanan, yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu.
- Dongeng yang pada umumnya bersifat fiksi belaka dan unsur faktanya dapat dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk menyenangkan (menghibur) bagi yang mendengarkannya, meskipun sering didalamnya terkandung unsur-unsur petuah
Dalam suatu masyarakat biasanya memiliki kebudayaannya yang bersifat kolektif, dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk suatu tradisi yang dalam perspektif kebudayaan disebut dengan folklor. Folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu (James Danandjaya, dalam Trisna 2016)
Folklor memiliki perbedaan dibandingkan dengan bentuk kebudayaan lainnya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
- Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama
- Folklor dalam versi dan varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, folklore mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
- Folklor bersifat anonim, yaitu penciptanya sudah diketahui orang lagi.
- Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku
- Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.
- Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.
- Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
- Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Selain ciri-ciri diatas berikut empat fungsi folklor yaitu :
- Sebagai sistem proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif
- Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
- Sebagai alat pendidik anak.
- Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Tradisi Lisan
Antropologi linguistik (linguistic anthro-pology) merupakan bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia termasuk keebudayaan sebagai seluk-beluk inti kehidupan manusia. Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin traditio, yang dibentuk dari kata kerja traderere atau trader mentransmisi, menyampaikan, dan mengamankan. Traditio memiliki arti kebiasaan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas.
Tradisi memiliki tiga karakteristik yaitu:
- Tradisi merupakan kebiasaan (lore) dan proses (process) kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas, sehingga tradisi memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu.
- Tradisi merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas dan tradisi memperkuat nilai dan keyakinan pembentukan kelompok komunitas. Ketika terjadi proses kepemilikan tradisi, pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan mengukuhkan rasa identitas kelompok.
- Tradisi merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya.
Tradisi lisan mengacu pada proses penyampaian sebuah tradisi dengan media lisan yang tidak hanya terdiri dari unsur-unsur verbal, melainkan juga penyampaian tradisi itu secara turun-temurun secara lisan. Dengan demikian, tradisi lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly verbal), atau nonverbal (non-verbal). Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutny dengan media lisan melalui “mulut ke telinga”.
Tradisi lisan yang memiliki unsur-unsur verbal yaitu tradisi bermantra, bercerita rakyat, berteka-teki. Selain itu juga terdapat tradisi lisan yang tidak terdiri atas unsur-unsur verbal seperti proses arsitektur, pengobatan tradisional, penampilan tari, bertenun, permainan rakyat, dan bercocok tanam tradisional dapat dikaji secara antropolinguistik dengan menjelaskan proses komunikatif tradisi-tradisi itu dari satu generasi kepada generasi lain.
Dalam kajian tradisi lisan dibagi atas tiga bagian penting, yaitu:
- Bentuk tradisi lisan yang menyangkut teks
- Tradisi lisan yang berkenaan dengan makna dan fungsi, nilai dan norma, dan kearifan lokal
- Revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan yang berkenaan dengan pengaktifan atau perlindungan, pengelolaan dan pengembangan, serta pewarisan
Dalam tradisi lisan terdiri dari dua konteks yaitu:
- Konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan tradisi lisan. Faktor-faktor sosial tersebut mencakup perbedaan jenis kelamin (gender), stratifikasi sosial, perbedaan kelompok etnik, perbedaan tempat, perbedaan tingkatan pendidikan, perbedaan usia, dan sebagainya. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat, dan bahkan komunitas pendukungnya.
- Konteks ideologi mengacu kepada kekuasaan atau kekuatan yang mempengaruhi dan mendominasi suatu tradisi lisan. Ideologi adalah paham, aliran, kepercayaan, keyakinan, dan nilai yang di anut bersama oleh masyarakat. Ideologi dapat berupa ideologi mengenai politik, negara, agama, teknologi, modernisme, tradisionalisme, dan sebagainya yang mempengaruhi, bahkan mendominasi sebuah tradisi lisan.
Pembangunan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya (Suyatno, dalam Sri Wening 2011)
Pembangunan karakter bangsa diupayakan dengan berbagai bentuk, tetapi hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya kriminalitas, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan hukum, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai pelosok negeri, pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi, tawuran yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan, serta korupsi yang kian merambah pada semua sektor kehidupan. Masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan kesantunan dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, sikap toleran dan gotong-royong, mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku egois individual. Gambaran fenomena tersebut menunjukkan bangsa ini tengah mengalami krisis moral yang menegaskan terjadinya ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa.
Urgensi pembangunan karakter dengan sifatnya yang demikian, mensaratkan karakter sebagai:
- Perekat fondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara;
- Cita-cita dan tujuan hidup bersama
- Kekuatan esensial dalam membangun karakter bangsa yang bermartabat.
Krisis moral yang tengah melanda bangsa ini menuntut segera dilakukannya rediscovery nilai-nilai luhur budaya bangsa atau revitalisasi atau semacam invented tradition melalui gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen sebagai konsensus yang lahir dari kesadaran nasional.
Lickona (dalam Deny, 2013) mmengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral yang menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yakni:
- Pengetahuan tentang moral (moral knowing)
Moral knowing meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan dalam pengambilan keputusan dan pengetahuan diri, adalah hal esensial yang perlu diajarkan kepada peserta didik.
- Perasaan tentang moral (moral feeling)
moral feeling meliputi: kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati.
- Perbuatan moral (moral action)
Tahap yang dorongan seseorang untuk berbuat baik, tampak pada aspek kompetensi, keinginan dan kebiasaan yang ditampilkannya.
Menurut Lickona (dalam Deny, 2013), ada sebelas prinsip agar pendidikan karakter dapat terlaksana secara efektif yaitu:
- Mengembangkan nilai-nilai universal sebagai fondasi
- Mendefenisikan karakter secara komprehensif yang mencakup aspek pikiran, perasaan dan perilaku
- Menggunakan pendekatan yang komprehensif dan proaktif
- Menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian
- Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan moral
- Membuat kurikulum akademik yang bermakna
- Mendorong motivasi peserta didik
- Melibatkan seluruh komponen sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral
- Menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral
- Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
- Mengevalusi karakter sekolah baik terhadap staf sekolah sebagai pendidik karakter maupun peserta didik dalam memanifestasikan karakter yang baik.
Pentingnya pembangunan karakter didasari dengan nilai-nilai moral kemanusiaan di kalangan masyarakat, baik sebagai individu maupun kelompok. Nilai- nilai moral yang kokoh dan etika standar yang kuat sangat diperlukan bagi individu maupun masyarakat melalui pendidikan nilai pada proses pendidikan, khususnya di sekolah secara terencana, terfokus, dan komprehensip untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan agar pembentukan masyarakat yang berkarakter dapat terwujud sehingga terhindar dari perilaku materialistik dan konsumtif.
untuk menambah wawasan mengenai kearifan lokal masyarakat, penulis menambahkan artikel mengenai tradisi lisan yang ada di Jambi, yang dapat diakses melalui link berikut ini https://www.jambiupdate.co/artikel-menuliskan-tradisi-lisan.html
Selain artikel di atas, penulis menyajikan beberapa pertanyaan untuk mengetahui pemahaman anda mengenai materi di atas. berikut ini pertanyaan yang berkaitan dengan materi di atas
- Bagaimana suatu kearifan lokal dalam masyarakat dapat terbentuk dan tetap ada hingga saat ini. Jelaskan pendapat anda!
- Kisah-kisah dalam masyarakat merupakan salah satu sumber kearifan lokal yang bersifat magis religius. Jelaskan pendapat anda mengapa kisah tersebut dapat dikatakan bersifat magis religius!
- Bagaimana keterkaitan suatu tradisi dengan pengukuhan identitas suatu kelompok masyarakat?
- Unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam suatu tradisi lisan? Dari unsur-unsur tersebut berikan contoh masing-masing unsur!
- Bagaimana pembangunan karakter di Indonesia saat ini? Apakah pelaksanaannya sudah berjalan optimal? Jelaskan dan berikan alasan!
Sumber:
Suyatno. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter.Jakarta: Depdiknas.
James Danandjaya, (1991), Folklor Indonesia Ilmu gossip, dongeng dan lain-lain, Jakarta : Graffiti
Robert Sibaran.2015. Pendekatan Antropologi Lingustik Terhadap Kajian Tradisi Lisan.Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 1, hlm. 1-17.https:// ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret
Trisna Sumayadi.2016.Tentang Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.Jurnal Civics, Vol. 13, No. 1, hlm. 99
Sri Wening.2012.Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai.Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. 2, No. 1, hlm. 59-64
Deny S.2013.Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral.Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. 3, No. 1, hlm. 53-59