haii sahabat blogger, kali ini saya kembali akan membagikan sedikit tulisan saya yang merupakan hasil dari tugas mata kuliah Religi dan Etika Jawa yang saya tempuh di semester 4. Nah dalam tulisan saya kali ini akan sedikit menjelaskan sebuah refleksi diri orang Jawa di era modern saat ini. Langsung saja berikut penjelasannya
Orang Jawa memilki banyak filosofi Jawa yang di jadikan pedoman hidup dan pandangan hidup mengenai dunia dan bagaimana menjalaninya. Sebelum saya belajar mengenai Etika Jawa perilaku saya sehari – hari berdasarkan pada nilai yang telah di ajarkan oleh orang tua, keluarga dan nilai yang di anggap baik oleh masyarakat di tempat tinggal saya.
Pemahaman saya mengenai orang Jawa yaitu bahwa orang Jawa memiliki perilaku yang sopan bertutur kata yang halus misalnya ketika berbicara terhadap orang tua menggunakan bahasa krama inggil, dan ketika berbicara dengan yang lebih muda atau sebaya menggunakan bahasa ngoko alus atau ngoko lugu, sehingga dalam berbicara terdapat tingkatan bahasa yang perlu di perhatikan. Karakteristik orang Jawa di kenal memiliki sikap yang sopan, ramah tamah, dan menghargai orang lain. Sikap sopan tersebut dapat di lihat dari perilaku orang Jawa yang menghormati orang yang lebih tua, berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai dan tata krama orang Jawa. Sikap ramah tamah orang Jawa dapat di lihat dari sikap menyapa. Dalam keluarga saya di ajarkan sikap ramah tamah seperti ketika bertemu orang yang di kenal menyapa, misal melewati rumah tetangga yang orangnya ada di depan rumah atau di teras, atau melewati sekumpulan orang di desa yang berkumpul di poskampling. Hal ini di karenakan jika tidak menyapa ketika bertemu dengan orang yang di kenal biasa di sebut dengan sebutan anggep atau tidak sesuai dengan tata krama. Selain itu orang Jawa juga di kenal dengan Andhap Asor yaitu perilaku yang merendahkan diri dengan sopan terhadap orang yang berstatus sederajat atau lebih tinggi.
Dalam masyarakat Jawa jika berperilaku tidak sesuai dengan nilai dan etika jawa dalam masyarakat akan di katakan ora njawani, sehingga ketika berperilaku di masyarakat harus sesuai dengan niali – nilai dan etika yang di anggap baik oleh masyarakat di lingkungan tersebut. Apabila salah satu anggota masyarakat berperilaku tidak sesuai dengan nilai dan etika yang yang di akui dan di anggap baik oleh masyarakat di lingkungan tersebut, maka akan memunculkan teguran, cemooh bahkan labeling dari masyarakat itu sendiri, sehingga apabila seseorang sudah mendapat label / cap yang buruk dari masyarakat setempat perilaku yang selanjutkan juga akan mendapat penilaian yang kurang baik dari masyarakat. Selain itu dalam kehidupan bermasyarakat orang jawa di kenal dengan nilai gotong royongnya yang tinggi, kekeluargaan dan tepa slira, sehingga hubungan antar anggota masyarakat dapat mengarah ke arah damai dan tenggang rasa. Misalnya di desa ketika salah satu tetangga yang memiliki acara hajatan, tetangga yang lain dengan terbuka akan datang dan membantu, seperti di desa di kenal dengan sebutan rewang dan anak muda biasanya juga ikut membantu dalam acara tersebut yang biasa di sebut nyinom
Saya ketika masih bersekolah di tingkat SMA termasuk salah satu remaja desa yang ikut dalam kegiatan tersebut, karena saya termasuk anggota dalam Karang Taruna di desa saya. Kegiatan rewang dan nyinom merupakan salah satu bantuan secara non material dan tanpa di beri upah selain itu ketika ada salah satu anggota masyarakat yang membangun rumah, tetangga yang lain biasanya juga membantu atau sambatan . Sebagai orang Jawa dari kecil saya di ajarkan tentang nilai Jawa seperti sopan santun, tata krama, keuletan, saling menolong, tidak merasa lebih dari orang lain. Sebagai orang Jawa saya di ajarkan tentang sopan santun seperti ketika berjalan di depan orang tua badannya agak menunduk, berjalan di belakang orang tua, mengucapkan salam ketika masuk rumah atau bertamu, menolong orang yang sedang kesusahan. Dalam masyarakat Jawa, orang Jawa di kenal sikap toleransi yang tinggi terhadap sesama baik toleransi terhadap perbedaan pendapat, agama, suku, maupun budaya. Selain itu bagi orang Jawa ketika ada konflik lebih memilih diam sehingga konflik tersebut tidak muncul di permukaan. Bagi orang Jawa rukun dan damai merupakan cita – cita yang luhur, karena rukun menjadi kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Rukun dalam orang Jawa dapat di lihat dari sikap tolong menolong orang Jawa. Di desa saya antar tetangga sangat rukun karena saling membantu, misalnya dalam aktivitas sehari – hari ketika memasak ada kekurangan bumbu biasanya meminta kepada tetangga dekat karena jarak antar satu rumah dengan rumah yang lain sangat dekat.
Masyarakat Jawa pada umumnya menjunjung tinggi sikap hormat, misalnya kepada yang lebih tua, orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, atau pemimpin, Sedangkan orang yang memiliki kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi mengayomi yang berada di bawahnya. Orang Jawa juga dalam memandang dunia juga percaya pada dunia makhluk halus sehingga dalam melakukan aktivitas juga memperhatikan hal tersebut seperti dengan melakukan sesaji untuk makhluk halus. Dalam masyarakat Jawa terdapat Santri dan Islam Kejawen, yang masing – masing memiliki keyakinan tersendiri.Golongan Islam Santri yaitu golongn yang menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Islam dan syariat – syariatnya, sedangkan Golongan Islam Kejawen yaitu golongan yang percaya terhadap ajaran Islam, tetapi juga masih percaya dengan kekuatan lain. Contohnya di Desa saya sampai saat ini masih mempercayai hal – hal mistis tersebut, karena dalam aktivitas masyarakat seperti hajatan, membangun rumah, kelahiran dan acara tertentu yang masih melakukan sesaji di dekat sungai atau di perempatan jalan untuk makhluk halus dengan tujuan agar tidak mendapat gangguan atau mendapat keselamatan, karena masyarakat di desa saya percaya bahwa jika tidak melakukan hal tersebut maka kelancaran acara akan terganggu. Selain itu masyarakat juga masih percaya dengan hal – hal gaib seperti memedi, genderuwo, wewe gombel, dan tuyul. Bahkan di desa saya terdapat isu bahwa salah satu warga memiliki tuyul sebagai pesugihan. Masyarakat Jawa juga percaya dengan hari baik atau hari naas, kepercayaan terhadap hari baik ini dapat di lihat ketika aka nada acara pernikahan, biasanya untuk menentukan hari pernikahan harus menurut perhitungan seperti perhitungan dari buku primbon, sehingga dalam menentukan hari pernikahan tidak sembarang hari.
Selain itu masyarakat juga mempercayai hari naas atau hari sial, pada hari – hari tersebut biasanya masyarakat lebih memilih untuk di rumah dan tidak bepergian seperti bepergian jauh atau berdagang, karena di khawatirkan akan berpengaruh terhadap keselamatan. Hari naas tersebut dalam masyarakat dapat di ambil dari beberapa pengalaman sebelumnya seperti sering sial di hari tertentu atau karena peristiwa tertentu misalnya gempa bumi yang dahsyat. Masyarakat Jawa juga percaya terhadap hari kelahiran atau weton, karena masyarakat mempercayai weton dapat menentukan sifat seseorang. Masyarakat di desa saya seringkali mengatakan bahwa seseorang yang wetonnya sama sulit akur atau rukun. Biasanya hal ini di katakana kepada anak – anak kecil yang sering bertengkar ketika bermain, wetonnya sama sulit akur tetapi kalau sudah besar akan menjadi dekat. Dalam filosofi Jawa orang Jawa lebih bersikap narima ing pandum yaitu menerima pemberian Tuhan, sehingga hal tersebut memunculkan sikap pasrah atau tunduk pada takdir Selain itu juga terdapat istilah ora obah ora mamah yang berarti jika tidak bergerak (bekerja) tidak akan makan. Hal tersebut yang menjadi dorongan setiap individu untuk bekerja. Dalam pewarisan masyarakat Jawa juga terdapat perbedaan antara anak laki – laki dan perempuan, anak laki – laki mendapat warisan yang lebih besar di banding dengan anak perempuan atau di dalam masyarakat sering di sebut dengan sepikul segendongan, yang artinya anak laki – laki lebih banyak mendapat warisaan karena dalam membawa sesuatu lebih sering memikul, sedangkan anak perempuan mendapat bagian yang lebih sedikit karena dalam membawa sesuatu dengan menggendong sehingga bebannya lebih ringan.
Setelah saya belajar tentang etika orang Jawa pemahaman saya mengenai orang Jawa menjadi lebih bertambah dengan adanya filosofi Jawa, bahwa dalam berperilaku terdapat filosofi di dalamya seperti Urip Iku Urup bahwa hidup hendaknya memberikan manfaat bagi sesama dan sekitar kita sehingga saat kita menolong orang lain maupun peduli terhadap lingkungan sekitar kita telah sesuai dengan filosofi Jawa tersebut. Peduli terhadap orang lain dan lingkungan juga merupakan bagian dari filosofi Jawa tersebut. Peduli dengan lingkungan yaitu dengan menjaga lingkungan, tidak membuang sampah di tempat yang tidak semestinya, dan mengadakan penghijauan agar pemanasan global tidak semakin parah. Selain saya juga lebih banyak mengenai filosofi jawa lainnya seperti Ngono ya ngono ning ojo ngono yang artinya begitu ya begitu tapi begini, bahwa ketika melakukan sesuatu haruslah sesuai dengan aturan dan nilai norma yang di sepakati di masyarakat. Selain itu saya juga lebih memahami makna filosofi Sapa nandur bakal ngunduh yang artinya siapa yang menanam akan menuai. Dari filosofi tersebut saya memahami bahwa setiap tindakan yang kita lakukan pasti akan mendapatkan hasil yang sesuai, misalnya jika seseorang bekerja keras, tekun dan ulet maka hasilnya akan mencapai keberhasilan, begitu pula sebaliknya. Lalu dalam masyarakat Jawa terdapat filosofi Memayu Hayuning Bawana, Ambrantas dur Hangkara yang artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagian dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara.
Dari filosofi tersebut bahwa setiap orang harus berhati – hati dalam melakukan tindakan dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan tanpa menggunakan hal – hal yang licik kepada orang lain. Selain itu juga saya mengetahui filosofi jawa Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti, yang artinya sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa di kalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Dari filosofi tersebut saya menjadi lebih memahami bahwa ketika orang lain berkata hal buruk tentang kita atau merendahkan kita, hal tersebut tidak perlu di balas dengan hal yang sama tetapi kita perlu bersabar dan memaafkan , selain itu kita berusaha mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik dan hal yang dikatakan dari orang lain tersebut jg dapat di jadikan motivasi atau dorongan yang positif. Filosofi Jawa yang lainnya yaitu Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan yang artinya jika mudah sakit hati dan jangan sedih ketika kehilangan. Dari filosofi tersebut kemudian saya dapat memahami bahwa ketika sedang dalam keadaan susah tidak gampang mengeluh dan menyalahkan orang lain, tetapi kita dapat mengintropeksi diri dari kesalahan atau keadaan tersebut. Selain itu jangan mudah iri dengan keberhasilan orang lain. Selain itu orang Jawa juga memiliki filosofi Aja Gumunan, Aja Getuna, Aja Kagetan, Aja Aleman yang artinya bahwa seseorang di anjurkan untuk tidak mudah terheran – heran akan sesuatu, tidak mudah menyesal terkejut dan manja. Dari filosofi tersebut dalam kehidupan sehari – hari saya menjadi tidak mudah menyesal ketika mendapatkan hasil yang kurang sesuai dengan harapan maka tidak mudah mengeluh dan menyesali hasil yang di dapatkan. Sehingga hal ini dapat mencerminkan filosofi jawa tersebut.
Selain itu setelah belajar etika jawa saya memahami bahwa dalam berperilaku janganlah merasa paling pandai atau merasa lebih bisa di bandingkan yang lain karena hal tersebut akan membuat seseorang menjadi lebih rendah dari orang yang direndahkannya. Hal tersebut juga merupakan bagian dari sifat yang sombong dan tinggi hati. Dalam masyarakat Jawa perilaku tersebut tidak sesuai dengan nilai – nilai di masyarakat, karena orang Jawa cenderung rendah hati dan tidak suka mengunggulkan dirinya. Hal ini dalam filosofi Jawa di sebut dengan Aja Kuminter Mundak Keblinger. Selain itu orang Jawa dalam melakukan sesuatu juga berhati – hati, dalam filosofi Jawa yaitu Alon – Alon Waton Kelakon yaitu lebih baik pelan – pelan agar tujuannya dapat tercapai. Misalnya dalam berkendara lebih baik berjalan pelan asal selamat sampai tujuan. Selain hal yang saya pahami yaitu bahwa pamrih dan hawa nafsu merupakan nafsu – nafsu yang berbahaya bagi manusia. Dari hal tersebut yang dapat saya pahami bahwa ketika kita menolong orang lain harus dengan ikhlas, menolong orang dan melupakan bahwa kita menolongnya, tetapi jika kita di tolong kita harus mengingat kebaikan tersebut, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan rasa pamrih dalam diri kita dari tindakan menolong tersebut. Pamrih dapat di lihat dari tiga nafsu yaitu nafsu menange dhewe, nafsu benere dhewe, dan nafsu butuhe dhewe. Dari ketiga nafsu tersebut terdapat dalam kehidupan sehari – hari . Misalnya dalam masyarakat beberapa orang merasa lebih berkuasa sehingga dalam menentukan keputusan hanya berdasarkan hal yang menurutnya benar dan keputusan tersebut menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Selain itu juga terdapat sifat – sifat yang tidak di sukai orang Jawa seperti drengki, srei, jail, methakil sehingga ketika saya berperilaku harus menghindari sifat – sifat tersebut, karena bagi orang jawa sifat tersebut tidak terpuji dan dapat menimbulkan kebencian. Dari filosofi Jawa tersebut saya menjadi lebih memahami bahwa menjadi orang Jawa harus dapat berperilaku yang mencerminkan filosofi tersebut, menyakiti orang lain, tidak mengunggulkan apa yang kita miliki dan merendahkan orang lain karena orang yang kita anggap rendah ju belum tentu lebih rendah bahkan dapat menjadi lebih baik, meskipun saat ini telah berada di era yang modern dan banyak budaya luar yang masuk. Nilai – nilai luhur dan filosofi Jawa tersebut haruslah tetap di pegang teguh agar orang Jawa tidak kehilangan jati dirinya, karena di era yang modern saat ini banyak nilai dan budaya luar yang masuk dan banyak pula masyarakat yang cenderung meniru dan berperilaku kebarat – baratan yang tidak semua nilai tersebut sesuai dengan nilai – nilai Jawa dan adat ketimuran seperti Indonesia.