PENDAHULUAN
Peran sosial yang ada di dalam masyarakat selalu melekat pada diri individu. Perlakuan yang selalu diulang-ulang selalu ada didalamnya. Dalam memahami gender, akan melekat sifat-sifat yang dikonstruksikan oleh masyarakat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Ketika perempuan harus menjalankan perannya sesuai dengan konstruksi sosial masyarakat, maka tidak akan terjadi perubahan pada perempuan. Dikonstruksikan bahwa perempuan bekerja di ranah domestik saja. Perempuan yang di beri label harus cantik, ngalah, setia, sabar, keibuan, lemah lembut dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki harus tegas, kuat, berani dan tidak boleh nangis. Hal inilah yang kenyataan terjadi dalam masyarakat.
Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dalam berbagai hal tersebut, penulis akan lebih membahas mengenai beban ganda perempuan pekerja.
Perempuan yang bekerja diluar domestik akan mengalami pandangan tersendiri dalam masyarakat. Walaupun mereka bekerja di luar domestik, tetapi tidak meninggalkan pekerjaan mereka sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak. Definisi tentang kerja seringkali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan kerja tersebut. Pekerjaan perempuan yang berada diluar domestik akan lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah.
Saat ini, peran perempuan telah bergeser dari peran tradisional menjadi modern. Dari hanya memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak (reproduksi) dan mengurus rumah tangga, tetapi kini perempuan juga bisa mengibarkan sayapnya diluar domestik. Walaupun menjadi buruh, tetapi setidaknya mereka tidak hanya menopang gaji dari suaminya. Secara tradisional, peran perempuan seolah dibatasi dan ditempatkan dalam posisi pasif yaitu perempuan hanyalah pendukung karir suami. Peran perempuan yang terbatas pada peran reproduksi dan mengurus rumah tangga membuat perempuan identik dengan pengabdian kepada suami dan anak.
Beban ganda perempuan adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang perempuan (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu rumah tangga, sebagai orang tua anak, sebagai istri dari suami dan peran sebagai pekerja yang mencari nafkah membantu suaminya dalam bidang ekonomi keluarga. Beban ganda diukur berdasarkan total waktu yang dilakukan perempuan menikah yang bekerja untuk mengerjakan pekerjaan domestik dan publik. Perempuan yang bekerja diluar domestik, gaji yang diperoleh tidak wajib untuk diberikan kepada suami. Karena mereka bukan diwajibkan untuk menafkahi keluarga. Hanya sebagai pembantu kebutuhan perekonomian rumah tangga saja.
Peran ganda sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap perempuan, karena terkadang para perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam mengurus rumah tangga dibandingkan dengan pasangannya yang bekerja pula. Penyeimbangan tanggung jawab ini cenderung lebih memberikan tekanan hidup bagi perempuan bekerja karena selain menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggungjawab ini memiliki tingkat kesulitan pengelolaan yang tinggi. Konsekuensinya, jika perempuan kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya terganggu sehingga dapat menimbulkan stress.
PEMBAHASAN
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender ( gender inequalities ). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik itu dari kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Tetapi disini penulis lebih ingin menyoroti peran perempuan pekerja diluar domestik yang menimbulkan beban ganda dalam bekerja.
Wanita dan pria bukan hanya berbeda secara biologis, namun dipandang dari sosialpun mereka berbeda, dapat dilihat dari cara berperilaku, cara mereka berpikir, cara mereka melihat suatu hal dari sudut pandang mereka masing – masing, namun bukan dari perbedaan itu menjadi suatu patokan untuk melakukan diskriminasi kepada gender, melainkan melalui itu wanita dan pria bisa saling melengkapi satu dan yang lainnya.
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Selain marginalisasi, ternyata perempuan juga bisa menimbulkan subordinasi. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat memunculkan sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat dan dari waktu ke waktu. Seperti yang terjadi di Jawa, anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Dalam rumahtangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas.
Perempuan yang bekerja diluar domestik memiliki beban ganda yang sangat menyita waktunya. Dimana mereka sebelum bekerja diluar harus bangun pagi terlebih dahulu untuk menyiapkan segala keperluan suami dan anaknya. Selain suami dan anak yang harus diurus, sebelum berangkat ke pabrik, perempuan harus menyiapkan juga keperluannya untuk bekerja. Beban ganda menjadi hal yang amat dirasa kebanyakan istri bekerja. Budaya patriarki membuat lelaki tidak terdidik untuk terampil dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dalam budaya ini, pekerjaan rumah tangga hanya pantas dilakukan perempuan.
Kondisi yang terjadi kemudian adalah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga. Pekerjaan domestik di mata laki-laki tidak dianggap sebagai kontribusi yang layak untuk diapresiasi. Ketika perempuan mampu mengimbangi laki-laki dalam pencapaian di setiap bidang kehidupan, laki-laki justru tidak bisa mengimbanginya dengan pencapaian dalam rumah tangga. Ketika perempuan mampu memainkan peran sebagai pencari nafkah sekaligus manajer keuangan rumah tangga, laki-laki justru kewalahan jika harus menjalankan keduanya bersamaan. Faktanya, laki-laki tidak terbiasa dengan urusan domestik karena ia memang tidak ditradisikan untuk akrab dengan perkara dapur. Padahal saat berbicara tanggung jawab bersama dalam membangun rumah tangga, yang membawa istri pada peran pencari nafkah, seharusnya laki-laki juga mampu melakukan pekerjaan domestik untuk membantu perempuan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Faktanya perempuan setelah bekerja diluar domestik mereka tidak langsung beristirahat untuk melakukan pekerjaan pada keesokan harinya. Tetapi, mereka langsung melakukan pekerjaan domestiknya dan berperan sebagai ibu dan istri bagi anak dan suaminya. Berbeda dengan laki-laki yang bekerja. Mereka setelah jam kerja selesai, maka sampai rumah langsung istirahat dan tidak memikirkan rumah yang berantakan. Bias geder yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan domestik tidaklah menonjol dan dianggap memang sudah menjadi kewajiban perempuan untuk melakukannya. Bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban kerja itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga. Sesungguhnya mereka ini telah menjadi korban bias gender di masyarakat. Mereka bekerja lebih lama dan berat, tanpa perlindungan dan kejelasan kebijakan negara.
Membicarakan hak asasi dan nasib kaum buruh perempuan dapat diletakkan dalam dua perspektif yakni yang bersifat kondisional dan struktural. Hubungan kelas tercermin dalam hubungan antara buruh, majikan dan manajer. Hubungan kelas yang dimaksud adalah jenjang antara atasan dengan bawahan yang dilihat dari kelasnya. Kelas buruh disini dianggap rendah oleh atasan. Apalagi buruh perempuan yang tidak dianggap memiliki kemampuan lebih untuk bekerja. Anggapan lemah terhadap perempuan terlalu melekat di pikiran masyarakat. Salah satu yang paling memicu kesenjangan itu adalah upah buruh. Sudah sejak zaman dahulu perempuan dianggap sebagai kaum lemah karena adanya kodrat yang diberikan masyarakat kepada kaum perempuan dunia bekerja di dapur dan menjadi seorang istri kodrat inilah yang membatasi wanita untuk memajukan dirinya Pada dasarnya kodrat wanita adalah mengandung dan melahirkan. Upah yang diberikan oleh buruh perempuan yang rendah, sampai saat ini masih terjadi. Hal ini disebabkan karena perempuan jam kerjanya lebih sedikit dari laki-laki, perempuan juga dianggap memiliki tenaga dibawah laki-laki. Tetapi hal itu tidak menjadi alasan ketika hasil yang diperoleh juga sama.
Tetapi, dengan adanya gender ini, banyak yang perempuan tepis dan mereka bisa bangkit lagi menjadi perempuan yang tidak hanya mengandalkan suaminya saja. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang dalam pendidikan dan masih banyak lagi. Pendidikan yang merupakan kunci dari berbagai hal ini seharusnya dimiliki oleh semua masyarakat karena dengan pendidikan akan memudahkan masyarakatnya dalam berbagai bidang. Misalnya untuk mendapatkan pekerjaan dibutuhkan seorang yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Maka pekerjaan yang diperoleh pun setara dengan pendidikannya misalnya sebagai pegawai negeri. Jika pendidikan yang dimiliki hanya sebatas lulus SD atau SMP maka pekerjaan yang didapatkan hanya berupa buruh dan sebagainya yang tidak memiliki nilai tinggi dalam masyarakat.
Sementara pendidikan yang didapat oleh kaum perempuan sebagian besar masih jauh dari kata layak karena berebagai faktor diatas yang menyebabkan peomorduaan (subordination) pendidikan bagi kaum perempuan. Sehingga pekerjaan perempuan banyak ditemui hanya sebagai pekerja rumah tangga yang sering dikirim ke luar negri sebagai TKW (tenaga kerja wanita) dan buruh untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Permasalahan ketidakadilan gender berupa penomorduaan pendidikan bagi kaum perempuan menimbulkan ketidaksetaraan atau ketimpangan gender dalam pendidikan antara lain adalah angka melek huruf yang rendah pada kaum perempuan. Inilah yang menimbulkan banyak perempuan yang bekerja sebagai buruh.
Walaupun mereka bekerja sebagai buruh, tetapi banyak yang menginginkan pekerjaan tersebut. Pendidikan yang hanya lulusan SD, SMP, DAN SMA tersebut, mereka manfaatkan untuk bekerja dan mendapatkan upah. Dari pihak pemerintah, juga sudah memberikan peraturan-peraturan yang ditujukan untuk buruh perempuan. Dimana, walaupun mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi setidaknya mereka berhak untuk dilindungi. Upaya yang dapat dilakukan agar tidak lagi ada penomorduaan pendidikan pada salah satu gender adalah merubah berbagai faktor negatif yang menyebabkan timbulnya penomorduaan ini menjadi hal yang positif. Yaitu merubah anggapan masyarakat bahwa perempuan hanya bekerja pada sektor domestik itu sudah dapat berubah karena perempuan juga dapat berkiprah pada sektor publik. Dengan tetap memperhatikan tanggung jawab sebagai perempuan yang harus mengurusi pekerjaan rumah.
Selain itu, dalam rumah tangga harus tetap membagi jadwal membersihkan rumah dan mengurusi pekerjaan rumah antara suami dan istri. Ketika istri sedang bekerja diluar dan suami juga bekerja diluar. Setelah selesai melakukan aktivitas pekerjaannya, seharusnya sama- sama melakukan pekerjaan rumah tangga juga bareng- bareng supaya susah dan capek tetap dilakukan bersama. Supaya tidak menimbulkan ketidakadilan gender dalam beban pekerjaan perempuan. Beban ganda yang timbul akibat perempuan bekerja di luar domestik inilah yang seharusnya menjadikan laki- laki sadar akan pekerjaan perempuan yang justru lebih menghabiskan tenaga dari pada laki- laki yang sudah selese bekerja diluar domestik lalu istirahat dan seakan tidak peduli akan pekerjaan rumah.
Keberadaan gender saat ini sangatlah membantu kaum perempuan dalam mendapatkan hak nya untuk tetap bekerja di dunia diluar domestik. Pendidikan yang sudah terbuka lebar untuk perempuan juga semakin membikin tertarik perempuan untuk mengibarkan sayap mereka ke dunia pekerja yang dilatar belakangi oleh pendidikan yang tinggi pula. Selain itu, globalisasi lah yang menuntut perempuan harus cerdas dan memiliki kualitas yang tinggi. Setelah hal ini terjadi, sekarang justru perempuan lebih diperlukan dalam pekerjaan diluar domestik. Inilah yang menunjukkan bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki.
PENUTUP
Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Manifestasi ketidakadilan gender ini juga telah mengakar mulai dalam keyakinan di masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global.
Salah satu untuk memperbaiki adanya ketidakadilan gender dalam perempuan adalah merubah anggapan masyarakat mengenai pendidikan yang memang harusnya wajib ditempuh oleh siapapun baik perempuan maupun laki-laki. Karena sekarang banyak pemimpin perempuan dan hal itu justru menjadi lebih baik dalam memanajemen waktunya. Pentingnya pendidikan bukan saja untuk salah satu jenis kelamin tetapi untuk kedua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Sehingga ketidakadilan gender yang berbentuk subordination pendidikan bagi kaum perempuan harusnya dapat dihilangkan. Untuk dapat menghilagkan penomorduaan pendidikan bagi salah satu jenis kelamin ini maka yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa pendidikan layak didapatkan oleh seluruh masyarakat.
Pendidikan yang menjadi kebutuhan harus dapat terpenuhi baik untuk laki-laki ataupun perempuan, namun jika perempuan yang sudah berpendidikan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang mapan tetap harus memperhatikan kewajibannya dalam sektor domestik. Intinya kedua hal yang dijalankan harus sesuai tidak boleh memberatkan salah satu karena keduanya merupakan tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 2012. Analisi Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Comments