Hello semuanya..
Pada postingan kali ini saya akan memaparkan sebuah materi tentang teori konflik yang diajarkan pada mata kuliah Teori Sosiologi Modern pada semster tiga. Teori konflik dibawah menurut pandangan para tokoh teori sosiologi modern seperti Ralf Dahrendorf, George Huaco, Karl Marx dan para tokoh lainnya.
Semoga materi ini dapat membantu kalian untuk lebih memahami teori konflik…
Selamat membaca, semoga ilmunya bermanfaat…
1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

 

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

2. Teori Konflik George Huaco

https://repository.uin-malang.ac.id/729/1/Metateorizing%3B%20Teori%20Konflik%20(Ralf%20Dahrendorf).pdf

George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia. Ketika Amerika mencapai dominasi di dunia setelah tahun 1945, fungsionalisme struktural mencapai hegemoni dalam sosiologi. Fungsionalisme struktural mendukung posisi dominasi Amerika di dunia melalui dua cara. Pertama, pandangan struktural-fungsional yang menyatakan bahwa setiap pola mempunyai konsekuensi yang berperan dalam pelestarian dan bertahannya sistem yang lebih luas tak lebih dari “sekadar merayakan kemenangan Amerika dan hegemoninya di dunia” (Huaco, 1986:52). Kedua, teori struktural-fungsional yang menekankan pada keseimbangan (perubahan terbaik adalah tak adanya perubahan) berkaitan erat dengan kepentingan Amerika, kemudian berkaitan erat dengan kepentingan Amerika “kekaisaran terkaya dan terkuat di dunia”. Kemerosotan dominasi Amerika di dunia pada 1970-an bertepatan benar dengan hilangnya posisi dominan fungsionalisme struktural di dalam teori sosiologi.3 Serangan terhadap fungsionalisme struktural beraneka ragam, fungsionalisme struktural dituduh bersifat politik konservatif, tak mampumenjelaskan perubahan sosial karena perhatiannya tertuju pada struktur statisdan tak mampu menganalisis konflik sosial. Salah satu hasil dari kritik tersebutadalah upaya dari sejumlah pemikir sosiologi untuk menanggulangi masalahfungsionalisme struktural dengan menyatukan perhatian pada struktur dan padakonflik. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teori konflik sebagaialternatif terhadap teori struktural-fungsional. Sayangnya, teori konflik seringdilihat sebagai cerminan dari fungsionalisme struktural dengan sedikit integritas intelektual di dalamnya. Upaya penting pertama adalah karya Lewis Coser (1956) tentang fungsi konflik sosial (Jaworski, 1991). Karya ini dengan jelas mencoba menerangkan konflik sosial di dunia menurut kerangka pandangan struktural-fungsional. Meski bermanfaat untuk melihat fungsi konflik, namun masih lebih banyak yang perlu dikaji tentang konflik ketimbang menganalisis fungsi positifnya itu. Masalah terbesar yang dihadapi oleh kebanyakan teori konflik adalah kekurangan landasan kuat dalam teori Marxian -teori Marxian berkembang dengan baik di luar sosiologi dan seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan teori sosiologi yang lebih baik tentang konflik. Perkecualian disini adalah karya Ralf Dahrendorf. Akhirnya, teori konflik harus dilihat sebagai perkembangan transisional dalam sejarah teori sosiologi, kegagalannya karena tak cukup jauh mengikuti teori Marxian. Di era 1950-an dan 1960-an, nampaknya masih terlalu dini bagi pemikir-pemikir sosiologi Amerika untuk menerima pendekatan Marxian sepenuhnya, tetapi teori konflik telah membantu membuka jalan penerimaan teori Marxian di penghujung tahun 1960-an. Teori konflik merupakan model pluralis yang berbeda dengan model dua kelas dari Marx. Unit analisis Marx menggunakan seluruh masyarakat, manusia dibagi ke dalam kelompok yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut dan kelompok yang tidak ikut dalam pemilikan. Pertentangan antara buruh dan manajemen, yang merupakan topik permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada saatnya, serikat buruh tersebut akan terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelaisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi pertentangan kelas. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu pertentangan yang berbeda saling tumpang tindih. Fenomena ini mengandung makna bahwa figur kekuasaan sebuah institusi (misalnya gereja) tidak perlu mengambil bagian dalam kekuasaan institusi lain (misalnya negara). Bilamana pemisahan itu terjadi di sebagian besar institusi, maka intensitas pertentangan akan meningkat. Pengucilan yang berganda dari struktur kewenangan seperti itu dapat diamati di dalam sejarah hubungan-hubungan kelompok minoritas, hubungan-hubungan perburuhan dan hubungan-hubungan antar bangsa.

3. Teori Konflik dalam Perspektif Karl Marx

Teori konflik sosial yang muncul pada abad 18 dan 19 dapat di mengertisebagai respon dari lahirnya sebuah revolusi, demokratisasi dan industrialisasi. Teori sosiologi konflik adalah alternatif dari sebuah ketidakpuasan terhadap fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Dan perspektif konflik dalam melihat masyarakat ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh klasik seperti Kral Marx, Max Weber, dan George Simmel. Teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi atas tumbuh suburnya teori fungsionalisme struktural yang dianggap kurang memperhatikan fenomena konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian. “Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx dan pada tahun 1950-an, teori konflik yang semakin mulai merebak.22” Teori ini bertujuan untuk menganalisis asal usulnya suatu kejadian terjadinya sebuah pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang yang berperilaku menyimpang. Konflik disini menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara
berbagai kelompok, karena kekuasaan yang dimiliki kelompok-kelompok elit maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang bisa melayani kepentingan-kepentingan mereka. “Konflik berasal dari kata kerja latin “Configere” yang berarti ”saling memukul”. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya”.23 Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Dengan adanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, maka konflik merupakan situasi yang wajar terjadi dalam setiap bermasyarakat dan tidak ada satu pun masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat yang lain, konflik ini hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya sebuah masyarakat itu sendiri. Perspektif sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yangsebesar-besarnya. “Dalam pandangan ahli sosiologi, masyarakat yang baik ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Konflik sosial dianggap sebagai kekuatan sosial utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju ketahap – tahap yang lebih sempurna”. Teori konflik sosial memandang antar elemen sosial memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda. Perbedaan kepentingan dan pandangan tersebut yang memicu terjadinya konflik sosial yang berujung saling mengalahkan, melenyapkan, memusnahkan diantara elemen lainnya. Konflik adalah sebuah fenomena sosial dan itu merupakan kenyataan bagi setiap masyarakat. Dan merupakan gejala sosial yang akan hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren yang artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok, atau bangsa. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik. Munculnya sebuah konflik dikarenakan adanya perbedaan dan keberagaman. Dari pernyataan tersebut, maka diambil sebuah contoh yangmana terdapat di negara Indonesia yang semakin lama menunjukkan adanya konflik dari setiap tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horizontal dan vertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang berkembang di antara anggota kelompok, sepertinya konflik yang berhubungan antara suku, agama, ras, dan antar golongan. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan juga negara atau pemerintahan. Umumnya konflik tersebut muncul karena masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintahan, seperti konflik yang terjadi akhir-akhir ini yang menuntut adanya sebuah kebijakan dari pemerintahan untuk menaikkan gajipara buruh.
Terdapat banyak konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat, karena dari hal-hal kecil pun bisa menimbulkan sebuah konflik yang berakhir dengan kerusuhan-kerusuhan yang besar bila tidak ditanggapi dengan cepat dan serius. Tetapi konflik tersebut bisa membuat kehidupan masyarakat bersatu apabila golongan-golongan bawah bisa membentuk sebuah kelompok untuk membereskan permasalan dengan pikiran dingin. Dan tak banyak konflik yang bisa mengakibatkan perpecahan yang merusak kehidupan masyarakat, perprcahan tersebut membuat kehidupan tak berjalan dengan sangat baik. Konflik tentang buruh misalnya, yang menginginkan upah minimum yang bisa menghidupi kebutuhan hidup layak keluarganya. Hal tersebut bisa menjadi merambat menjadi besar dan membuat kericuhan yang berakibat fatal, apabila pihak perusahaan atau pemerintah tidak bisa memberikan solusi yang terbaik buat permasalahan tersebut dan memberikan pengertian yang bias dipahami oleh pihak-pihak buruh dan tidak seenaknya memberikan tanggapan atau keputusan yang kurang bisa diterma oleh pihak yang bersangkutan. Karl Marx mengemukakan beberapa pandangannya tentang kehidupan sosial26 yaitu :
1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.
3. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan.
4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan mereka.
5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga konflik tak terelakkan lagi. Segi-segi pemikiran Karl Marx berpusat pada usaha untuk membuka sebuah kedok sistem masyarakat, pola kepercayaan, dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meski dalam pandangannya, tidak seluruhnya kepetingan ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, tetapi hal tersebut sangat mempengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Pentingnya sebuah kondisi materiil yang terdapat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu. Beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun yaitu pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas yang berbeda, pengaruh besar yang berdampak pada kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai konflik kelas yang muncul menimbulkan perubahan struktur sosial yang mana hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting. Penyebab terjadinya konflik menurut Marx, sejarah kehidupan masyarakat ditentukan oleh sebuah materi atau benda yang berbentuk alat produksi, dan alat produksi ini untuk menguasai kehidupan masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang dihasilkan akan menghasilkan komoditas dan komoditas tersebut diperlukan masyarakat secara sukarela. Bagi Marx fakta terpenting adalah materi ekonomi karena konflik ini bisa terjadi ketika faktor ekonomi dijadikan sebagai penguasaan terhadap alat produksi.
Berdasarkan alat produksi Marx membagi perkembangan
masyarakat menjadi 5 tahap27 :
1. Tahap I : Masyarakat Agraris I Primitif. Dalam masyarakat agraris alat produksi berupa tanah. Dalam masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik alat produksi yaitu pemilik tanah dengan penggarap tanah.
2. Tahap II : Masyarakat Budak. Dalam masyarakat seperti budak sebagai alat produksi tetapi dia tidak memiliki alat produksi. Penindasan terjadi antara majikan dan budak.
3. Tahap III : Dalam masyarakat feodal ditentukan oleh kepemilikan tanah.
4. Tahap IV : Masyarakat borjuis. Alat Produksi sebagai industri. Konfik terjadi antara kelas borjuis dan buruh. Perjuangan kelas adalah perjuangan kelas borjuis dan kelas proletar.
5. Tahap V : Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini kelas proletar akan menang.
4. Teori Konflik
https://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34484/3/Chapter%20II.pdf

Definisi Konflik
Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan seharihari. Istilah konflik sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan figure yang berarti benturan atau tabrakan. Adanya benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau kebutuhan, pendapat, dan keinginan yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Menurut Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya. Menurut Richard E. Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan. Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik(2005) bahwa konflik sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif yang lain.

5. Strukturalisme Konflik: Pemahaman Akan Konflik Pada Masyarakat Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorlf
https://aifis.org/wp-content/uploads/2013/12/Dilema-24-2010.pdf
Penekanan teori konflik ini adalah bahwa tingkat struktur sosial yang berada di masyarakat, dimana susunan struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan konsensus yang sekaligus mengarah pada proses konflik sosial (Poloma, 1994:106 – 107). Pemahaman akan konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas struktur sosial yang ada. Selain itu konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau beberapa kelompok yang akhirnya dengan adanya konflik inipun akan membuat kelompok yang lain untuk memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik denganout gr up. Konflik yang tercipta memiliki muatan kepentingan yang sekaligus merupakan suatu kesepakatan pemegang kekuasaan untuk menciptakan kerusuhan-kerusuhan, kondisi violence dalam bentuk penjarahan, pemerkosaan, perampokan dan pembunuhan. Pada dasarnya penekanan dan penggambaran atas pendekatan konflik yang diajukan oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism) yang tanpa melepaskan konsep-konsep serta asumsiasumsi fungsionalisme strukturalnya dengan menambahkan konflik yang dinamis, perspektif integrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus, integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam menjalankan suatu proses yang fundamental, walaupun porsi setiap bagian memiliki muatan yang berbeda merupakan bagian kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi. Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori ini merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ia pun menganggap masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama (kemudian posisi ini disempurnakan menjadi segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dan dapat pula dianalisa dengan teori konflik). Percepatan waktu dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat pada abad kesembilan belas yang mana pada masyarakatindustri kecenderungannya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain: (1) dekomposisi modal, (2) dekomposisi tenaga kerja (3) timbulnya kelas menengah baru. (Poloma, 1994: 130- 145) Pemilikan dan kontrol atas saranasarana produksi berada di tangan individuindividu yang sama. Kaum industrialis atau borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja atau proletar demi kelangsungan hidupnya tergantung pada sistem ini. Pemisahan antara pemilikan erta pengendalian sarana-sarana produksi mengakibatkan adanya korporasikorporasi dengan saham-saham yang dimiliki oleh banyak orang dimana tak seorang pun memiliki kontrol yang eksklusif dan berperan sebagai dekomposisi modal. Penspesialisasian seperti memungkinkan sekali seseorang atau beberapa orang untuk memiliki perusahaan tetapi tidak mengendalikannya hal ini dikarenakan tuntutan zaman yang mengharuskan memiliki keahlian dan tenaga kerja spesialisasi. Yang akhirnya manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-pegawai sebagaimana halnya dengan pekerja-pekerja pabrik. Para buruh maupun pegawai kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan mereka sebagai pemilik-pemilik bagian. Menurut Dahrendorf dekomposisi modal ini melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasi kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal maupun pengendali perusahaan, pemilikan dan pengendalian tersebut mengalami apa yang disebut diversifikasi dan tidak lagi berada dalam tangan satu individu atau keluarga saja. Kondisi d mikian terus berjalan secara berkesinambungan, dan bukan hanya sisi modal saja melainkan juga dekomposisi tenaga kerja. Kaum proletar tidak lagi sebagai suatu kelompok homogen yang tunggal, dimana para buruh terampil berada di jenjang atas sedangkan buruh biasa berada di bawah. Kaum proletar bukan lagi sebagaimassa yang tanpa perbedaan sebagaimana halnya yang terjadi pada kaum borjuis, tukang kayu, tukang pipa serta pengemudi truk memperoleh gaji jauh lebih tinggi daripada pelayan, operator dan sebagainya. Hal seperti ini akan berdampak pada buruh yang mana nantinya akan menjurus kepada pembekakan jumlah kelas menengah dan memperkuat terjadinya suatu revolusi kelas (Poloma, 1994: 132 – 133). Dimana pada saat revolusi tiba sebagian besar kelompok kecil ini akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan kaum borjuis yang sekaligus terciptanya serikat-serikat buruh yang diikuti oleh mobilitas sosial yang cukup tinggi dari para pekerja. Mobilitas sosial inilah yang nantinya akan merintangi gejolak revolusi y ng terjadi dalam kapitalis modern. Selain itu Dahrendorf menyatakan bawasannya ada dasar baru bagi pembentukan kelas yaitu adanya hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan atasan, adanya pendikotomian antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam stuktur kekuasaan yang ada dalam kelompok. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu : mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan dari pada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu. Secara ringkas penggunaan teori konflik yang dilontarkan oleh Ralf Dahrendorf adalah perjuangan kelas yang terdapat di dalam masyarakat industri, yang mana tidak menekankan pada pemilikan atas sarana-sarana produksi melainkan lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan. Pada akhirnya dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau yang muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara structural (Perubahan nilai atau aturan social pada masyarakat). Pergesekan-pergesekan seperti ini merembes akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Pada masyarakat buruhpun demikian, dimana hasil dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan kekerasan. Akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang menimbulkan konflik baik yang vertikal atau horisontal.