PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PEMBUDAYAAN : SEKOLAH MENJADI SARANA PROSES PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

Salam Agent of Change!

Kembali lagi dengan saya , kesempatan kali ini saya akan memposting tugas Antropologi Pendidikan semester 5. Tugas ini merupakan tugas pengganti mid semester dimana saya diminta untuk membuat sebuah artikel ilmiah populer yang mana isinya adalah deskripsi tentang fenomena pendidikan sebagai proses pembudayaan yang didalamnya dikaitkan dengan sebuah teori dari antropologi pendidikan itu sendiri yakni sekolah sebagai proses budaya. yuk mari baca baca artikel tulisan tangan saya sendiri semoga dapat menjadi pandangan ya..

          
 

Lembaga pendidikan dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk berbagai sekolah disini dapat kita sebut sebagai sebuah miniatur yang ada di dalam masyarakat. Didalam sekolah tersebut berkembang suatu kebudayaan yang berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya baik sekolah formal maupun non-formal, kebudayaan yang ada telah menjadi pembentuk identitas atau ciri khas dari sekolah tersebut. Pada dasarnya, sekolah umum (SD,SMP,SMA) berbeda dengan sekolah pesantren (MA) atau sekolah-sekolah kejuruan (SMK). Titik pembeda dari sekolah-sekolah tersebut dapat kita lihat dalam realitas kasat mata kita ialah dari individu-individu atau warga sekolah yang terdapat di dalamnya. Individu-individu atau warga sekolah yang terdapat didalamnya telah mengkonstruk kebudayaan, begitu pula kebudayaan telah mengkonstruksikan atau menciptakan individu atau warga (masyarakat) di dalamnya. Dari kedua hal tersebut, dapat dikatakan sebagai sebuah proses dialektis yang terdapat pada teori konstruksi bahwa kedialektisan tersebut menandakan manusia tidak pernah berakhir, mereka akan terus berubah sebagai proses yang sedang terbentuk. Begitu besar potensi yang ada dalam diri manusia, maka manusialah yang harusus membekali dan dibekali dirinya sendiri dengan pendidikan yang cukup serta dapat menunjang dirinya di masa yang akan datang dimulai dengan sejak dini.

Adanya pendidikan yang dikelola oleh masyarakat merupakan usaha yang sadar dan sengaja direncanakan guna mengembangkan kemampuan manusia yang lebih baik dengan cara memanusiakan manusia. Argumentasi tersebut menjadi sebuah pondasi guna mengasumsikan bahwa pendidikan dalam proses pembudayaan terutama melalui sekolah. Kebudayaan sendiri memiliki sebuah pengertian yakni  seluruh sistem ide, tindakan, dan hasil cipta  manusia dalam rangka menjalankan kehidupan bermasyarakat yang dijadikan sebagai milik manusia atau identitas dalam suatu masyarakat tertentu melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2000: 180). Sebagaimana kita ketahui, kebudayaan sebagai hasil cipta manusia didalamnya terdapat sekumpulan pola-pola kebiasaan yang diperlukan dalam rangka mempertahankan keaslian lokal yang diciptakan oleh suatu masyarakat tertentu.

Proses pembudayaan disini dijadikan sebuah istilah yang tepat, sebab dalam proses pendidikan khususnya dalam kegiatan belajar mengajar antara peserta didik dengan pendidik di kelas inilah terjadi sebuah proses transfer of knowledge and value (suatu sistem pengetahuan dan nilai kebenaran diberikan oleh pendidik pada peserta didik). Kedua hal tersebut merupakan wujud kebudayaan yang pertama, yakni idea atau gagasan. Semua Gagasan tersebut akan lenyap seiring dengan perkembangan zaman jika tidak ada yang mengajarkannya atau meneruskan kembali kepada generasi miliineal (generasi penerus bangsa). Karenanya, pendidikan sudah melekat didalam masyarakat dan dijadikan alat pemenuhan kebutuhan manusia dalam hal pewarisan adat tradisi serta kebudayaan ke generasi selanjutnya. Manan (1989:8) mengatakan bahwa kebudayaan hidup selamanya melalui generasi satu ke generasi yang lainnya sebab pada dasarnya makna kebudayaan ialah hasil karya manusia yang dapat berkembang dari masa ke masa, itulah mengapa kebudayaan berbeda dari hasil unsur biologis manusia. Untuk membantu dalam proses pembudayaan melalui pendidikan, pastilah terdapat sebuah lembaga yang berperan untuk mengatur berjalannya prosesi pembudayaan di kehidupan sosial khususnya pada generasi milineal yang nantinya akan bertanggung jawab menjaga serta mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang telah tercipta di masyarakat.

Lembaga disini sebagai sebuah komponen yang menunjang efektif atau tidaknya sistem pendidikan yang berlaku. Misalnya manusia membentuk suatu kementerian khususnya di bidang pendidikan yang mengambil andil pelbagai urusan perihal pendidikan, bekerja sama dengan orang-orang yang mengemban tanggung jawab di dalamnya. Seperti, mereka merancang dan memberlakukan sebuah kurikulum (pedoman atau acuan)  yang mana terus dipergunakan dalam implementasi proses pembudayaan tersebut. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya (hewan dan tumbuhan) yaitu akal yang digunakan untuk berpikir lebih rasional daripada makhluk hidup lainnya. Berdasarkan hal tersebut khususnya di bidang pendidikan, manusia telah berhasil menciptakan berbagai karya cipta hasil akal pikiran mereka yakni berbagai jenis buku yang mana didalamnya terdapat suatu ide atau gagasan dari pengetahuan yang mereka dapat atau pikiran sebelumnya yang di realisasikan ke dalam bentuk tulisan-tulisan sebagai sumber pengetahuan pada proses pembudayaan di sekolah. Agar berhasil menuangkan tulisan tersebut manusia harus tamat dalam memahami teknik-teknik penulisan yang benar mana sesuai ejaan bahasa, khususnya Bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa pemersatu di suku bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaan proses pembudayaan juga didukung oleh para aktor atau agen yang berperan mengekspresikan model, metode, strategi serta media pembelajaran sehingga proses pembudayaan berjalan semakin efektif dan efisien. Kemudian, manusia bekerja sama mengelola kebudayaan khususnya di lingkungan sekolah agar tujuan pembudayaan dapat tercapai sesuai dengan apa yang telah menjadi harapan. Pendidikan sebagai proses pembudayaan secara teoretik disini telah diasumsikan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociologi of Knowledge” atau “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.

Berikut ini merupakan paparan singkat dari isi buku tersebut diatas yang terbagi menjadi tiga momen, yakni antara lain :

  • Eksternalisasi, ialah suatu usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri dalam hal pengungkapan rasa pada dunia luar (baik dalam kondisi yang menyangkut mental atau fisik mereka). Bersifat kodrati manusia, yang mana manusia selalu ingin mengungkapkan atau mengekspresikan diri ke tempat dimanapun diinya sedang berada. Manusia dalam hal ini dalam proses menemukan jati dirinya sendiri dalam suatu komunitas tertentu. Manusia dapat menggunakan simbol-simbol yang ada, agama , dan lain sebagainya dalam momen eksternalisasi ini.
  • Objektivikasi, ialah output yang berhasil dicapai oleh manusia baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia itu sendiri. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah atau berasal dari luar dirinya sendiri. Realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan penghasilnya. Objektivikasi masyarakat meliputi beberapa unsur misalnya institusi, peranan, identitas. Pembentukan suatu identitas yang diberikan pada individu diharapkan individu tersebut tidak hanya mampu menjalankan perannya, namun diharapkan mereka mampu untuk memahami apa yang diinginkan dari perannya tersebut.
  • Internalisasi, momen ini lebih kepada suatu teknik yang berfungsi dalam mereduksi kembali dunia objektif ke dalam kesadaran yang subjektif sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Manusia sendiri memakai internalisasi menjadi produk masyarakat yakni melalui sosialisasi. Dimana dapat kita artikan sebagai suatu strategi yang mampu dilakukan suatu generasi dalam menyampaikan nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut dibimbing (melalui berbagai kesempatan dan cara) agar dalam hidup bermasyarakat diharapkan mampu dan sesuai dengan nilai-nilai atau norma sosial yang telah disepakati bersama. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektifikasikan.

Proses pembudayaan yang mana dilakukan melalui sistem pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mewariskan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Jika kebudayaan yang telah ada tidak mampu untuk kita pertahankan maka kebudayaan tersebut mudah hilang apalagi sekarang zaman sudah berkembang menjadi zaman yang merubah masyarakat didalamnya tidak lagi dapat mengenal pelbagai hal yang terkait dengan pengetahuan berbagai kebudayaan atau tradisi dari suku bangsa mereka sendiri. Misalnya, banyak sekali anak-anak Indonesia yang menyanyikan lagu bergenre pop, barat, atau korea (K-pop) yang mayoritas makna dari berbagai lagu-lagu tersebut adalah mengenai percintaan orang dewasa,mereka tidak mau menyanyikan lagu anak-anak sesuai usia mereka sendiri. Sehingga kondisi yang lebih memprihatinkan ialah banyak dari mereka yang tidak hafal lagu-lagu anak-anak yang memang pantas dinyanyikan saat usia mereka sedang berkembang, kemudian mereka bahkan tidak  hafal nama pemimpin (presiden dan wakil presiden) maupun para tokoh yang bertugas dalam pemerintahan khususnya di Indonesia (kompasiana 23/12). Dampak yang ditimbulkan adalah hilangnya rasa cinta tanah air yang merupakan sikap bentuk kesetiaan atau penghargaan atas kebudayaan yang ada di suku bangsa mereka sendiri . Hal ini terjadi karena seringnya mereka menonton tv dan mendengarkan lagu-lagu orang dewasa melalui gadget ayah atau ibunya yang terdapat di menu musik pada gadget tersebut.

Hadirnya aktor-aktor (pendidik/guru) di dalam sekolah baik sekolah formal maupun informal yang digunakan sebagai sarana proses pengembangan budaya berperan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi pada diri para generasi penerus bangsa. Selain contoh kasus diatas sebenarnya masih banyak lagi permasalahan yang dialami para generasi milineal kita. Guru sebagai manusia yang memiliki pengetahuan harus menjalankan fungsi utamanya yakni sebagai aktor atau agen untuk mewariskan kebudayaan kepada para peserta didiknya. Sebagaimana pernyataan yang telah dijelaskan diatas bahwa proses pembudayaan di sekolah ialah pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas, guru dan peserta didik saling berinteraksi satu sama lain. Hal ini kita asumsikan bahwa telah berlangsung proses transfer knowledge untuk membentuk karakter, moral, kepribadian, keterampilan para peserta didiknya agar mereka mengetahui dan paham akan segala kebudayaan yang dimilikinya.

Tantangan yang dialami oleh sekolah dan pendidik dalam penyusunan program pendidikan adalah perkembangan arus globalisasi yakni bagaimana mereka mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh penguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa pada kemajuan IPTEK dan zaman yang semakin modern ini (Suryadi dan Tilaar, 1993). Jika masyarakat Indonesia di gambarkan pada masa depan sebagai masyarakat moderen yang bernafaskan Pancasila, maka peran pendidikan nasional baik formal maupun nor formal harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. Berdasar pada Jurnal of moral education (2007,Vol. 18) yang mana pembentukan pendidikan karakter pada peserta didik juga tidak terlepas dari nilai-nilai spiritual dan moral, keduanya sangat fundamental dalam pembangunan kesejahteraan berbagai organisasi.

Berdasarkan uraian di atas jika kita kaitkan dengan teori konstruksi sosial seperti pada awal penulisan ini bahwa manusia mengalami tiga momen penting dalam proses pembudayaan di masyarakatnya sendiri. Kebudayaan tidak datang dengan sendirinya melainkan kebudayaan dibentuk manusia. Pembentukan karakter atau moral dan spiritual pada peserta didik diklasifikasikan ke dalam momen eksternal yang berfungsi menemukan jati diri manusia, kemudian objektivikasi yang terbentuk adalah melalui adanya identitas dalam hal ini penulis melihat pada strata sosial yakni adanya menteri dan pendidik sebagai agen pewarisan budaya ke generasi selanjutnya. Terakhir , ialah momen internalisasi yang penulis simpulkan bahwa pada momen ini para agen pembudayaan melalui lembaga pendidikan (sekolah) melaksanakan tugasnya dalam kegiatan belajar mengajar yang mana didalamnya diisi dengan penanaman nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat sehingga budaya yang telah dimiliki dapat diwariskan kepada para peserta didiknya, proses pembudayaan dalam pendekatan transfer pengetahuan yang dilakukan guru dapat melalui media pembelajaran sebagai suatu strategi yang mampu menumbuhkan daya kreativitas eserta didik, nalar berpikir peserta didiknya sehingga mereka mampu mengimplementasikannya di dalam kehiduapan bermasyarakat. Demikian melihat hal tersebut diatas kita telah mengetahui bahwasannya sistem pendidikan telah dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan pendidikan sebagai proses pembudayaan yakni untuk membentuk bahkan menjaga seluruh kebudayaan yang telah tercipta sebagai wujud hasil karya cipta manusia dari generasi terdahulu kepada generasi milineal sehingga tidak pernah hilang keberadaannya dan identitasnya.

Sumber Referensi :

Bahmueller, C. F. 1997. A Framework For Teaching Democratic Citizenship : International Project.  Journal of social Education. Volume 12, Number 07.

Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Howard, Robert B. 2007. Politics of Character Educational Policy. International Journal. Volume 18, Number 01.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Jaya.

Manan, Imran. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Manuaba, Putera I.B. 2008. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Jurnal Fakultas Ilmu Budaya. Vol. 21, No. 03. Universitas Airlangga. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2017.

Muslich, Mansur. 2008. Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas. Jurnal Bahasa dan Seni. Volume 36 ,Nomor 2. Agustus 2008. Halaman 150-159.

Ngangi, Charles R. 2011. Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial.Jurnal. Volume 07 Nomor 02. Mei 2011. Halaman 1-4. Universitas Sam Ratulangi. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2017.

Sukardjo, M. & Komarudin, Ukim. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan  Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suryadi dan Tilaar H.A.R, 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Bangsa .  Bandung : Remaja Rosdakarya.

Suryana, Sawa, dkk. 2015. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang :Universitas Negeri Semarang Press.

https://www.kompasiana.com/chairul.fajar/pemuda-dan-rasa-cinta-tanah-air- yang-semakin-luntur_55171d788133119b669de164. Di akses pada tanggal 23 Oktober 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: