Teori-Teori Budaya

Kajian religi menurut teori Evolusi, Difusi, Fungsionalisme dan Struktural Fungsionalisme

  1. Teori Evolusi

Teori Evolusi dapat dikatakan sebagai induk sebagai induk dari semua teori dalam antropologi. Secara tidak disadari baik emplisit maupun eksplisit pemikiran evolusionisme mempengarihi cara berfikir banyak ahli. Ada dua situasi penting yang melatarbelakangi tulisan – tulisan para evolusionis pada abad ke-19 yaitu pergulatan kamum evolusionis untuk menegakkan suatu telaah naturalistik mengenai fenomena kultural, yang oleh Tylor disenut sebagai ilmu budaya. Cara utama yang diharapkan evolusionis yaitu untuk menegakkan suatu ilmu yang menunjukkan dengan sejelas – jelasnya bahwa budaya telah berkembang setapak demi setapak dalam langkah-langkah alami

  1. Dalam bidang ilmu sosial paham evolusionisme diawali oelh pemikiran E.B Taylor (1832-1917), yang menjelaskan persamaan yang terjadi pada berbagai bangsa yang berbeda, Tylor berpendapat bahwa manusia memiliki kesatuan jiwa yang sama diantara semua umat manusia sehingga menemukan pemecahan yang sama terhadap persoalan yang sama sehingga mengalami pekembangan sejarah evolusi yang sama.
  2. Menurut Morgan perkembangan evolusi dibagi menjadi dua

– Evolusi Unilinier : Evolusi yang terjadi melalui satu garis yang dominan.Masyarakat akan berkembang mengikuti tahap – tahap yang sama.

–   Evolusi Multilinier : pemikiran untuk menelaah perbedaan dan kemiripan budaya melalui perbandingan antara runtutan perkembangan yang parallel, khususnya pada wilayah – wilayah yang secara geografis jauh terpisah. Menurut Leslie A. White : Evolusi budaya terjadi karena adanya pirani manusia yang berkembang untuk berakomodadi terhadap alam dan budaya mengalami kemajuan.

2. Teori Difusi

Pada awalnya teori difusi ditujukan untuk memahami difusi dari teknik -teknik pertanian, tetapi pada perkembangan selanjutnya teori difusi digunakan pada bidang-bidang lainnya secara lebih universal. Teori difusi inovasi dari Everret M. Rogers kemudian diformulasikan dalam sebuah buku pada tahun 1962 berjudl “Diffusion of Innovations”, dimana dalam perkembangan selanjutnya menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, karakteristik inovasi, mengapa orang-orang mengadopsi inovasi, faktor- faktor sosial apa yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses diantara masyarakat. Difusi menekankan pada adanya persebaran (material dan non material) dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, dari satu orang ke orang yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga kebudayaan itu sumbernya dari satu tempat yang kemudian berkembang dan menyebar ke tempat yang lain.

3. Teori Fungsionalisme

Fungsionalisme adalah penekanan dominan pada antropologi khususnya penelitian   etnografis. Dalam fungsionalisme , kita harus mengeksplorasi ciri sistematik budaya yang artinya kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi- institusi atau struktur -struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bukat.Para fungsionalisme menyatakan bahwa fungsionalisme merupakan teori tetang proses kultural. Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi yang bertumpu pada analogi dengan organisme , artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial -budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup”organisme”. Dengan demikian  dasar penjelasan fungsionalisme ialah asumsi bahwa semua sistem budaya memiliki syarat – syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksitensinya atau sistem buday memiliki kebutuhan (kebutuhan sosial ala Radcliffe Brown atau bilogis individual ala Malinowski) yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan ssitem fungsionalis itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati” atau akan berubah mejadi sisitem lain yang berbeda jenis. Fungsionalisme didasarkan pada pandangan yang melebihkan aspek sosial dan melihat bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari sosialisasi yang menentukan seperti apa tindakan sosialnya.

  • Fungsionalisme menurut Malinowski memandang istitusi dalam masyarakat (keluarga, politik, pendidikan, analog dengan organisme, dan setiap organ terintegrasi serta saling bergantung.

Fungsionalisme tidak untuk mengetahui asal – usul serta perkembangan suatu pranata, tetapi melihat apa fungsinya dalam konteks kehidupan masyarakat.

4. Teori Struktural Fungsionalisme

Pernyataan parson mengenai teori fungsionalisme structural yang cenderung berkonsentrasi pada struktur  – struktur masyaarkat dan dan hubungan mereka satu sama lain. Struktur – struktur itu dilihat saling mendukung dan cenderung ke arah keseimbangan dinamis. Penekanannya terletak pada cara pemeliharaan tatna antara berbagai unsur masyarakat. Parson tidak hanya memerhatikan sistem sosial dalam dirinya tetapi juga hubungan -hubungannya dengan sistem-sistem tindakan lainnya, khususnya sistem budaya dan kepribadian. Akan tetapi pandangan dasarnya mengenai hubungan-hubungan intersistemik yang sama dengan pandangan mengenai relasi-relasi intrasistemik, yakni mereka didefinisikan oleh kohesi, consensus, dan ketertiban. Dengan kata lain, struktur-struktur sosial yang beraneka ragam melaksanakan berbagai fungsi positif untuk satu sama lain.

 Studi mengenai religi

Menurut Koentjaraningrat, religi merupakan bagian dari kebudayaan yang mengacu pada konsep yang dikembangkan Emile Durkheim mengenai dasar – dasar religi dengan empat komponen dasar yaitu

  1. Emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religious.
  2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan – bayangan manusia tentang sifat–sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan serta tentang wujud dari alam gaib.
  3. Sistem upacara religius yng bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa–dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
  4. Kelompok – kelompok religius atau kesatuan – kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.

Dalam setiap masyarakat memilliki kepercayaan lokal yang merupakan tradisi turun temurun dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Salah satu bagian dari kepercayaan lokal yang ada di masyarakat yaitu tradisi sadranan yang ada di Desa Glagah, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten yang merupakan tradisi tahunan masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan pada saat menjelang Ramadhan atau pada bulan Ruwah (Sya’ban). Tujuan dari tradisi sadranan membersihkan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan. Selain itu ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa sadranan sebagai bentuk pelestarian tradisi nenek moyang yang pada zaman dahulu dilakukan untuk memberi pemujaan terhadap arwah leluhur.

Tradisi sadranan diawali dengan membersihkan kubur para leluhur dan kemudian dilanjutkan dengan acara kenduren dengan membawa ambengan oleh setiap warga yang berisi macam – macam makanan, buah dan jajanan pasar dan kemudian  dilanjutkan doa untuk  arwah  leluhur yang telah meninggal dunia agar diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa. Setelah doa bersama, ada makan ambengan bersama ditempat diselenggarakannya sadranan dan ada pula yang membawa makanan pulang untuk dimakan bersama keluarga. Dalam tradisi ini banyak masyarakat yang berbondong – bondong untuk ikutserta  meraykan sadranan sekaligus berkumpul dan bersilaturahmi antar tetangga, karena biasanya masyarakat yang merantau akan kembali kampung halaman pada saat tradisi ini dilaksanakan.

Analisis :

Tradisi sadranan merupakan fenomena sosial keagamaan dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat yang terus dilestarikan. Pelestarian tradisi sadranan masih terus dilakukan karena terdapat kepercayaan dalam masyarakat Desa Glagah, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten  bahwa sadranan merupakan salah satu cara untuk  menghormati roh nenek moyang dengan mendoakan dan membersihkan makam leluhur. Fenomena sadranan merupakan bagian dari teori fungsionalisme, bahwa fungsionalisme tidak mengetahui asal usul suatu pranata agama, tetapi  melihat bagaimana fungsinya yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.

Tradisi sadranan dalam hal ini selain memiliki fungsi untuk menghormati arwah leluhur dengan membersihkan makam leluhur dan berdoa bersama, tradisi sadranan juga berfungsi sebagai sarana untuk bersilaturahmi dan berbagi antar. Hal itu dapat dilihat pada saat acara sadranan setiap warga dari satu rumah yang membawa makanan seperti ambengan, buah-buahan, maupun jajanan pasar yang setelah doa kemudian dimakan bersama dan di bagi bagikan kepada tetangga yang lain yang ikutserta dalam sadranan. Selain itu sadranan juga befungsi sebagai sarana bersilaturahmi karena pada saat sadranan banyak masyarakat yang bekerja di luar daerah akan kembali pulang ke kampung halaman. Tradisi sadranan sudah terintegrasi dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehingga pelaksanaanya rutin dilakukan setiap tahun karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat dan apabila tidak dilaksanakan masyarakat khawatir dan takut akan malapetaka yang akan terjadi seperti yang dijelaskan oleh Malinowski bahwa kepercayaan sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan terhadap hal-hal yang tidak dipahami seperti tradisi sadranan yang merupakan warisan dari nenek moyang yang memiliki fungsi, karena sebagai kegiatan sosial keagamaan yang terus dilestarikan oleh masyarakat sebagian bagian dari masyarakat.

Daftar pustaka :

  • Kaplan, David dan Robert. A. Manner.1999.Teori Budaya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
  • Ritzer, George.2012.Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.Yogyakarta:Pustaka pelaja

 

2 komentar pada “Teori-Teori Budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: