Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa

Hai sahabat blogger….

Kali ini saya akan membagikan postingan mengenai budaya kekerasaan dalam perspektif nilai-nilai dan etika masyarakat jawa. Postingan kali ini berkaitan dengan tugas mata kuliah Sosiologi Politik

 “Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa”

            Dalam artikel yang berjudul “Budaya Kekerasaan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa” memuat hal-hal yang menarik tentang budaya dan etika masyarakat jawa yang dilihat dari waktu ke waktu. Masyarakat jawa yang dikenal memiliki kebudayaan yang halus dan adiluhung dengan adanya Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta sebagai pusat kebudayaan jawa hingga saat ini. Masyarakat jawa yang dikenal memiliki kebudayaan yang halus seringkali digambarkan seperti putri solo yang lemah gemulai dan beberapa tarian jawa seperti tari gambyong, tari srimpi, tari bedhoyo, dan beberapa tarian lainnya yang bersumber dari kedua Kraton Jawa yang mengambarkan budaya jawa yang halus dan penuh tata krama. Akan tetapi dibalik kebudayaan jawa yang dikenal halus, tersimpan cerita yang menjelaskan bahwa dahulunya masyarakat jawa juga dikenal sebagai etnis yang keras. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya cerita kerajaan jawa yang banyak menaklukkan banyak daerah diluar jawa Tenggara seperti Kerajaan Singasari dengan ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan Sumatera Kerajaan Majapahit yang wilayahnya meliputi hampir wilayah Asing Tenggara dan Kerajaan Mataram yang juga menaklukan beberapa wilayah di luar jawa. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman terjadi pergeseran kebudayaan masyarakat jawa menjadi budaya yang halus dan penuh sopan santun. Seperti halnya yang dikemukakan Clifford C. Geertz bahwa kebudayaan adalah jalinan makna dimana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya akan menuntun tingkah lakunya. Dengan demikian dalam masyarakat jawa terdapat dua kebudayaan yaitu budaya halus dan budaya kasar. Budaya halus masyarakat jawa digambarkan dengan beberapa tarian jawa yang lembut gemulai, sedangkan budaya kasar bersumber dari sanjungan dan pemujaan terhadap panglima perang yang kemudian sosialisasinya melalui pertunjukkan wayang kulit dan wayang wong dengan cerita Barata Yuda yang mengisahkan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa yang didalamnya terdapat nilai-nilai etika Jawa yang menggambarkan budaya kekerasan. Selain itu dalam masyarakat Jawa terdapat tiga konsepsi nilai-nilai dan etika Jawa yang menurut Franz Magnis Suseno (1993) yaitu hormat yang mengandung pengertian bahwa setiap orang dalam berbicara menunjukkan sikap hormat sesuai dengan derajat dan kedudukannya, rukun yang mengandung pengertian hubungan yang selaras, tanpa perselisihan, tenang dan tentram,sedangkan isin yaitu memiliki makna bahwa orang akan malu jika melakukan hal yang tidak semestinya. Ketiga konsep tersebut jika benar hadir ditengah-tengah masyarakat menurut Clifford Geertz disebut model of reality,sedangkan jika konsep tersebut hanya konsepi abstrak yang di cita-citakan dan berbeda dengan realita masyarakat maka disebut model for reality.

            Budaya kekerasan dalam masyarakat Jawa telah ada sejak pada masa kerajaan Jawa hingga pada masa reformasi 1998. Pada masa kerajaan Jawa budaya kekerasan tersebut dapat dilihat dari salah satu kerajaan di jawa yaitu Kerajaan Mataram pada saat peralihan kekuasaan yang menyebabkan terjadinya perpecahan Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta dengan adanya perjanjian Giyanti yang juga tidak lepas dari pengaruh campur tangan kolonial Belanda yang selalu campur tangan dalam setiap konflik istana dalam pengangkatan raja baru. Campur tangan Belanda dengan cepat merusak sistem kekuasaan Mataram yang menyebabkan sering terjadi kegoncangan dalam kerajaan. Seperti hal yang dikemukakan MC Ricklefs (2002; 59-62) bahwa Susuhunan Pakubuwono  II digambarkan lemah dan rapuh terpaksa mengalami dua kali pemberontakan yang pada akhirnya menyerahkan seluruh kedaulatan kepada Belanda karena tidak mampu mengendalikan para pejabat kerajaan yang merusak ketentraman. Kemudian Belanda membantu mengusir para pejabat dari kraton dan dibuang dari Jawa seperti Pangeran Aryo Mangkunegoro, Patih Danurejo, dan Notokusuma yang pada akhirnya ketiganya dibuang ke Srilanka. Ketika kraton Kartosura diduduki pemberontak keturuanan Cina Susuhunan Pakubuwono II memohon bantuan Belanda untuk merenut tahtanya kembali, dan sebagai imbalannya Belnada diijinkan untuk menentukan penjabat patih dan menguasai pesisir. Belanda memainkan perannya yang memaksa Susuhanan Pakubowono III menyerahkan secara resmi setengah dari kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, pamannya sendiri yang memberontak. Setelah adanya perjanjian Giyanti 1755 M Jawa kembali diwarnai oleh kekerasan dan peperangan yaitu Perang Diponegoro 1825 M yang menyebabkan suatu perubahan yaitu seluruh Jawa berada dibawah kontrol Belanda yang memunculkan negara baru yaitu colonial state yang bernama Hindia Belanda, tetapi tidak menghapus kerajaan Jawa dan Surakarta. Selanjutnya budaya kekerasan pada reformasi 1998, terlihat dengan adanya gerakan massa di jalan  untuk mewujudkan reformasi. Adanya gerakan massa dijalan seringkali menyebabkan amok massa diberbagai tempat pembakaran dan pembunuhan yang terjadi di Jakarta dan Surakarta yang dapat mengancam jalannya reformasi dan meyebabkan pintu reformasi menjadi buntu.  Tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi di Yogyakarta, karena pada saat ada gerakan massa di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X ikut serta menyuarakan reformasi. Selain itu pada saat yang bersamaan Sultan HB X sedang nglakoni atau sedang menjalani laku prihatin, beliau mempunyai keinginan untuk mendukung gerakan reformasi agar bisa sukses dan berjalan damai. Orang yang nglakoni biasanya di landasi oleh rasa prihatin atau adanya cita-cita yang besar (Brata, 2003, yaitu dengan menahan diri dari beberapa hal seperti menahan diri untuk tidak makan, tidak tidur, tidak berbicara, dan menahan diri menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas tertentu dengan harapan untuk bisa mengintegrasikan Kuasa atau kesaktian.

Brata (2003) mengatakan bahwa, ketika sudah terjadi kesepakatan antara pihak Kraton dengan sebagian elemen gerakan massa bahwa temat berlangsungnya gerakan massa pada tanggal 20 Mei 1998 adalah Kraton Yogyakarta dan dipimpin oleh Sultan Yogyakarta yang kemudian pihak Kraton memberi nama gerakan massa ini adalah pisowanan ageng. Gerakan pisowanan ageng merupakan wujud dari hasrat masyarkat Yogyakarta untuk menuntut diwujudkannya reformasi dan peralihan kekuasaan Negara Indonesia, dengan tuntutan agar Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia sebagi titik tolak reformasi secara total di Indonesia. Dalam pisowanan ageng 20 Mei seperti yang diberitakan oleh harian Kedaulatan Rakyat edisi 21 Mei 1998 yang di mulai dengan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya kemudian disusul denan pembacaan sumaph rakyat, dan pembacaan doa oleh Forum Persatuan Umat Beragama yang diwakili oleh lima wakil agama-agama dan dilanjutkan dengan pembacaan maklumat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang berisi himabuan kepada masyarakat untuk berdoa menurut agama masing-masing demi keselamatan negara Indonesia, yang kemudian ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam VIII. Gerakan massa pisowanan ageng berjalan dengan damai tanpa adanya unsur kerusuhan dijalan, karena Sultan ikut serta memimpin gerakan tersebut dan menghimbau masyarakat agar menyediakan makanan dan minuman bagi peserta gerakan massa disekitar jalan raya yang dilalui gerakan massa.

Dalam gerakan massa pisowanan ageng, dapat dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Dalam pandangan James T Siegel kategori alus dan kasar adalah satu kategori hierarki dalam masyarakat Jawa yang dapat terwujud dalam bahasa dan perilaku. Selain itu dalam cerita pewayangan budaya halus dan kasar juga tercermin dari pertarungan Arjuno dan Buto Cakil, yang juga menjadi pertunjukan tari yang sangat disukai penulis. Dari pertunjukan tari tersebut terdapat simbol kekerasan yang berujung pada dua kutub kehidupan manusia yang tidak pernah akrab yaitu kutub halus dan kutub kasar. Arjuna merupakan simbol watak dan perilaku halus dengan gerak yang sederhana dan lamban tetapi menjadi pemenang dalam pertarungan, sedangkan Cakil merupakan simbol watak perilaku kasar dengan gerakan yang lincah dalam pertarungan tersebut. Selain itu kasar dicirikan oleh kekuatan fisik, penampilan sangar, banyak bicara dan banyak melakukan gerakan yang tidak perlu seperti halnya yang tergambarkan pada Buto Cakil, sedangkan sifat alus identik dengan gerak sederhana tetapi menyimpan energy yang besar, bicara halus dan penuh pengendalian diri dan menjadi kondisi ideal manusia Jawa. Watak halus juga identik dengan para satria, bangsawan, dn priyayi, sedangkan watak kasar identik dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing). Watak halus sering menjadi tolak ukur apakah seseorang menjadi bagian dari masyarakat Jawa atau bukan, dan apabila seseorang belum masih menampilkan perilaku kasar, maka akan dicemooh dengan kalimat “durung nJawani” atau “dudu wong Jawa” yang artinya belum menjadi jawa atau bukan orang Jawa.

Dalam masyarakat Jawa juga terdapat hirarki kebudayaan Jawa yang terungkap dalam paribasan Jawa, “Dupak bujang, semu mantra, esem bupati”. Ungkapan dupak bujang yaitu harus memakai “tendangan kaki” maka komunikasi dapat berjalan sehingga memerintah orang lain atau berkomunikasi maka seorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan atau kekasaran fisik. Kemudian yang lebih tinggi semu mantri, yaitu sesorang harus nyemoni atau menyindir orang lain maka komunikasi baru bisa berjalan, sedangkan yang paling tinggi adalah esem bupati, yaitu priyayi tinggi yang posisinya dibawah raja untuk berkomunikasi cukup dengan mesem (tersenyum) maka orang lain yang diajak berkomunikasi sudah tanggap maksudnya.

Kemenangan abadi watak halus terhadap watak kasar, satria atas buto, tereksprsikan dalam jargon Jawa “Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti” yang artinya sifat angkara murka, kejahatan, kasar, atau kekalahan fisik dapat dikalahkan dengan pangastuti, yaitu keluhuran budi, alus, kebaikan, satria, dan Kuasa atau kesaktian. Jargon tersebut dapat dopakai untuk melihat peristiwa gerakan massa saat mendatangi pisowanan ageng 20 Mei di Kraton Yogyakarta, yang sebenarnya juga memiliki potensi berbuat kekerasan dan anarki di jalanan. Potensi bangkitnya amarah dan perilaku kekerasan kemudian dapat diantisipasi  dengan gunungan garebeg, yaitu massa yang datang kepada Sultan diberi  kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah dari Sultan untuk dimakan bersama, yang juga dapat menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga terjadi rasa solidaritas. Tetapi pada pisowanan ageng  20 Mei 1998, Sultan secara tidak langsung menghadiahkan gunungan grebeg dengan cara menghimbau masyarakat untuk menyediakan makanan dan minuman untuk dimakan bersama dan gratis yang diletakkan di pinggir jalan yang dilewati massa menuju Kraton sehingga massa yang menuju Kraton tidak berbuat anarki di jalanan, yang biasanya perbuatan anarki tersebut salah satunya disebabkan karena kondisi perut lapar dan tidak bisa dikontrol.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: