Bentuk Ketidakadilan Gender

haii sahabat blogger, setelah minggu lalu saya membagikan materi sosiologi SMA, nah kali ini saya akan kembali membagikan artikel yang juga berkaitan dengan sosiologi, tetapi sedikit berbeda karena artikel kali ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Gender yang saya tempuh di semester 5. Nah langsung saja yuk simak artikelnya.

Definisi Ketidakadilan Gender

            Ketidakadilan gender merupakan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki yang bersumber pada keyakinan gender. Menurut Michelle Rosaldo ketidakadilan gender merupakan sebuah kondisi di mana perempuan secara universal di bawah laki-laki, di mana laki-laki menjadi dominan karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan merendahkan perempuan ke lingkungan domestik.

Perbedaan partisipasi antara laki-laki dan perempuan selain memberikan otoritas yang lebih tinggi pada laki-laki, juga penilaian yang lebih tinggi pada peran laki-laki. Ketidakadilan gender terdapat berbagai lingkup kehidupan diantaranya dalam kehidupan negara, masyarakat, budaya, tempat kerja, rumah tangga, dan dalam keyakinan pribadi.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender<

  1. Beban ganda (double burden)

      Beban ganda merupakan pembagian tugas yang selalu memberatkan perempuan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa perempuan secara alamiah memiliki sifat memelihara, merawat, mengasuh, yang mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab perempuan. Banyak di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung perempuan sendiri, terlebih jika perempuan bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka perempuan memikul beban ganda. Adanya sosialisasi peran gender bahwa perempuan harus mengelola rumah tangga telah memperkuat keyakinan masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan perempuan, sehingga apabila perempuan tidak melakukan pekerjaan tersebut akan menyebabkan adanya rasa bersalah bagi perempuan. Sementara bagi laki-laki pekerjaan tersebut bukan tanggungjawabnya, bahkan pada masyarakat tertentu laki-laki dilarang melakukan pekerjaan yang identic dengan peran gender perempuan. Bagi keluarga dengan perekonomian cukup pekerjaan domestik kemudian dilimpahkan ke pihak lain yaitu pembantu rumah tangga.

2. Marginalisasi

      Marginalisasi dan subordinasi saat ini banyak menimpa perempuan yang disebabkan oleh srtuktur yang timpang yang diciptakan hanya laki-laki untuk laki-laki. Marginalisasi secara umum berarti proses penyingkiran.

Contoh marginalisasi misalnya banyak buruh perempuan yang menjadi miskin akibat keyakianan pimpinan perusahaan bahwa laki-laki yang cocok menjadi manajer. Dengan demikian buruh perempuan menjadi terhambat kariernya karena adanya keyakinan tersebut. Selain itu contoh lain proses pemiskinan adalah adanya anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena nantinya hanya mengurusi pekerjaa dapur. Akibatnya jika perempuan bekerja, maka perempuan akan bekerja di sektor pekerjaan subsisten atau buruh dengan upah yang rendah karena pendidikan yang mereka miliki rendah dan tidak memiliki ketrampilan. Pemiskinan tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi pada laki-laki juga terdapat anggapan bahwa laki-laki adalah penyangga keluarga yang berkewajiban membantu orang tua ikut mencari nafkah sejak usia dini.

3. Subordinasi

            Teori feminis menyatakan bahwa laki-laki memandang perempuan sangat berbeda secara mendasar dibandingkan dia melihat dirinya sendiri maka perempuan direkduksi ke status kelas kedua dan berada di status subordinat (Beuvoir, 1953). Sedangkan teori Kate Millet menyatakan bahwa subordinasi pada perempuan merupakan kelas jenis kelamin yang tergantung pada di bawah dominasi patriarkis Millet (1970). Selain itu antropologi feminis menyatakan bahwa pemisahan dunia public dan domestik serta penurunan perempuan ke domestik mempertegas subordinasi perempuan (Rosaldo dan Lamphere, 1974; Ortner,1974). Secara umum subordinasi merupakan keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin  tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain, misalnya perempuan dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga tidak sederajat.

Bentuk-bentuk subordinasi terhadap perempuan antara lain :

  • Perempuan lebih banyak buta aksara dibandingkan laki-laki
  • Laki-laki lebih bebas memilih pekerjaan dibandingkan perempuan
  • Mengurus pekerjaan rumah tangga dianggap kodrat perempuan

4. Kekerasan terhadap perempuan

Teori feminis membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan meliputi segala bidang dan merupakan produk patriarki di mana laki-laki menguasai institusi sosial maupun tubuh perempuan. Kekerasan merupakan mekanisme utama di mana relasi kekuasaan yang tidak setara dipertahankan dalam politik. Sosiologi feminis menyatakan bahwa kekerasan adalah bentuk perbedaan kekuasaan dalam perkawinan yang menunjukkan bahwa eksistensi dan skala penganiayaan dan kekerasan laki-laki dalam rumah tangga menjadikan persoalan kekerasan domestik. Tulisan para feminis mengenai Dunia Ketiga menyatakan bahwa kekerasan laki-laki digunakan untuk mengontrol perempuan di dalam aturan dan perilaku yang diperuntukkan bagi mereka dan menyatakan bahwa kekerasan secara khusus digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksinya. Kekerasan terhadap perempuan merupakan saran subordinasi perempuan dan bagian dari dominasi ideologis dan institusional. Semakin maraknya tindak kekerasan pada perempuan disebabkan karena belum dipahaminya makna dari kekerasaan terhadap perempuan. Selain itu pengertian kekerasaan terhadap perempuan antara satu individu, masyarakat, budaya, negara yang satu dengan yang lain juga berbeda, sehingga pada bentuk kekerasan tertentu seperti dalam bentuk verbal dan emosional seringkali tidak dianggap sebagai kekerasan, bahkan kekerasan fisik pada tingkat tertentu pada kebudayaan dan negara tertentu tidak dianggap sebagai kekerasaan terhadap perempuan.

5. Stereotip

Stereotip merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotip yaitu bersumber dari pandangan gender, yang akibatnya merugikan perempuan, karena dengan pelabelan tersebut perempuan mengalami pembatasan dan pemiskinan. Misalnya perempuan bersolek diasumsikan untuk memancing perhatian lawan jenis, sehingga ketika kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami perempuan masyarakat cenderung menyalahkan korban. Pandangan feminis menyatakan bahwa sifat-sifat yang baik cenderung dilekatkan pada laki-laki sehingga laki-laki mampu membentuk kelompok yang unggul, sementara perempuan membentuk kelompok yang hangat-ekspresif.

Contoh kasus ketidakadilan gender

Pekerja Perempuan di Media Massa Masih Banyak Alami Diskriminasi

Oleh: Yustinus Paat / FMB | Rabu, 9 Maret 2016 | 13:47 WIB

Jakarta – Menyambut Hari Perempuan Internasional kemarin, 8 Maret 2016, Aliansi Jurnalis Independen melihat masih banyak ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada jurnalis (pekerja media) perempuan dalam perusahaan media massa. Ketimpangan dan ketidakadilan ini tak banyak bergeser dari kondisi akhir tahun yang disampaikan oleh AJI dalam Catatan Akhir Tahun 2015. Dalam Laporan Akhir Tahun 2015, Bidang Perempuan dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, gambaran secara umum kondisi kesejahteraan jurnalis (pekerja media) perempuan masih jauh dari harapan. Dikatakan, perempuan di media bahkan lebih tidak sejahtera, satu level di bawah mitranya. Salah satu indikasinya, banyak media yang masih menempatkan status kekaryawanan jurnalis perempuan sebagai single, meskipun mereka telah menikah dan mempunyai anak. Implikasi penetapan status single adalah tidak terpenuhinya sebagaian hak-hak pekerja/ jurnalis perempuan. Misalnya pada hak untuk mendapatkan fasilitas tunjangan keluarga, dan asuransi kesehatan untuk suami dan anak.

“Padahal tugas dan tanggung jawab semua, termasuk jurnalis perempuan sama di ruang redaksi,” kata Endah Lismartini, Pengurus Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal. Endah menilai diskriminasi ini terjadi karena banyak media menggunakan standar UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam hal pengupahan untuk pekerja perempuan, termasuk di media. Menurutnya, langkah ini tentu kurang tepat dan harusnya media menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengenal diskriminasi gender dalam hal pemenuhan hak-hak normatif tenaga kerja.

“Realitanya hanya sedikit media yang menjalankan amanat konstitusi ini. Di antara sedikit media itu adalah Bisnis Indonesia,” ungkap dia.

Selain itu, kata dia hak mendapatkan fasilitas seperti yang diamanatkan UU Kesehatan juga belum tersedia sepenuhnya, salah satunya adalah ruang laktasi. Kondisi ini terjadi di banyak media, termasuk di beberapa media mainstream.

“Kalau-pun ada, beberapa tidak memenuhi syarat aksesibilitas ataupun kenyamanan karena posisi ruang laktasi atau jumlahnya tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan,” ungkap dia. Pertumbuhan jumlah ruang laktasi pun tidak beranjak signifikan dari riset Kondisi Layak Kerja Jurnalis Perempuan yang dilakukan AJI pada 2012 lalu. Padahal kesehatan anak tidak hanya menjadi kebutuhan pekerja perempuan tapi menjadi kebutuhan bersama. “Perhatian media pada kesehatan anak akan mendukung produktifitas seluruh pekerja media,” kata Endah menegaskan. Penelitian terakhir yang dilakukan AJI pada sebuah kantor pengelola radio pemerintah masih menunjukan ketimpangan yang cukup besar. Ketimpangan terjadi tak hanya pada jumlah karyawan laki-laki yang lebih banyak dari jumlah perempuan, dimana 45 persen pegawai adalah perempuan dan 55 persen adalah laki-laki. Penetapan status kontrak, yang berdampak pada kesempatan jenjang karir yang terbatas untuk perempuan. Begitu juga dalam posisi di struktural, dari 900 jabatan struktural, perempuan mengisi sekitar 300 jabatan struktural, dominan pada level administratif. Jika menujuk pada program nasional keterwakilan perempuan, kondisi ini berada sedikit lebih tinggi di atas batas minimum (critical mass) keterwakilan perempuan di wilayah politik. Isu pelecehan seksual di tempat kerja juga belum bergeser. Perusahaan belum memiliki kebijakan dan saluran khusus pengaduan intimidasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Pengaduan tindakan pelecehan seksual biasanya langsung pada atasan. Kondisi menjadi menyulitkan ketika pelaku pelecehan atau intimidasi adalah atasan, atau jurnalis perempuan mengalami pelecehan seksual saat peliputan. “Tidak ada standar penanganan yang jelas. Kasus pelecehan di ruang kerja banyak terabaikan,” katanya. Kasus yang terjadi tahun lalu pada jurnalis perempuan di sebuah media online menunjukan, belum terpenuhinya standar keselamatan bagi jurnalis perempuan, baik dalam perlindungan dari kejahatan dan pelecehan seksual, juga proses pengaduan ketika terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual.

Kebijakan nasional pengarusutamaan gender di Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Tahun 2000, presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini dilatarbelakangi pandangan perlu upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan peran dan kualitas perempuan dalam pembangunan. Serta meningkatan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun 16 tahun sejak Inpres ditetapkan, tak banyak perubahan terjadi. Bagi jurnalis perempuan di Indonesia, problem masih berada dikisaran upah dan kesempatan yang setara dengan mitranya. Sementara isu hak perempuan seperti perlindungan dari pelecehan seksual di kantor masih banyak diabaikan. Keberadaan serikat pekerja masih belum maksimal mengakomodir isu-isu jurnalis perempuan. Dengan serangkaian problem yang masih banyak dihadapi jurnalis perempuan, artinya masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk meningkatkan kesejahteraan pada jurnalis perempuan di Indonesia. “Karena itu AJI mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bisa bersinergi dengan Kementerian Ketenagakerjaan, untuk memastikan agar hak-hak pekerja perempuan terpenuhi sesuai ketentuan undang-undang,” kata Endah menegaskan.

Komentar  :

            Adanya diskriminasi pada perempuan yang bekerja di media massa menunjukkan bahwa ketidakadilan gender masih menjadikan perempuan lebih rendah kedudukannnya dibandingkan laki-laki. Selain itu perempuan dalam dunia publik tidak mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki meskipun beban kerja mereka sama dalam hal pekerjaan, bahkan perempuan cenderung dinomorduakan dengan status yang dipalsukan yang seharusnya mendapatkan hak-haknya seperti tunjangan  keluarga dan asuransi suami dan anak  kemudian tidak didapatkan dengan digantinya status single. Undang-undang yang digunakan oleh perusahaan pun cenderung merugikan perempuan, karena undang-undang yang digunakan seharusnya Undang-undang Ketenagakerjaan yang tidak memiliki diskriminasi gender, tetapi banyak perusahaan yang menggunakan Undang-undang Perkawinan sehingga banyak perempuan yang telah menikah tidak mendapatkan hak-haknya. Selain itu ketidakadilan gender juga terlihat terbatasnya kesempatan berkarier perempuan karena adanya ketimpangan jumlah perempuan di sektor publik yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tidak adanya perlindungan dalam hal pelecehan seksual terhadap perempuan menjadikan perempuan banyak dirugikan dalam hal ketidakadilan gender di media massa.

Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: