Budaya Dalam Dunia Pendidikan

haii sahabat blogger, kali ini say kembali membagikan sedikit wawasan yaitu fenomena dalam dunia pendidikan saat ini yaitu tentang mencontek. Tulisan saya ini merupakan hasil pengamatan saya yang berkaiatan dengan tugas mata kuliah antropologi pendidikan yang saya tempuh di semester 5. Nah langsung saja berikut penjelasannya

“Njaplak” Budaya Dalam Dunia Pendidikan

            Sekolah merupakan lingkungan sekunder bagi anak untuk memperoleh pendidikan dan pengalaman belajar. Dalam belajar setiap orang memiliki orientasi belajar yang berbeda-beda yang dapat menentukan hasil akhir dari belajar tersebut.

Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan dan tingkat pemahaman siswa digunakan penilaian pembelajaran. Penilaian merupakan suatu aspek yang hakiki dari proses itu sendiri, dengan melalui test, tugas, maupun ulangan yang hasilnya dapat digunakan untuk mengetahui apakah peserta didik telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dimasukkan dalam kategori tertentu sesuai dengan hasil ujian (Suryabrata, 2010). Pendidikan saat ini, cenderung melihat pada hasil akhir, yang menyebabkan siswa berusaha untuk mendapatkan nilai akhir yang tinggi dan juga dapat membanggakan orang tuanya. Tetapi dibalik nilai tinggi yang diraih siswa di akhir proses belajar tersebut tidaklah semua berdasakan pada perilaku jujur. Banyak ditemui di sekolah ketika UN, Ujian Sekolah, UAS/UTS, bahkan ulangan harian banyak siswa yang melakukan tindakan kecurangan mencontek (njaplak). Dengan adanya perilaku mencontek tujuan dari tes untuk mengetahui kemampuan siswa kemudian tidak tercapai. Perilaku mencontek bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, hal ini sudah ada sejak lama bahkan dianggap sebagai hal yang wajar dan sepele oleh para siswa, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan awal dari adanya tindakan korupsi pada kalangan atas. Hal ini dikarenakan perilaku mencontek merupakan tindakan kecurangan yang apabila dilakukan sekali dan berhasil, maka akan memunculkan tindakan yang serupa untuk berikutnya, demikian hal seperti korupsi. Menurut Deighton (dalam Solagrasia 2014) mencontek merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan hasil yang tidak jujur. Menurut Hartono (2012) penyebab dan bentuk menyontek sangatlah beragam, sehingga disebut dengan fenomena yang multifaced. Beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori mencontek antara lain:

  1. Meniru pekerjaan teman
  2. Bertanya langsung kepada teman ketika sedang mengerjakan tes
  3. Membawa catatan kertas pada anggota badan atau pakaian pada saat masuk ruang ujian
  4. Menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencuri bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan ujian di kelas
  5. Browsing menggunakan internet untuk mencari jawaban

Menurut Huton, Patricia A, (2006), dalam jurnalnya yang berjudul “Understanding Student Cheating and Educators Can Do About It”  menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi siswa dalam melakukan kecurangan akademis atau menyontek. Faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa yakni berupa kepercayaan diri, tingkat keimanan, keinginan akan nilai tinggi, ketakutan terhadap kegagalan, persepsi siswa lain tentang perilaku menyontek. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa yakni berupa faktor dari guru, faktor orang tua, lingkungan belajar, bentuk soal yang diujikan, dan penyalahgunaan kemajuan teknologi dan informasi.

Pelajar yang memiliki rasa percaya diri yang rendah akan memiliki sikap pesimis terhadap kemampuannya dalam mengerjakan, dan untuk menghindari nilai yang jelek kemudian pelajar menyontek saat ujian. Selain itu perilaku menyontek disebabkan oleh adanya tekanan pada diri pelajar untuk mendapatkan nilai yang tinggi yang berasal dari orang tua, teman sebaya maupun guru. Hal ini dikarenakan jika pelajar mendapatkan nilai yang jelek, terdapat beberapa orang tua yang kemudian memarahinya, sementara dari teman sebaya akan dianggap bodoh dan hal ini kemudian akan menyebabkan seseorang menjadi malu kepada  teman maupun guru di sekolah.

Menurut Abramovits & Bouville (dalam Nurmayasari dan Hadjam Murusdi, 2015) mengemukakan bahwa praktik menyontek bila dilakukan secara terus menerus akan menjadi bagian dari diri individu dan menyebabkan kaburnya nilai-nilai moral dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini disebabkan perilaku menyontek merupakan tindakan curang yang mengabaikan kejujuran, mengabaikan usaha optimal seperti belajar tekun sebelum ujian serta mengikis kepercayaan diri siswa.Pendidikan merupakan wadah pembentuk pribadi yang intelektual dan memiliki moral yang baik diharapkan bebas dari tindakan negatif. Namun pada realitanya banyak terjadi perilaku negatif dalam dunia pendidikan seperti halnya menyontek dan setiap tahun terus meningkat jumlahnya.

Pelajar yang pada awalnya tidak menyontek, kemudian melihat temannya menyontek dan mendapatkan nilai yang tinggi, jika pelajar tersebut tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuannya, maka cenderung akan melakukan tindakan yang sama. Akibatnya, perilaku menyontek tersebut menyebabkan pelajar menjadi malas untuk belajar dan menggantungkan dirinya pada tindakan mencontek ketika ujian

Bentuk-bentuk menyontek di sekolah

“Njaplak” saat Ulangan Akhir Semester

Pada saat akhir semester untuk menguji pemahaman siswa mengenai materi yang telah disampaikan diadakan evaluasi berupa ujian atau tes.

Hal ini dapat dilihat dibeberapa sekolah saat ujian akhir semester diadakan selama satu minggu dengan jumlah 3 mata pelajaran dalam satu hari. Dalam formasi duduk peserta dilakukan dengan sistem seling yaitu antara siswa kelas X, XI, maupun XII pesertanya dalam satu kelas tidak satu tingkatan yang sama. Hal ini bertujuan untuk menghindari tindakan menyontek diantara teman. Meskipun ketika akan menghadapi Ulangan Akhir Semester, guru telah memberikan kisi-kisi untuk dipelajari siswa dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian, pada kenyataannya banyak ditemukan siswa yang melakukan tindakan menyontek, misalnya sehari sebelumnya siswa sudah membuat catatan kecil yang di simpan di dalam kotak pensil, di saku, memfotocopy beberapa materi dengan diperkecil sehingga mudah dibawa  atau bahkan mencatatnya di meja di mana ia mengerjakan. Selain itu ketika akan masuk ke ruang ujian, sebelumnya siswa telah membawa LKS masuk ke dalam kelas dan diletakkan di dalam laci, dengan tujuan jika ada kesempatan dapat membuka LKS tersebut. Cara lain yang menjadi jurus ketika menyontek di kalangan siswa yaitu dengan menggulung LKS dan di selipkan di kaos kaki. Cara ini dilakukan oleh siswa karena sekolah menerapkan pakaian bawah panjang baik rok maupun celana. Dengan demikian ketika diselipkan di kaos kaki dan dibawa masuk ke ruangan tidak diketahui oleh pengawas. Kemudian setelah sampai di tempat duduk, LKS tersebut kemudian dimasukkan ke dalam laci. Selain itu ketika Ulangan Tengah Semester, para siswa yang biasanya berangkat siang, tiba-tiba menjadi berangkat pagi, dengan tujuan untuk mengetahui pengawasnya ujiannya pada hari tersebut. Para siswa kemudian melihat papan nama pengawas diruang guru untuk mengetahui pengawasnya apakah dapat mempermudah dirinya untuk menyontek atau tidak. Jika pengawasnya dapat mempermudah dirinya dalam menyontek, trik-trik menyontek tersebut kemudian diluncurkan.

Tetapi jika pengawasnya terkenal galak dan ketat dalam mengawasi maka niat untuk menyontek dengan membawa buku diurungkan, tetapi diganti dengan bekerjasama dengan teman dengan membuat kode-kode tertentu yang dipahami oleh mereka yang menyepakati, misalnya ketika menyonteki jawaban pilihan ganda, kode yang digunakan jari tangan seperti jawaban A dengan menggunakan jari satu, dan seterusnya. Kemudian untuk jawaban esai singkat kode yang digunakan sangat rumit karena hanya dapat dipahami oleh mereka yang memang biasa menggunakan kode itu. Dalam hal ini penulis tidak memahaminya, sementara untuk menyontek jawaban uraian, siswa biasanya memberikannya dalam bentuk tulisan di kertas kecil dengan cara-cara yang tidak mencolok jika ia sedang memberikan contekan, misalnya dengan pura-pura meminjam penghapus, penggaris kemudian diselipkan jawaban.

Dalam bekerjasama dengan teman biasanya sebelum masuk kelas, mereka sudah berkata terlebih dahulu

“Engko aku tiruni yo, ojo pelit-pelit. Nak tak celuki noleh” (nanti aku diconteki ya, jangan pelit-pelit, kalau aku panggil nanti nengok)

 “pinter aja dipek dewe” (pintar jangan untuk diri sendiri)

Hal ini seringkali menjadi dilema bagi siswa yang rajin dan tidak melakukan tindakan menyontek saat ujian, karena mereka merasa sudah mempersiapkan ujian jauh-jauh hari dengan belajar dan mempelajari materi yang telah disampaikan, bahkan membaca berulang-ulang materi yang sering di tekankan guru dalam pembelajaran. Bagi siswa yang tidak ingin melakukan tindakan menyontek persiapan ujian menjadi hal yang sangat penting agar nilai yang didapatkan maksimal

Membeli kunci jawaban saat UN

Perilaku mencontek tidak hanya terjadi pada Ulangan Akhir Semester, tetapi juga dilakukan ujian skala nasional seperti UN yang soalnya dianggap sebagai dokumen rahasia negara, dan dalam pengirimannya dijaga dengan ketat oleh aparat keamanan. Tetapi pada kenyataannya banyak oknum-oknum tertentu yang memiliki bocoran paket soal,tersebut. Hal ini kemudian digunakan untuk kegiatan yang tidak bertanggungjawab, seperti adanya jual beli jawaban ujian.

Oknum-oknum tersebut kemudian menawarkan bocoran tiap paket jawaban kepada siswa-siswa kelas XII yang akan menghadapi ujian dengan harga tertentu. Peluang ini kemudian ditangkap oleh para siswa yang terbiasa menyontek sat ulangan dan tidak memperhatikan pelajaran di kelas. Pembelian kunci jawaban biasanya dilakukan secara rombongan dengan membagi rata harga kunci jawaban dengan jumlah teman yang akan ikut membeli. Adanya tawaran kunci jawaban tersebut biasanya ketika akan mendekati Ujian Nasional yaitu sebulan sebelum UN.

Calo biasanya menawari satu siswa yang kemudian siswa tersebut menawari teman-teman di sekolah dan jika banyak yang tertarik, ia sekaligus sebagai pengkoordinir. Menurut teman penulis ketika SMA, bocoran dari kunci jawaban tersebut terdapat pada semua paket mulai dari paket A hingga paket E. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, kunci jawaban yang diberikan ada yang penuh ada yang tidak (selang seling ada nomor yang isi, ada yang kosong). Menurut teman penulis, jika bocoran kunci jawaban yang tidak penuh bisa sekitar Rp 150.000 dengan jaminan lulus, sedangkan jika bocoran kunci jawaban yang penuh bisa diatas Rp 200.000. Hal ini kemudian menjadi iming-iming bagi para siswa yang pesimis dalam menghadapi UN dan kemudian memilih jalan pintas untuk menggantungkan nilai ujiannya pada bocoran kunci jawaban tersebut. Siswa yang mengkoordinir tidak hanya menawari teman sekelasnya atau teman dekatnya, tetapi juga teman-teman dikelas yang lain. Ketika mendekati hari Ujian Nasional, siswa yang menjadi koordinator dalam pembelian kunci jawaban tersebut mengumpulkan uang dari teman-temannya. Sedangkan pemberian kunci jawaban diberikan ketika pagi hari saat Ujian Nasional.

Menurut pengakuan teman penulis, jika tidak terlambat kunci jawaban diberikan dalam bentuk kertas dari paket A hingga paket E pada pagi, kemudian disebarkan ke teman-teman yang telah membeli. Sementara jika terlambat, kunci jawaban diberikan melalui Hp dengan foto, sehingga tidak heran jika dalam waktu Ujian Nasional beberapa siswa membawa Hp dan diletakkan di laci bangku jika ingin melihat kunci jawabannya. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari teman yang cukup mengetahui tentang jual beli kunci jawaban Ujian Nasional, pada pagi hari ketika hari UN, salah satu siswa berangkat lebih pagi bertemu dengan calo tersebut untuk meminta kunci jawaban, siswa juga meminta tukang parkir atau satpam disekolah untuk tidak memberitahukan hal tersebut kepada pihak sekolah dengan cara memberi uang tutup mulut.

Ketika tiba waktu Ujian Nasional para siswa kemudian masuk ke ruangan masing-masing dengan denah tempat duduk dan kode soal yang telah ditentukan. Ketika waktu ujian telah berlangsung sekitar satu jam, kemudian siswa yang membawa kunci jawaban mulai melihat bocoran kunci jawaban tersebut. Menurut pengamatan penulis ketika ujian, salah satu teman penulis yang juga membeli kunci jawaban, meskipun ia berada pada barisan paling depan tempat duduknya dan di depannya adalah kursi pengawas, hal tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk membuka kunci jawaban melalui Hp.

Teman penulis tersebut merupakan siswa hitz dijurusan IPS dan saat pelajaran dikelas jarang memperhatikan, bermain HP, dan jika ada pekerjaan rumah biasanya menyalin pekerjaan teman. Tetapi siapa sangka, ketika pengumuman kelulusan, ia menjadi siswa dengan nilai yang tertinggi di jurusan IPS.

Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari teman dekatnya, ia memang membeli bocoran kunci jawaban saat ujian.

Sikap guru dalam melihat perilaku menyontek

            Meskipun dalam Ujian Nasional saat ini telah menggunakan sistem komputer yang menyebabkan sulit dalam menyontek, tetapi perilaku menyontek masih banyak ditemui di sekolah-sekolah saat ulangan semester. Beberapa guru ada yang bersikap tegas dalam melihat perilaku tersebut dengan menegur ketika melihat siswa yang menyontek, memberi tanda tangan pada lembar kerja siswa, ada yang menggantinya dengan lembar jawab yang baru meskipun sudah hampir selesai, bahkan ada pula yang menyobek lembar kerja siswa dan menyuruhnya keluar. Tetapi disisi lain ada pula guru yang hanya diam tetapi mencatat nama-nama siswa yang menyontek, dan bahkan terdapat guru yang membiarkan siswanya menyontek atau bekerjasama asalkan tidak membuat gaduh kelas. Hal inilah yang kemudian membuat perilaku menyontek di sekolah tidak berkurang, tetapi semakin bertambah, karena siswa kemudian tidak merasa takut menyontek karena tidak adanya sangsi dari guru yang tegas khususnya ketika guru pengawas memberikan kebebasan kepada siswa. Selain itu siswa yang pada awalnya tidak menyontek, ada pula yang kemudian menyontek karena diajari kakak kelasnya dengan trik-trik tertentu

“Wis buka buku wae apa nirun, nak ora njaplak, mengko nilaine elek ndak dadak remidi” (sudah buka buku aja apa tanya teman, kalau tidak menyontek nanti nilainya jelek dan harus remidi/mengulang)

Perilaku menyontek tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara Barat. Dalam penelitian McCabe, Donald L (1999), dalam jurnalnya yang berjudul “Academic Dishonesty Among High School Students”  terdapat informasi siswa dan mahasiwa dari 32 SMA dan Universitas di New Jersey bagian utara, Amerika yang menunjukkan bahwa beberapa siswa menyakini menyontek adalah hal yang normal dan menjadi menjadi bagian dalam kehidupan manusia.

Berdasarkan fenomena tersebut salah satu teori yang dapat digunakan dalam mengkaji perilaku menyontek yaitu teori orientasi tujuan. Menurut Rahmawati dkk (2015) secara spesifik terdapat dua macam orientasu tujuan yaitu orientasi tujuan kerja  (performance goals) dan orientasi tujuan pembelajaran/penguasaan (learning goals) teori orientasi tujuan dapat digunakan untuk mengkaji perilaku menyontek, karena secara langsung berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam diri siswa, yaitu apakah ingin menyontek atau tidak. Jika siswa ingin memperlihatkan kemampuannya dan menutupi ketidakmampuannya, maka menyontek dapat menjadi strategi bagi siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Menurut Levine dan Satz (dalam Solagrasia 2004) perilaku menyontek disebabkan adanya rasanya rasa percaya diri. Siswa yang melakukan tindakan menyontek cenderung menganggap dirinya memiliki kemampuan dan kepercayaan dirinya  rendah, sehingga untuk mendapatkan nilai yang bagus salah satunya dengan menyontek. Menurut Khairil dan Danim (2010), siswa yang memiliki kepercayaan diri yang rendah kemudian akan menjadi pesimis dan melakukan tindakan menyontek untuk menghindari kegagalan.

Dalam hal ini siswa menjadi tidak peduli jika menyontek akan menyebabkan mereka tidak memahami materi dengan baik. Sementara bagi siswa yang memiliki tujuan orientasi penguasaan, menyontek tidak akan memberikan manfaat apapun bagi mereka, sehingga jika siswa ingin memahami materi maka mereka akan berusaha untuk belajar dan memahami materi tersebut. Selain itu siswa yang berorientasi pada penguasaan juga akan beranggapan bahwa materi yang diajarkan dan dipelajari selama di sekolah akan menjadi bekal untuk meraih cita-citanya, sehingga tidak hanya berhenti pada menjawab soal tes atau ujian. Tetapi dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat orientasi siswa mengarah pada ortientasi tujuan kinerja, di mana  tingkat menyontek lebih tinggi dan dianggap sebagai hal wajar.Adanya perilaku menyontek juga disebabkan karena sistem pendidikan kita yang saat ini cenderung berorientasi pada nilai. Sesuai dengan yang dikatakan oleh  Syah (2007) bahwa kebanyakan pelaksanaan pengukuran hasil belajar cenderung bersifat kuantitatif, lantaran simbol angka atau skor untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa. Hal tersebut membuat siswa tertekan dan memiliki keharusan dalam meraih nilai yang tinggi bukan pada ilmu yang disampaikan. Hal ini memicu para siswa untuk berlomba-lomba untuk mencapai nilai tertinggi dan dianggap berhasil dalam belajar, meskipun dengan cara-cara yang kurang tepat. Adanya perilaku menyontek disebabkan karena siswa kurang memahami makna belajar yang sesungguhnya, tetapi hanya sekedar mengetahui dan memiliki cara untuk menjawab soal ujian. Salah satu upaya untuk mengurangi perilaku menyontek dengan mengubah mindset siswa, orang tua maupun guru bahwa tolak ukur dari pembelajaran tidak hanya terpacu pada nilai akhir, melainkan proses dari pembelajaran tersebut, yang dapat memberikan pemahaman bagi siswa.

Daftar Pustaka

  • Hartanto, Dody. 2012. Menyontek: Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya. Indeks
  • Khairil dan Danim.2010.Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru).Bandung:Alfabeta
  • Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Suryabrata, Sumadi.2010.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Rajawali Press
  • Solagrasia, Kartika.2014.Strategi Menyontek Pada Siswa Ditinjau Dari Kepercayaan Diri dan Strategi Coping.Jurnal Psikologi,Vol III, No 2.https://repository.usd.ac.id/6382/2/121334006_full.pdf.(Di akses 22 Oktober pukul 10:12)
  • Nurmayasari, Hadjam Murusdi.2015.Hubungan Berfikir positif dan Perilaku Menyontek Pada Siswa Kelas X SMA Koperasi Yogyakarta.Jurnal Psikologi, Vol III, No 1.ISSN:2303-114X.https://journal.uad.ac.id/index.php/EMPATH/article/download/3009/1748.pdf.(Di akses 22 Oktober 2017 pukul 10;31)
  • Rahmawati, dkk.2015.Perilaku Menyontek Ditinjau Dari Orientasi Tujuan Belajar Siswa SMA/MA Di Surakarta.Prosiding Seminar Nasional.https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/snpe.article/download/7025/4811.pdf.(Di akses 22 Oktober 2017 pukul 10;31)
  • Hutton, Patricia A. 2006. Understanding Student Cheating and What Educators Can Do About It.Washington, United States:Taylor & Francis Inc. https://www.jstor.org. (Di akses pada 23 Oktober 2017 pukul 13:22)
  • McCabe, Donald L. 1999. Academic Dishonesty Among High School Students. Roslyn Heights,United States: Libra Publishers Incorporated.https://ijbssnet.com/journal/Vol_2_No_3_(Special_Issue_-_January_2011)/30.pdf.(Di akses pada 23 Oktober 2017 pukul 13:11

Biodata penulis
Wiwin Wahyuningsih

Mahasiswa Jurusan Sosiologi & Antropologi – Fakultas Ilmu Sosial – Universitas Negeri Semarang

Organisasi : Pramuka (Gugus Latih Ilmu Sosial) 2016

E-mail : [email protected]

No telp/WhatsApp : 085640240180

IG : wiwinwahyu34

Facebook : Wiwin Wahyuningsih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: