Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Politik, pada semester 5. Berikut materinya:

            Kebudayaan Jawa dengan Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta sebagai simbolnya identik dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis, dan aristokratis (Nugroho Trisnu Brata, 2000;63). Tari gambyong, tari srimpi, tari bedhoyo dan tari-tarian yang bersumber dari kedua Kraton Jawa sering menjadi potret atau gambaran budaya Jawa yang halus dan penuh tata krama. Akan tetapi pada masa lalu sebenarnya masyarakat jawa adalah etnis yang keras dan menjadi bangsa penakluk Kerajaan Singasari pernah mengirimkan bala tentaranya untuk menaklukkan Sumatera melalui Ekspedisi Pamalayu. Imperium Majapahit menjadi kerajaan Jawa paling sukses dalam melakukan penaklukan dengan wilayahnya yang meliputi hampir seluruh Asia Tenggara dan lebih luas dari Indonesia. Untuk masa berikutnya, H.J. de Graaf mengatakan bahwa, Kerajaan Mataram berhasil menaklukkan seluruh Pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia, bahkan wilayahnya sampai ke Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Pergeseran kebudayaan akhirnya menjadikan masyarakat Jawa menjadi masyarakat yang budayanya halus dan penuh sopan santun.

            Budaya atau kebudayaan (culture) menurut James P. Spradley adalah sistem gagasan atau sistem pengetahuan yang berfungsi sebagai  pedoman sikap dan pedoman perilaku masyarakat pemilik kebudayaan. Sedangkan menurut Clifford C. Geertz, kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya kebudayaan akan menuntun tingkah lakunya. Kebudayaan beroperasi pada level komunitas, hal ini berbeda dengan kepribadian (personality) yang beroperasi pada level individu. Budaya memiliki peran atau fungsi sebagai penuntun, pengarah, atau pemaksa bagi masyarakat. Budaya kekerasan dalam hal ini adalah sistem gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yang kemudian menjadi pedoman dan penuntun bagi masyarakat dalam melakukan tindak kekerasan . Inspirasi gagasan kekerasan bisa saja bersumber pada nilai-nilai dan etika budaya Jawa, misalnya sanjungan dan pemujaan terhadap para panglima perang atau para ksatria. Sosialisasinya bisa berwujud pertunjukkan wayang kulit atau wayang wong dengan cerita Barata Yuda yang mengisahkan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Jiwa kepahlawanan, pertumpahan darah, adu kesaktian, dan pengorbanan nyawa seakan menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dalam budaya Jawa. Akan tetapi nilai-nilai dan etika Jawa juga berperan di dalam memahami budaya kekerasan itu.

            Nilai-nilai adalah parameter (alat ukur) yang menjadi kesepakatan bersama yang menjadi dasar dalam melihat apakah sesuatu itu bisa dikatakan baik atau buruk, tinggi atau rendah, mulia atau hina, dan sebagainya. Etika adalah segala hal yang berkaitan dengan kepantasan atau kesopanan, apakah sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa menurut Franz Magnis Suseno (1993) terintegrasi kedalam tiga prinsip yaitu hormat, rukun, dan isin. Prinsip hormat mengandung pengertian bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri harus selalu menunjukkan sikap hormat pada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Rukun mengandung pengertian bahwa hubungan sosial dalam keadaan yang selaras, tanpa perselisihan, tanpa ketegangan, tenang dan tentram. Isin mempunyai makna bahwa orang akan merasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, tidak pada tempatnya, atau tidak pada waktu yang tepat.

Kekerasan Dan Peperangan Pada Masa Kerajaan Jawa

Perjanjian Giyanti tahun 1755 M yang membelah kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta juga tidak lepas dari pengaruh kekuatan kolonial Belanda. Menurut Fachry Ali (1986;47). bahwa pemberontakan yang sepenuhnya berciri Islam yang dilakukan oleh Trunojoyo terhadap Sunan Amangkurat I, didukung oleh penguasa dari kawasan pantai dan tentara Makasar. Pemberontak berhasil menduduki Kraton Mataram dan Amangkurat I melarikan diri kemudian meninggal. Sementara Putra Mahkota bekerja sama dengan Trunojoyo. Melalui kekuatan VOC Putra Mahkota naik tahta dan bergelar Sunan Amangkurat II. Sejak itulah Belanda (VOC) mulai memainkan peran politiknya yang nyata di Mataram.

MC Ricklefs (2002: 59-62) mengatakan bahwa Susuhunan Pakubuwono II yang digambarkan lemah dan rapuh terpaksa mengalami; dua kali pemberontakan, jatuhnya kraton Kartosuro pada pemberontak, penyerahan final daerah pesisir kepada Belanda, dan menjelang ajalnya menyerahkan seluruh Kedaulatan Mataram kepada Belanda. Susuhunan Pakubuwono II juga tidak mampu mengendalikan para pejabat kerajaan yang saling membuat kasak kusuk dan merusak ketentraman. Pemberontakan ditumpas pada 1743 dengan menyerahkan Susuhunan pemberontak yang berusia 13 tahun yaitu Mas Garendi (Sunan Kuning), dia adalah cucu Susuhunan Amangkurat III.

Setelah adanya Perjanjian Giyanti 1755 M tanah Jawa kembali diwarnai oleh kekerasan dan peperangan yaitu Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825 M. Akan tetapi sejak meletus Perang Diponegoro tahun 1825-1830 M, kemudian diikuti oleh suatu perubahan lagi. Setelah perang itu padam berkat bantuan Belanda seluruh Jawa telah berada di bawah kontrol Belanda, ini sebagai imbalan kepada Belanda karena telah memadamkan pemberontakan. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan negara baru yaitu colonial state yang bernama Hindia Belanda, tetapi kerajaan Jawa Yogyakarta dan Surakarta tidak dihapus karena justru dimanfaatkan oleh colonial state tadi untuk menjadi kepanjangan tangannya. Para bupati diwilayah mancanegara (lingkaran paling luar dalam sistem konsentris kekuasaan Jawa) tidak lagi ada yang tunduk dan berada dibawah otoritas kerajaan, akan tetapi para bupati itu langsung berada di bawah control colonial state.

Kekerasan Pada Masa Reformasi 1998

            Sekarang ini yang menjadi raja Kraton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X.  Selain menjadi kepala Kraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X (HB X) juga sering terjun ke masyarakat dan aktif di berbagai organisasi. Dua peristiwa di Jalan Solo dan di jalan sekitar Wirobrajan Kota Yogyakarta, menjadi saksi munculnya Sultan HB X dalam pentas gerakan massa mewujudkan reformasi pada tahun 1998. Pada saat itu Sultan juga sedang nglakoni atau sedang menjalani laku prihatin. Orang yang sedang nglakoni biasanya dilandasi oleh rasa prihatin atau oleh adanya cita-cita (Brata, 2003). Nglakoni atau tapa brata adalah sebuah proses di mana si ego itu menahan diri terhadap beberapa hal, misalnya: menahan diri untuk tidak makan (berpuasa), menahan diri untuk tidak tidur baik siang maupun malam, menahan diri untuk tidak bicara, menahan diri untuk tidak melihat api, menahan diri untuk tidak bersenggama, atau menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas tertentu. Dengan nglakoni maka si ego berharap untuk bisa mengintegrasikan Kuasa atau kesaktian, yaitu energi yang besar dan dengan energi itu dia akan meraih keinginannya.

            Ketika Sultan HB X sedang nglakoni maka beliau itu sedang mempunyai keinginan untuk mendukung gerakan reformasi agar bisa sukses dan berjalan damai. Pada saat masih dalam proses nglakoni, beliau juga sempat bergabung dengan massa di jalanan. Dengan munculnya Sultan HB X pada peristiwa reformasi itu memang bisa mencegah kekerasan dan amok massa di Yogyakarta. Amok massa di berbagai tempat itu selain mengancam jalannya reformasi juga membuat pintu-pintu reformasi menjadi buntu, dan dengan adanya amok massa itu yang terjadi kemudian adalah stagnasi atau kemandegan reformasi. Pada saat arus reformasi mengalami stagnasi, jalan buntu, sedangkan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1998 sudah beredar isu akan diadakan gerakan massa secara luas di seluruh penjuru Indonesia untuk mewujudkan reformasi maka para aktivis gerakan reformasi di Yogyakarta kemudian memutar otak untuk menyiasati gerakan massa 20 Mei 1998 yang juga akan diselenggarakan di Yogyakarta itu agar berlangsung sukses dan damai.

            Pisowanan Ageng 20 Mei 1998 merupakan peristiwa bersejarah di Yogyakarta pada massa bergulirnya wacana dan gerakan massa mewujudkan reformasi di Indonesia. Peristiwa ini adalah wujud dari hasrat masyarakat Yogyakarta untuk menuntut diwujudkannya reformasi dan tuntutan terjadinya peralihan kekuasaan Negara Indonesia. Gerakan massa pisowanan ageng tanggal 20 Mei 1998 itu adalah salah satu mata rantai dari sejumlah aksi massa sebelumnya yang terjadi di Yogyakarta, dan di seluruh daerah di Indonesia, dengan agenda utama menuntut diwujudkannya reformasi. Setelah menyampaikan pidato amanatnya kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono X membacakan maklumat. Maklumat itu ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan KGPAA Paku Alam VIII. Maklumat dalam pisowanan ageng 20 Mei 1998 itu pada intinya adalah himbauan sultan HB X kepada masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, dan seluruh rakyat Indonesia untuk berdoa menurut agama masing-masing demi keselamatan negara Indonesia.

            Peristiwa gerakan massa pisowanan ageng di Yogyakarta tersebut ada juga yang menyebut sebagai suatu people power. People power memiliki dua makna. Pertama, sebagai penggulingan regim. Gerakan massa pada 20 Mei 1998 tidak bisa dikatakan sebagai people power. Karena proses peristiwa itu tidak sampai pada penggulingan. Kedua, kalau people power diartikan sebuah kekuatan rakyat untuk memaksa penguasa untuk turun, maka gerakan massa pisowanan ageng pada 20 Mei 1998 bisa dikatakan people power.

Budaya Alus dan Budaya Kasar

            Dalam pandangan James T. Siegel kategori alus dan kasar adalah salah satu kategori hierarki dalam masyarakat Jawa yang bisa mewujud dalam bahasa dan perilaku. Watak alus itu adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, perlu tapa brata, perlu usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Sedangkan watak kasar itu adalah watak dasar manusia sehingga untuk memilikinya tidak perlu usaha apa pun. Watak alus identic dengan para satria, bangsawan, dan priyayi. Sedangkan watak kasar itu identik dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing).

Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati

            Untuk memerintah orang lain atau berkomunikasi maka seorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan atau kekerasan fisik dengan ungkapan dupak bujang yaitu harus memakai tendangan kaki maka komunikasi baru bisa berjalan. Yang agak lebih tinggi sedikit adalah perintah atau kominikasi yang dilakukan oleh mantri, atau priyayi menengah, yaitu semu mantra. Dimana dia harus nyemoni atau menyindir kepada orang lain maka komunikasi baru bisa berjalan. Yang paling tinggi adalah komunikasi oleh seorang bupati yaitu esem bupati, priyayi tinggi yang posisinya di bawah raja, untuk berkomunikasi dia cukup mesem, tersenyum saja maka orang lain yang dia ajak berkomunikasi sudah tanggap maksudnya.

Menjinakkan Kekerasan

            Menurut P.M Laksono, selamatan (slametan) adalah fenomena makan bersama (komuni) dalam lingkup yang terbatas, sedangkan gerebeg adalah fenomena makan bersama (komuni) dalam lingkup yang lebih luas dan massal. Makanan yang digerebeg pada pisowanan ageng 20 Mei 1998 tidak berbentuk gunungan dan tidak dikeluarkan dari kraton, akan tetapi makanan dan minuman itu diletakkan dipinggir-pinggir jalan yang dilewati massa yang menuju kraton. Warga masyarakat dihimbau agar menyediakan makanan dan minuman secara gratis kepada gelombang massa yang akan menuju kraton di pinggir-pinggir jalan yang dilewati. Himbauan Sultan ini didengar dan ditaati oleh warga masyarakat dengan menyediakan makanan dan minuman secara gratis, sehingga massa yang menuju kraton tidak berbuat kekerasan dan anarki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: