Tangis
Oleh Agung Kuswantoro
Menangis adalah kata kerja dari tangis. Orang yang menangis berarti sedang bekerja tangis. Pertanyaannya adalah “mengapa orang tersebut menangis?”
Ada dua sebab. Pertama, bahagia. Tangis karena bahagia. Biasanya, muncul setelah ada sifat bahagia datang kepadanya. Seperti, wisuda, pengumuman CPNS, diterimanya seseorang di Perguruan Tinggi, lulusnya tes psikologi dan peristiwa membahagiakan lainnya.
Kedua, sedih. Tangis karena sedih. Biasanya, muncul setelah ada sifat sedih datang kepadanya. Seperti, seseorang yang ditinggal orang dekatnya karena meninggal dunia, seseorang yang kehilangan (harta benda), seseorang yang tidak berhasil suatu ujian, dan peristiwa menyedihkan lainnya.
Lalu, saat Idul Fitri. Pernahkah Anda melihat tangis seseorang? Saya pernah memperhatikan tangis seseorang saat sholat Idul Fitri, ternyata yang menangis tidak hanya satu, dua, atau tiga orang saja.
Saat takbir berkumandang, orang yang sedang berdzikir dan bertakbir itu menangis. Terlebih saat sholat Id, ada orang yang menangis. Tak cukup tangisnya hanya sekali, bahkan beberapa kali. Misal, saat masuk rokaat kedua dari sholat id, ia juga menangis.
Atau, saat takbiran hingga akan sholat Id, ia terus mengeluarkan air mata. Tak cukup hanya itu, ketika bersalaman dengan orang-orang tertentu, ia juga mengeluarkan air mata. Misal, bersalaman/sungkem kepada orang tua.
Tak hanya bersalaman dengan orang tua saja, ia mengeluarkan air mata. Bahkan, kepada orang yang tertentu (bukan saudaranya) pun ia bersalaman mengeluarkan air matanya.
Dalam hati saya bertanya, mengapa dia mengeluarkan air mata saat bersalaman kepada orang-orang tertentu?
Berikut beberapa jawaban yang saya himpun. Pertama, ia punya dosa kepada yang bersangkutan. Air mata sebagai tanda tulus untuk memaafkannya. Ia rela menghapus atas dosa-dosa yang ia telah disalami. Bahkan, ia yang mengajak bersalaman.
Kedua, ia melupakan masa lalu orang tersebut. Ia mengikhlaskan apa pun amal seseorang tersebut, khususnya perbuatan buruk. Ia menganggap permasalahan terhadap dirinya selesai. Dan, ia berusaha tidak akan mengulanginya.
Tangis yang seperti ini menurut saya adalah tangis yang bahagia. Mengapa? Karena tangis tersebut menunjukkan rasa “plong” atau lega atas sikapnya. Baik berupa kesalahan, keganjalan, ketidaksengajaan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya.
Tangis yang seperti ini menunjukkan seseorang berhati lembut. Tidak kaku, hatinya. Hatinya mudah tersentuh. Dan, hatinya mudah memberi maaf kepada orang lain.
Namun, didalam tangis yang ia lakukan terdapat kekuatan yang dahsyat berupa “ikhlas” dan “mengikhlaskan” kesalahan seseorang.
Tak mudah, memaafkan kesalahan seseorang. Terlebih, kesalahan yang telah membuat ia “tersungkur” dalam hidupnya. Menjadikan ia sangat “sakit hati” dalam menjalani kehidupannya.
Namun, dengan kerelaan hatinya di hari Fitri, ia mudah menghapus kesalahan orang tersebut melalui air yang mengalir di matanya. Sembari mengucapkan “maafkan atas kesalahan saya”, cukup kalimat itu, ia benar-benar menghayati, ke lubuk hatinya. Tulus hatinya, mengatakan itu. sehingga, meneteslah air mata ke bumi.
Itulah gambaran tangis bahagia yang dianjurkan oleh agama. Menangis atas kesalahan kita kepada sesama. Makhluk Allah, saat dengan Allah pun demikian.
Melalui Istighfar, ia menghayati kesalahan-kesalahan atas perbuatan maksiat yang telah diperbuatnya. Ia membayangkan masa lalunya, yang kelam dengan dosa. Sehingga, saat melafalkan astaghfirullahal ‘adzim, yang keluar dari mata berupa tangisan. Hati pun menjadi lembut. Insya Allah memaafkan kesalahan atas dosa orang tersebut.
Mari, lembutkan hati kita melalui tangis karena bahagia. Bahagia karena mengikhlaskan kesalahan-kesalahan orang lain. Atau, kita yang meminta maaf atas perilaku kita yang tidak baik kepada orang lain. Hati yang keras harus dilatih dengan perbanyak istighfar agar menjadi lunak. Ikhlaskan masa lalu seseorang kesalahannya. Sambut ia dengan harapan yang baik untuk hari berikutnya. Mari menangis karena bahagia.Semarang, 28 Juni 2018
Recent Comments