Mbah Darman (Tidak) Buta
Oleh Agung Kuswantoro
Pasca lockdown Masjid selama 2 bulan, Alhamdulillah berangsur-angsur Masjid di Desa saya mulai kondisi new normal. Protokol kesehatan, tetap harus dipatuhi oleh jamaah saat pelaksanaan ibadah di Masjid.
Semenjak Masjid “dibuka”, hampir dipastikan setiap sholat, saya menjumpai mbah Darman. Ia/mbah Darman bagi saya adalah sosok yang biasa. Mengapa? Karena, saya sudah mengenal sejak tahun 2002. Waktu itu, saya masih berstatus mahasiswa strata satu di UNNES.
Saya mengenalnya di Masjid dekat kos dulu – yaitu Masjid Attakwa Gang Pete – saat sholat Jum’at. Saya sering mengantarkannya pulang usai sholat Jumat di Masjid Attakwa. Saya mengantarkan pulang dari Masjid ke rumahnya, sambil menggandeng tangannya. Bisa dikatakan, saya jalan kaki dengannya itu sangat pelan. Tidak berjalan cepat.
Apa, pasal saya selalu mengantarkannya pulang dengan jalan kaki dan berjalan pelan? Ya, betul, jawaban Anda, yaitu ia adalah orang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa buta. Buta matanya.
Melalui Masjid dan sholat Jumat, saya selalu “menyisihkan” waktu untuk mengantarkan pulang. Saya sendiri melakukannya dengan senang. Bahkan, ia bertanya kepada saya, mengenai identitas saya, dimana saya adalah seorang mahasiswa, kala itu.
Singkat cerita, saya diberi “rizki” oleh Allah SWT yaitu membeli rumah satu RT yang saya tempati dulu, waktu nge-kos. Ternyata, Allah SWT mengizinkan berdirinya tempat untuk sebuah Masjid didekat rumah saya.
Salah satu jamaah Masjid yaitu mbah Darman. Ia aktif dalam jamaah sholat wajib dan kegiatan Masjid. Setelah Idul Fitri 1441 Hijriah, ia sering menjadi muadzin dan sholat berjamaah di Masjid. Suatu ketika, saya mengajak berdiskusi mengenai kelemahan saya selaku manusia dan kemajuan Masjid. Mengingat, dulu, ia juga pernah menjadi muadzin di sebuah Masjid.
Bisa dikatakan, setelah Ramadhan, ia sering meng-adzan-i di Masjid dekat rumah saya. Saya hafal betul, karakter suaranya. Di Masjid ini pula, saya diberi amanah oleh Allah SWT menjadi imam, khotib, pengurus masjid, dan pengelola madrasah Aqidatul Awwam.
Kedekatan saya dengannya, mengingatkan saya dulu, sewaktu saya studi strata satu. Tahun 2002 waktu itu, sekarang Tahun 2020. Karakter mbah Darman yang suka dan aktif berjamaah tetap “terjaga”. Saya pun, alhamdulillah masih aktif mengantarkannya ke barisan shaf hingga pulang melewati tangga Masjid.
Hati
Buta (mata) mbah Darman, bisa jadi buta (hati) untuk saya. Kegelapan ruang mbah Darman, bisa jadi kegelapan (‘dimensi’) bagi saya. Bagi mbah Darma buta, bukan menjadi penghalang untuk beribadah ke Masjid. Tidak hanya beribadah sholat rowatib saja, sholat gerhana pun ia pergi Masjid.
Bisa jadi, saya yang “buta” melihat dunia ini. Mbah Darman-lah yang “melihat” dunia. “Kegelapan” hati itu, ada pada diri saya. Sedangkan “terang” hati itu, milik mbah Darman. Hati, mbah Darman sudah dibuka. Dengan rajin datang ke Masjid 30 menit sebelum tiba waktu sholat. Ia sudah berdzikir terlebih dahulu, sebelum tiba waktu sholat. Padahal, lampu Masjid belum dinyalakan. “Gelap gulitanya” Masjid, namun “terang benderang” baginya untuk berdzikir, sebelum adzan dikumandangkan olehnya. Kejadian tersebut, sering saya lihat olehnya. Saat saya menyalakan lampu Masjid, ternyata didalamnya ada Mbah Darman.
Kemudian, saya menata tempat duduknya yang biasanya masih miring (belum menghadap kiblat). Bagi saya, mbah Darman itu “tidak buta”. Buktinya, ia bisa mandiri bisa pergi ke Masjid dan aktif menjadi muadzin. Ia berjalan sendiri dari rumah ke Masjid dan dari Masjid ke rumah.
Malu rasanya, hati saya setiap melihat beliau berperilaku seperti itu. Saya berdoa kepada Allah SWT, semoga saya bisa didekatkan kepadanya. Karena, apa yang ia dikerjakan dan diajarkan oleh mbah Darman adalah sesuatu yang mulia. Bukan ucapan yang disampaikan, tapi perbuatan yang ditunjukkan.
Ia sering itikaf di Masjid. Belum tentu, saya melakukan itikaf di Masjid. Ia sering berdzikir menunggu waktu sholat tiba. Saya “biasa” datang Masjid, tanpa berdzikir terlebih dahulu, karena datang pas waktu sholat tiba.
Syukur, saya sebagai hamba Allah SWT diberi kenikmatan dalam keadaan sehat. Namun, kesehatan itu, apakah sudah saya dan Anda digunakan untuk itikaf, sholat sunah, rajin pergi ke Masjid untuk sholat berjamaah, dan kegiatan Masjid lainnya? Bisa jadi, jarang dilakukan, padahal fisik sehat dan semua organ berfungsi. Mata saya dan Anda, digunakan untuk apa? Jalan kaki, saya dan Anda diarahkan kemana? Dan, hati saya dan Anda tertuju kepada, siapa?
Terima kasih mbah Darman, telah mengajarkan dan mempraktekkan apa yang baik untuk saya. Sampai bertemu dan sholat gerhana lagi dan sholat Rowatib berjamaah. Semoga, mbah Darman panjang umur, sehingga saya bisa selalu belajar dengan Mbah Darman di Masjid. Amin.
Yuk, syukuri setiap dari tubuh kita yang sudah berfungsi dengan baik dengan rajin beribadah. Hitung, berapa kali sudah pergi ke Masjid semenjak new normal? Berapa kali sudah itikaf di Masjid? Dan, berapa kali meng-adzan-i Masjid? Dan, berapa kali tidak mengeluh karena fungsi tubuh yang tidak berfungsi? []
Semarang, 4 Juni 2020
Ditulis di Rumah, jam 03.30 – 04.00 WIB.
Tulisan ini atas seizin Mbah Darman.
Recent Comments