Menyikapi Keadaaan (Masih) Korona
Oleh Agung Kuswantoro
“Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar itu; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguh, Allah berkuasa atas segala sesuatu” (QS. Al baqoroh 19-20).
Hampir empat bulan keadaan seperti ini. Korona datang ke Indonesia. Tepatnya pertengahan Maret 2020, negara Indonesia “disibukkan” dengan kehadiran makhluk Allah itu. Makhluk yang sangat kecil, namun membingungkan isi jagad raya.
Padahal, Islam sudah mengenalkan bab thoharoh/sesuci dengan cara wudhu. Sebelum wudhu disunahkan dengan mengalirkan air ke telapak tangan. Dalam bahasa kitab dalam memaknai diistilahkan dengan “icik-icik”.
Mengambil istilah dalam kedokteran, cara menghilangkan virus Korona, salah satunya adalah dengan rajin cuci tangan. Di Islam, ada wudhu. Berwudhu tidak hanya saat sholat saja, namun bisa dengan saat akan bekerja, bepergian, atau aktifitas lainnya.
Kehadiran Korona di muka bumi ini, menyadarkan akan pentingnya wudhu. Beberapa orang berpendapat, bahwa kedatangan Korona agar umat Islam untuk berlatih dayamul wudhu/melanggengkan wudhu.
Sebagai orang muslim, kehadiran Korona itu jangan ditakuti, namun harus diambil sisi positifnya. Karena, Korona itu tidak punya kesalahan dan dosa apa pun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia di muka bumi. Korona bukan bagian dari jin dan manusia, yang kelak akan bertanggung jawab perilakunya di “forum” hisab Allah kelak di akhirat (Emha, 2020.17).
Saat ada wabah pandemi Korona, beberapa tempat/negara menerapkan kebijakan/lockdown/mengasingkan diri. Ada contoh yang sangat bagus mengenai lockdown, dimana tidak tanggung-tanggung lockdown-nya, yaitu 309 tahun. Tidak cukup lockdown, seperti sekarang 14 hari atau baru 4 bulan saja.
Siapa yang berhasil lockdown 309 tahun? Jawaban secara tegas al-Qur’an mengatakan yaitu Sahabat Kahfi dan satu hewan anjing yang bernama Kitmir.
Allah-lah yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Bukan manusia/makhluk/Korona yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Jika Allah yang me-lockdown, maka Allah akan membantu dan mempermudah urusan hambanya tersebut. Presiden/Negara/Gubernur/Pemerintah Daerah itu tidak menanggung biaya hidup warganya di tempat yang ia tinggali. Namun, Allah-lah yang menanggung dan mencukupi biaya hidupnya.
Lalu, bagaimana agar Allah me-lockdown seorang hamba? Pastinya, Allah memiliki kriteria yang tinggi. Minimal, hamba tersebut beriman kepada Allah. Percaya totalitas kepada Allah mengenai makan, minum, tidur, melek, merem, hidup, dan mati mengenai kehidupan di dunia. Dipasrahkan totalitas ke Allah.
Sahabat Kahfi saat di Gua—urusan makan, minum, tidur, rasa senang, dan sedih—itu semua yang menanggung Allah. Terlebih, kondisi di luar Gua dalam keadaan tidak aman. Sang Raja/Presiden bersikap semena-mena, otoriter, dan menyembah kepada berhala. Secara ketauhidan jauh dari ajaran-ajaran Allah.
Dengan cara me-lockdown diri (Sahabat Kahfi) di Gua. Sahabat Kahfi, justru menemukan Allah. Ia “asyik” di Gua melakukan melakukan ibadah, berdoa, berdzikir, dan merenung hidupnya. Terlebih, mereka adalah anak muda. Masih tinggi nafsunya, namun ia sanggup menahannya. Mereka kuat menahan godaan dunia, hanya bermodalkan iman.
Lalu, bagaimana saya dan Anda menyikapi keadaan ini. Sabar! Belajar dari Sahabat Kahfi. Beberapa ahli sudah memprediksikan kejadian ini hingga Desember 2020. Sektor pendidikan yang terakhir dibuka kegiatannya, sehingga Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren yang berada di zona merah seperti Kota Semarang masih off/tidak ada kegiatan pembelajaran.
Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan:
1. Korona mengajarkan umat Islam untuk rajin berwudhu. Syukur dapat belajar dayamul wudhu.
2. Korona hanya makhluk kecil yang besok di Akhirat tidak ditanyai oleh Malaikat Mungkar dan Nakir atas sikapnya di dunia—yang katanya—telah merugikan jagad alam raya ini.
3. Belajarlah cara lockdown yang benar seperti kisah Sahabat Kahfi dalam al-Qur’an. Biarlah yang me-lockdown itu Allah. Jika Allah yang me-lockdown, maka semua menjadi mudah. Biaya hidup yang menanggung Allah. Hanya bermodal iman saja.
Semoga bermanfaat. Amin.
Semarang, 2 Juli 2020
Ditulis di UPT Kearsipan UNNES jam 09.30 – 10.00 WIB.
Recent Comments