“Muazin”
Oleh Agung Kuswantoro
Meninggal dunia sosok Buya Syafii Maarif begitu mendalam bagi bangsa Indonesia. Kompas menuliskan “Muazin Bangsa yang Selalu Gelisah” (Sabtu, 28 Mei 2022) dan Sindo menuliskan “Buya Syafii Meninggal Dunia, Maarif Institute: Muazin Bangsa Telah Tiada” https://nasional.sindonews.com/read/780995/15/buya-syafii-meninggal-dunia-maarif-institute-muazin-bangsa-telah-tiada-1653631524 (Jumat/27 Mei 2022).
Saya menjadi berpikir: Sosok “Muazin” sebuah Masjid, apakah harus seperti Buya Syafii Maarif (almarhum)? Jika ya (apakah harus sesuai dengan Buya Syafii? dimanakah letak “ke-muazin-nya”?
Saya hanya menduga: kata “Muazin” yang disematkan oleh Kompas dan Sindo untuk Buya Syafii Maarif hanya “simbol”. Bisa saja, muazin (Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur) tidak harus bervolume tinggi. Tetapi, “menghayati” apa yang dilafalkan bisa diresapi dirinya. Syukur “hanyut” menikmati akan suara dan makna dari apa yang disampaikan oleh muazin. Bisa jadi, sosok muazin tidak harus muda. Terlebih, muazin ini memberi dampak kepada orang yang mendengar. “Sedeplah”, istilah saya: apapun suara yang dikeluarkan oleh muazin.
Memang susah untuk menemukan sosok “muazin” seperti Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur. Namun, meskipun susah mendapatkan sosok tersebut, minimal kita punya contoh teladan yang tepat untuk menjadi “muazin” di lingkungan sekitar kira dulu. Baru, ke level Provinsi, Nasional dan Bangsa. Semoga kita bisa menjadi muazin seperti Buya Syafii Maarif dan Gus Dur. Amin. []
Semarang, 31 Mei 2022
Ditulis di rumah Jam 18.00 – 18.15 Wib.
Recent Comments