Mutu Dalam “Jasa” Pendidikan
Oleh Agung Kuswantoro
Bicara mutu dalam sebuah produk yang diproduksi oleh suatu perusahaan itu sudah pasti jelas, mulai dari QC/Quality Control, QA/Quality Assurance, dan TQM (Total Quality Management). Namun, bagaimana jelas bicara mutu dalam sebuah lembaga yang bergerak dibidang “jasa” pendidikan?
Saya mengatakan “jasa” untuk pendidikan, karena pendidikan bukanlah memproduk suatu barang, yang mampu menunjukkan suatu kualitasnya. Kalaupun, bicara “produk”, lalu “produk” pendidikan itu, seperti apa?
Sallis (2002) mengatakan Service Quality (SQ) memiliki karakteristik yang lebih sulit dibandingkan mutu sebuah produk. Mengapa? Karena, karakteristik – mutu jasa mencakup elemen – subjek – yang banyak melalui QC, QA, dan TQM. Namun, untuk sebuah “produk” jasa, tak semudah menerapkan QC, QA, dan TQM.
“Produk” pendidikan, menurut para ahli berpendapat, berbeda-beda. Ada yang mengatakan produk pendidikan adalah peserta didik. Ada pula yang berpendapat, bahwa produk pendidikan adalah institusi itu sendiri, dengan nilai akreditasi.
Oleh karena “licinnya”, menentukan sebuah mutu dalam bidang “jasa” pendidikan diperlukan sebuah alat/tools untuk mendapatkan mutu yang baik. Di Indonesia mengenal dengan istilah MBS/Manajemen Berbasis Sekolah untuk mencapai mutu dalam lembaga pendidikan/sekolah.
Konsep MBS adalah desentralisasi. Artinya, sekolah memiliki kewenangan dalam mengelola lembaganya. Kepala sekolah menjadi kata kunci dalam mengelola organisasinya.
Kemudian, pemerintah menentukan standar-standar nasional yang ditentukan melalui peraturan-peraturan sebagai acuan/patokan untuk menggapai kontrol mutu/QC. Harapannya, sekolah melalui MBS dapat “melampaui” atas standar dari pemerintah. Tidak hanya “terstandar” saja. Tetapi, harus “melampaui” target dari standar yang ditentukan oleh pemerintah.
Sehingga, bisa dikatakan MBS itu “embrio” dari TQM. QC-nya adalah MBS, sedangkan TQM adalah peraturan-peraturan Standar Nasional Pendidikan/SNP.
Dengan demikian, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia dapat mengidentifikasi standar-standar mutu yang akan ditentukan berdasarkan kemampuan sumberdaya sekolah.
Adapun indikator SNP tersebut meliputi (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar isi; (3) standar proses; (4) standar penilaian; (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (6) standar pengelolaan; (7) standar sarana prasarana; dan (8) standar pembiayaan.
Menurut Pamatmat (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa TQM memiliki indikator (1) kepemimpinan; (2) Fokus pada klien; (3) komitmen untuk berubah dan perbaikan yang berkesinambungan; (4) keputusan berdasarkan data; (5) pembelajaran yang profesional; (6) kerja tim; dan (7) fokus pada sistem. Pamatmat melakukan penelitian ini pada 60 guru dan 6 kepala sekolah di Filipina. Hasilnya, TQM memberikan dampak terhadap sebuah mutu pendidikan.
Hal yang menarik, hasil penelitian dari Pamatmat yaitu indikator untuk mengukur sebuah mutu, yaitu dimulai dari kepemimpinan hingga fokus pada sebuah sistem. Dimana, indikator-indikator tersebut berbeda dengan indikator standar mutu yang ada di Indonesia (dalam hal ini SNP). Indikator yang digunakan oleh Pamatmat itu lebih “aktif”, dibanding SNP yang cenderung “pasif”. Sehingga, hasil untuk mencapai mutu dalam sebuah lembaga pendidikan dengan mengimplementasikan TQM itu, berbeda-beda.
Maknanya, TQM itu, memiliki cara tersendiri untuk mengukurnya. Misal, TQM di Indonesia dalam menentukan mutu ada, MBS. TQM di Jepang, ada istilah Kaizen. Dimana, masing-masing TQM di negara tersebut memiliki indikator yang berbeda-beda tiap negara.
Bisa dikatakan, bahwa MBS itu, bukan satu-satunya untuk mewujudkan TQM. Masih banyak cara untuk mewujudkan TQM. Perumpamaannya, obat Paramex, bukan satu-satunya obat sakit kepala. Masih ada obat sakit kepala lainnya, seperti Bodrex dan Panadol. MBS bukan satu-satunya “obat” TQM. Masih banyak “Quality Control” yang lain untuk menuju TQM.
Sebagai orang yang “awam” dengan mutu, saya mengajak kepada diri sendiri untuk memperbanyak referensi mengenai TQM, dan menelaah jurnal bertema mutu. Karena, tema ini sangat fundamental, terlebih di dunia pendidikan. “Nutrisi” yang “bergizi” dibutuhkan, agar saya dan Anda tidak terlalu “mendewa-dewakan” MBS. Buktinya, Pamatmat di Filipina, mampu menemukan indikator yang berbeda terkait TQM, dimana indikatornya berbeda dengan teori yang selama ini ada yaitu SNP. Setujukah, Anda dengan pendapat saya?
Semarang, 29 Mei 2020
Ditulis di Rumah, jam 21.30 – 22.30 WIB.
Recent Comments