Setiap ada orang yang meninggal mengingatkan kita akan kematian. Kematian menjadi kepastian setiap mahluk yang bernyawa. Kematian pasti akan datang pada kita, hanya waktu yang berbeda. Allah yang mengetahui kapan kita akan mengalami kematian. Jadi mati itu pasti.
Melihat papan pengumuman yang tertera di depan rumah yang meninggal, biasanya berisi “Telah meninggal dunia dengan tenang, nama, umur, meninggal jam, jenasah akan dikebumikan pada tanggal, jam pekamanan, dan informasi lainnya’.
Terasa mengena hati jika kita merasakan atau menghayati informasi atau ada orang yang memberikan kabar duka di sebuah masjid dengan informasi di atas. Dalam hati bertanya kapan kita akan disebutkan oleh mereka yang memberi pengumuman? Karena kepastian kematian ada suatu kebenaran, hanya menunggu waktu. Kemudian muncul pertanyaan apakah kelak jenasah saya ada yang menyolati, mengkafani dan mengantarkan hingga kepemakaman? Apakah nanti ada jenasah saya ada yang mendampingi dengan suara mengaji al qur’an? Apakah jenasah nanti saya ada yang mengkafani? Apakah nanti jenasah saya ada yang mengadzani dan mengiqomahti saat ditaruh diatas tanah? Apakah nanti jenasah saya ada yang mengkirimi doa setelah pemakanan? Dan pertanyaan lainnya
Jika kita perhatikan, kebanyakan orang takziyah adalah datang, duduk, bercerita, dan mengisi amplop (jika ada), dan pulang. Lupa dengan hukum wajib fardu kifayahnya, yaitu menyolati, mengkafani, atau minimal berdoa atau mengaji di depan jenasahnya. Bahkan anak yang dari yang meninggal tidak menunjukkan aktivitas ibadah fardu kifayahnya. Parahnya lagi, ia memasrahkan semuanya kepada orang yang biasa mengurus kematian.
Menurut saya kurang pas keadaan tersebut. Katakanlah yang meninggal orang tuanya. Anaknya adalah laki-laki yang sudah dewasa. Miminal anak laki-laki tersebut berdoa dan mengaji disamping orang tua yang meninggal. Bagusnya lagi, ia mengimami solat jenasahnya, kemudian mengafani, mengantarkan kepemakaman hingga ke liang lahat. Itulah cita-cita seorang anak laki-laki saat orang tuanya meninggal. Bukan dipasrahkan semua kepada orang yang biasa mengurus kematian.
Perbuatan laki-laki tersebut merupakan wujud birrul walidaian atau berbuat baik kepada kedua orang tua. Orang tua adalah surga bagi anak. Ada surga di rumah kita, yaitu memuliakan orang tua disaat hidup dan mati.
Demikian juga, jika kita menjadi anak perempuan, tidak cukup dengan merangkai bunga saja. Namun harus juga mengaji, menyolati, mengkafani, dan berdoa di samping orang tuanya.
Apa yang kita lihat dilingkungan kita belum tentu benar dan sesuai dengan tuntunan fiqih. Kita harus belajar dan mendalami untuk diri, keluarga, dan masyarakat ini. Jangan sampai, orang tua kita meninggal, malah kita sibuk dengan android dan mengaji kaset mp3.
Sebagai orang tua pun kita harus mengajarkan anak bekal agar bisa mengaji dan solat jenasah. Jangan kita mengutamakan les priivat mata pelajaran. Cobalah ajari bagaimana huruf hijaiyah, solat jenasah, cara mengkafani, cara memandikan, hingga cara mengubur. Rasanya bangga jika kita meninggal, yang mengurus kita adalah anak kita sendiri.
Mari kita belajar setiap detik dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua dan anak yang baik. Sehingga kita siap dengan kematian. Selamat datang kematian. Selamat datang malaikat Pencabut Nyawa. Selamat datang Allah. Aku bangga datang ke Surga Mu.
Semarang, 23 Agustus 2016
Agung Kuswantoro
Recent Comments