Sekolah Muadzin
Oleh Agung Kuswantoro
Mungkin saya dianggap oleh sebagian orang itu tidak wajar. Aneh. Gila, mungkin kalimat yang tepat itu. Apa pasal? Karena, saya melakukan sesuatu yang sedikit orang lakukan. Terkait pengelolaan Masjid, saya fokus sekali dengan permasalahan muadzin. Bagi saya, muadzin ibarat motor yang berjalan. Tanpa muadzin, Masjid itu akan berhenti. Karena, “motornya” mati.
Muadzinlah, orang yang pertama mengajak orang untuk sholat. Ada adzan berkumandang, pasti ada pelaksanaa sholat di dalam Masjid. Tidak mungkin, ada adzan berkumandang, tapi tidak ada pelaksanaan sholat di dalam Masjid. Itulah, makna muadzin sebagai “motor”. Penggerak.
Hanya remaja-remaja inilah yang “terpanggil” untuk menjadi muadzin. Mereka sudah bertugas menjadi muadzin sholat Dhuhur dan Asar. Alhamdulillah dengan kehadiran mereka, Masjid bisa menyelenggarakan sholat lima waktu. Yang tadinya, hanya menyelenggarakan sholat tiga waktu.
Guna meningkatkan kompetensinya, saya membuat dan belajar bersama dalam “Kelas Muadzin”. Kelas berisi para muadzin untuk dapat meningkatkan pemahaman mengenai adzan dari beberapa sudut pandang. Kelas Muadzin dilakukan seminggu sekali di Masjid Nurul Iman Sekaran.
Melalui mereka, saya berharap dan yakin, bahwa lima tahun lagi, Masjid akan memiliki muadzin yang berkompeten sehingga penyelenggaran sholat lima waktu dapat terlaksana dengan baik. Termasuk, jama’ah yang sholat ke Masjid untuk menjadi makmum. Mengingat, selama ini yang sholat Dhuhur dan Asar itu muadzin itu sendiri. Bahasa sederhananya, diadzani sendiri, sholawatan sendiri, diqomati sendiri, dan diimami sendiri. [].
Semarang, 25 Oktober 2020
Ditulis di Rumah, jam 20.30-20.45 WIB.
Recent Comments