Selalu Bersyukur Pada Masa Pandemi Covid-19
Oleh Agung Kuswantoro
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah:155-157).
Alhamdulillah atas izin Allah Swt kita masih diberikan kenikmatan untuk beribadah di rumah dan Masjid. Kita masih berkumpul dengan keluarga untuk mengaji dan beribadah bersama keluarga.
Dalam satu pekan ini, kita disibukkan dengan: (1) Perayaan 17 Agustus/Hari Kemerdekaan; (2) Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa baru (PKKMB); dan; (3) Perayaan 10 Muharrom.
Ada beberapa catatan dalam “aktivitas” di atas yaitu: pertama, bersyukur. Bersyukur karena sedang melakukan aktivitas tersebut dengan kondisi badan yang sehat dan lingkungan yang mendukung. Meskipun, dalam masa pandemi Covid-19 ini, kita masih bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan yang ketat.
Sikap seorang muslim pada masa pandemi Covid-19 ini adalah menerima keadaan apa adanya. Kita sering mendengar kalimat “disyukuri saja”. Artinya, diterima saja, keadaannya. Maksudnya adalah semakin menerima keadaan, semakin baik dan akan ditambah rizkinya.
Keadaan pandemi Covid-19, bukan harus ditolak/dibuat resah dan susah. Keadaan pandemi Covid-19 ini harus diterima oleh siapapun, baik orang yang beriman dan tidak beriman.
Bentuk syukur orang beriman saat pandemi Covid-19 adalah masih melakukan aktivitas sesuai dengan bidang kepakaran dan pekerjaan kita, seperti: dosen disibukkan dengan tri dharmanya, tenaga kependidikan/tendik disibukkan dengan pekerjaan rutin fungsionalnya, pimpinan (Universitas, Fakultas, Biro, Bagian, dan unit kerja lainnya) disibukkan dengan agenda kegiatan yang harus dicapai.
Artinya: orang yang bersyukur itu masih sibuk dengan diri sendiri, pekerjaan, dan lembaganya. Ia sibuk untuk berinovasi: bagaimana caranya agar pekerjaan/kegiatannya dapat terselesaikan, walaupun masa pandemi Covid-19.
Aturan bakunya saat pandemi Covid-19 adalah dilarang berkerumum, maka muncullah inovasi “daring”. Ada PKKMB daring, rapat melalui zoom meeting, pembelajaran melalui elena, dan pekerjaan kantor yang bersifat “maya/virtual”.
Bagi seorang yang bersyukur, apapun keadaannya harus diterima. Karena dibalik setiap peristiwa, terkandung suatu hikmah yang (bisa jadi) kita tidak mengetahuinya. Bisa jadi kreativitas kita, muncul dalam keadaan seperti ini.
Kedua, selalu menggunakan hati. Yang membedakan seorang beriman dengan tidak beriman adalah keterlibatan hati. Salah satu indikator iman yaitu: pembenaran dalam hati. Jika seorang ilmuwan, (bisa jadi) masih dan sering menggunakan pembenaran akal saja.
Mari, kita lihat pembenaran hati yang sederhana. Pandemi Covid-19 ini atas izin Allah Swt. Makhluk/ciptaan Allah yang bernama Covid-19 adalah hasil ciptaan Allah. Sebagai orang beriman harus mempercayainya akan ciptaan Allah Swt tersebut. Yakinlah, ciptaan tersebut ada.
Kita harus pandai menyikapinya sesuai dengan keadaan dan sifat makhluk tersebut. Sama halnya: setan, jin, dan malaikat itu ciptaan Allah. Ciptaan itu ada adanya.
Alhamdulillah, hingga saat ini kita bisa menyikapinya. Misal dari mulut kita saatakan beraktivitas/bekerja menyatakan “Bismillahirrahmanirrahim” dan diakhiri dengan kalimat “Alhamdulillahirobbil ‘alamin”.
Dampak dari kalimat tersebut adalah malaikat mendekat, setan menjauh. Sederhana saja, melakukan aktivitas yang dengan hati melalui ucapan Bismillahirrahmanirrahim” dan “Alhamdulillahirobbil ‘alamin.
Jika kita melakukan dengan hati, maka pikiran dan ucapan pun akan lebih mudah dalam menjalankan setiap pekerjaan. Hati baik dulu, Insya Allah mulut dan pikiran akan baik juga.
Orang yang hatinya baik; maka ia akan “anggun” dalam berucap dan “santun” berbuat. Karena, didalam hatinya, ada nama Allah – sebagai Tuhan – yang selalu dibesarkan dalam aktivitasnya.
Sebaliknya: orang yang beraktivitas tidak menggunakan hati, orang tersebut biasanya: mudah marah, terprovokasi, ngersulo, mengajak yang tidak baik, mudah menyerah, menyalahkan keadaan dan “protes” terhadap ciptaan Allah.
Keadaan pandemi Covid-19 yang disalahkan; pekerjaan tidak selesai, pimpinan yang disalahkan, tujuan tidak tercapai, dan teman setim yang disalahkan. Itulah bentuk-bentuk bekerja yang tidak menggunakan logika hati.
Terakhir, ketiga. Sabar. Sabar adalah salah satu kunci orang yang beriman. Setiap awal, pasti ada akhir; setiap pertemuan, pasti ada perpisahan; setiap kelahiran, pasti ada kematian; dan setiap kehidupan, pasti ada kematian.
Dari fase-fase tersebut, ada sikap yang bernama “sabar”. Sabar ada dalam kesedihan dan kesenangan, pertemuan dan perpisahan, hidup dan mati.
Artinya: keadaan pandemi Covid-19, pasti akan berakhir. Bisa jadi, keadaan pandemi Covid-19 ini pertama kali seumur hidup, kita baru merasakan. Artinya: bisa jadi puluhan dan ratusan tahun lalu belum terjadi pandemi. Baru akhir tahun 2019 terjadi pandemi.
Sabar adalah kunci sebuah keberhasilan. Dalam sabar, ada usaha yang optimal dan harapan yang baik untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Sabar orang yang beriman: selalu menjaga lisan, hati, dan perbuatan. Tenang hatinya adalah bagian dari orang yang bersabar.
Keberhasilan dalam suatu keadaan dapat dilihat “seberapa besar” sabar seseorang dalam menghadapi masalah. Nabi Muhammad SAW saat peristiwa 1 Muharram/Hijriah di Gua Tsur bersabar ketika ada orang yang ingin membunuhnya. Nabi Muhammad SAW tidak ketakutan. Tetapi, justru berdoa kepada Allah. Artinya, dalam kesabaran itu ada doa, harapan, dan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagai penutup: penulis mengajak kepada pembaca untuk: (1) selalu bersyukur; (2) selalu menggunakan hati; dan (3) bersabar. Ketiga “kunci” ini adalah kesuksesan hidup kita di dunia dan di akhirat. Semoga bermanfaat khutbah ini.[]
Semarang, 19 Agustus 2021
Ditulis di Rumah jam 02.15 – 03.00 WIB.
Recent Comments