Mempopulerkan Hasil Karya Ulama Melalui Menulis
Oleh Agung Kuswantoro
Tahun 2014—tepatnya bulan Juni 2014—ada lomba esai menulis mengenai pemikiran Gus Dur yang diselenggarakan oleh PMII Rayon Abdurrahman Wahid, Semarang. Saya sebagai orang awam tertarik untuk mengikuti lomba tersebut.
Mengapa, saya tertarik mengikuti lomba tersebut? Karena sosok Gur Dur itu unik, menurut saya. Saya mengumpulkan bahan untuk menuliskan pemikiran Gur Dur dari sisi pendidikan. Ketemulah, judul: “Pesantren: Minoritas Masuk Formal”.
Dalam esai yang sudah dijadikan buku, ternyata ada 18 penulis yang masuk dalam buku tersebut. Oleh panitia diambil lima besar pemenang. Alhamdulillah, saya masuk dalam 5 pemenang tersebut. Nama saya, ada diurutan ketiga. Berikut pengumumannya: https://www.pmiigusdur.com/2014/01/pengumuman-lomba-esai-gus-dur.html.
Kisah di atas adalah pengantar saya dalam menyampaikan materi tentang literasi pada kegiatan MAKESTA/Masa Kesetiaan Anggota yang diselenggarakan oleh IPNU IPPNU Wahab Hasbullah UNNES yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Rahmatallil Alamin Patemon, Semarang pada Jumat-Ahad (26-27 November 2021).
Melalui kegiatan tersebut, saya akan menyampaikan: bagaimana cara mempopulerkan dari pemikiran ulama melalui menulis?
Jawaban singkatnya adalah banyak baca. Membaca tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Membaca bukan hanya dimaknai bersumber dari buku saja. Namun, dari pengamatan/memperhatikan/menganalisis situasi lingkungan sekitar.
Pahami betul, keadaan saat ini. Lalu, bandingkan dengan keadaan ulama saat melakukan sebuah “terobosan” pada zamannya. Misal: Gus Dur. Beliau “berani” memasukkan Pondok Pesantren “menjadi” Formal. Padahal, Pondok Pesantren termasuk dalam kategori non formal yang dikelola secara swadaya (Yusuf: 2015:1).
Dari situlah saya membahas pemikiran Gus Dur yang “nyleneh” itu diantaranya: meliburkan belajar sekolah full selama satu bulan Ramadan, siswa dapat “nyantri” gaya belajar “pasaran” di pesantren saat Ramadan, pembelajaran selama Ramadan di pesantren lebih lama dibandingkan pesantren kilat yang dilakukan di sekolah, buku/kitab sebagai referensi kajian selama Ramadan lebih valid dibandingkan dengan pesantren kilat di sekolah, Guru (baca: Ustad/Kiai) yang menyampaikan pembelajaran juga lebih bisa dijadikan contoh teladan bagi santrinya, materi yang ada dalam kitab berisikan “nilai” yang luhur dan kuat dengan ilmu alat (nahwu, sorof, balagoh, mantik) dan pemikiran lainnya mengenai pesantren.
Kemudian, yang paling penting adalah pemikiran kebaruan/novelty dari sebuah tulisan. Saya contohkan dalam tulisan saya mengenai Gus Dur, kebaruannya adalah mengkombinasikan sekolah dengan pesantren dengan membuat model/bagan, dimana memasukkan faktor lingkungan, budaya, teknologi, dan komunikasi dalam satu “kotak kecil” yang mempengaruhi kombinasi antara sekolah dan pesantren.
Nah, bagaimana dengan kita di sini? Cobalah untuk lebih banyak membaca karya atau pemikiran pada ulama. Bacalah kitab-kitab kuning selama kita belajar di Pesantren. Bacalah karya ulama yang kita kagumi. Pahami dan amatilah lingkungan sekitar. Lalu, tulislah. Dengan cara kita menulis, maka dengan sendirinya kita telah mempopulerkan pemikiran Ulama kepada masyarakat dan menyampaikan isi kitab atau buku yang kita baca kepada lingkungan sekitar.
Semarang, 27 November 2021
Ditulis di Rumah, jam 02.00-02.40 WIB.
Recent Comments