Perkembangan Konstruk Self-Esteem

Pendekatan Awal: Model Unidimensional

Pada awalnya, self-esteem dianggap sebagai konsep unidimensional, di mana seseorang dikategorikan memiliki self-esteem tinggi atau rendah. Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) (Rosenberg, 1965) adalah salah satu alat ukur paling terkenal yang menggunakan pendekatan ini. Skala ini terdiri dari pernyataan positif dan negatif yang menggambarkan bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri secara keseluruhan. Namun, penelitian lanjutan menemukan bahwa item positif dan negatif dalam RSES sering kali membentuk dua faktor yang berbeda. Hal ini menantang asumsi bahwa self-esteem adalah konstruk tunggal yang dapat diukur secara linear (Marsh, 1996).

Perkembangan Menuju Model Dual-Factor

Pada tahun 1990-an, muncul teori bahwa self-esteem memiliki dua dimensi utama yang dapat beroperasi secara independen:

  • Self-Esteem Positif → mencerminkan penghargaan terhadap diri sendiri, kebanggaan, dan keyakinan diri.
  • Self-Esteem Negatif → berkaitan dengan perasaan tidak berharga, rendah diri, dan ketidakpuasan diri.

Tennen & Affleck (1993) serta Owens (1993) menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki self-esteem positif dan negatif secara bersamaan. Misalnya, seseorang bisa merasa percaya diri dalam pencapaian akademik tetapi tetap memiliki keraguan mendalam tentang nilai dirinya dalam hubungan sosial. Dalam analisis faktor konfirmatori (CFA), model bifaktorial sering ditemukan lebih sesuai dibandingkan model unidimensional (Marsh et al., 2010).

Dimensi Self-Esteem: Global vs. Spesifik

Pada tahun 1986, Marsh & Shavelson memperkenalkan gagasan bahwa self-esteem dapat dikategorikan menjadi global dan spesifik:

  • Self-esteem global mencerminkan evaluasi menyeluruh seseorang terhadap dirinya sendiri, tanpa memperhitungkan aspek-aspek spesifik dalam hidupnya. Orang dengan self-esteem global tinggi cenderung merasa bahwa dirinya berharga dalam berbagai situasi dan aspek kehidupan.
  • Self-esteem spesifik mengacu pada evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri dalam domain tertentu, seperti akademik, sosial, fisik, atau pekerjaan. Misalnya, seseorang dapat memiliki self-esteem tinggi dalam bidang akademik tetapi rendah dalam interaksi sosial.

Pendekatan multidimensional ini memungkinkan pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana self-esteem beroperasi dalam berbagai aspek kehidupan seseorang. Sebuah skala yang hanya mengukur self-esteem global mungkin tidak cukup untuk menangkap perbedaan ini. Oleh karena itu, alat ukur modern sering kali menyertakan subskala untuk mengevaluasi domain spesifik self-esteem agar hasil pengukuran lebih akurat dan kontekstual (Marsh, 1993; Harter, 1999).

Self-Esteem Eksplisit vs. Implisit

Sejak awal 2000-an, pendekatan pengukuran self-esteem mengalami perkembangan dengan membedakan antara:

  • Self-esteem eksplisit, yang diukur melalui skala kuesioner seperti RSES dan bergantung pada laporan sadar individu tentang dirinya sendiri.
  • Self-esteem implisit, yang diukur melalui metode tidak langsung seperti Implicit Association Test (IAT) yang dikembangkan oleh Greenwald & Farnham (2000), yang mengungkap evaluasi bawah sadar seseorang terhadap dirinya sendiri.

Kadang-kadang terjadi ketidaksesuaian antara self-esteem eksplisit dan implisit. Seseorang dapat secara sadar melaporkan self-esteem yang tinggi tetapi menunjukkan self-esteem negatif dalam pengukuran implisit. Fenomena ini menunjukkan bahwa validitas pengukuran self-esteem bergantung pada metode yang digunakan (Bosson et al., 2000).

Pengaruh Budaya dalam Pengukuran Self-Esteem

Self-esteem tidak hanya bergantung pada struktur psikologis individu tetapi juga dipengaruhi oleh budaya. Markus & Kitayama (1991) menyoroti bahwa dalam budaya individualistik (misalnya, di negara-negara Barat), self-esteem sering dikaitkan dengan pencapaian pribadi dan otonomi. Sebaliknya, dalam budaya kolektivistik (seperti di Asia Timur), self-esteem lebih terkait dengan keharmonisan sosial dan penerimaan oleh kelompok.

Heine et al. (1999) menemukan bahwa orang Jepang cenderung memiliki skor self-esteem eksplisit yang lebih rendah dibandingkan orang Amerika, tetapi bukan berarti mereka memiliki self-esteem rendah. Sebaliknya, self-esteem dalam budaya kolektivistik lebih bersifat relasional dan bergantung pada hubungan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur yang dikembangkan dalam konteks budaya tertentu tidak selalu dapat diterapkan secara langsung di budaya lain, sehingga memerlukan adaptasi dan validasi lintas budaya (Schmitt & Allik, 2005).

Kesimpulan

Pengukuran self-esteem lebih kompleks daripada sekadar menentukan apakah seseorang memiliki self-esteem tinggi atau rendah. Perkembangannya dari model unidimensional ke model bifaktorial, pembagian self-esteem global vs. spesifik, serta eksplisit vs. implisit menunjukkan bahwa alat ukur harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan validitas konstruknya. Selain itu, faktor budaya juga perlu diperhitungkan agar alat ukur dapat digunakan secara akurat dalam berbagai konteks.

Referensi

  • Bosson, J. K., Swann, W. B., & Pennebaker, J. W. (2000). Stalking the perfect measure of implicit self-esteem: The blind men and the elephant revisited?. Journal of Personality and Social Psychology, 79(4), 631-643.
  • Greenwald, A. G., & Farnham, S. D. (2000). Using the Implicit Association Test to measure self-esteem and self-concept. Journal of Personality and Social Psychology, 79(6), 1022-1038.
  • Heine, S. J., Lehman, D. R., Markus, H. R., & Kitayama, S. (1999). Is there a universal need for positive self-regard?. Psychological Review, 106(4), 766-794.
  • Harter, S. (1999). The construction of the self: A developmental perspective. Guilford Press.
  • Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224-253.
  • Marsh, H. W. (1993). The multidimensional structure of academic self-concept: Invariance over gender and age. American Educational Research Journal, 30(4), 841-860.
  • Marsh, H. W., & Shavelson, R. (1986). Self-concept: Its multifaceted, hierarchical structure. Educational Psychologist, 20(3), 107-123.
  • Marsh, H. W., Ellis, L. A., & Parada, R. H. (2010). Unidimensional or multidimensional self-concepts? Journal of Personality and Social Psychology, 98(4), 673-686.
  • Rosenberg, M. (1965). Society and the adolescent self-image. Princeton University Press.
  • Schmitt, D. P., & Allik, J. (2005). Simultaneous administration of the Rosenberg Self-Esteem Scale in 53 nations: Exploring the universal and culture-specific features of global self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 89(4), 623-642.

Diskusi: Bagaimana implikasi dari kompleksitas ini terhadap pengembangan skala self-esteem di masa depan? Model mana yang menurut Anda lebih sesuai untuk mengukur self-esteem secara akurat dalam berbagai budaya?

Catatan: Artikel ini ditulis dengan AI sebagai materi diskusi/ studi kasus di kelas Psikometrika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: