Filsafat Psikometrika

Ontologi, epistemologi, dan aksiologi adalah tiga pilar dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ontologi membahas hakikat realitas atau “apa yang benar-benar ada”. Epistemologi  mengkaji sifat, asal-usul, batas, dan validitas pengetahuan. Aksiologi membahas nilai, etika, dan tujuan dari suatu aktivitas ilmu pengetahuan.

Dalam konteks psikometrika, ontologi berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan: Apa sebenarnya konstruk psikologis itu? Apakah konstruk tersebut “ada” secara objektif atau hanya produk sosial? Epistemologi berusaha menjawab pertanyaan: Apa dan bagaimana kita bisa “mengetahui” sesuatu melalui pengukuran psikologis, serta apa batas pengetahuan tersebut? Sementara, aksiologi menyoroti pertanyaan: Untuk apa kita mengukur? Apa dampak penggunaan alat ukur?

Ontologi Psikometrika

Dalam dimensi ontologi, psikometrika adalah tentang definisi dan hakikat atau sifat dari konstruk psikologis yang diukur. Konstruk Psikologis adalah atribut atau karakteristik yang tidak bisa diamati langsung, misalnya: kecerdasan, motivasi, kepribadian, kecemasan, dsb. Ontologi psikometrika bertanya: Apakah konstruk ini entitas nyata di dalam diri manusia? Atau, apakah konstruk itu produk sosial-kultural, artifak yang dibuat untuk membantu pemahaman dan pengukuran?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ontologis ini, terdapat dua pendekatan yang membantu kita: Pertama, realisme ontologis. Konstruk ada secara objektif (meski tidak langsung teramati), sehingga pengukuran berupaya merepresentasikan realitas itu. Contoh: Kecerdasan sebagai kapasitas kognitif yang nyata. Kedua, konstruktivisme sosial. Konstruk dipahami sebagai hasil interaksi sosial dan budaya. Artinya, konstruk tidak mutlak, tapi kontekstual dan dapat berubah. Contoh: Konsep “kepemimpinan” yang berbeda antar budaya.

Berdasarkan dua pendekatan ini, maka ada beberapa implikasi yang harus kita perhatikan saat mengembangkan suatu pengukuran psikologis.

  1. Pada tahap konseptualisasi tes psikologi, definisi konstruk harus eksplisit dan sesuai konteks penelitian.
  2. Pada tahap pengembangan butir, butir-butir perlu ditulis dengan konten yang relevan dengan budaya di mana penelitian hendak dilakukan. Hal ini karena, konstruk psikologis tidak selalu bersifat tetap dan universal. Penting sekali dilakukan konstruksi sosial dan analisis lintas-budaya.
  3. Pada tahap eksplorasi dimensionalitas tes, maka kita perlu memutuskan apakah konstruk merupakan satu entitas tunggal atau terdiri dari beberapa entitas/komponen yang berbeda tapi terkait. Berikutnya, hal ini akan mempengaruhi model statistik yang digunakan untuk menganalisis properti psikometrik dari tes. Pemilihan model statistik harus harus sesuai dengan realitas ontologis konstruk agar model menghasilkan hasil yang valid dan bermakna.

Epistemologi Psikometrika

Epistemologi berkaitan dengan sumber, sifat, batas, dan validitas pengetahuan. Dalam psikometrika, epistemologi berfokus pada validitas dan interpretasi skor. Dalam dimensi epistemologis, kita diajak untuk berefleksi tentang: Apa yang sebenarnya kita “ketahui” ketika kita melakukan pengukuran psikologis? Bagaimana kita tahu bahwa skor yang diperoleh benar-benar merefleksikan konstruk psikologis? Seberapa sah inferensi yang kita buat dari skor? Apa batas inferensi dari data skor ke sifat psikologis sebenarnya? Bagaimana metode dan model pengukuran mendukung validitas inferensi? Apa batas-batas pengetahuan yang dihasilkan dari alat ukur?

Psikometrika modern umumnya berlandaskan pada realism-konstruktif, yakni: konstruk psikologis dianggap ada, tapi tidak dapat diobservasi langsung. Maka dari itu, kita hanya dapat mengukurnya lewat indikator (butir). Dari respon individu terhadap butir, kita mendapatkan skor individu yang menginformasikan keberadaan atribut psikologis pada dirinya. Persoalannya, pengetahuan kita dari skor bergantung pada bukti dan argumen validitas skor tersebut, bukan hanya angka reliabilitas. Maka, kita perlu mengumpulkan bukti-bukti dukungan terhadap derajat keabsahan inferensi dari skor ke konstruk (validitas konstruk).

Apakah angka (numerik) dapat mewakili pengalaman mental atau psikologis individu? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat perdebatan. Secara positivistik, ya, angka dapat merepresentasikan pengalaman psikologis, asal terstandarisasi dan model pengukurannya tepat. Sementara, dari paradigma konstruktivistik/ kritis, tidak sepenuhnya, karena makna subjektif tidak selalu direduksi ke angka. Implikasi dari perdebatan ini adalah, studi-studi psikometrika kontemporer mengakui kedua hal ini dan mulai menggabungkan metode proses-respons dan validitas konsekuensial dalam pembuktian validitas konstruk.

Apakah skor itu benar tentang individu peserta tes? Tidak. Dalam epistemologi psikometrika, skor merupakan estimasi dari atribut laten, dan selalu mengandung ketidakpastian. Sifat ini menjadi pertimbangan utama dalam model-model analisis modern, seperti Item Response Theory (IRT) dan Rasch Model, bahwa skor adalah fungsi probabilistik dari trait dan parameter item, dan bukan merupakan fakta tetap.

Pemahaman tentang epistemologi ini memiliki sejumlah implikasi:

  1. Instrumen psikologis bukan sekadar alat teknis, tapi juga produk dari teori, nilai, dan asumsi budaya. Maka dari itu, revisi terhadap tes senantiasa dilakukan sesuai dengan perkembangan teori dan nilai yang berlaku dalam budaya di mana pengukuran dilakukan.
  2. Pengukuran psikologis adalah aktivitas inferensial (penarikan kesimpulan), bukan pengambilan data objektif langsung. Dalam setiap pengukuran psikologis, selalu terdapat ruang terjadinya error pengukuran. Error pengukuran yang terjadi secara sistematis maupun acak mungkin tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, tetapi dapat diminimalkan dengan menggunakan instrumen terstandar dan model pengukuran yang tepat.

Aksiologi Psikometrika

Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas nilai, etika, dan tujuan dari suatu aktivitas ilmu pengetahuan. Dalam psikometrika, aksiologi bertanya: Untuk apa pengukuran ini dilakukan? Apa nilai dan dampak sosial yang ingin dicapai?

Pengukuran yang baik harus memperhatikan aspek etika. Ruang lingkup diskusi aksiologis meliputi:

  1. Tujuan pengukuran (test use). Apakah pengukuran ini untuk diagnosis klinis, seleksi, pengembangan, atau riset? Setiap tujuan memiliki desain instrumen dan standar interpretasi tertentu.
  2. Keadilan (fairness). Apakah instrumen adil bagi semua kelompok? Ada bias atau diskriminasi? Untuk memastikan pengukuran bersifat adil bagi semua kelompok (yang berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin, usia, variasi etnis, dan faktor demografis lainnya), maka perlu dilakukan Analisis DIF (Differential Item Functioning) dan penyesuaian konten (adaptasi budaya), agar tidak terjadi bias dan diskriminasi.
  3. Konsekuensi pengukuran. Apa dampak positif atau negatif dari keputusan yang diambil oleh test user berdasarkan skor? Maka, perlu dilakukan evaluasi validitas konsekuensial dan  pertimbangan etika.
  4. Tanggung jawab sosial. Apakah penggunaan alat menguntungkan masyarakat atau malah merugikan? Maka, pengembang tes tidak cukup hanya membuat alat tes, tetapi juga bersama stakeholder lainnya menyusun kebijakan penggunaan, pelatihan bagi pengguna agar pengguna mengerti keterbatasan dan dampak tes, dan transparansi proses-proses pengukuran. Pengembang dan pengguna alat ukur wajib bertanggung jawab menjaga kualitas, keamanan data, serta transparansi penggunaan.

Mengintegrasikan Ketiga Pilar

Ketiga pilar ini (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) adalah fondasi yang saling melengkapi agar pengukuran psikologis tidak hanya akurat secara teknis, tapi juga bermakna, adil, dan bertanggung jawab. Misalnya, kita hendak mengembangkan alat ukur kecemasan sosial untuk mahasiswa Indonesia. Maka, secara ontologis, kita mendefinisikan kecemasan sosial sebagai konstruk laten yang muncul dari kecemasan menghadapi interaksi sosial yang dipengaruhi budaya Indonesia. Secara epistemologis, kita menggunakan model Rasch untuk memvalidasi alat, mengumpulkan bukti-bukti validitas konstruk, serta memperhatikan ketepatan estimasi skor. Dan, secara aksiologis, kita menguji apakah alat ini adil bagi mahasiswa dari berbagai latar budaya etnis, serta mempertimbangkan bagaimana hasil tes bisa digunakan untuk intervensi dan bukan malah menstigmatisasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: