Author Archives: anhusna

About anhusna

Saya dosen di Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang (2024-sekarang). Saya menyukai ilmu psikologi, pengukuran psikologi (psikometrika), statistika, dan metodologi riset. Riset-riset saya seputar: Psikologi Kewirausahaan, Perilaku Digital, dan Pengembangan Alat Ukur Psikologi.

Scholastic Aptitude Test, Tes Potensi Akademik

Scholastic Aptitude Test (SAT): Deskripsi

SAT adalah tes standar yang dirancang untuk mengukur keterampilan penting yang diperlukan untuk sukses secara akademik di tingkat perguruan tinggi. Tes ini diikuti oleh siswa sekolah menengah pertama dan atas sebagai persiapan masuk ke perguruan tinggi dan universitas.

SAT dibuat agar lebih selaras dengan pekerjaan yang dilakukan siswa di sekolah menengah dan untuk menciptakan tes yang relevan di dunia modern, di mana keterampilan pemecahan masalah, komunikasi yang jelas, dan pemahaman hubungan kompleks menjadi faktor kunci dalam keberhasilan karier dan kehidupan.

Tes ini bertujuan untuk menilai potensi siswa dalam menyelesaikan pekerjaan di tingkat perguruan tinggi dengan mengevaluasi keterampilan verbal dan matematika mereka.

Latar Belakang Sejarah

Tes College Board pertama kali diselenggarakan pada tahun 1901 di 67 lokasi di Amerika Serikat dan dua lokasi di Eropa. Tes ini berfokus pada mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Latin, Yunani, sejarah, matematika, kimia, dan fisika. Berbeda dengan SAT saat ini, tes tersebut tidak berbentuk pilihan ganda dan hasilnya dievaluasi dengan kategori seperti “sangat baik”, “baik”, “meragukan”, “kurang”, atau “sangat kurang”.

Keinginan yang semakin besar dari para pendidik Amerika untuk membuka akses perguruan tinggi bagi siswa terbaik di seluruh negeri mendorong pelaksanaan SAT pertama kali pada tahun 1926. “Scholastic Aptitude Test” dirancang sebagai alternatif dari ujian “College Boards” sebelumnya. Jika ujian lama berbasis kurikulum dan menguji penguasaan materi akademik, SAT menawarkan sesuatu yang baru: tes berbentuk pilihan ganda yang lebih mudah dinilai dan mengukur kemampuan umum siswa dalam belajar.

SAT berkembang dari pengalaman pengujian IQ selama Perang Dunia Pertama, ketika dua juta pria diuji dan diberi skor IQ berdasarkan hasilnya. Pembuat tes saat itu beranggapan bahwa kecerdasan adalah atribut tunggal yang diwariskan, tidak berubah sepanjang hidup, dapat diukur dengan satu angka, dan dapat digunakan untuk menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Meskipun SAT kemudian dikembangkan dengan pendekatan psikometrik yang lebih canggih, tes ini tetap berasal dari asumsi yang meragukan tentang bakat dan potensi manusia.

Namun, terutama setelah Perang Dunia II, SAT semakin diterima dalam sistem penerimaan perguruan tinggi di Amerika yang berorientasi pada meritokrasi. Berbeda dengan nilai sekolah menengah yang bisa bervariasi, SAT memberikan standar yang seragam dan dapat diadakan dengan biaya relatif rendah untuk banyak siswa. Jika kemampuan belajar bisa diukur secara andal, SAT dapat membantu mengidentifikasi siswa dari latar belakang kurang beruntung yang tetap layak masuk perguruan tinggi, sehingga meningkatkan akses dan kesetaraan dalam penerimaan mahasiswa.

Lebih dari itu, SAT menawarkan alat prediksi bagi petugas penerimaan perguruan tinggi, membantu mereka membedakan antara pelamar yang kemungkinan besar akan berhasil atau mengalami kesulitan di tingkat perguruan tinggi. Tidak heran jika tes ini mendapat penerimaan luas di era pascaperang.

Perkembangan

SAT pertama kali dikembangkan oleh psikolog dari Princeton, Carl Campbell Brigham, yang juga menciptakan tes IQ. Tes ini awalnya menguji berbagai kemampuan, termasuk definisi kata, aritmetika, klasifikasi, bahasa buatan, antonim, deret angka, analogi, inferensi logis, dan membaca paragraf. Tujuan awal SAT adalah menghilangkan bias dalam tes bagi individu dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi. Namun, Brigham kemudian mengkritik gerakan tes standar, yang menyebabkan perkembangan SAT terhambat hingga kematiannya pada tahun 1943.

Pada tahun 1946, Henry Chauncey, dekan di Harvard, menjadi presiden pertama dari Educational Testing Service (ETS), dan di bawah kepemimpinannya, SAT berkembang pesat. Sejak 1926, jumlah bagian dalam SAT telah mengalami berbagai perubahan, termasuk peningkatan batas waktu agar peserta memiliki kesempatan lebih besar untuk memperoleh skor tinggi.

Awalnya, bagian matematika dihilangkan dan hanya menguji kemampuan verbal (1928–1929). Namun, pada tahun 1930, bagian matematika dimasukkan kembali, dan format ini bertahan hingga 2004. Pada periode ini, bagian matematika juga disederhanakan menjadi hanya soal pilihan ganda.

Pada tahun 1946, pertanyaan membaca paragraf dan “double definition” dihapus, lalu diganti dengan pemahaman bacaan dan penyelesaian kalimat. Beberapa perubahan lainnya terus terjadi, dan pada tahun 1980, SAT disesuaikan agar memberikan kesempatan lebih besar bagi kelompok minoritas untuk diterima di perguruan tinggi bergengsi.

Perubahan besar lainnya terjadi pada tahun 1994, ketika soal matematika mulai mencakup pertanyaan non-pilihan ganda serta konsep baru seperti probabilitas, kemiringan garis (slope), statistika dasar, perhitungan, median, dan modus.

Awalnya, tes ini disebut “Scholastic Aptitude Test”, tetapi pada tahun 1990 namanya diubah menjadi “Scholastic Assessment Test”. Sejak 1993, hanya nama “SAT” yang digunakan tanpa kepanjangan resmi. Skor SAT juga mengalami penyesuaian ke skala 1600 poin, mencakup subskor dan skor lintas-tes untuk Matematika serta Evidence-Based Reading and Writing (ERW).

Saat ini, semua perguruan tinggi di Amerika Serikat menerima SAT sebagai ujian masuk, dan pada tahun 2015, sekitar 1,7 juta siswa SMA di Amerika mengikuti SAT untuk penempatan di perguruan tinggi atau universitas.

Komponen SAT

Bagian Verbal
Versi terbaru dari bagian verbal SAT mencakup:

  • Analogi: Mengukur keterampilan penalaran dan kosakata (19 soal).
  • Penyelesaian kalimat: Menguji pemahaman hubungan logis dan kosakata dalam konteks kalimat (19 soal).
  • Pemahaman bacaan: Berisi empat bacaan dengan panjang antara 400 hingga 800 kata, menguji keterampilan penalaran lanjutan, pemahaman harfiah, serta kosakata dalam konteks (40 soal). Dua bacaan disajikan berpasangan dengan perspektif yang berbeda (misalnya, dua sisi dari satu argumen), sementara satu bacaan berhubungan dengan isu minoritas.

Bagian Matematika
Sebelum tahun 1994, bagian matematika hanya berisi soal pilihan ganda (40 soal) dan perbandingan kuantitatif (20 soal). Materi yang diujikan mencakup aritmetika serta penalaran aljabar dan geometri, yang disajikan dalam dua sesi berdurasi 30 menit.

Setelah revisi, dua jenis soal ini tetap dipertahankan, tetapi dengan beberapa perubahan utama:

  • Peserta kini diperbolehkan menggunakan kalkulator.
  • Beberapa soal tidak lagi berbentuk pilihan ganda; peserta harus menuliskan sendiri jawaban mereka.
  • Terdapat 35 soal pilihan ganda, 15 soal perbandingan kuantitatif, dan 10 soal isian singkat atau “student-produced responses”.
  • Soal-soal matematika dibagi dalam dua sesi berdurasi 30 menit dan satu sesi berdurasi 15 menit.

Perubahan-perubahan ini bertujuan untuk lebih menekankan keterampilan pemecahan masalah dalam matematika.


Tes Potensi Akademik (TPA), Indonesia

Di Indonesia, Tes Potensi Akademik (TPA) adalah salah satu alat ukur untuk menilai kemampuan kognitif umum yang bersifat potensial (mengukur performa maksimal). Tes ini dirancang khusus untuk memprediksi peluang keberhasilan seseorang dalam belajar di perguruan tinggi.

Secara konseptual, TPA di Indonesia mengadaptasi prinsip dari Graduate Record Examinations (GRE), yang terdiri dari Verbal Reasoning (V), Quantitative Reasoning (Q), dan Analytical Writing (AW). Namun, dalam penerapannya, TPA mengalami beberapa modifikasi. Umumnya, TPA terdiri dari tiga subtes utama:

  • Subtes Verbal (mengukur pemahaman kata dan hubungan antar kata),
  • Subtes Kuantitatif (mengukur pemahaman konsep matematika dasar dan kemampuan berpikir numerik),
  • Subtes Penalaran (mengukur kemampuan berpikir logis dan analitis).

Mengapa TPA Digunakan sebagai Syarat Masuk Perguruan Tinggi?

TPA digunakan sebagai salah satu syarat masuk perguruan tinggi karena tes ini dirancang untuk mengukur kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah kognitif secara cepat dan strategis. Kemampuan ini dikenal sebagai general reasoning ability, yang sangat diperlukan dalam lingkungan akademik tingkat lanjut.

Di perguruan tinggi, keberhasilan belajar lebih bergantung pada kemampuan berpikir kritis dan analitis, bukan sekadar mengikuti metode pembelajaran yang terstruktur seperti di sekolah menengah. Oleh karena itu, TPA lebih mengutamakan kemampuan penalaran daripada penguasaan materi pelajaran tertentu.

Berbeda dengan tes prestasi yang mengukur hasil belajar berdasarkan silabus suatu mata pelajaran, TPA tidak berbasis kurikulum tertentu. Oleh karena itu, keberhasilan dalam menjawab soal TPA tidak banyak dipengaruhi oleh seberapa luas seseorang menguasai mata pelajaran tertentu, melainkan lebih bergantung pada kemampuan berpikir logis dan analitis.

Sebagai contoh:

  • Soal Geometri dalam TPA dapat dijawab tanpa harus menghafal rumus-rumus geometri yang kompleks.
  • Soal Aritmetika dalam TPA tidak menuntut peserta untuk menggunakan rumus matematis secara langsung, tetapi lebih mengandalkan kemampuan penalaran dan strategi pemecahan masalah kuantitatif secara umum.
  • Soal Konsep Aljabar dalam TPA lebih berfokus pada pemahaman konsep dasar aljabar daripada sekadar menghafal dan menerapkan rumus-rumus hitungan.

Tantangan dalam Penggunaan TPA

Dalam praktiknya, tes abilitas seperti TPA sering digunakan untuk diagnosis individu dan seleksi akademik, meskipun sering kali tanpa melalui uji empiris yang ketat terhadap kualitas butir soal. Hal ini terjadi karena:

  • Kerahasiaan butir soal perlu dijaga agar tes tetap valid dan tidak bocor ke publik.
  • Keterbatasan data kriterion, sehingga sulit untuk melakukan validasi prediktif secara ideal.

Namun, meskipun ada keterbatasan, TPA tetap menjadi alat yang penting dalam seleksi akademik, karena dapat memberikan gambaran objektif tentang kemampuan berpikir calon mahasiswa di luar sekadar nilai akademik mereka.

SUMBER BACAAN

Atkinson, R. C., & Geiser, S. (2009). Reflections on a century of college admissions tests. Educational Researcher, 38(9), 665-676.

Ferdian, F. R., & Azwar, S. (2019). PAPS predictive validity in predicting the learning success of master of professional psychology students. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 23(2), 117-128.

McDonald, A. S., Newton, P. E., Whetton, C., & Benefield, P. (2001). Aptitude testing for university entrance: A literature review. Berkshire, UK: National Foundation for Educational Research.

van Schalkwyk, G. J. (2017). Scholastic Aptitude Test. Encyclopedia of Clinical Neuropsychology, 1-4.

 

[Terjemah] Metamodernisme dalam Psikologi

Judul Asli: Метамодернизм в психологии: новые методологические стратегии и изменения субъективности (Metamodernisme dalam Psikologi: Strategi Metodologis Baru dan Perubahan Subjektivitas)

Penulis: M. S. Guseltseva

Tahun: 2018

DOI: https://doi.org/10.21638/11701/spbu16.2018.402


Abstrak

Transformasi dunia modern, yang dipahami melalui gerakan baru dalam filsafat dan seni, berfungsi sebagai alat analisis budaya dan psikologis terhadap subjektivitas manusia yang terus berubah. Modernisme didasarkan pada rasionalitas klasik, yang menghasilkan logo-sentrisme dan wacana universal. Hingga abad ke-20, perkembangan manusia didampingi oleh optimisme sosial, keyakinan pada keteraturan dunia, kemajuan, dan akal. Postmodernisme muncul sebagai vaksin yang menyadarkan dari totalitas wacana, menghidupkan kembali prinsip keraguan, dan menyerukan akal kritis. Namun, dalam menganalisis psikologi masa kini, wacana postmodernisme telah usang karena gagal menangkap perubahan terkini. Sebagai gantinya, metamodernisme muncul dengan pendekatan yang lebih halus dan akurat terhadap transformasi dunia modern. Berbeda dengan postmodernisme, metamodernisme tidak berupaya untuk menafsirkan ulang, melainkan mengalami kembali dunia secara menyeluruh. Jika postmodernisme dikritik karena anti-historis, di mana wacana total digantikan oleh hipertekstualitas, metamodernisme justru peka terhadap konteks sosial-budaya yang terus berubah, berakar dalam sejarah dan budaya, serta memahami dirinya sebagai fenomena budaya.

Artikel ini menganalisis strategi metodologis baru dalam ilmu psikologi yang ditawarkan oleh metamodernisme, yang mencerminkan osilasi antara dua kutub—modernisme dan postmodernisme—dengan secara bersamaan menggunakan pandangan dan praktik keduanya. Prinsip dasar strategi ini adalah osilasi, yang secara metodologis berarti integrasi pengetahuan yang harmonis sambil melepaskan diri dari tradisi epistemologis yang kaku dan statis. Dengan melampaui konstruksi yang linear dan satu dimensi, metamodernisme menggunakan setiap pendekatan secara situasional, dalam konteks lokal, dan berdasarkan kasus tertentu, menjadikan keragaman konseptual sebagai alat penelitian yang fleksibel. Cara pandang metamodernis membentuk citra baru tentang manusia. Karakteristik dan fenomena psikologis metamodernisme digambarkan dalam berbagai konsep seperti virtualitas, interaktivitas, digitalitas, prioritas terhadap nilai ekspresi diri, kehidupan sehari-hari, meningkatnya kepercayaan, ketulusan, dan solidaritas. Ciri-ciri ini, yang diungkapkan dalam berbagai teori, perlu dipahami sebagai suatu pandangan dunia yang utuh pada era ini. Sebagai strategi metodologis, metamodernisme adalah respons spontan terhadap tantangan kompleksitas, multidimensionalitas, dan transisi dunia modern.

Kata kunci: metodologi, psikologi modern, postmodernisme, metamodernisme, subjektivitas, transdisiplinaritas.

 

Ilmu pengetahuan modern semakin meninggalkan batas-batas disiplin ilmu yang terpisah. Dalam arus wacana transdisipliner[1] ini, strategi penelitian baru dalam psikologi sering muncul di persimpangan antara pengetahuan ilmiah khusus, sosial-humaniora, dan filsafat umum. Para peneliti dari berbagai bidang tertarik pada karakteristik zaman kita, seperti keragaman gaya hidup individu, konstruksi identitas, hibridisasi konsep teoretis, serta rangkaian pergeseran epistemologis (turns). Selain itu, fenomena seperti polarisasi[2] dan antinomi[3] juga menarik perhatian, termasuk kontradiksi antara perubahan yang cepat dengan tren konservatif yang defensif, serta pembaruan pengetahuan yang terus-menerus diimbangi oleh percepatan usangnya informasi yang diperoleh.

Tujuan artikel ini adalah untuk mengkaji kecenderungan metodologis yang berkembang seiring dengan pergeseran epistemologis dalam filsafat dan ilmu sosial-humaniora, serta mengeksplorasi potensi pengaruh metamodernisme terhadap perkembangan penelitian psikologi. Sejak awal abad ke-21, filsafat dan metodologi ilmu telah banyak membahas tentang gerakan intelektual yang menggantikan postmodernisme, dengan metamodernisme sebagai salah satu yang paling menonjol. Namun, dalam psikologi Rusia, hingga saat ini masih sedikit kajian yang menganalisis kecenderungan metodologis modern secara keseluruhan, serta cakupan dan keterbatasan wacana metamodernis secara khusus.

Salah satu pionir dalam mempertimbangkan pengembangan psikologi berbasis platform budaya metamodernisme adalah A. A. Grebenyuk. Dalam artikel karya Y. B. Turusheva, strategi metodologis metamodernisme ditelusuri melalui praktik yang belum sepenuhnya direfleksikan dalam pendekatan naratif, yang menggabungkan posisi penelitian teori modernis dan postmodernis, mempertimbangkan peran subjektivitas dan wacana, serta hubungan antara determinasi diri manusia dan pengaruh norma budaya terhadap perkembangannya.

Selain R. van den Akker dan T. Vermeulen, yang dianggap sebagai perintis strategi metodologis ini, kontribusi penting dalam diskusi tentang metamodernisme juga diberikan oleh L. Turner, penulis Manifesto Metamodernis, serta S. Abramson, yang merangkum sepuluh prinsip dasar metamodernisme. Artikel-artikel utama, terjemahan, wawancara, dan berbagai materi terkait tema ini dapat ditemukan dalam jurnal elektronik berbahasa Rusia Metamodern.

Salah satu temuan metodologis utama dalam metamodernisme adalah konsep osilasi—sebuah pendekatan yang memahami kompleksitas realitas melalui gerakan intelektual “mengayun” (seperti spiral pendulum, di mana gerakan bolak-balik menciptakan lingkaran makna dan interpretasi yang semakin berkembang, menghasilkan suatu gestalt baru). Dalam artikel Y. B. Turusheva yang telah disebutkan, prinsip ini ditunjukkan secara efektif melalui penggabungan berbagai posisi epistemologis dalam pendekatan naratif, yang mengintegrasikan analisis determinasi diri subjek, otoritas atas kehidupannya sendiri, serta pengaruh determinan eksternal, termasuk pengalaman pra-linguistik dan beragam wacana sosial.

Hasrat untuk mengintegrasikan konsep dan paradigma, mengatasi pendekatan yang sepihak dan dikotomis, serta menggabungkan hal-hal yang tampaknya tidak dapat disatukan—itulah inti pencarian metodologi modern dalam menganalisis realitas sosial-budaya dan psikologis yang semakin kompleks. Tentu saja, kecenderungan serupa yang tidak selalu menjadi fokus refleksi metodologis telah lama hadir sebelum munculnya metamodernisme sebagai tradisi pemikiran laten. Dialektika klasik Yunani, logika Taoisme, serta metode antinomi dari I. Kant—semuanya merupakan strategi intelektual yang berusaha memahami fenomena yang sangat kompleks dalam keseluruhannya dan keutuhannya. R. Martin, dalam mengembangkan gagasan tentang pemikiran integratif, mengutip kata-kata F. S. Fitzgerald sebagai epigraf bukunya: “Ujian terbaik bagi pikiran yang luar biasa adalah kemampuannya untuk secara bersamaan mempertahankan dua gagasan yang bertentangan dalam pikirannya, sambil tetap mampu berfungsi dengan baik.” Dengan demikian, prinsip untuk secara bersamaan memahami posisi-posisi yang saling bertentangan tidak hanya sudah ada sebelum dan di luar metamodernisme, tetapi juga menunjukkan meningkatnya kompleksitas kognitif dalam menganalisis suatu masalah. Dari perspektif ini, kemunculan metamodernisme sebagai strategi metodologis yang merespons pertumbuhan keberagaman, kompleksitas, dan transisi dalam dunia modern merupakan tahap evolusi pengetahuan ilmiah yang logis dan wajar.

Psikologi antara Postmodernisme dan Metamodernisme

Pada pergantian abad ke-20 dan ke-21, dalam psikologi secara alami berkembang tradisi untuk memperhitungkan perubahan zaman dalam penelitian. Psikologi tidak lagi mereduksi objek kajiannya hanya pada psikis, aktivitas, dan subjek, tetapi memahami psikis dalam dinamika aktivitas, kepribadian dalam sejarah dan budaya, serta identitas dalam konteks perubahan sosial-budaya. Lebih dari itu, dengan semakin kompleksnya analisis, psikologi berupaya mempertimbangkan manusia secara holistik—sebagai individu yang hidup dan bertindak baik dalam lingkungan sehari-hari yang terdekat maupun dalam skala dunia yang lebih luas.

Salah satu arah utama dalam pencarian metodologis psikologi Rusia adalah pendekatan yang berusaha mempelajari sifat cair dan transisi dari realitas modern. Namun, sebagian besar konsep yang menggambarkan zaman dan perubahannya tidak lahir dari dalam psikologi itu sendiri, melainkan berasal dari filsafat, metodologi, studi budaya, dan ilmu sosial-humaniora lainnya. Transformasi kontemporer paling cepat dan mendalam ditangkap oleh arus dan gerakan dalam seni, yang berusaha mengartikulasikan perubahan ini melalui konsep seperti “digimodernisme,” “transmodernisme,” “performatisme,” “altermondisme,” dan “hipermodernisme.” Setiap aliran ini, layaknya kaca pembesar, menyoroti dan menetapkan karakteristik tertentu dari zaman kita.

Postmodernisme, sebagai tonggak utama dalam transformasi budaya-psikologis di akhir abad ke-20, merefleksikan serta menganalisis fenomena seperti ketidakstabilan, perubahan yang cepat, kelabilan, fluiditas, dan sensitivitas terhadap konteks. Sejak 1990-an, diskusi dalam ilmu pengetahuan internasional berkembang mengenai dampak postmodernisme terhadap psikologi. Meskipun tidak menawarkan konsep psikologi baru yang signifikan, pengaruh epistemologisnya terutama berupa kritik postmodernis, penguatan prinsip relativisme, skeptisisme, dan keraguan metodologis.

Namun, saat ini, jika kita melihat postmodernisme dari perspektif historis, dapat disadari bahwa pengaruh dan kerja intelektualnya memiliki jeda waktu sebelum efeknya benar-benar terasa. Setelah postmodernisme tidak lagi dominan, warisannya justru muncul dalam konsep-konsep baru tentang subjektivitas manusia yang terus berubah. Hal ini ditegaskan oleh N. B. Mankovskaya dalam komentarnya: “Mode postmodernisme telah berlalu, tetapi fenomenanya tetap ada.” Terpadu dalam keseharian, postmodernisme sulit untuk dikenali secara eksplisit, tetapi masih tetap berfungsi dalam psikologi—sebagai konteks kehidupan bagi perkembangan subjek, sebagai metodologi untuk memahami keseharian dan realitas kontemporer.

Tidak begitu jelas terlihat kecenderungan produktif postmodernisme, seperti refleksivitas yang berlebihan dan sifat sintetisnya, serta evolusinya ke dalam bentuk-bentuk baru. Dalam kaitan ini, penting untuk mempertimbangkan bahwa dalam ruang intelektual dan sosio-kultural yang mengelilingi psikologi, telah muncul banyak konseptualisasi post-postmodernisme (istilah ini digunakan sebagai sebutan umum untuk aliran-aliran yang menggantikan postmodernisme).

Kebutuhan akan pembaruan intelektual dalam penelitian tentang manusia serta antisipasi terhadap transformasi subjektivitas dan era modernnya tercermin dalam konsep proteisme yang dikemukakan oleh M. N. Epstein. “Saya akan mendefinisikan pola pikir awal abad XXI sebagai ‘proto-’ (dari bahasa Yunani protos — pertama, awal, dini, pendahuluan). Proto- adalah kesadaran rendah hati bahwa kita hidup di awal peradaban yang tidak diketahui… bahwa semua pencapaian gemilang kita hanyalah bayangan lemah, awal yang masih kasar dari apa yang akan dihasilkan oleh teknologi informasi dan bioteknologi di masa depan” [23].

Istilah yang ditemukan dengan tepat ini mencerminkan berbagai makna: menentang prefiks post-— mengarah ke masa depan yang tidak pasti daripada sekadar merangkum masa lalu; keadaan yang masih belum terbentuk dan bersifat sketsa; sifat kontradiktif yang menggabungkan unsur embrionik dan arkaik (“kita adalah embrio peradaban masa depan, dan pada saat yang sama kita adalah peninggalan tertua dari peradaban itu” [23]); prinsip transisi yang merujuk pada figur mitologis Proteus; serta sifat yang “bergerak dan mengalir, amorf dan polimorf” [23].

Konsep performatism yang telah disebutkan sebelumnya merupakan konseptualisasi oleh R. Eshelman, yang menyoroti masalah pelestarian identitas dalam realitas yang terus berubah. Ia mencatat adanya keterputusan antara objek dan maknanya (hari ini kita dapat membuat generalisasi metodologis yang lebih luas: dalam realitas yang berubah, berbagai hal sering kali bukan seperti yang tampak). Ia juga mengidentifikasi ciri utama era baru ini: sintesis antara visualitas dan keaktoran, di mana argumen dan bukti digantikan oleh presentasi [18].

Dalam transmodernisme (transmodernism), perhatian difokuskan pada perpaduan antara modernisme dan postmodernisme dalam menggambarkan identitas kompleks yang harus menemukan tempatnya dalam dunia global [17]. Ide kunci dalam automodernitas (auto-modernity) adalah adanya antinomi antara otonomi individu dan otomatisasi ruang kehidupannya [19].

Sementara itu, hipermodernisme (hypermodernism) berusaha untuk mencirikan masyarakat yang dinamis, fleksibel, dan mengalir, yang tidak lagi dapat diatur dengan prinsip-prinsip struktural modernitas yang sudah dikenal. Dalam hal ini, kehidupan sehari-hari berkembang dalam ketegangan antara, di satu sisi, kebiasaan konsumsi berlebihan dan hedonisme, serta di sisi lain, kecemasan implisit yang dipicu oleh kehidupan dalam dunia yang kehilangan tradisi dan dipenuhi ketidakpastian masa depan [17, hlm. 156–170].

Digimodernisme (digimodernism, digital modernism — modernisme digital) menekankan peran internet dalam transformasi era modern dan dampaknya terhadap dunia manusia dalam lingkungan digital. Dalam konseptualisasi A. Kirby, teknologi informasi secara radikal mengubah subjektivitas, kesadaran, dan aktivitas manusia, serta konsep tentang penulis dan pembaca (menghapus batasan), konsep tentang teks (efemeritas, ketidakstabilan, perubahan seiring waktu, format ringkas yang diekspresikan dalam tweet dan SMS), praktik interaksi dengan teks, serta aktivitas penonton yang ingin memengaruhi karya seni dan berpartisipasi dalam konstruksi realitas [15]. Tekstualitas baru ini bersifat terbuka, situasional, labil, kabur, dan memiliki batasan yang tidak jelas. Namun, awalnya, Kirby menggunakan istilah pseudomodernisme untuk menyoroti aspek negatif tertentu dari digimodernisme [16]. Konsep pseudomodernisme menyoroti karakteristik zaman yang telah berubah, seperti ketidaktahuan, fanatisme, dan kecemasan. Jika modernisme dalam perspektif psikologis dikaitkan dengan neurosis, dan postmodernisme dengan narsisme serta ironi, maka pseudomodernisme ditandai oleh fenomena seperti imitasi (penggantian realitas dengan hoaks atau simbol) dan keadaan trans. Menurut Kirby, internet, komunikasi seluler, dan televisi interaktif merampas kemampuan manusia untuk berkonsentrasi dan berpikir mendalam [16]. Kedua konseptualisasi ini (pseudomodernisme dan digimodernisme) dalam satu sudut pandang menampilkan interpretasi dengan lensa pesimistis dan optimistis terhadap perubahan yang sedang terjadi (masing-masing berkaitan dengan nilai kelangsungan hidup dan nilai perkembangan—mengacu pada terminologi R. Inglehart [24]).

Dualitas ini tidak mengherankan. Perubahan negatif dalam budaya dan transformasi lingkungan yang familiar serta nyaman bagi manusia adalah hal pertama yang mencolok. Namun, dengan berjalannya waktu, muncul pemahaman rasional bahwa sesuatu yang baru dan berubah tidak selalu identik dengan sesuatu yang negatif. Misalnya, berakhirnya dunia kehidupan yang biasa tidak berarti runtuhnya peradaban. Identitas manusia secara bertahap menyesuaikan diri dengan perubahan, dan refleksivitas yang meningkat (kesadaran serta kecakapan metodologis) menjadi cara untuk menghadapi kehidupan dalam lingkungan informasi yang baru secara fundamental. Bagi konsumen budaya informasi, lebih mudah untuk mengidentifikasi potensi risiko dan ancaman daripada diarahkan pada perkembangan. Namun, bagi individu dan aktor sosial, produksi simulakra, hoaks, dan fenomena post-truth yang mengkhawatirkan justru memiliki efek samping berupa pelatihan berpikir kritis. Dengan demikian, generasi muda yang bersosialisasi dalam budaya informasi secara konstruktif memanfaatkan peluang perkembangan yang ditawarkannya dan secara spontan mengembangkan etika yang sangat berbeda dari orang tua mereka yang terbiasa menonton program televisi. Namun, hal ini tidak menyebabkan konflik klasik antara “orang tua” dan “anak-anak”, melainkan menciptakan heterogenitas dan ketidakhomogenan dalam era modern [25]. Proses serupa juga memengaruhi kesadaran penelitian itu sendiri, di mana dalam beberapa dekade terakhir, asumsi nilai dalam studi tentang lingkungan digital telah berubah—dari fokus pada ancaman, risiko, dan aspek keamanan menuju eksplorasi perkembangan dan kemungkinan baru bagi manusia.

Nicolas Bourriaud, seorang filsuf Prancis yang juga mengkurasi pameran seni kontemporer, mengembangkan konsep altermodernisme (altermodern, altermodernisme, altermodernity—modernisme alternatif). Gagasan utamanya adalah pencampuran dan penerjemahan epistemologis terhadap nilai-nilai budaya, serta “reboot” budaya. Ia membahas problematika antinomi modernitas dalam kategori unifikasi dan identifikasi, di mana uniformitas produksi massal berpadu dengan keunikan warna lokal. Menurut Bourriaud, tantangan modernitas tidak dapat dijawab dengan solusi global tunggal, melainkan dengan banyak respons spesifik terhadap situasi tertentu—suatu “kepulauan reaksi lokal.” Ia menunjukkan bahwa linearitas sedang digantikan oleh model labirin, dan keraguan bergeser menjadi ketegasan dalam bertindak, yang mengarah pada sesuatu yang baru.

Bourriaud memperkenalkan konsep “kreolisasi” (creolisation), yang mengacu pada kecenderungan menuju pencampuran universal. Pencampuran dan pergeseran menjadi ciri utama era baru. Ia juga menggunakan istilah Prancis “radicant”, yang meskipun terdengar mirip dengan “radikal,” justru memiliki makna yang berlawanan: keterikatan pada akar sekaligus gerakan maju layaknya tanaman ivy yang terus menjalar. Bourriaud menekankan pentingnya temporalitas: jika ruang geografis telah dieksplorasi hampir sepenuhnya oleh manusia, maka waktu masih menjadi dimensi yang belum terjelajahi. Altermodernisme menciptakan situasi perbatasan, di mana heterogenitas terwujud sebagai kumpulan temporalitas yang saling terhubung. Dalam praktik seni kontemporer, pendekatan jaringan menjadi metodologi laten, di mana proyek-proyek dikerjakan oleh kumpulan individu yang kemudian berpencar dan beralih ke proyek lain setelah tugas mereka selesai. Jika dalam konsep masyarakat informasi figur intelektual adalah yang utama, maka dalam konsep Bourriaud, senimanlah yang menjadi pusat, karena eksistensi di era modern berarti menjadi seorang nomad yang bergerak melintasi berbagai dunia budaya. Altermodernisme memperkuat mobilitas manusia, memungkinkan perlintasan batas-batas yang beragam serta menciptakan dunia yang berlapis-lapis dengan berbagai konfigurasi ruang dan waktu yang saling bersinggungan [27; 28].

Sebagai kesimpulan dari tinjauan singkat mengenai aliran yang menggantikan postmodernisme, dapat dilihat beragamnya konstruksi metaforis yang menyoroti transformasi modernitas. Hampir semua pendekatan menekankan situasionalitas, antinomi, kompleksitas, mobilitas, pergeseran konseptual, dan pencampuran. Namun, ekspresi paling jelas dari tren baru ini adalah metamodernisme, yang kami anggap sebagai sebuah epistemologi yang lahir sebagai respons terhadap tantangan kompleksitas dan keragaman dunia modern [12].

Metamodernisme dalam Filsafat dan Psikologi: Jawaban terhadap Tantangan Multidimensionalitas dan Transitivitas Dunia Modern

Para pelopor dalam konseptualisasi metamodernisme adalah filsuf Belanda T. Vermeulen dan R. van der Akker, yang menyatakan bahwa metamodernisme adalah gaya budaya umum pada zaman ini, yang mencerminkan ketegasan generasi intelektual baru dalam mengatasi krisis modernitas [2; 3]. “Dalam metamodernisme… berakhir sudah perasaan stabilitas postmodernis dan kemajuan permanen. Kita bergerak ke arah yang belum sepenuhnya kita ketahui, tetapi yang mempertaruhkan banyak hal, baik itu masalah ekonomi, bencana ekologis, atau kecenderungan fasis di banyak masyarakat Barat serta meningkatnya populisme sayap kanan. <…> Sejarah kembali bergerak maju, semuanya berada dalam keadaan fluktuasi, gerakan konstan, kegoyahan—segala sesuatu yang tampak akrab dan stabil bagi kita, semua yang telah kita capai atau ciptakan” [29].

Metamodernisme menangkap perasaan kelelahan terhadap modernitas, dengan tuntutan umum akan perubahan yang diekspresikan dalam ekstremisme baik populisme sayap kanan maupun radikalisasi gagasan kiri. Namun, refleksi tentang metamodernisme segera menghadapi masalah metodologis—tidak adanya “istilah yang jelas… alat naratif yang diperlukan atau keterampilan diskursif untuk menggambarkan bagaimana kita ingin melihat masa depan kita” [29]. Meskipun demikian, epistemologi metamodernisme adalah kerangka konseptual integratif yang tepat untuk struktur jaringan yang tidak terorganisir, pemikiran melalui antinomi, epistemologi kompleksitas, dan laten. Strategi utama metamodernisme adalah kombinasi antara kemajuan dan osilasi (“Kita harus maju dan berayun” [8]). Seperti pendulum, metamodernisme menyeimbangkan antara modernisme dan postmodernisme, menjaga ketegangan kreatif di antara polaritas ini. Kronotop metamodernisme secara bersamaan tertata dan tidak tertata (mengacu pada “kucing Schrödinger”). Menurut R. van der Akker, inti dari dialektika metamodernisme adalah “dalam osilasi, dalam kegoyahan yang tak henti-hentinya dan dalam melampaui posisi yang stabil” [29].

Metamodernisme adalah strategi intelektual yang mengubah prinsip “atau/atau” menjadi prinsip “dan/dan” (bandingkan dengan: [11]), di mana persepsi simultan terhadap kontradiksi dicapai melalui gerakan osilasi, pergerakan bolak-balik. Bukan memilih salah satu kutub, melainkan memahami denyut dunia, di mana ketegangan antinomi adalah norma kehidupan.

Dalam konteks ini, metamodernisme menawarkan pandangan baru tentang hubungan antara teori dan praktik dalam psikologi, integrasi dan diferensiasi pengetahuan, serta orientasi ilmu pengetahuan alam dan humaniora. Prinsip ketidakberesan menggambarkan prospek osilasi yang tak berujung dalam proses perkembangan, tetapi setiap kali, melalui upaya kreatif, muncul produk situasional yang konkret. Di sini, prinsip desentralisasi (swaketeraturan) dan aktivitas kreatif subjek, yang sudah terlihat dalam postmodernisme, semakin diperkuat: “Terjadi pertumbuhan disiplin psikologis. Pelemahan pembatasan normatif eksternal… mengarah pada peningkatan kebutuhan akan disiplin diri, menggunakan mekanisme internal dan mencari cara yang sesuai untuk melaksanakan disiplin diri ini” [30]. Satu osilasi saja, menahan ketegangan intelektual dari kontradiksi, tidak cukup; diperlukan upaya sintesis kreatif yang menyerukan aktivitas subjek. Dalam proses osilasi yang intens, subjek terpaksa menciptakan sesuatu yang baru. Dengan demikian, kreativitas dan kemampuan untuk menyintesis berbagai ide yang berbeda menjadi persyaratan utama bagi kompetensi manusia dalam realitas metamodernisme. Jika tantangan postmodernisme adalah melepaskan diri dari totalitas wacana yang melingkupi kesadaran, maka metamodernisme adalah organisasi diri dari aktivitas kreatif subjek dan sosialisasi melalui pengatasan antinomi serta produksi produk intelektualnya sendiri.

Psikologi manusia, yang terbiasa dengan hukum pengecualian terhadap kemungkinan ketiga, mengalami kesulitan dalam menangani kompleksitas kognitif ketika harus memahami berbagai tingkat realitas secara bersamaan. Subjek harus berosilasi, berayun, dan mengubah fokus intelektualnya, seperti dalam gambar Gestalt “kelinci atau bebek.” Namun, gambar tersebut hanya menawarkan dua kemungkinan persepsi, sedangkan strategi metodologis metamodernisme bertujuan untuk membangun pemahaman yang utuh, multidimensi, dan menyeluruh (termasuk pendekatan transdisipliner), dengan tetap menyadari bahwa mempertahankan keseluruhan pemahaman dalam dinamika perubahan yang cepat adalah sebuah tantangan.

Ilustrasi pemikiran kompleks dalam mengatasi antinomi dapat ditemukan dalam ilmu sosial, di mana perkembangan masyarakat informasi mengungkap bahwa negara totaliter (seperti yang digambarkan oleh George Orwell dalam konsep “Big Brother”) dan negara terbuka (open government yang beroperasi dengan open data) sama-sama berfungsi berdasarkan prinsip transparansi. Kedua jenis negara ini, yang sebelumnya dianggap bertentangan—yang satu berbasis kontrol total, ketidakpercayaan, dan sentralisasi, sedangkan yang lain berdasarkan transparansi umum, kepercayaan, dan pemerintahan sendiri—ternyata merupakan bagian dari satu proses informasi-teknologi yang sama, di mana polarisasi menjadi kabur. Dalam realitas modern, warga negara (subjek) menjadi transparan bagi negara, korporasi, dan media sosial, tetapi pada saat yang sama, negara, korporasi, dan media sosial juga menjadi transparan bagi warga negara. Dengan kata lain, transparansi di sini adalah gerakan osilasi yang saling terkait (seperti dalam prinsip lingkaran hermeneutika Friedrich Nietzsche: “Semakin dalam seseorang menatap ke dalam jurang, semakin dalam jurang itu menatap balik ke arahnya”). Semakin intens negara dan korporasi mengumpulkan informasi pribadi warga negara, semakin besar pula akses warga terhadap informasi tentang korporasi dan negara itu sendiri.

Dalam perspektif metodologis, antinomi dalam kehidupan sehari-hari ini—kesatuan dari proses yang tampaknya berlawanan—adalah contoh dari transdisiplinaritas yang spontan, suatu jenis pemikiran metodologis baru yang bersifat sintetik dan kompleks, yang menggabungkan perspektif holistik dan analitis dalam memahami realitas kehidupan saat ini. Dalam psikologi, hal ini tercermin dalam antinomi antara sosialisasi dan individualisasi, universalitas dan keunikan: semakin global dunia ini, semakin intens proses individualisasi manusia di dalamnya. Dengan demikian, kita dapat merumuskan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran sintetik—menuju pemahaman holistik melalui antinomi. Multidimensionalitas dan situasionalitas dalam analisis kehidupan sehari-hari, metode dan metodologi campuran, serta “jembatan antarparadigma” semuanya merupakan manifestasi epistemologis dari tahap metamodernisme dalam psikologi.

Dalam psikologi, metamodernisme menjadi alat analisis subjektivitas yang lebih halus, menciptakan konstruksi analitis yang menunjukkan bagaimana dunia yang tampak dapat dikonfigurasi ulang setiap saat dengan cara yang berbeda. Ia mengungkap lapisan-lapisan tersembunyi dalam budaya informasi saat ini, mengidentifikasi heterogenitas kesadaran yang berada dalam modernitas sekaligus berakar dalam beragam era historis. Meskipun larut dalam masa kini, metamodernisme adalah kandungan laten dari modernitas, tetapi tidak mengarah ke masa lalu dalam konteks rekonstruksi, melainkan ke masa depan dalam konteks prediksi dan antisipasi. Manifestasi metamodernisme yang samar dan tidak kentara perlahan-lahan mengubah identitas kita. Namun, baik bagi masyarakat umum maupun bagi para peneliti, sulit untuk mengenali perubahan yang sedang berlangsung: apa yang terlihat jelas dalam perspektif historis sering kali tampak kabur dan tidak pasti dalam realitas modern. Inilah mengapa konsep filosofis dan humaniora, serta gerakan seni baru, berfungsi sebagai lensa yang membantu kita melacak transformasi tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari kita.

Contoh dari konsep yang menangkap perubahan saat ini dan dipahami sebagai fenomena metamodernisme meliputi:

  • Keikhlasan baru (New sincerity)—melampaui naivitas ideologis modernisme serta ironi dan skeptisisme sinis postmodernisme.
  • Rasionalitas baru (New rationality)—kembali pada rasionalitas ilmiah dengan mempertimbangkan kritik terhadapnya.
  • Post-historiografi (Posthistory)—pemahaman dan penciptaan sejarah baru, di mana ironi digunakan untuk menyoroti masalah aktual dalam modernitas.
  • Neo-romantisisme pragmatis (Pragmatic neoromanticism)—bukan sekadar peralihan dari budaya utilitarianisme ke budaya martabat, tetapi pemanfaatan produktif dari kedua budaya tersebut.
  • Post-truth (Post-kebenaran)—mendorong individu untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka sendiri.
  • Transparansi dan serangkaian fenomena “trans-” lainnya, seperti transgender (melampaui batas gender), transgresi (melanggar atau mengatasi batasan), transhumanisme (memperluas kapasitas psikologis dan fisik manusia melalui kemajuan sains dan teknologi), transmisi, dan sebagainya.

Cara pandang metamodernisme menawarkan perspektif yang lebih tenang, percaya diri, dan optimis terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Dalam jangka pendek perencanaan kehidupan modern—terutama bagi generasi muda—metamodernisme melihat adanya makna adaptif yang positif. Dalam dunia yang berubah dengan cepat dan tidak dapat diprediksi, rencana jangka panjang bisa menjadi kaku dan tidak relevan secara evolusioner: seseorang tidak dapat merencanakan kejutan atau mengatur spontanitas dan kreativitas. Dalam konteks ini, memperpendek cakrawala perencanaan dan memusatkan perhatian pada masa kini adalah respons psikologis yang sehat terhadap transformasi modernitas. Dalam ranah sosial-psikologis, tren ini berhubungan dengan konsep “kualitas hidup” dan “ekspresi diri” (hedonisme baru); dalam ranah epistemologis, ia dikaitkan dengan kemunculan psikologi kehidupan sehari-hari, yang memberikan makna analitis pada lingkungan terdekat, tradisi budaya kecil, dan identitas wilayah.

Sebagai Penutup: Metode dan Metodologi Campuran

Makna metamodernisme sebagai strategi epistemologis dalam psikologi terletak pada kemampuannya untuk merefleksikan dengan lebih halus dan akurat perubahan subjektivitas dan identitas manusia yang sedang berlangsung. Selain itu, metamodernisme memiliki signifikansi metodologis karena melatih kemampuan kita untuk berpikir secara holistik tentang dunia melalui antinomi—memahami saling keterkaitan antara kecenderungan yang bertentangan, menjalin secara konseptual berbagai gagasan yang tampaknya tidak kompatibel, serta menggunakan satu konstruksi analitis sebagai alat untuk menafsirkan dan mengintegrasikan konstruksi lainnya secara situasional.

Evolusi gerakan sosial, budaya, dan intelektual modern secara umum tunduk pada prinsip pergeseran dan pencampuran, membentuk dinamika yang kompleks—beralih dari linearitas ke multidimensionalitas, dari homogenitas ke heterogenitas dan multilayeredness, dari tren yang stabil ke perubahan yang tidak terduga, serta dari garis-garis yang jelas ke pola yang samar dan membingungkan. Pola-pola yang sebelumnya dapat kita ekstrapolasikan dengan sukses dalam ketiadaan kecenderungan lain, dalam situasi transdisipliner, justru menghasilkan sifat sistemik yang tidak terduga akibat penemuan dan interaksi elemen-elemen baru, sehingga menciptakan gambaran umum yang lebih beragam, kontradiktif, dan tidak stabil.

Strategi epistemologis metamodernisme berupaya mempertahankan keseimbangan dalam analisis antara berbagai proses yang berkembang dan bertentangan, dengan mengatasi resistensi kognitif yang sudah dikenal. Lebih mudah untuk melacak tren linear dan menetapkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), sementara metode dan metodologi campuran membentuk logika yang berbeda—logika berbasis jaringan—yang mendorong perkembangan epistemologi pemikiran kompleks.


Catatan kaki dibuat oleh saya untuk memperjelas makna beberapa istilah.

[1] Transdisipliner adalah pendekatan dalam ilmu pengetahuan yang melampaui batas-batas disiplin akademik tradisional dengan mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan untuk memahami dan menyelesaikan masalah kompleks. Pendekatan ini melampaui batas disiplin ilmu dengan menggabungkan teori, metode, dan wawasan dari berbagai bidang serta melibatkan perspektif praktis atau non-akademik (seperti budaya, seni, atau kebijakan publik). Contoh: Mempelajari subjektivitas manusia dengan memadukan filsafat, ilmu saraf, dan studi budaya.

[2] Polarisasi merujuk pada proses di mana dua kelompok atau pandangan yang berbeda menjadi semakin ekstrem dan bertentangan satu sama lain. Contoh dalam masyarakat adalah polarisasi politik, di mana kelompok dengan pandangan berbeda semakin berseberangan dan sulit menemukan titik temu. Dalam psikologi, polarisasi dapat terjadi dalam diskusi kelompok (group polarization), di mana individu cenderung mengadopsi posisi yang lebih ekstrem setelah berdiskusi dengan orang yang berpikiran serupa.

[3] Antinomi adalah kontradiksi antara dua prinsip atau konsep yang tampaknya sama-sama benar tetapi saling bertentangan. Konsep ini sering digunakan oleh filsuf seperti Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa dalam banyak kasus, pikiran manusia mencapai batas di mana dua pernyataan yang bertentangan bisa tampak logis secara bersamaan. Contoh antinomi dalam kehidupan sehari-hari adalah kebebasan versus determinisme: manusia merasa memiliki kebebasan dalam memilih tindakan, tetapi pada saat yang sama, faktor lingkungan dan biologis juga memengaruhi keputusan tersebut.

Dalam konteks metamodernisme, polarisasi dan antinomi menjadi penting karena pendekatan ini mencoba untuk mengayunkan (osilasi) antara dua kutub yang bertentangan, tidak hanya memilih satu sisi, tetapi juga memahami dinamika di antara keduanya.


Tambahan bacaan untuk memahami metamodernisme sebagai paradigma kultural:

  1. An introduction to metamodernism

 

Dilema Psikometris dalam Pengembangan Instrumen

“Kedewasaan seseorang terasah dengan kemampuannya mengelola dilema.”

Berikut ini adalah sejumlah trade offs yang biasa terjadi dalam dunia psikometrika ketika kita sedang mengembangkan suatu alat ukur. Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam grup Whatsapp Hommy Psikometrika dan diperkaya serta dirapikan dengan bantuan ChatGPT.

Dilema dalam Desain Skala Terkait Penggunaan Item Unfavorable

Item unfavorable adalah item yang bermuatan negatif atau tidak setuju dalam sebuah skala penilaian, khususnya dalam konteks mengukur sikap, opini, atau konstruk psikologis. Item ini mengandung pernyataan negatif atau bertentangan dengan sikap positif yang ingin diukur. Misalnya, “Saya tidak puas dengan pekerjaan saya” untuk mengukur kepuasan kerja (yang seharusnya diukur secara positif).

Manfaat Item Unfavorable

Pertama, item unfavorable bisa mengurangi masalah acquiescence bias, yaitu bias yang terjadi ketika responden cenderung menyetujui semua pernyataan yang diberikan (misalnya, selalu memilih “setuju” pada skala Likert), terlepas dari isi pernyataan itu. Bias ini bisa terjadi, misalnya, jika responden hanya merasa ingin menyelesaikan survei dengan cepat atau lebih suka memberi jawaban positif. Menambahkan item unfavorable dapat menjadi solusi untuk mengatasi acquiescence bias. Dengan menambahkan item-item yang bersifat negatif, maka responden tidak bisa hanya menyetujui semua item. Responden perlu mempertimbangkan dengan lebih cermat apakah mereka benar-benar setuju atau tidak dengan pernyataan yang diberikan.

Kedua, item unfavorable cocok untuk pengukuran konstruk bipolar. Konstruk ini memiliki dua sisi atau kutub yang berlawanan, misalnya: Kepuasan vs Ketidakpuasan, Kesehatan vs Penyakit, Optimisme vs Pesimisme. Penggunaan kedua jenis item favorable dan unvorable membantu menangkap seluruh spektrum sikap responden terhadap konstruk tersebut (misalnya dari puas hingga tidak puas). Kita pun dapat memperoleh data yang lebih lengkap dan seimbang mengenai sikap atau keadaan yang diukur. Item negatif (unfavorable) bisa membantu menangkap elemen yang berlawanan dari konstruk yang sedang diukur.

Risiko Item Unfavorable. Beberapa orang berpendapat bahwa penggunaan item unfavorable dapat mengarah pada kesalahan dalam interpretasi. Sebab, item-item dengan pernyataan negatif bisa menyebabkan responden merespons dengan cara yang tidak sesuai dengan tujuan pengukuran, atau malah mengukur hal lain selain konstruk yang dimaksud. Responden mungkin mengidentifikasi bahwa item tersebut dirancang untuk mengukur sikap negatif atau ketidakpuasan, sehingga responden lebih fokus pada sikap negatif itu sendiri daripada mengukur konstruk yang sebenarnya diinginkan. Ini bisa mengganggu validitas alat ukur. Contoh: Dalam pengukuran kepuasan kerja, jika butir yang digunakan cenderung negatif, hasil pengukuran bisa lebih menekankan ketidakpuasan atau sikap negatif, bukan kepuasan secara keseluruhan.

Dilema Penggunaan Jumlah Opsi Respon (Eror Pengukuran vs Efisiensi)

Salah satu dilema atau trade-off yang sering muncul saat mengembangkan alat ukur psikologis berkaitan dengan jumlah opsi respon terhadap pernyataan atau item (misalnya, skala Likert atau pilihan ganda). Dengan menggunakan lebih banyak opsi atau alternatif jawaban dalam sebuah item (misalnya, 7 opsi daripada 3), alat ukur cenderung lebih reliabel karena dapat menangkap perbedaan individu dengan lebih detail. Semakin banyak opsi, semakin kecil kemungkinan seseorang asal memilih jawaban (mengurangi error pengukuran). Namun, jika jumlah opsi terlalu banyak, responden mungkin merasa kesulitan atau kebingungan untuk membuat keputusan yang jelas. Hal ini mengurangi efisiensi karena dapat memperlambat proses pengisian atau bahkan memengaruhi validitas respons (misalnya, responden memilih secara asal karena terlalu banyak pilihan).

Contoh:

Skala dengan 3 opsi jawaban: “Tidak setuju,” “Netral,” “Setuju”. Skala ini cepat dan mudah dipahami, tetapi kurang detail dalam menangkap perbedaan sikap.

Skala dengan 7 opsi jawaban: “Sangat tidak setuju,” “Tidak setuju,” “Agak tidak setuju,” “Netral,” “Agak setuju,” “Setuju,” “Sangat setuju.” Skala ini lebih detail, reliabel, tetapi bisa membuat responden berpikir terlalu lama atau bingung.

Solusi:

Menentukan jumlah opsi yang sesuai tergantung pada konteks, target populasi, dan tujuan pengukuran. Kita tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama untuk semua situasi. Jumlah opsi yang ideal harus disesuaikan dengan:

Pertama, konteks. Konteks menyangkut jenis alat ukur dan kompleksitas konstruk yang hendak diukur. Apakah alat ukur kita hendak digunakan untuk penelitian ilmiah, penilaian pendidikan, atau asesmen klinis? Dalam penelitian akademik, biasanya lebih disukai skala dengan lebih banyak opsi untuk mendapatkan data yang lebih detail. Sementara dalam konteks asesmen cepat (misalnya survei populasi besar), lebih sedikit opsi sering dipilih demi efisiensi. Jika pernyataan yang diukur rumit atau abstrak (misalnya tentang nilai-nilai hidup), lebih banyak opsi mungkin diperlukan untuk menangkap nuansa. Sebaliknya, untuk pertanyaan sederhana, opsi yang lebih sedikit sering cukup. Dalam banyak kasus, 5 atau 7 opsi adalah kompromi yang baik, karena cukup reliabel sekaligus tidak terlalu membebani responden.

Kedua, target populasi. Target populasi menyangkut kemampuan responden dan kebiasaan budaya. Jika targetnya adalah anak-anak, orang tua, atau individu dengan keterbatasan kognitif, terlalu banyak opsi dapat membingungkan mereka. Misalnya, menggunakan 3-5 opsi lebih sesuai untuk kelompok ini. Untuk orang dewasa dengan pendidikan tinggi, 5-7 opsi lebih sering digunakan karena mereka lebih mampu membuat keputusan yang lebih spesifik. Dalam beberapa budaya, orang mungkin lebih cenderung memilih jawaban ekstrem (“Sangat Setuju” atau “Sangat Tidak Setuju”), sementara di budaya lain, mereka mungkin lebih sering memilih jawaban tengah. Pemahaman budaya ini bisa memengaruhi jumlah dan jenis opsi yang digunakan.

Ketiga, tujuan pengukuran. Tujuan ini berkenaan dengan kebutuhan data detail dan efisiensi serta kecepatan. Jika tujuan pengukuran membutuhkan data yang sangat spesifik atau presisi tinggi (misalnya, dalam pengukuran sikap atau preferensi yang sangat kompleks), maka lebih banyak opsi (5-7) diperlukan untuk menangkap variasi individu secara lebih baik. Jika alat ukur hanya bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum dalam waktu singkat, lebih sedikit opsi (3-5) mungkin lebih tepat agar proses pengisian lebih cepat tanpa membebani responden.

Dilema Skala Likert sebagai Data Ordinal vs Data Interval

Dilema ini mencerminkan perbedaan pendekatan dalam merepresentasikan data Likert, yaitu antara realisme ordinal vs fleksibilitas interval. Kita harus memilih pendekatan berdasarkan konteks penelitian, tujuan analisis, dan sifat data yang digunakan.

Pertama, sebagai data ordinal. Skala Likert (misalnya, “Sangat Tidak Setuju” hingga “Sangat Setuju”) sering dianggap sebagai data ordinal, karena peringkatnya menunjukkan urutan (1 < 2 < 3 < 4 < 5), tetapi jarak antar nilai mungkin tidak konsisten. Kelebihannya, penafsirannya lebih realistis karena mengakui bahwa skala Likert adalah urutan peringkat, bukan nilai mutlak. Selain itu, ini juga cocok untuk analisis nonparametrik, seperti Uji Kruskal-Wallis atau Spearman. Namun, kekurangannya, pada data ordinal, kita tidak dapat menggunakan analisis parametrik (regresi linier, ANOVA) secara langsung karena asumsi interval tidak terpenuhi. Selain itu, data ordinal biasanya dianggap kurang “kompleks” dalam penelitian.

Kedua, sebagai data interval. Banyak peneliti memperlakukan skala Likert sebagai data interval, dengan asumsi bahwa jarak antar kategori adalah sama. Misalnya, perbedaan antara “Setuju” dan “Netral” dianggap setara dengan perbedaan antara “Netral” dan “Tidak Setuju.” Kelebihannya, kita dapat menggunakan analisis parametrik, seperti ANOVA, regresi, atau analisis faktor, yang lebih kaya informasi. Dan, penggunaan data internal lebih mempermudah interpretasi hasil dalam penelitian kuantitatif. Kekurangannya, terdapat risiko menghasilkan hasil yang bias jika asumsi interval tidak valid.

Dilema dalam Menangani Outliers

Outlier adalah data yang secara signifikan berbeda dari mayoritas data lainnya. Misalnya, jika rata-rata skor tes adalah 70 dengan mayoritas peserta berada di kisaran 60–80, tetapi ada satu peserta dengan skor 5 atau 100, maka skor tersebut disebut outlier.

Pertama, mengeliminasi outliers. Outlier sering kali dianggap “gangguan” karena dapat memengaruhi rata-rata, standar deviasi, atau hasil statistik lainnya. Dengan menghapusnya, analisis menjadi lebih stabil dan representatif untuk mayoritas responden. Selain itu, jika outlier disebabkan oleh kesalahan teknis, seperti salah input data atau error pengukuran, menghapusnya dapat meningkatkan akurasi hasil. Namun, jika outlier mencerminkan realitas yang sebenarnya (misalnya, individu dengan skor ekstrem karena kondisi unik mereka), menghapusnya berarti kita mengabaikan fakta penting yang bisa berkontribusi pada pemahaman fenomena. Dalam beberapa kasus, outlier justru menunjukkan pola baru atau anomali yang relevan untuk penelitian.

Kedua, mempertahankan outliers. Membiarkan outlier dalam data berarti kita menerima data apa adanya. Outlier sering kali mencerminkan variabilitas alami dalam populasi. Misalnya, dalam tes kecerdasan, outlier mungkin adalah individu yang sangat berbakat atau memiliki kesulitan belajar. Outlier dapat membantu peneliti menemukan sesuatu yang tidak terduga, seperti fenomena langka atau kelompok khusus dalam data. Namun, risikonya, outlier yang tidak relevan atau disebabkan oleh kesalahan teknis dapat mengganggu analisis dan menghasilkan hasil yang menyesatkan. Misalnya, dalam regresi linear, outlier dapat menggeser garis regresi sehingga hasilnya tidak lagi mewakili mayoritas data.

Solusi:

Kapan sebaiknya mengeliminasi outliers? Jika outlier disebabkan oleh kesalahan teknis, seperti salah input data atau malfungsi alat, dan jika penelitian berfokus pada mayoritas populasi, dan outlier dianggap tidak relevan.

Kapan sebaiknya mempertahankan outliers? Jika outlier mencerminkan kondisi sebenarnya atau variasi alami dalam populasi dan jika penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi pola atau fenomena baru, termasuk kasus-kasus ekstrem.

Atau, lakukan kompromi. Lakukan transformasi data, menggunakan metode seperti logaritma atau winsorizing untuk mengurangi dampak outlier tanpa menghilangkannya. Atau, lakukan analisis terpisah, yakni analisis data dengan dan tanpa outlier untuk memahami sejauh mana outlier memengaruhi hasil.

Dilema dalam Pengolahan Data Statistik (Pakai Uji Asumsi vs Tanpa Uji Asumsi)

Apakah kita harus memastikan data memenuhi asumsi tertentu sebelum melakukan analisis statistik, atau langsung menggunakan metode yang lebih fleksibel yang tidak memerlukan asumsi ketat?

Pertama, pakai uji asumsi. Beberapa analisis statistik, seperti ANOVA, regresi linier, atau uji-t, memiliki asumsi dasar yang harus dipenuhi, seperti: data terdistribusi normal, varians yang homogen, dan interdependensi antar kelompok. Jika asumsi terpenuhi, analisis yang dilakukan lebih valid dan akurat. Penggunaan uji asumsi juga lebih sesuai dengan metodologi standar dalam penelitian. Namun, menguji asumsi membutuhkan waktu dan upaya tambahan. Jika asumsi tidak terpenuhi, bisa membingungkan apakah sebaiknya transformasi data dilakukan atau beralih ke metode lain.

Kedua, tanpa uji asumsi. Beberapa pendekatan statistik nonparametrik, seperti Uji Mann-Whitney atau Uji Kruskal-Wallis, tidak memerlukan asumsi yang ketat tentang distribusi data. Statistik non parametrik cocok untuk data yang tidak memenuhi asumsi dasar analisis parametrik, serta lebih fleksibel dan sederhana. Namun, hasil analisis mungkin kurang sensitif dibandingkan analisis parametrik. Tidak semua nonparametrik memberikan informasi mendalam yang sama dengan metode parametrik.

Dalam analisis alat ukur, uji asumsi perlu untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalankan prosedur-prosedur seperti analisis reliabilitas, EFA, CFA, dan analisis dengan IRT.

Analisis reliabilitas biasanya diukur menggunakan indeks seperti Cronbach’s alpha, split-half reliability, atau reliabilitas test-retest. Asumsi yang diperlukan: 1) Unidimensionalitas. Skor item harus mencerminkan satu konstruk atau dimensi yang sama. Jika ada lebih dari satu dimensi yang mendasari item, maka Cronbach’s alpha bisa memberikan hasil yang tidak akurat; 2) Homogenitas varians. Reliabilitas internal mengasumsikan bahwa semua item memiliki varian yang serupa dan saling berkorelasi cukup kuat; dan 3) Distribusi data. Meski tidak terlalu ketat, outlier atau data yang terlalu jauh dari distribusi normal dapat memengaruhi reliabilitas.

Solusi jika asumsi tidak terpenuhi: 1) Gunakan analisis tambahan, seperti EFA, untuk memastikan unidimensionalitas, dan 2) Pertimbangkan metode alternatif seperti omega reliability jika Cronbach’s alpha tidak relevan.

Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan untuk menemukan struktur laten dalam data dan mengidentifikasi faktor yang mendasari item. Asumsi yang dibutuhkan: 1) Kecukupan sampel. Jumlah sampel harus cukup besar untuk menghasilkan matriks korelasi yang stabil. Panduan umum: 5–10 responden per item; 2) Korelasi antar aitem. Item harus berkorelasi satu sama lain secara signifikan untuk membentuk faktor yang bermakna. Uji yang digunakan: Bartlett’s Test of Sphericity (mengukur apakah korelasi signifikan) dan Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) (mengukur kecukupan sampel); 3) Linearitas. Hubungan antar item harus bersifat linear, karena EFA mengasumsikan matriks korelasi linear; dan 4) Multivariat normal. Tidak sepenuhnya wajib, tetapi data yang mendekati distribusi normal menghasilkan hasil yang lebih stabil.

Asumsi seperti kecukupan sampel wajib dicek lebih awal untuk memastikan EFA dapat dijalankan dengan hasil yang valid.

Solusi jika asumsi tidak terpenuhi: 1) Jika korelasi rendah, pertimbangkan revisi item, dan 2) Jika sampel kecil, gunakan metode seperti parallel analysis atau simulasi bootstrap.

Confirmatory Factor Analysis (CFA) digunakan untuk mengkonfirmasi struktur faktor yang sudah ditentukan sebelumnya. Asumsi yang diperlukan: 1) Unidimensionalitas dalam faktor. Setiap faktor hanya mengukur satu konstruk; 2) Multivariat normal. Distribusi data yang mendekati normalitas penting untuk estimasi parameter dengan Maximum Likelihood (ML); 3) Independensi sampel. Responden harus memberikan jawaban yang independen; dan 4) Model Fit. Asumsi model fit seperti Chi-Square Test, CFI (Comparative Fit Index), dan RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) harus dipenuhi untuk memastikan model cocok dengan data.

Solusi jika asumsi tidak terpenuhi: 1) Gunakan estimasi alternatif seperti Robust ML atau Weighted Least Squares (WLS) untuk data non-normal, dan 2) Pertimbangkan revisi model dengan menambahkan atau menghapus item.

Item Response Theory (IRT) digunakan untuk mengevaluasi kualitas item berdasarkan hubungan antara kemampuan responden dan probabilitas menjawab item dengan benar. Asumsi yang diperlukan: 1) Unidimensionalitas. Setiap tes atau skala harus mengukur satu kemampuan utama (dimensi); 2) Local Independence. Jawaban terhadap suatu item tidak boleh memengaruhi jawaban terhadap item lainnya setelah dimensi utama diperhitungkan; 3) Model Fit. Data harus sesuai dengan model IRT yang dipilih (1PL, 2PL, atau 3PL). Pengujian model fit biasanya dilakukan untuk memastikan asumsi ini terpenuhi; dan 4) Sampel yang memadai. IRT membutuhkan jumlah sampel yang cukup besar agar estimasi parameter stabil.

Solusi jika asumsi tidak terpenuhi: 1) Gunakan analisis seperti Principal Component Analysis (PCA) atau EFA untuk memastikan unidimensionalitas, 2) Jika local independence dilanggar, evaluasi apakah item terlalu serupa atau terkait secara tematik, dan 3) Pilih model IRT yang lebih sesuai jika model awal tidak cocok (misalnya, beralih dari 3PL ke 2PL).

Idealnya, asumsi memang harus dicek terlebih dahulu sebelum menjalankan analisis, karena asumsi yang tidak terpenuhi dapat memengaruhi validitas hasil dan interpretasi. Namun, apakah asumsi harus diuji lebih awal tergantung pada jenis analisis. Asumsi-asumsi reliabilitas sebaiknya dicek terlebih dahulu, terutama jika alat ukur baru atau belum divalidasi. Jika alat ukur sudah divalidasi di penelitian sebelumnya, asumsi ini bisa lebih fleksibel (boleh tidak dilakukan). Untuk analisis seperti IRT atau CFA, asumsi penting harus diperiksa sebelum analisis, karena asumsi yang dilanggar dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru. Dalam analisis yang lebih eksploratif, seperti EFA, asumsi dapat diperiksa baik sebelum maupun selama analisis.

Dilema antara Reliabilitas dan Validitas

Reliabilitas mengacu pada konsistensi alat ukur. Artinya, jika alat ukur digunakan berulang kali dalam kondisi yang sama, hasilnya harus serupa. Alat ukur yang reliabel memiliki tingkat error yang rendah. Validitas mengacu pada kemampuan alat ukur untuk benar-benar mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Alat ukur yang valid memberikan hasil yang akurat dan relevan dengan tujuan pengukuran.

Sering kali ada trade-off antara meningkatkan reliabilitas dan meningkatkan validitas. Dalam beberapa kasus, meningkatkan salah satu dapat mengorbankan yang lain.

Contoh: Meningkatkan reliabilitas, melemahkan validitas

Jika kita membuat alat ukur dengan item yang sangat seragam (misalnya, pertanyaan yang hampir sama diulang-ulang), reliabilitas mungkin tinggi karena jawabannya konsisten. Namun, validitas bisa menurun karena alat itu mungkin hanya mengukur aspek yang sempit dari suatu konstruk.

Contoh: Meningkatkan validitas, melemahkan reliabilitas

Untuk meningkatkan validitas, alat ukur sering kali perlu mencakup berbagai aspek dari sebuah konstruk. Namun, ini dapat mengurangi reliabilitas karena jawaban responden mungkin lebih bervariasi, dan item-item yang berbeda mungkin tidak selalu konsisten satu sama lain. Misalnya, sebuah kuesioner yang mengukur kepribadian dengan berbagai dimensi (ekstroversi, neurotisisme, dll.) mungkin lebih valid, tetapi jawabannya bisa kurang konsisten antar dimensi.

Solusi:

Pertama, keseimbangan. Dalam praktiknya, pengembang alat ukur berusaha menemukan keseimbangan antara reliabilitas dan validitas. Alat ukur yang ideal adalah yang cukup reliabel untuk memberikan hasil yang konsisten tetapi juga cukup valid untuk mengukur konstruk yang dimaksud.

Kedua, penggunaan yang tepat. Alat ukur dengan reliabilitas tinggi tetapi validitas rendah mungkin cocok untuk tujuan tertentu (seperti screening awal), tetapi tidak untuk diagnosis mendalam.

Dilema Penggunaan Model Rasch atau Item Response Theory (IRT)

Dilema ini dapat terjadi saat kita mengembangkan atau menganalisis alat ukur. Kedua pendekatan, Model Rasch atau IRT, digunakan untuk mengevaluasi kualitas item (pertanyaan) dan kemampuan responden, tetapi memiliki perbedaan signifikan dalam kompleksitas dan hasil informasi.

Model Rasch adalah salah satu jenis model IRT yang paling sederhana dan ketat. Fokus utamanya adalah pada kesesuaian data dengan model. Jika data tidak sesuai, maka Model Rasch menyarankan revisi pada alat ukur atau data tersebut. Model ini hanya mempertimbangkan satu parameter, yaitu tingkat kesulitan item. Semua responden dianggap memiliki probabilitas yang sama untuk menjawab item dengan benar, tergantung pada kemampuan mereka dan tingkat kesulitan item tersebut.

Model Rasch memiliki beberapa keunggulan: 1) Sederhana dan mudah dipahami karena hanya mengandalkan satu parameter (kesulitan item), sehingga analisisnya lebih mudah dilakukan, 2) Data yang sesuai dengan Rasch biasanya dianggap berkualitas tinggi, dan 3) Rasch mengukur kemampuan individu secara independen dari alat ukur dan sebaliknya. Namun, kelemahannya: 1) Karena hanya memperhitungkan satu parameter (kesulitan item), Model Rasch mengabaikan faktor lain, seperti diskriminasi item atau kemungkinan tebak-tebakan. Dengan demikian, model ini tidak cocok digunakan untuk menganalisis alat ukur yang kompleks atau memerlukan analisis lebih kaya.

IRT adalah pendekatan yang lebih luas, dengan model-model yang dapat menggunakan lebih banyak parameter (1PL, 2PL, dan 3PL). IRT memberikan informasi yang lebih kaya tentang karakteristik item, seperti kemampuan diskriminasi dan efek tebak-tebakan. IRT cocok untuk berbagai jenis alat ukur dan populasi, serta dapat digunakan dalam pengujian adaptif komputer (CAT), di mana tingkat kesulitan item dapat disesuaikan dengan kemampuan responden. Kelemahannya, analisis dengan IRT memerlukan perhitungan matematis yang lebih rumit dan data yang lebih banyak untuk analisis. Untuk melakukan ini, dibutuhkan software khusus dan pengetahuan yang lebih mendalam untuk menginterpretasikan hasil.

Solusi:

Pertama, pertimbangan tujuan pengukuran. Jika alat ukur dirancang untuk keperluan sederhana, seperti survei singkat atau tes kecil, Model Rasch mungkin cukup. Sementara, untuk alat ukur yang lebih kompleks, seperti tes kemampuan besar (misalnya, TOEFL), IRT lebih cocok. Kedua, pertimbangan sumber daya. Jika waktu, keahlian, atau perangkat analisis terbatas, Rasch adalah pilihan praktis. Jika sumber daya tersedia dan analisis yang kaya dibutuhkan, IRT menjadi pilihan unggul.fo

Penggunaan Logaritma dalam Rumus dan Fungsi Statistika

Pertama-tama, apa itu rumus dan fungsi?

Rumus dan fungsi adalah dua konsep yang sering digunakan dalam matematika dan ilmu lainnya, tetapi mereka memiliki arti yang berbeda. Rumus adalah pernyataan matematis yang menghubungkan dua atau lebih variabel menggunakan simbol atau operasi matematika, untuk menjelaskan hubungan tertentu antara mereka. Rumus sering kali memberikan cara untuk menghitung sesuatu atau menyelesaikan masalah dalam bentuk persamaan. Sementara itu, fungsi adalah suatu hubungan atau operasi yang menghubungkan setiap elemen dalam satu domain ke elemen tunggal dalam range atau kodomain. Fungsi adalah aturan atau prosedur yang mengubah satu nilai menjadi nilai lain.

Contoh rumus: Rumus kecepatan, rumus luas persegi

Contoh fungsi: Fungsi linear, fungsi kuadrat

Rumus adalah pernyataan atau persamaan yang digunakan untuk menghitung sesuatu atau menggambarkan hubungan. Rumus digunakan untuk menghitung nilai atau menyelesaikan masalah tertentu dan tidak selalu melibatkan konsep input-output yang terpisah. Biasanya rumus berupa persamaan matematis, misalnya L = s^2

Fungsi adalah suatu aturan yang memetakan input ke output. Fungsi digunakan untuk mendefinisikan hubungan antara dua variabel atau lebih. Biasanya berupa notasi fungsi seperti 𝑓(𝑥) atau y=𝑓(𝑥). Fungsi memiliki input (domain) yang dipetakan ke output (range).

Apa itu logaritma?

Logaritma adalah operasi matematika yang merupakan kebalikan (atau invers) dari eksponen. Artinya, logaritma menjawab pertanyaan: “Berapa kali sebuah bilangan dasar harus dikalikan dengan dirinya sendiri untuk mendapatkan angka tertentu?”

Logaritma pertama kali diperkenalkan oleh John Napier (1550–1617), seorang matematikawan dari Skotlandia. Dia mengembangkan konsep logaritma sebagai alat untuk menyederhanakan perhitungan, terutama untuk kebutuhan astronomi dan navigasi. Pada waktu itu, menghitung angka besar secara manual (seperti perkalian dan pembagian) sangat memakan waktu. Napier menciptakan tabel logaritma untuk mempercepat proses ini. Napier menerbitkan buku berjudul Mirifici Logarithmorum Canonis Descriptio (Deskripsi Ajaib tentang Logaritma) yang memperkenalkan konsep logaritma. Logaritma saat ini memiliki beberapa jenis: Logaritma berbasis 10 (log10), logaritma natural (ln) yang berbasis bilangan Euler 𝑒 ≈ 2.718, dan logaritma berbasis umum (logb) di mana 𝑏 > 0 dan 𝑏 ≠ 1.

Pada masa sebelum kalkulator dan komputer ditemukan, logaritma sangat penting karena menyederhanakan perhitungan perkalian, pembagian, eksponensial, dan akar menjadi operasi penjumlahan atau pengurangan.

Logaritma memiliki banyak aplikasi di ilmu matematika, ilmu alam, teknologi, dan ekonomi. Dalam statistik misalnya, algoritma digunakan dalam optimasi (misalnya, Maximum Likelihood Estimation) dan untuk mengatasi masalah angka kecil/besar dalam probabilitas.

Logaritma sangat berguna dalam menyederhanakan perhitungan, terutama dalam bidang seperti navigasi, astronomi, dan ilmu fisika, di mana angka-angka yang terlibat bisa sangat besar atau sangat kecil. Sebelum ada kalkulator atau komputer, logaritma digunakan untuk menghindari perhitungan manual yang rumit dengan mengubah operasi perkalian atau pembagian menjadi penjumlahan atau pengurangan, yang jauh lebih mudah dikelola.

Seperti apa penggunaan logaritma dalam rumus matematika dan statistika?

Logaritma sering digunakan dalam berbagai rumus matematika dan statistik, termasuk dalam SEM (Structural Equation Modeling) dan fungsi likelihood. Logaritma digunakan secara luas karena beberapa alasan.

Menstabilkan perhitungan. Ketika bekerja dengan data dalam bentuk probabilitas, sering kali nilainya sangat kecil (misalnya, 0,000001). Jika kita mengalikan nilai-nilai probabilitas kecil, hasilnya bisa menjadi sangat kecil hingga komputer sulit menghitungnya dengan akurat. Logaritma membantu mengubah perkalian menjadi penjumlahan, sehingga lebih mudah dihitung.

Sifat alami distribusi normal. Dalam statistik, banyak data mengikuti distribusi normal atau mirip normal, yang berbentuk lonceng (bell-shaped curve). Fungsi distribusi normal sering kali memiliki bentuk eksponensial (melibatkan e^x), sehingga logaritma natural (log⁡ e​) menjadi alat yang alami untuk menyederhanakan perhitungan.

Membuat pola linear. Logaritma sering digunakan untuk menyederhanakan hubungan nonlinear (yang sulit dimodelkan) menjadi hubungan linear (yang lebih mudah dipahami dan dihitung).

Mengukur skala “matriks” atau variabel. Dalam fungsi likelihood di SEM, logaritma digunakan untuk menghitung determinant (|X|) dari matriks kovarians. Determinan memberi informasi tentang “volume” dari matriks (ukuran hubungan antar variabel).
Namun, determinan sering kali berupa angka yang sangat besar atau sangat kecil. Logaritma membuat angka-angka ini lebih mudah ditangani.

Mempermudah optimasi. Optimasi parameter (𝜃) dalam fungsi likelihood sering kali melibatkan pencarian nilai maksimum. Logaritma mengubah fungsi yang kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dioptimalkan.

Sifat matematika logaritma yang berguna. Logaritma memiliki sifat-sifat yang sering dimanfaatkan dalam rumus, membuat rumus lebih sederhana dan efisien.

Maximum Likelihood Estimation (MLE)

Apa itu Maximum Likelihood?

Maximum Likelihood (ML) adalah metode estimasi statistik yang digunakan untuk menentukan nilai parameter dalam suatu model probabilistik yang paling mungkin menghasilkan data yang diamati. Konsep ini sangat umum digunakan dalam berbagai analisis, termasuk regresi, analisis faktor, dan pemodelan persamaan struktural (SEM).

Metode estimasi ini dinyatakan dalam fungsi:

L(θ)=P(x1,x2,…,xn ∣θ)

Tujuan dari ML adalah mencari nilai parameter θ/ theta yang memaksimalkan fungsi likelihood L(θ), yaitu membuat data yang diamati paling “mungkin” terjadi. Fungsi likelihood adalah cara untuk menilai “seberapa cocok” nilai parameter (θ) dengan data yang kita miliki. Intinya, ini membantu kita menjawab pertanyaan:

“Jika parameter model adalah θ, seberapa mungkin data yang kita amati terjadi?”

Bagaimana cara fungsi maximum likelihood bekerja dan seperti apa contohnya?

Bayangkan kita sedang mencoba menebak suhu udara di sebuah ruangan, tetapi kita hanya memiliki data berupa ukuran beberapa orang yang memakai jaket di sana.

  1. Kita menebak bahwa suhu θ adalah 20°C.
    • Jika banyak orang memakai jaket tipis, tebakan kita (20°C) mungkin masuk akal, sehingga “cocok” atau likely.
  2. Anda menebak bahwa suhu θ adalah 5°C.
    • Jika orang-orang terlihat memakai jaket tebal, tebakan kita (5°C) juga mungkin masuk akal, jadi ini juga likely.
  3. Namun, jika Anda menebak suhu θ adalah 30°C, dan masih banyak yang memakai jaket tebal, ini tampaknya tidak cocok dengan data. Nilai likelihood untuk θ=30°C akan rendah.

Fungsi likelihood adalah cara kita menghitung “kecocokan” itu secara sistematis.

Fungsi likelihood memiliki tiga komponen sebagai berikut.

Data: Kita memiliki data yang diamati, misalnya x1,x2,…,xn​. Dalam contoh di atas, data kita adalah orang-orang yang memakai jaket (berapa banyak, seberapa tebal jaketnya, dll.).

Model: Kita punya model yang mengatakan bahwa data ini bergantung pada suatu parameter θ. Oarameter θ dalam contoh adalah suhu ruangan.

Likelihood: Fungsi likelihood menghitung kemungkinan data x1,x2,…,xn terjadi jika kita tahu nilai θ.

Dalam bahasa sederhana: “Kalau suhu benar θ, seberapa mungkin kita akan melihat data ini?”

Bagaimana cara menyatakan likelihood? Seperti apa contoh perhitungannya?

Likelihood bukan dinyatakan dalam persen, melainkan dalam bentuk nilai numerik yang menunjukkan seberapa “mungkin” data yang diamati terjadi jika parameter tertentu diberikan. Nilainya tidak harus terletak dalam rentang 0 hingga 1 seperti probabilitas, tetapi lebih besar nilainya, lebih mungkin data tersebut cocok dengan parameter.

Berikut adalah ilustrasinya:

Kita memiliki sebuah koin yang dilempar sebanyak 10 kali. Hasil lemparan adalah: HHHTHHTTHT (H = Head, T = Tail). Total ada 6 Head dan 4 Tail.

Kita ingin mengetahui kemungkinan data ini (6 Head, 4 Tail) terjadi untuk parameter θ, di mana θ adalah probabilitas munculnya Head pada satu lemparan koin.

1. Fungsi Likelihood

Probabilitas setiap hasil lemparan diberikan oleh P(x∣θ)=θk⋅(1−θ)n, di mana:

  • k: jumlah Head (6 dalam contoh ini).
  • n: jumlah Tail (4 dalam contoh ini).
  • θ: probabilitas munculnya Head (parameter yang ingin kita estimasi).

Jadi, likelihood untuk θ adalah:

L(θ)=θ6⋅(1−θ)4

2. Perhitungan Likelihood untuk Nilai θ Tertentu

Misalkan kita mencoba beberapa nilai θ untuk melihat seberapa cocok parameter ini dengan data:

  • Jika θ = 0.5 (koin fair):

L(0.5) = 0.56⋅(1−0.5)4 = 0.015625

  • Jika θ = 0.6 (kemungkinan Head lebih tinggi):

L(0.6) = 0.66⋅(1−0.6)4 = 0.018144

  • Jika θ = 0.8 (kemungkinan Head jauh lebih tinggi):

L(0.8) = 0.86⋅(1−0.8)4 = 0.00065536

3. Interpretasi Likelihood

  • Likelihood lebih tinggi untuk θ = 0.6 (L(0,6) = 0.018144), dibandingkan dengan θ = 0.5 atau θ = 0.8.
  • Ini menunjukkan bahwa data (6 Head, 4 Tail) lebih “cocok” jika probabilitas Head adalah sekitar θ=0.6.

Apa perbedaan likelihood dengan probabilitas?

Probabilitas: Berapa kemungkinan suatu peristiwa terjadi tanpa asumsi tertentu?

Probabilitas adalah tentang prediksi. Kita sudah tahu aturan mainnya (parameter), dan kita ingin memprediksi kemungkinan suatu peristiwa terjadi.

Bayangkan kita memiliki sebuah koin, dan kita tahu bahwa koin ini fair (θ=0.5, peluang Head adalah 50%). Sekarang kita ingin tahu, seberapa besar kemungkinan mendapatkan 6 Head dari 10 kali lemparan? Kita sudah tahu parameter koin, jadi kita menghitung probabilitasnya. Jawabannya adalah sekitar 20,5% (P=0.205).

Jadi, probabilitas adalah tentang memprediksi hasil jika aturan permainan (parameter) sudah diketahui.

Likelihood: Berapa besar kemungkinan data terjadi dengan asumsi parameter tertentu?

Likelihood adalah tentang kecocokan. Kita sudah punya data hasil (misalnya, 6 Head dari 10 lemparan), dan kita ingin tahu aturan permainan (parameter) apa yang paling masuk akal menghasilkan data ini.

Misalnya, kita tidak tahu apakah koin fair atau tidak, jadi kita mencoba berbagai kemungkinan:

  • Jika koin fair (θ=0.5), seberapa cocok data ini? (Likelihoood = 0.015625)
  • Jika θ=0.6 (peluang Head lebih besar), seberapa cocok data ini? (Likelihood = 0.018144)
  • Jika θ=0.8 (koin berat ke Head), seberapa cocok data ini? (Likelihood = 0.00065536)

Ternyata, θ=0.6 menghasilkan nilai likelihood tertinggi. Maka, kita menyimpulkan bahwa probabilitas Head yang paling masuk akal untuk koin ini adalah sekitar 60%.

Jadi, likelihood adalah tentang mencari aturan permainan (parameter) yang paling cocok dengan data.

Analoginya, bayangkan kita adalah seorang detektif. Likelihood: Kita menemukan bukti, dan sekarang kita mencoba mencari tahu siapa pelaku yang paling masuk akal berdasarkan bukti itu. Probabilitas: Kita sudah tahu profil pelaku, dan kita mencoba memprediksi apa yang dia lakukan.

Halo semua!

Menuju 1 Januari 2025, ini waktu yang bagus untuk memulai sesuatu yang bagus: menulis.

Ini adalah website yang akan saya gunakan untuk mendokumentasikan keseluruhan proses belajar, mengajar, meneliti, dan berkontribusi pada komunitas, dengan menuliskannya dalam bentuk esai atau catatan sederhana.

Topik-topik yang akan dibahas kurang lebih seputar bidang ilmu psikologi, statistika, dan metodologi riset, serta mungkin sedikit-sedikit tentang filsafat, agama, dan tasawuf yang menjadi minat saya di luar psikologi dan pembahasan akademik.

Saya tidak menjadikan website ini kanal untuk menyebarkan informasi ilmiah seperti layaknya jurnal ilmiah. Saya tidak begitu ketat dengan referensi, tetapi sebisa mungkin tetap akan menyediakan daftar referensi bagi pembaca yang membutuhkan.

Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Juga, diskusi yang hidup dan menarik sangat saya sambut di sini.

Akhir kata, perkenalkan. Saya Aftina Nurul Husna, dosen di Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang.