Esensi Pemeringkatan Perguruan Tinggi

Beberapa hari lalu, Kompas.com menerbitkan artikel yang sangat menarik tentang problematika pemeringkatan perguruan tinggi global berjudul “Ketika Universitas Terbaik Menolak Pemeringkatan, Mengapa Kita Mengejarnya“. Tulisan ini ditulis oleh Arinafril, Doktor Biogeografi dari Universität des Saarlandes, Saarbrücken, Jerman.

Kejadian yang dibahas adalah keluarnya Universitas Sorbonne, Prancis, dari Times Higher Education Ranking pada tahun 2026. Bukan kali ini saja hal seperti ini terjadi, karena sebelum-sebelumnya, beberapa universitas besar dan kenamaan dunia melakukan hal yang sama, misalnya Columbia University, Utrecht University, Yale Law School, Harvard Medical School, dan Johns Hopkins Medical School.

Sangat menarik untuk mengetahui apa alasan di balik keputusan universitas-universitas di atas.

Pertama, persoalan metodologi. Ada permasalahan serius dalam metodologi ranking yang menggunakan metrik proxy, composite indexing ang menggabungkan pengukuran tidak terkait, dan sistem pembobotan subjektif menciptakan ilusi objektivitas yang menyembunyikan keputusan arbitrer. Metodologi ini mengabaikan dampak lokal/ nasional dari riset perguruan tinggi.

Kedua, terdapat praktik komersialisasi data yang diberikan universitas secara gratis untuk tujuan perangkingan. Data institusional ini dianalisis lagi, dikemas ulang, dan dijual kembali ke institusi, pemerintah, atau korporasi.

Ketiga, praktik perangkingan ini mendistorsi prioritas institusi. Sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan riset, justru dihabiskan untuk membiayai konsultan ranking, akuntan untuk “mengoptimalkan” data, dan administrator yang memanipulasi angka agar peringkat dapat meningkat.

Keempat, rangking yang dilakukan berdasarkan output tahunan menciptakan tekanan jangka pendek yang tidak realistis bagi institusi untuk berkerja, sementara berbagai kinerja memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terwujud. Hal ini mendorong praktik-praktik tak etis, seperti publikasi massal tanpa substansi dan eksploitasi mahasiswa untuk memproduksi artikel ilmiah.

Empat faktor di atas dinilai bertentangan dengan visi, misi dan nilai universitas-universitas tersebut. Universitas-universitas ini lebih memilih untuk mendefinisikan diri mereka berdasarkan kontribusi nyata terhadap pengetahuan dan masyarakat, bukan angka dalam tabel peringkat.

Yang menjadi persoalan adalah universitas-universitas di Indonesia justru bergerak ke arah yang berbeda dari hal yang mulia ini. Setiap universitas dituntut dan berlomba-lomba untuk internasionalisasi, salah satunya dengan mendapatkan tempat dalam pemeringkatan global. Di Indonesia, tidak ada sikap kritis di kalangan akademisi terhadap metodologi perankingan global, apakah program-program semacam ini layak untuk diikuti. Apakah kita memiliki pendirian kita sendiri?

Prioritas pada ranking (termasuk peringkat akreditasi nasional) juga menyebabkan institusi dan pengelola program mengorbankan integritas. Memanipulasi data adalah praktik yang umum, untuk menghasilkan tampilan data yang bagus dan “menunjukkan kemajuan dan keunggulan”. Dosen dituntut kinerja yang tidak masuk akal, seperti publikasi internasional bahkan bagi dosen yang masih baru dan belum dituntut tanggung jawab setinggi itu, di situasi di mana dana riset sangat minim dan mentorship serta kolaborasi riset sangat lemah. Tidak sedikit dosen yang lantas memanfaatkan skripsi-skripsi mahasiswa agar dapat memiliki kinerja publikasi. Mahasiswa benar-benar menjadi “mesin” publikasi, padahal mahasiswa tidak wajib publikasi.

Di perguruan tinggi, dosen menyadari bahwa praktik semacam ini tidak benar. Namun, ada tekanan dalam iklim perguruan tinggi untuk terus berkinerja, apapun caranya, yang penting tercatat sebagai data dan menunjang pemeringkatan. Prinsipnya, “yang penting ada dulu”, kualitas bisa nanti. Budaya mutu kita masih sebatas itu, untuk mengejar pengakuan melalui pemeringkatan.

Sangat menggugah mengetahui sikap universitas-universitas kelas dunia terhadap pemeringkatan. Keberanian untuk melawan sistem semacam itu amat sangat langka, sehingga amat mengagumkan. Keberanian itu tentu berakar dalam kesadaran akan identitas universitas dan rasa tanggung jawab insititusi pendidikan untuk mengawal proses akademik, pengembangan keilmuan, dan kontribusi terhadap masyarakat yang benar-benar bermakna. Di Indonesia, sangat sedikit ada diskusi tentang hal-hal semacam ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: