Tag Archives: metodologi

[Terjemah] Metamodernisme dalam Psikologi

Judul Asli: Метамодернизм в психологии: новые методологические стратегии и изменения субъективности (Metamodernisme dalam Psikologi: Strategi Metodologis Baru dan Perubahan Subjektivitas)

Penulis: M. S. Guseltseva

Tahun: 2018

DOI: https://doi.org/10.21638/11701/spbu16.2018.402


Abstrak

Transformasi dunia modern, yang dipahami melalui gerakan baru dalam filsafat dan seni, berfungsi sebagai alat analisis budaya dan psikologis terhadap subjektivitas manusia yang terus berubah. Modernisme didasarkan pada rasionalitas klasik, yang menghasilkan logo-sentrisme dan wacana universal. Hingga abad ke-20, perkembangan manusia didampingi oleh optimisme sosial, keyakinan pada keteraturan dunia, kemajuan, dan akal. Postmodernisme muncul sebagai vaksin yang menyadarkan dari totalitas wacana, menghidupkan kembali prinsip keraguan, dan menyerukan akal kritis. Namun, dalam menganalisis psikologi masa kini, wacana postmodernisme telah usang karena gagal menangkap perubahan terkini. Sebagai gantinya, metamodernisme muncul dengan pendekatan yang lebih halus dan akurat terhadap transformasi dunia modern. Berbeda dengan postmodernisme, metamodernisme tidak berupaya untuk menafsirkan ulang, melainkan mengalami kembali dunia secara menyeluruh. Jika postmodernisme dikritik karena anti-historis, di mana wacana total digantikan oleh hipertekstualitas, metamodernisme justru peka terhadap konteks sosial-budaya yang terus berubah, berakar dalam sejarah dan budaya, serta memahami dirinya sebagai fenomena budaya.

Artikel ini menganalisis strategi metodologis baru dalam ilmu psikologi yang ditawarkan oleh metamodernisme, yang mencerminkan osilasi antara dua kutub—modernisme dan postmodernisme—dengan secara bersamaan menggunakan pandangan dan praktik keduanya. Prinsip dasar strategi ini adalah osilasi, yang secara metodologis berarti integrasi pengetahuan yang harmonis sambil melepaskan diri dari tradisi epistemologis yang kaku dan statis. Dengan melampaui konstruksi yang linear dan satu dimensi, metamodernisme menggunakan setiap pendekatan secara situasional, dalam konteks lokal, dan berdasarkan kasus tertentu, menjadikan keragaman konseptual sebagai alat penelitian yang fleksibel. Cara pandang metamodernis membentuk citra baru tentang manusia. Karakteristik dan fenomena psikologis metamodernisme digambarkan dalam berbagai konsep seperti virtualitas, interaktivitas, digitalitas, prioritas terhadap nilai ekspresi diri, kehidupan sehari-hari, meningkatnya kepercayaan, ketulusan, dan solidaritas. Ciri-ciri ini, yang diungkapkan dalam berbagai teori, perlu dipahami sebagai suatu pandangan dunia yang utuh pada era ini. Sebagai strategi metodologis, metamodernisme adalah respons spontan terhadap tantangan kompleksitas, multidimensionalitas, dan transisi dunia modern.

Kata kunci: metodologi, psikologi modern, postmodernisme, metamodernisme, subjektivitas, transdisiplinaritas.

 

Ilmu pengetahuan modern semakin meninggalkan batas-batas disiplin ilmu yang terpisah. Dalam arus wacana transdisipliner[1] ini, strategi penelitian baru dalam psikologi sering muncul di persimpangan antara pengetahuan ilmiah khusus, sosial-humaniora, dan filsafat umum. Para peneliti dari berbagai bidang tertarik pada karakteristik zaman kita, seperti keragaman gaya hidup individu, konstruksi identitas, hibridisasi konsep teoretis, serta rangkaian pergeseran epistemologis (turns). Selain itu, fenomena seperti polarisasi[2] dan antinomi[3] juga menarik perhatian, termasuk kontradiksi antara perubahan yang cepat dengan tren konservatif yang defensif, serta pembaruan pengetahuan yang terus-menerus diimbangi oleh percepatan usangnya informasi yang diperoleh.

Tujuan artikel ini adalah untuk mengkaji kecenderungan metodologis yang berkembang seiring dengan pergeseran epistemologis dalam filsafat dan ilmu sosial-humaniora, serta mengeksplorasi potensi pengaruh metamodernisme terhadap perkembangan penelitian psikologi. Sejak awal abad ke-21, filsafat dan metodologi ilmu telah banyak membahas tentang gerakan intelektual yang menggantikan postmodernisme, dengan metamodernisme sebagai salah satu yang paling menonjol. Namun, dalam psikologi Rusia, hingga saat ini masih sedikit kajian yang menganalisis kecenderungan metodologis modern secara keseluruhan, serta cakupan dan keterbatasan wacana metamodernis secara khusus.

Salah satu pionir dalam mempertimbangkan pengembangan psikologi berbasis platform budaya metamodernisme adalah A. A. Grebenyuk. Dalam artikel karya Y. B. Turusheva, strategi metodologis metamodernisme ditelusuri melalui praktik yang belum sepenuhnya direfleksikan dalam pendekatan naratif, yang menggabungkan posisi penelitian teori modernis dan postmodernis, mempertimbangkan peran subjektivitas dan wacana, serta hubungan antara determinasi diri manusia dan pengaruh norma budaya terhadap perkembangannya.

Selain R. van den Akker dan T. Vermeulen, yang dianggap sebagai perintis strategi metodologis ini, kontribusi penting dalam diskusi tentang metamodernisme juga diberikan oleh L. Turner, penulis Manifesto Metamodernis, serta S. Abramson, yang merangkum sepuluh prinsip dasar metamodernisme. Artikel-artikel utama, terjemahan, wawancara, dan berbagai materi terkait tema ini dapat ditemukan dalam jurnal elektronik berbahasa Rusia Metamodern.

Salah satu temuan metodologis utama dalam metamodernisme adalah konsep osilasi—sebuah pendekatan yang memahami kompleksitas realitas melalui gerakan intelektual “mengayun” (seperti spiral pendulum, di mana gerakan bolak-balik menciptakan lingkaran makna dan interpretasi yang semakin berkembang, menghasilkan suatu gestalt baru). Dalam artikel Y. B. Turusheva yang telah disebutkan, prinsip ini ditunjukkan secara efektif melalui penggabungan berbagai posisi epistemologis dalam pendekatan naratif, yang mengintegrasikan analisis determinasi diri subjek, otoritas atas kehidupannya sendiri, serta pengaruh determinan eksternal, termasuk pengalaman pra-linguistik dan beragam wacana sosial.

Hasrat untuk mengintegrasikan konsep dan paradigma, mengatasi pendekatan yang sepihak dan dikotomis, serta menggabungkan hal-hal yang tampaknya tidak dapat disatukan—itulah inti pencarian metodologi modern dalam menganalisis realitas sosial-budaya dan psikologis yang semakin kompleks. Tentu saja, kecenderungan serupa yang tidak selalu menjadi fokus refleksi metodologis telah lama hadir sebelum munculnya metamodernisme sebagai tradisi pemikiran laten. Dialektika klasik Yunani, logika Taoisme, serta metode antinomi dari I. Kant—semuanya merupakan strategi intelektual yang berusaha memahami fenomena yang sangat kompleks dalam keseluruhannya dan keutuhannya. R. Martin, dalam mengembangkan gagasan tentang pemikiran integratif, mengutip kata-kata F. S. Fitzgerald sebagai epigraf bukunya: “Ujian terbaik bagi pikiran yang luar biasa adalah kemampuannya untuk secara bersamaan mempertahankan dua gagasan yang bertentangan dalam pikirannya, sambil tetap mampu berfungsi dengan baik.” Dengan demikian, prinsip untuk secara bersamaan memahami posisi-posisi yang saling bertentangan tidak hanya sudah ada sebelum dan di luar metamodernisme, tetapi juga menunjukkan meningkatnya kompleksitas kognitif dalam menganalisis suatu masalah. Dari perspektif ini, kemunculan metamodernisme sebagai strategi metodologis yang merespons pertumbuhan keberagaman, kompleksitas, dan transisi dalam dunia modern merupakan tahap evolusi pengetahuan ilmiah yang logis dan wajar.

Psikologi antara Postmodernisme dan Metamodernisme

Pada pergantian abad ke-20 dan ke-21, dalam psikologi secara alami berkembang tradisi untuk memperhitungkan perubahan zaman dalam penelitian. Psikologi tidak lagi mereduksi objek kajiannya hanya pada psikis, aktivitas, dan subjek, tetapi memahami psikis dalam dinamika aktivitas, kepribadian dalam sejarah dan budaya, serta identitas dalam konteks perubahan sosial-budaya. Lebih dari itu, dengan semakin kompleksnya analisis, psikologi berupaya mempertimbangkan manusia secara holistik—sebagai individu yang hidup dan bertindak baik dalam lingkungan sehari-hari yang terdekat maupun dalam skala dunia yang lebih luas.

Salah satu arah utama dalam pencarian metodologis psikologi Rusia adalah pendekatan yang berusaha mempelajari sifat cair dan transisi dari realitas modern. Namun, sebagian besar konsep yang menggambarkan zaman dan perubahannya tidak lahir dari dalam psikologi itu sendiri, melainkan berasal dari filsafat, metodologi, studi budaya, dan ilmu sosial-humaniora lainnya. Transformasi kontemporer paling cepat dan mendalam ditangkap oleh arus dan gerakan dalam seni, yang berusaha mengartikulasikan perubahan ini melalui konsep seperti “digimodernisme,” “transmodernisme,” “performatisme,” “altermondisme,” dan “hipermodernisme.” Setiap aliran ini, layaknya kaca pembesar, menyoroti dan menetapkan karakteristik tertentu dari zaman kita.

Postmodernisme, sebagai tonggak utama dalam transformasi budaya-psikologis di akhir abad ke-20, merefleksikan serta menganalisis fenomena seperti ketidakstabilan, perubahan yang cepat, kelabilan, fluiditas, dan sensitivitas terhadap konteks. Sejak 1990-an, diskusi dalam ilmu pengetahuan internasional berkembang mengenai dampak postmodernisme terhadap psikologi. Meskipun tidak menawarkan konsep psikologi baru yang signifikan, pengaruh epistemologisnya terutama berupa kritik postmodernis, penguatan prinsip relativisme, skeptisisme, dan keraguan metodologis.

Namun, saat ini, jika kita melihat postmodernisme dari perspektif historis, dapat disadari bahwa pengaruh dan kerja intelektualnya memiliki jeda waktu sebelum efeknya benar-benar terasa. Setelah postmodernisme tidak lagi dominan, warisannya justru muncul dalam konsep-konsep baru tentang subjektivitas manusia yang terus berubah. Hal ini ditegaskan oleh N. B. Mankovskaya dalam komentarnya: “Mode postmodernisme telah berlalu, tetapi fenomenanya tetap ada.” Terpadu dalam keseharian, postmodernisme sulit untuk dikenali secara eksplisit, tetapi masih tetap berfungsi dalam psikologi—sebagai konteks kehidupan bagi perkembangan subjek, sebagai metodologi untuk memahami keseharian dan realitas kontemporer.

Tidak begitu jelas terlihat kecenderungan produktif postmodernisme, seperti refleksivitas yang berlebihan dan sifat sintetisnya, serta evolusinya ke dalam bentuk-bentuk baru. Dalam kaitan ini, penting untuk mempertimbangkan bahwa dalam ruang intelektual dan sosio-kultural yang mengelilingi psikologi, telah muncul banyak konseptualisasi post-postmodernisme (istilah ini digunakan sebagai sebutan umum untuk aliran-aliran yang menggantikan postmodernisme).

Kebutuhan akan pembaruan intelektual dalam penelitian tentang manusia serta antisipasi terhadap transformasi subjektivitas dan era modernnya tercermin dalam konsep proteisme yang dikemukakan oleh M. N. Epstein. “Saya akan mendefinisikan pola pikir awal abad XXI sebagai ‘proto-’ (dari bahasa Yunani protos — pertama, awal, dini, pendahuluan). Proto- adalah kesadaran rendah hati bahwa kita hidup di awal peradaban yang tidak diketahui… bahwa semua pencapaian gemilang kita hanyalah bayangan lemah, awal yang masih kasar dari apa yang akan dihasilkan oleh teknologi informasi dan bioteknologi di masa depan” [23].

Istilah yang ditemukan dengan tepat ini mencerminkan berbagai makna: menentang prefiks post-— mengarah ke masa depan yang tidak pasti daripada sekadar merangkum masa lalu; keadaan yang masih belum terbentuk dan bersifat sketsa; sifat kontradiktif yang menggabungkan unsur embrionik dan arkaik (“kita adalah embrio peradaban masa depan, dan pada saat yang sama kita adalah peninggalan tertua dari peradaban itu” [23]); prinsip transisi yang merujuk pada figur mitologis Proteus; serta sifat yang “bergerak dan mengalir, amorf dan polimorf” [23].

Konsep performatism yang telah disebutkan sebelumnya merupakan konseptualisasi oleh R. Eshelman, yang menyoroti masalah pelestarian identitas dalam realitas yang terus berubah. Ia mencatat adanya keterputusan antara objek dan maknanya (hari ini kita dapat membuat generalisasi metodologis yang lebih luas: dalam realitas yang berubah, berbagai hal sering kali bukan seperti yang tampak). Ia juga mengidentifikasi ciri utama era baru ini: sintesis antara visualitas dan keaktoran, di mana argumen dan bukti digantikan oleh presentasi [18].

Dalam transmodernisme (transmodernism), perhatian difokuskan pada perpaduan antara modernisme dan postmodernisme dalam menggambarkan identitas kompleks yang harus menemukan tempatnya dalam dunia global [17]. Ide kunci dalam automodernitas (auto-modernity) adalah adanya antinomi antara otonomi individu dan otomatisasi ruang kehidupannya [19].

Sementara itu, hipermodernisme (hypermodernism) berusaha untuk mencirikan masyarakat yang dinamis, fleksibel, dan mengalir, yang tidak lagi dapat diatur dengan prinsip-prinsip struktural modernitas yang sudah dikenal. Dalam hal ini, kehidupan sehari-hari berkembang dalam ketegangan antara, di satu sisi, kebiasaan konsumsi berlebihan dan hedonisme, serta di sisi lain, kecemasan implisit yang dipicu oleh kehidupan dalam dunia yang kehilangan tradisi dan dipenuhi ketidakpastian masa depan [17, hlm. 156–170].

Digimodernisme (digimodernism, digital modernism — modernisme digital) menekankan peran internet dalam transformasi era modern dan dampaknya terhadap dunia manusia dalam lingkungan digital. Dalam konseptualisasi A. Kirby, teknologi informasi secara radikal mengubah subjektivitas, kesadaran, dan aktivitas manusia, serta konsep tentang penulis dan pembaca (menghapus batasan), konsep tentang teks (efemeritas, ketidakstabilan, perubahan seiring waktu, format ringkas yang diekspresikan dalam tweet dan SMS), praktik interaksi dengan teks, serta aktivitas penonton yang ingin memengaruhi karya seni dan berpartisipasi dalam konstruksi realitas [15]. Tekstualitas baru ini bersifat terbuka, situasional, labil, kabur, dan memiliki batasan yang tidak jelas. Namun, awalnya, Kirby menggunakan istilah pseudomodernisme untuk menyoroti aspek negatif tertentu dari digimodernisme [16]. Konsep pseudomodernisme menyoroti karakteristik zaman yang telah berubah, seperti ketidaktahuan, fanatisme, dan kecemasan. Jika modernisme dalam perspektif psikologis dikaitkan dengan neurosis, dan postmodernisme dengan narsisme serta ironi, maka pseudomodernisme ditandai oleh fenomena seperti imitasi (penggantian realitas dengan hoaks atau simbol) dan keadaan trans. Menurut Kirby, internet, komunikasi seluler, dan televisi interaktif merampas kemampuan manusia untuk berkonsentrasi dan berpikir mendalam [16]. Kedua konseptualisasi ini (pseudomodernisme dan digimodernisme) dalam satu sudut pandang menampilkan interpretasi dengan lensa pesimistis dan optimistis terhadap perubahan yang sedang terjadi (masing-masing berkaitan dengan nilai kelangsungan hidup dan nilai perkembangan—mengacu pada terminologi R. Inglehart [24]).

Dualitas ini tidak mengherankan. Perubahan negatif dalam budaya dan transformasi lingkungan yang familiar serta nyaman bagi manusia adalah hal pertama yang mencolok. Namun, dengan berjalannya waktu, muncul pemahaman rasional bahwa sesuatu yang baru dan berubah tidak selalu identik dengan sesuatu yang negatif. Misalnya, berakhirnya dunia kehidupan yang biasa tidak berarti runtuhnya peradaban. Identitas manusia secara bertahap menyesuaikan diri dengan perubahan, dan refleksivitas yang meningkat (kesadaran serta kecakapan metodologis) menjadi cara untuk menghadapi kehidupan dalam lingkungan informasi yang baru secara fundamental. Bagi konsumen budaya informasi, lebih mudah untuk mengidentifikasi potensi risiko dan ancaman daripada diarahkan pada perkembangan. Namun, bagi individu dan aktor sosial, produksi simulakra, hoaks, dan fenomena post-truth yang mengkhawatirkan justru memiliki efek samping berupa pelatihan berpikir kritis. Dengan demikian, generasi muda yang bersosialisasi dalam budaya informasi secara konstruktif memanfaatkan peluang perkembangan yang ditawarkannya dan secara spontan mengembangkan etika yang sangat berbeda dari orang tua mereka yang terbiasa menonton program televisi. Namun, hal ini tidak menyebabkan konflik klasik antara “orang tua” dan “anak-anak”, melainkan menciptakan heterogenitas dan ketidakhomogenan dalam era modern [25]. Proses serupa juga memengaruhi kesadaran penelitian itu sendiri, di mana dalam beberapa dekade terakhir, asumsi nilai dalam studi tentang lingkungan digital telah berubah—dari fokus pada ancaman, risiko, dan aspek keamanan menuju eksplorasi perkembangan dan kemungkinan baru bagi manusia.

Nicolas Bourriaud, seorang filsuf Prancis yang juga mengkurasi pameran seni kontemporer, mengembangkan konsep altermodernisme (altermodern, altermodernisme, altermodernity—modernisme alternatif). Gagasan utamanya adalah pencampuran dan penerjemahan epistemologis terhadap nilai-nilai budaya, serta “reboot” budaya. Ia membahas problematika antinomi modernitas dalam kategori unifikasi dan identifikasi, di mana uniformitas produksi massal berpadu dengan keunikan warna lokal. Menurut Bourriaud, tantangan modernitas tidak dapat dijawab dengan solusi global tunggal, melainkan dengan banyak respons spesifik terhadap situasi tertentu—suatu “kepulauan reaksi lokal.” Ia menunjukkan bahwa linearitas sedang digantikan oleh model labirin, dan keraguan bergeser menjadi ketegasan dalam bertindak, yang mengarah pada sesuatu yang baru.

Bourriaud memperkenalkan konsep “kreolisasi” (creolisation), yang mengacu pada kecenderungan menuju pencampuran universal. Pencampuran dan pergeseran menjadi ciri utama era baru. Ia juga menggunakan istilah Prancis “radicant”, yang meskipun terdengar mirip dengan “radikal,” justru memiliki makna yang berlawanan: keterikatan pada akar sekaligus gerakan maju layaknya tanaman ivy yang terus menjalar. Bourriaud menekankan pentingnya temporalitas: jika ruang geografis telah dieksplorasi hampir sepenuhnya oleh manusia, maka waktu masih menjadi dimensi yang belum terjelajahi. Altermodernisme menciptakan situasi perbatasan, di mana heterogenitas terwujud sebagai kumpulan temporalitas yang saling terhubung. Dalam praktik seni kontemporer, pendekatan jaringan menjadi metodologi laten, di mana proyek-proyek dikerjakan oleh kumpulan individu yang kemudian berpencar dan beralih ke proyek lain setelah tugas mereka selesai. Jika dalam konsep masyarakat informasi figur intelektual adalah yang utama, maka dalam konsep Bourriaud, senimanlah yang menjadi pusat, karena eksistensi di era modern berarti menjadi seorang nomad yang bergerak melintasi berbagai dunia budaya. Altermodernisme memperkuat mobilitas manusia, memungkinkan perlintasan batas-batas yang beragam serta menciptakan dunia yang berlapis-lapis dengan berbagai konfigurasi ruang dan waktu yang saling bersinggungan [27; 28].

Sebagai kesimpulan dari tinjauan singkat mengenai aliran yang menggantikan postmodernisme, dapat dilihat beragamnya konstruksi metaforis yang menyoroti transformasi modernitas. Hampir semua pendekatan menekankan situasionalitas, antinomi, kompleksitas, mobilitas, pergeseran konseptual, dan pencampuran. Namun, ekspresi paling jelas dari tren baru ini adalah metamodernisme, yang kami anggap sebagai sebuah epistemologi yang lahir sebagai respons terhadap tantangan kompleksitas dan keragaman dunia modern [12].

Metamodernisme dalam Filsafat dan Psikologi: Jawaban terhadap Tantangan Multidimensionalitas dan Transitivitas Dunia Modern

Para pelopor dalam konseptualisasi metamodernisme adalah filsuf Belanda T. Vermeulen dan R. van der Akker, yang menyatakan bahwa metamodernisme adalah gaya budaya umum pada zaman ini, yang mencerminkan ketegasan generasi intelektual baru dalam mengatasi krisis modernitas [2; 3]. “Dalam metamodernisme… berakhir sudah perasaan stabilitas postmodernis dan kemajuan permanen. Kita bergerak ke arah yang belum sepenuhnya kita ketahui, tetapi yang mempertaruhkan banyak hal, baik itu masalah ekonomi, bencana ekologis, atau kecenderungan fasis di banyak masyarakat Barat serta meningkatnya populisme sayap kanan. <…> Sejarah kembali bergerak maju, semuanya berada dalam keadaan fluktuasi, gerakan konstan, kegoyahan—segala sesuatu yang tampak akrab dan stabil bagi kita, semua yang telah kita capai atau ciptakan” [29].

Metamodernisme menangkap perasaan kelelahan terhadap modernitas, dengan tuntutan umum akan perubahan yang diekspresikan dalam ekstremisme baik populisme sayap kanan maupun radikalisasi gagasan kiri. Namun, refleksi tentang metamodernisme segera menghadapi masalah metodologis—tidak adanya “istilah yang jelas… alat naratif yang diperlukan atau keterampilan diskursif untuk menggambarkan bagaimana kita ingin melihat masa depan kita” [29]. Meskipun demikian, epistemologi metamodernisme adalah kerangka konseptual integratif yang tepat untuk struktur jaringan yang tidak terorganisir, pemikiran melalui antinomi, epistemologi kompleksitas, dan laten. Strategi utama metamodernisme adalah kombinasi antara kemajuan dan osilasi (“Kita harus maju dan berayun” [8]). Seperti pendulum, metamodernisme menyeimbangkan antara modernisme dan postmodernisme, menjaga ketegangan kreatif di antara polaritas ini. Kronotop metamodernisme secara bersamaan tertata dan tidak tertata (mengacu pada “kucing Schrödinger”). Menurut R. van der Akker, inti dari dialektika metamodernisme adalah “dalam osilasi, dalam kegoyahan yang tak henti-hentinya dan dalam melampaui posisi yang stabil” [29].

Metamodernisme adalah strategi intelektual yang mengubah prinsip “atau/atau” menjadi prinsip “dan/dan” (bandingkan dengan: [11]), di mana persepsi simultan terhadap kontradiksi dicapai melalui gerakan osilasi, pergerakan bolak-balik. Bukan memilih salah satu kutub, melainkan memahami denyut dunia, di mana ketegangan antinomi adalah norma kehidupan.

Dalam konteks ini, metamodernisme menawarkan pandangan baru tentang hubungan antara teori dan praktik dalam psikologi, integrasi dan diferensiasi pengetahuan, serta orientasi ilmu pengetahuan alam dan humaniora. Prinsip ketidakberesan menggambarkan prospek osilasi yang tak berujung dalam proses perkembangan, tetapi setiap kali, melalui upaya kreatif, muncul produk situasional yang konkret. Di sini, prinsip desentralisasi (swaketeraturan) dan aktivitas kreatif subjek, yang sudah terlihat dalam postmodernisme, semakin diperkuat: “Terjadi pertumbuhan disiplin psikologis. Pelemahan pembatasan normatif eksternal… mengarah pada peningkatan kebutuhan akan disiplin diri, menggunakan mekanisme internal dan mencari cara yang sesuai untuk melaksanakan disiplin diri ini” [30]. Satu osilasi saja, menahan ketegangan intelektual dari kontradiksi, tidak cukup; diperlukan upaya sintesis kreatif yang menyerukan aktivitas subjek. Dalam proses osilasi yang intens, subjek terpaksa menciptakan sesuatu yang baru. Dengan demikian, kreativitas dan kemampuan untuk menyintesis berbagai ide yang berbeda menjadi persyaratan utama bagi kompetensi manusia dalam realitas metamodernisme. Jika tantangan postmodernisme adalah melepaskan diri dari totalitas wacana yang melingkupi kesadaran, maka metamodernisme adalah organisasi diri dari aktivitas kreatif subjek dan sosialisasi melalui pengatasan antinomi serta produksi produk intelektualnya sendiri.

Psikologi manusia, yang terbiasa dengan hukum pengecualian terhadap kemungkinan ketiga, mengalami kesulitan dalam menangani kompleksitas kognitif ketika harus memahami berbagai tingkat realitas secara bersamaan. Subjek harus berosilasi, berayun, dan mengubah fokus intelektualnya, seperti dalam gambar Gestalt “kelinci atau bebek.” Namun, gambar tersebut hanya menawarkan dua kemungkinan persepsi, sedangkan strategi metodologis metamodernisme bertujuan untuk membangun pemahaman yang utuh, multidimensi, dan menyeluruh (termasuk pendekatan transdisipliner), dengan tetap menyadari bahwa mempertahankan keseluruhan pemahaman dalam dinamika perubahan yang cepat adalah sebuah tantangan.

Ilustrasi pemikiran kompleks dalam mengatasi antinomi dapat ditemukan dalam ilmu sosial, di mana perkembangan masyarakat informasi mengungkap bahwa negara totaliter (seperti yang digambarkan oleh George Orwell dalam konsep “Big Brother”) dan negara terbuka (open government yang beroperasi dengan open data) sama-sama berfungsi berdasarkan prinsip transparansi. Kedua jenis negara ini, yang sebelumnya dianggap bertentangan—yang satu berbasis kontrol total, ketidakpercayaan, dan sentralisasi, sedangkan yang lain berdasarkan transparansi umum, kepercayaan, dan pemerintahan sendiri—ternyata merupakan bagian dari satu proses informasi-teknologi yang sama, di mana polarisasi menjadi kabur. Dalam realitas modern, warga negara (subjek) menjadi transparan bagi negara, korporasi, dan media sosial, tetapi pada saat yang sama, negara, korporasi, dan media sosial juga menjadi transparan bagi warga negara. Dengan kata lain, transparansi di sini adalah gerakan osilasi yang saling terkait (seperti dalam prinsip lingkaran hermeneutika Friedrich Nietzsche: “Semakin dalam seseorang menatap ke dalam jurang, semakin dalam jurang itu menatap balik ke arahnya”). Semakin intens negara dan korporasi mengumpulkan informasi pribadi warga negara, semakin besar pula akses warga terhadap informasi tentang korporasi dan negara itu sendiri.

Dalam perspektif metodologis, antinomi dalam kehidupan sehari-hari ini—kesatuan dari proses yang tampaknya berlawanan—adalah contoh dari transdisiplinaritas yang spontan, suatu jenis pemikiran metodologis baru yang bersifat sintetik dan kompleks, yang menggabungkan perspektif holistik dan analitis dalam memahami realitas kehidupan saat ini. Dalam psikologi, hal ini tercermin dalam antinomi antara sosialisasi dan individualisasi, universalitas dan keunikan: semakin global dunia ini, semakin intens proses individualisasi manusia di dalamnya. Dengan demikian, kita dapat merumuskan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran sintetik—menuju pemahaman holistik melalui antinomi. Multidimensionalitas dan situasionalitas dalam analisis kehidupan sehari-hari, metode dan metodologi campuran, serta “jembatan antarparadigma” semuanya merupakan manifestasi epistemologis dari tahap metamodernisme dalam psikologi.

Dalam psikologi, metamodernisme menjadi alat analisis subjektivitas yang lebih halus, menciptakan konstruksi analitis yang menunjukkan bagaimana dunia yang tampak dapat dikonfigurasi ulang setiap saat dengan cara yang berbeda. Ia mengungkap lapisan-lapisan tersembunyi dalam budaya informasi saat ini, mengidentifikasi heterogenitas kesadaran yang berada dalam modernitas sekaligus berakar dalam beragam era historis. Meskipun larut dalam masa kini, metamodernisme adalah kandungan laten dari modernitas, tetapi tidak mengarah ke masa lalu dalam konteks rekonstruksi, melainkan ke masa depan dalam konteks prediksi dan antisipasi. Manifestasi metamodernisme yang samar dan tidak kentara perlahan-lahan mengubah identitas kita. Namun, baik bagi masyarakat umum maupun bagi para peneliti, sulit untuk mengenali perubahan yang sedang berlangsung: apa yang terlihat jelas dalam perspektif historis sering kali tampak kabur dan tidak pasti dalam realitas modern. Inilah mengapa konsep filosofis dan humaniora, serta gerakan seni baru, berfungsi sebagai lensa yang membantu kita melacak transformasi tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari kita.

Contoh dari konsep yang menangkap perubahan saat ini dan dipahami sebagai fenomena metamodernisme meliputi:

  • Keikhlasan baru (New sincerity)—melampaui naivitas ideologis modernisme serta ironi dan skeptisisme sinis postmodernisme.
  • Rasionalitas baru (New rationality)—kembali pada rasionalitas ilmiah dengan mempertimbangkan kritik terhadapnya.
  • Post-historiografi (Posthistory)—pemahaman dan penciptaan sejarah baru, di mana ironi digunakan untuk menyoroti masalah aktual dalam modernitas.
  • Neo-romantisisme pragmatis (Pragmatic neoromanticism)—bukan sekadar peralihan dari budaya utilitarianisme ke budaya martabat, tetapi pemanfaatan produktif dari kedua budaya tersebut.
  • Post-truth (Post-kebenaran)—mendorong individu untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka sendiri.
  • Transparansi dan serangkaian fenomena “trans-” lainnya, seperti transgender (melampaui batas gender), transgresi (melanggar atau mengatasi batasan), transhumanisme (memperluas kapasitas psikologis dan fisik manusia melalui kemajuan sains dan teknologi), transmisi, dan sebagainya.

Cara pandang metamodernisme menawarkan perspektif yang lebih tenang, percaya diri, dan optimis terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Dalam jangka pendek perencanaan kehidupan modern—terutama bagi generasi muda—metamodernisme melihat adanya makna adaptif yang positif. Dalam dunia yang berubah dengan cepat dan tidak dapat diprediksi, rencana jangka panjang bisa menjadi kaku dan tidak relevan secara evolusioner: seseorang tidak dapat merencanakan kejutan atau mengatur spontanitas dan kreativitas. Dalam konteks ini, memperpendek cakrawala perencanaan dan memusatkan perhatian pada masa kini adalah respons psikologis yang sehat terhadap transformasi modernitas. Dalam ranah sosial-psikologis, tren ini berhubungan dengan konsep “kualitas hidup” dan “ekspresi diri” (hedonisme baru); dalam ranah epistemologis, ia dikaitkan dengan kemunculan psikologi kehidupan sehari-hari, yang memberikan makna analitis pada lingkungan terdekat, tradisi budaya kecil, dan identitas wilayah.

Sebagai Penutup: Metode dan Metodologi Campuran

Makna metamodernisme sebagai strategi epistemologis dalam psikologi terletak pada kemampuannya untuk merefleksikan dengan lebih halus dan akurat perubahan subjektivitas dan identitas manusia yang sedang berlangsung. Selain itu, metamodernisme memiliki signifikansi metodologis karena melatih kemampuan kita untuk berpikir secara holistik tentang dunia melalui antinomi—memahami saling keterkaitan antara kecenderungan yang bertentangan, menjalin secara konseptual berbagai gagasan yang tampaknya tidak kompatibel, serta menggunakan satu konstruksi analitis sebagai alat untuk menafsirkan dan mengintegrasikan konstruksi lainnya secara situasional.

Evolusi gerakan sosial, budaya, dan intelektual modern secara umum tunduk pada prinsip pergeseran dan pencampuran, membentuk dinamika yang kompleks—beralih dari linearitas ke multidimensionalitas, dari homogenitas ke heterogenitas dan multilayeredness, dari tren yang stabil ke perubahan yang tidak terduga, serta dari garis-garis yang jelas ke pola yang samar dan membingungkan. Pola-pola yang sebelumnya dapat kita ekstrapolasikan dengan sukses dalam ketiadaan kecenderungan lain, dalam situasi transdisipliner, justru menghasilkan sifat sistemik yang tidak terduga akibat penemuan dan interaksi elemen-elemen baru, sehingga menciptakan gambaran umum yang lebih beragam, kontradiktif, dan tidak stabil.

Strategi epistemologis metamodernisme berupaya mempertahankan keseimbangan dalam analisis antara berbagai proses yang berkembang dan bertentangan, dengan mengatasi resistensi kognitif yang sudah dikenal. Lebih mudah untuk melacak tren linear dan menetapkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), sementara metode dan metodologi campuran membentuk logika yang berbeda—logika berbasis jaringan—yang mendorong perkembangan epistemologi pemikiran kompleks.


Catatan kaki dibuat oleh saya untuk memperjelas makna beberapa istilah.

[1] Transdisipliner adalah pendekatan dalam ilmu pengetahuan yang melampaui batas-batas disiplin akademik tradisional dengan mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan untuk memahami dan menyelesaikan masalah kompleks. Pendekatan ini melampaui batas disiplin ilmu dengan menggabungkan teori, metode, dan wawasan dari berbagai bidang serta melibatkan perspektif praktis atau non-akademik (seperti budaya, seni, atau kebijakan publik). Contoh: Mempelajari subjektivitas manusia dengan memadukan filsafat, ilmu saraf, dan studi budaya.

[2] Polarisasi merujuk pada proses di mana dua kelompok atau pandangan yang berbeda menjadi semakin ekstrem dan bertentangan satu sama lain. Contoh dalam masyarakat adalah polarisasi politik, di mana kelompok dengan pandangan berbeda semakin berseberangan dan sulit menemukan titik temu. Dalam psikologi, polarisasi dapat terjadi dalam diskusi kelompok (group polarization), di mana individu cenderung mengadopsi posisi yang lebih ekstrem setelah berdiskusi dengan orang yang berpikiran serupa.

[3] Antinomi adalah kontradiksi antara dua prinsip atau konsep yang tampaknya sama-sama benar tetapi saling bertentangan. Konsep ini sering digunakan oleh filsuf seperti Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa dalam banyak kasus, pikiran manusia mencapai batas di mana dua pernyataan yang bertentangan bisa tampak logis secara bersamaan. Contoh antinomi dalam kehidupan sehari-hari adalah kebebasan versus determinisme: manusia merasa memiliki kebebasan dalam memilih tindakan, tetapi pada saat yang sama, faktor lingkungan dan biologis juga memengaruhi keputusan tersebut.

Dalam konteks metamodernisme, polarisasi dan antinomi menjadi penting karena pendekatan ini mencoba untuk mengayunkan (osilasi) antara dua kutub yang bertentangan, tidak hanya memilih satu sisi, tetapi juga memahami dinamika di antara keduanya.


Tambahan bacaan untuk memahami metamodernisme sebagai paradigma kultural:

  1. An introduction to metamodernism