Hello semuanya…
Pada kesempatan kali ini saya akan memposting tentang KKL di Kampung Laut Cilacap. Tulisan dibawah merupakan tugas dari mata kuliah Etnorafi yang diajarkan pada semester tiga.
Dengan saya memposting tulisan dibawah, semoga dapat untuk berbagi pengalaman dengan pembaca.
Selamat membaca… Semoga bermanfaat…
Kegiatan KKL di Kampung Laut Cilacap dilaksanakan pada hari Kamis, 6 Oktober 2016. Pemberangkatan dari kampus UNNES kurang lebih pukul 03:00 dini hari dan sesampainya di Cilacap sekitar pukul 13:00, dengan kata lain memakan waktu sembilan jam untuk melakukan perjalanan dari Semarang-Cilacap. Sesampainya di Cilacap, untuk bisa ke Kampung laut harus menyebrang terlebih dahulu dan penyebrangan dilakukan di pelabuhan Sleko, penyebrangan juga tidak dilakukan menggunakan kapal besar seperti pada penyebrangan di Bali, melainkan menggunakan perahu compreng. Penyebrangan dari pelabuhan Sleko sampai Kampung Laut bisa memakan waktu 1,5 sampai 2 jam. Tetapi karena KKL difokuskan kepada Desa Ujung Gagak yaitu desa paling ujung di kecamatan Kampung laut, perjalanan bisa memakan waktu 2,5 sampai 3 jam perjalanan. Kampung laut sendiri merupakan salah satu kecamatan yang terdiri dari empat desa yaitu Ujungalang, Panikel, Kleces dan Ujung Gagak. Kleces merupakan pusat pemerintahan di kecamatan Kampung Laut Cilacap, sedangkan KKL ini terfokus pada salah satu desa yaitu Ujung Gagak yang dipercaya desa tersebut memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang paling kental dibanding desa lainya seperti Ujungalang, Panikel dan Kleces.
Sesampainya di dermaga di desa Ujung Gagak, saya langsung menuju ke home stay dan kebetulan saya mendapatkan home stay nomor 6 dan terdapat 8 home stay dan setiap home stay minimal terdiri dari 10 mahasiswa. Sesampainya di home stay saya langsung bersiap-siap untuk menuju aula di balai desa Ujung Gagak untuk selanjutnya melakukan observasi. Observasi dibagi menjadi 10 kelompok dengan tugas yang berbeda-beda yaitu meneliti tentang pendidikan, gender, ekologi, pluralitas, sistem ekonomi masyarakat, sistem kepemimpinan dan statifikasi sosial. Kebetulan saya mendapatkan observasi tentang stratifikasi sosial pada warga desa Ujung Gagak. Observasi pertama kali yaitu mewawancarai Bapak Suprapto selaku Kepala Desa Ujung Gagak. Beliau menjabat sebagai kepala Desa Ujung Gagak sejak tahun 2014 dan sampai sekarang. Beliau juga mengatakan bahwa di Desa Ujung Gagak mayoritas bekerja sebagai nelayan 80% dan sisanya bekerja sebagai petani dan PNS atau pegawai. Akan tetapi yang bekerja sebagai PNS dan pegawai hanya hitungan kepala saja, sementara petaninya bukan merupakan petani padi melainkan petani perkebunan seperti jeruk dan pepaya. Para petaninya sebagian besar bukan merupakan warga desa asli melainkan para pendatang yang menggarap sawah di desa Ujung Gagak karena warga desa asli lebih memilih menjadi nelayan karena dianggap penghasilanya lebih menguntungkan dibanding petani. Bapak Suprapto sendiri mengatakan bahwa adat istiadat di desa Ujung Gagak masih sangat kental, semua yang dilakukan mulai dari pembangunan dll dipertimbangkan menurut hukum adat yang berlaku. Kegiatan sakral yang ada di Desa Ujung Gagak meliputi, sedekah laut, sedekah bumi, dan Konto. Semua itu identik dengan keselamatan laut dan bumi dan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Sementara Konto merupakan semacam kesenian bela diri tetapi di Desa Ujung Gagak disebut dengan Konto, tradisi tersebut masih dilestarikan hingga sekarang ini. Beliau juga mengatan bahwa Desa Ujung Gagak dahulunya sangat terpencil dan terisolasi, pendidikan dianggap tidak penting karena mereka menganggap mau sekolah atau tidak tetaplah besarnya akan bekerja sebagai nelayan. Desa ini mengalami kemajuan pada tahun 2000-an dimana listrik sudah mulai terjamah di desa ini. Dibalik kebudayaan dan adat istiadat yang masih sangan melekat, bapak Suprapto mengatakan sangat prihatin dengan perkembangan moral pada anak-anak di desa ini, tidak sedikit dari mereka yang mengkonsumsi minuman keras, obat obatan terlarang, dengan kata lain kenakalan remaja di desa ini masih memprihatinkan. Dengan begitu bapak kepala desa ini membangun gor bulu tangkis, lapangan voli, untuk membuat kesibukan bagi para remaja agar terhindar dari pengaruh negatif seperti mengkonsumsi miras dan obat-obatan terlarang.
Pada malam harinya yaitu sesudahnya makan malam dan Shalat Isha, para peserta KKL segera berkumpul di aula balai desa guna mengahdiri sambutan dari kepala desa dan tokoh adat dari desa ujung gagak. Disamping itu juga terdapat sesaji berupa buah-buahan makanan, pakaian, dll yang diletahan pada bambu yang dibentuk seperti rumah yang esoknya akan digunakan untuk sedekah laut. Para tokoh adat dan tokoh masyarakat melaksanakan ritual kepada sesaji itu sebelum dihanyutkan ke laut, yaitu sesaji itu diberikan berupa doa-doa harapan dan rasa syukur atas apa yang telah diberikan. Acara tersebut selesai sekitar pukul 23:00 dan dilanjutkan untuk kembali ke home stay masing-masing untuk beristirahat karena keesokan harnya masih akan disibukan dengan berbagai kegiatan.
Keesokan harinya yaitu pada hari Jumat, 7 Oktober 2016 bangun sekitar 05:00 pagi untuk melakukan Shalat, mandi dan sarapan pagi. Sesudahnya para peserta KKL bersiap-siap untuk menuju ke aula guna melakukan presentarsi dari hasil yang didapatkan pada observasi kemarin. Presentasi dilakukan kepada dosen pembimbing masing-masing. Sesudahnya presentasi dosen pembinmbing akan mengoreksi bagian yang salah atau kurang yang perlu di revisi kembali. Sesudahnya melakukan semua itu, kelompok yang dinyatakan kurang data atau informasinya akan mereidi ulang dan melakukan observasi kembali guna melengkapi data-data observasi. Beberapa saat kemudian, akan dilaksanakan kegiatan sakral yaitu sedekah laut, dimana sesaji-sesaji akan di arak menuju ke laut sebelum akan dihanyutkan ke laut, kegiatan itu diramaikan oleh banyak orang mulai dari warga desa, anak sekolah disela-sela waktu istirahat jam sekolah, maupun mahasiswa UNNES yang sedang melaksanakan KKL. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan terakhir di kampung laut sebelum para peserta KKL akan melanjutkan perjalanan ke Baturaden, Purwokerto. Para peserta KKL meninggalkan kampung laut seusai shalat Jum’at sekitar pukul 13:00 dan kemudian menuju dermaga guna untuk menaiki perahu copreng menuju ke pelabuhan Sleko.