ABSTRAK

Artikel penelitian ini berisi penjelasan mengenai kehidupan religi suku bangsa Tengger yang ada di Desa Ngadas. Penelitian dilaksanakan dalam lingkup masyarakat suku bangsa Tengger di Desa Ngadas yang mayoritas beragama Hindu. Dimana agama Hindu yang dianut mereka memiliki beberapa perbedaan dengan agama Hindu yang berada di daerah lain. Perbedaan ini terletak pada cara pelaksanaan ritual-ritual serta atribut-atribut yang dipakai dalam pelaksanaan ibadah, atau dapat dikatakan perbedaan yang terjadi adalah dalam aspek sosio-kulturalnya. Masyarakat ini juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal sebagai bentuk pemaknaan kepercayaan masyarakat terhadap alam sekitar. Mereka sangat menjaga kesakralan dan kelestarian alam yang saat ini menjadi tempat hidup mereka. Pemaknaan kepercayaan terhadap alam sekitar diwujudkan dengan adanya berbagai praktik ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu Tengger Desa Ngadas.

Kata kunci : Suku Tengger, religi, ritual, budaya.

ABSTRACT

This research article contains a description of the religious life of the Tengger tribe in the village of Ngadas. Research carried out in the public sphere in the Tengger tribe village Ngadas predominantly Hindu. Where they embraced Hinduism has some differences with the Hindu religion are in other areas. This difference lies in the way of implementation of rituals and attributes used in the implementation of worship, or it can be said that the difference occurs is in the socio-cultural aspects. This community also uphold the noble values ​​of the local culture as a form of interpretation of public trust in the natural surroundings. They are maintaining the sanctity and preservation of nature which has become a point of their lives. Beliefs about the meaning of nature manifested in the presence of various religious rituals performed by Hindu Tengger people Ngadas Village.

 

Keywords : Tengger tribe, religious, ritual, culture

 

 

  1. PENDAHULUAN

Suku Bangsa Tengger adalah salah satu Suku Bangsa yang berada di wilayah Indonesia. Nama Tengger berasal dari kata Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang telah diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu “Teng” akhiran nama Roro An-“teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-“ger”.

Masyarakat ini dikenal memilki sistem religi dan kepercayaan masih cukup kental. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya upacara- upacara adat yang biasa mereka lakukan sejak zaman nenek moyang hingga saat ini.Meskipun hidup pada era globalisasi seperti saat ini, masyarakat Tengger di Desa Ngadas masih mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari para leluhur, sehingga rasa kekeluargaan dan rasa saling memeilki terhadap apa yang sudah diwariskan masih sangat tinggi.

Masyarakat suku Tengger khususnya masyarakat yang berdomisili di Desa Ngadas mayoritas adalah pemeluk agama Hindu. Mereka melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan alasan bahwa hal tersebut telah menjadi kewajiban dan sebagai wujud bakti kepada Dewa atau Tuhannya. Bahkan sebagai wujud untuk mendapatkan satisfaction of spiritual secara pribadi, dan bagi mereka melakukan upacara-upacara adat adalah suatu kewajiban sosial.

Sistem religi atau kepercayaan dan adat istiadat masyarakat Tengger masih cukup kental serta terjaga kelestariannya. Hal tersebutlah yang menjadi daya tarik kami untuk mengkaji sistem religi atau kepercayaan masyarakat Suku Tengger, khususnya di Desa Ngadas.

Dari pemaparan diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana sistem Religi yang dianut masyarakat Tengger Desa Ngadas?
  2. Bagaimana mereka memaknai kepercayaan-kepercayaan yang muncul di Desa Ngadas terkait dengan alam sekitar?
  3. Ritual keagamaan apa saja yang sering di praktikkan oleh masyarakat Desa Ngadas?
  1. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat Tengger di Desa Ngadas adalah metode penelitian kualitatif, yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan urutan yaitu, 1. Menyusun instrumen pertanyaan, 2. Peneliti berinteraksi langsung dengan masyarakat, 3. Wawancara langsung dengan masyarakat dan pengumpulan dokumentasi, 4. Mempelajari perilaku atau praktik-praktik keagamaan masyarakat, 5.Mencatat , 6. Menganalisis, 7. Menafsirkan, 8. Menarik kesimpulan dari proses tersebut, serta 9. Melaporkan.

Informasi pertama peneliti peroleh dari hasil dialog dengan tokoh masyarakat Desa Ngadas, diantaranya Bapak Sumartono selaku Kepala Desa Ngadas, Bapak Sasmito selaku Dukun Pandita, dan Bapak Mulyono selaku Moderator. Kemudian kami melakukan observasi serta wawancara langsung dengan masyarakat Desa Ngadas. Informan yang diwawancarai yaitu ibu Marjiyati, Bapak Heri, Bapak Iwan, Ibu Adis, Bapak Handoyo, Bapak Edi dan lain sebagainya. Penelitian dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 1 April 2014, dimulai sekitar pukul 15:30 WIB. Kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya, yaitu hari Rabu, tanggal 2 April 2014, dimulai sekitar pukul 07:00 WIB hingga selesai.

Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu: pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dari narasumber Desa Ngadas. Penyajian data dalam laporan penelitian menggunakan analisis secara deskriptif. Penyajian data disajikan dalam hasil pembahasan. Penarikan kesimpulan dari penelitian dilakukan dengan melihat hasil pembahasan dari diskusi kelompok.

  1. PEMBAHASAN

 

  • Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian terhadap kepercayaan dan sistem religi masyarakat Tengger ini dilaksanakan pada masyarakat Tengger tepatnya di kawasan Gunung Bromo, di Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Desa Ngadas adalah salah satu desa yang letaknya dekat dengan gunung Bromo. Disana terdapat berbagai mitos-mitos yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat Tengger. Mitos-mitos tersebut berkaitan dengan alam sekitar. Pada daerah sekitar kaki Bromo, masyarakatnya menganggap daerah tersebut suci sehingga dilarang keras untuk penduduk lokal dan turis asing berkata kotor dan melakukan tindakan yang tidak terpuji.

  • Sistem Religi yang dianut masyarakat Tengger Desa Ngadas

Sistem religi terdiri dari dua kata yaitu Sistem dan Religi. Sistem berasal dari bahasa Latin system dan bahasa Yunani sustema adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen-elemen yang saling berhubugan. Menurut J.G. Frazer menjelaskan Religi merupakan segala system tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam (Koenjaraningrat, 2010).

Masyarakat Tengger, Desa Ngadas ini 99% beragama Hindu, yaitu Hindu Dharma, sedangkan selebihnya beragama Kristen dan Islam. Secara garis besar Hindu Tengger tidaklah jauh berbeda dengan Hindu di daerah lain. Namun ada sedikit perbedaan yang terletak pada ritual adat yang dilakukan.Selain itu masyarakat Hindu ini tidak mengenal system kasta atau kelas social dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, sebagaimana yang dianut oleh jamaat Hindu daerah lain. Karena adanya anggapan bahwa semua masyarakat yang tinggal di suku Tengger khususnya di Desa Ngadas dianggap sama dan sejajar. Mereka juga menganggap bahwa adanya kasta hanya akan memunculkan konflik dalam masyarakat hindu yang ada di suku tengger. Sehingga ketika bermunculan konflik maka alam tidak akan memberikan keberkahanya dalam kehidupan mereka.

Hewan sapi bagi jamaat agama Hindu sendiri dianggap sebagai hewan yang suci dimana pantang bagi mereka menyembelih sapi. Hal tersebut dikarenakan menurut kepercayaan mereka di dalam tenggorokan sapi merupakan tempat persembunyian dewa suci.Namun berbeda dengan kepercayaan yang di miliki oleh masyarakat Tengger Desa Ngadas, mereka menganggap sapi sebagai hewan yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak lainnya.Mereka tetap mengkonsumsi daging sapi dalam keseharian, misalnya diolah menjadi bakso untuk diperjual belikan. Namun untuk seaji atau ritual, tidak diperkenankan.

Keunikan lain pada masyarakat Hindu tengger yaitu terletak pada upacara kematian. Jika selama ini kita melihat upacara kematian pada agama hindu di daerah lain dengan jasad yang di bakar, hal ini berbeda dengan agama Hindu yang ada di suku Tengger. Mereka tidak membakar jasad orang yang telah meninggal akan tetapi mereka membakar replica dari orang yang meninggal atau yang biasa mereka sebut dengan Petra. Petra adalah replika yang terbuat dari daun telotok,daun pabung, dan bunga senikir. Sedangkan jasad orang yang meninggal tetap dimakam kan seperti halnya orang yang beragama Islam tetapi dengan posisi yang berbeda. Dalam suku Tengger jasad orang yang meninggal dimakamkan dengan posisi kepala menghadap keselatan atau kegunung Bromo.

Pada halaman rumah setiap penduduk yang beragama Hindu akan diletakkan Padmasari yaitu tempat meletakan sesaji yang dipersembahkan bagi sang Adma. Adma adalah roh leluhur yang dipercaya masih hidup berdampingan dengan manusia, hanya saja tidak terlihat. Padmasari ini berisi makanan-makanan yang hari itu dimakan oleh pemilik rumah, jadi bisa dipastikan setiap rumah berbeda isinya, sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Ritual ini sebagai wujud berbagi dengan sesama, karena menurut kepercayaan mereka bahwa di dunia itu juga hidup leluhu-leluhur yang menjadi roh, dan masing membutuhkan makanan seperti yang mereka makan saat itu.

Sembahyang umat Hindu di Tengger Desa Ngadas dilaksanakan tiga kali dalam sehari, yaitu jam 05:00, 12;00, dan 19:00. Sebelum melakukan persembayangan akan di awali dulu dengan puji-pujian yang menggunakan bahasa jawa kuno. Sembahyang dilakukan di pure dan dipimpin oleh dukun pandita, sesuai dengan tuntunan kitab Weda. Di Ngadas sendiri hanya memilki satu buah pure di masing-masing dukuh, satu punden sebagai tempat yang disakralkan, serta satu kitab Weda yang dipegang oleh sang Dukun Pandita. Dalam pelaksanaan ibadah tidak ada pemaksaan dan aturan dari orang lain, murni dari kemauan sendiri.Bagi wanita yang datang bulan juga dilarang datang ke pure, karena pure merupakan tempat suci bagi mereka.

Dalam setiap pelaksanaan ritual-ritual keagamaan, masyarakat Tengger Desa Ngadas dipimpin oleh seorang dukun Pandita yang didampingi oleh tiga 3 asisten yaitu dukun Sepuh, Legen, serta dukun Sunat. Masing-masing dari keempat dukun tersebut memilki tugas yang berbeda, diantaranya yaitu dukun Pandita bertugas untuk memberi mantra-mantra, memimpin persembayangan, membuat kalender Tengger, dukun Sepuh dan dukun Legen bertugas menyiapkan segala keperluan sesaji untuk upacara-upacara keagamaan, sedangkan dukun sunat memiliki tugas khusus yaitu memimpin upacara sunatan, dan menyunat.

Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk umum, artinya siapa saja boleh ikut, baik kecil, hingga Lansia. Kegiatan keagamaan tersebut menggunakan patokan kalender Tengger yang di buat oleh sang dukun pandita sesuai dengan aturan pemerintah serta tuntunan kitab Weda tentunya.Dalam teknis pelaksanaan segala bentuk upacara ataupun ritual keagamaan masyarakat suku tengger hanya bertugas sebagai pelaksana saja, sedangkan untuk tempat, waktu dan segala bentuk material yang diperlukan semuanya telah ada yang mengatur. Jadi disini bisa dikatakan jamaat hanya menganut, dan bisa dilihat adanya unsur ketergantungan dan rasa kepercayaan yang kuat antara jamaat Hindu dengan tokoh agamanya.

Masyarakat Tengger Desa Ngadas memilki toleransi agama yang tinggi.Hal ini terbukti, walaupun hidup berdampingan dengan desa tetangga yang mayoritas beragama Islam, tidak lantas membuat keduanya saling bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain. Justru keberbedaan ini mereka manfaatkan untuk mengikat persatuan dan persaudaraan yang erat. Kerukunan beragama masyarakat suku tengger ini dapat dilihat ketika perayaan Hari besar Karo, masyarakat Muslim desa tetangga akan bersilaturahim kepada masyarakat Hindu Ngadas, sedangkan ketika masyarakat Muslim Desa tetangga merayakan Idul Fitri, masyarakat Hindu Ngadas juga akan berkunjung ke Desa tetangga ini.

  • Kepercayaan– kepercayaan yangTerkait dengan Alam Sekitar

 

Masyarakat Tengger Desa Ngadas sangat terkenal dengan kearifanya dalam kehidupan, baik dalam bersikap kepada alam maupun bersikap dengan sesamanya.Sikap taat beragama juga menjadi pendukung kearifan yang dimilki masyarakat Tengger Ngadas. Berbagai macam ritual keagamaan mereka laksanakan sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang ada.

Dalam keseharianya, masyarakat Tengger Ngadas hidup berselaras dengan alam. Mereka tetap menjaga kesakralan Gunung Bromo dengan tidak merusak lingkungan, bersikap baik, dan memegang teguh adat istiadat. Orang Tengger Ngadas meyakini bahwa alam akan mendatangkan bencana jika mereka tidak mau hidup selaras dengan alam. Kepercayaan inilah yang membuat masyarakat di sekitar Gunung Bromo dapat hidup rukun dengan  penduduk lain yang memiliki keyakinan berbeda.

Selain toleransi beragama yang tinggi, suku tengger Desa Ngadas ini juga rukun dalam bermasyarakat, terbukti ketika ada salah satu warga yang memiliki hajat, warga yang lain akan sambatan atau disebut sinoman. Hal tersebut menujukan bahwa nilai kerjasama masih dianut kuat oleh mereka, yaitu dalam praktik gotong royong.

Masyarakat suku Tengger Desa Ngadas ini merupakan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat mereka. Bahkan mereka percaya dengan adanya hukum karma, bahwa “becik ketitik, ala ketara”.Ketika seseorang melakukan hal-hal buruk atau hal yang menjadi pantangan terhadap sesame maupun alam sekitar, meski tanpa sepengetahuan orang lain, maka dengan sendirinya orang yang melanggar ini akan mendapatkan balasan dari Sang penjaga alam, atau yang menunggui tanpa adanya unsur campur tangan manusia lain.

System hukum karma atas apa yang mereka lakukan bisa berwujud pada kesialan kesialan yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan sebuah larangan terhadap hukum adat yang ada, seperti halnya orang yang berbuat “tidak baik” di kawasan gunung Bromo yang disucikan oleh masyarakat Tengger. seperti buang air kecil di gunung bromo sembarangan,bicara dusta seperti pura-pura sakit perut padahal tidak sakit perut.

Masyarakat Tengger Desa Ngadas sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang sebagian besar dilakukan sebagai wujud syukur terhadap Sang Pencipta dan alam yang telah memberikan kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi mereka. Ritual-ritual tersebut antara lain adalah ritual bersih desa setiap sebulan sekali yang akan dilaksanakan di rumah Kepala Desa

Dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan, tentu akan dibuatkan sesaji. Sesaji-sesaji ini bermacam-macam jenisnya, dan mempunyai makna masing-masing. Salah satu unsur yang akan menimbulkan makna yang berlainan dari sesaji adalah dalam hal warna. Pada pembuatan sesaji masing-masing warna memilki lambang yang berartikan berbeda dengan yang lainya.

  • Ritual Keagamaan yang Sering Dipraktikkan Oleh Masyarakat Desa Ngadas

Masyarakat Tengger Desa Ngadas memiliki berbagai macam ritual keagamaan yang mereka laksanakan sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ritual keagamaan di Desa Ngadas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu

  1. Ritual yang terkait dengan kepentingan komunal

Ritual yang dilakukan dengan kepentingan komunal adalah ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan kesejahteraan kemakmuran dan keselamatan masyarakat, yang mana ritual tersebut sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan mayarakat yang ada di dalamnya. Menurut W.Robertson Smith, (Koentraningrat :1987: 67) upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Tengger Desa Ngadas. Ritual-ritual tersebut diantaranya yaitu:

 

  • Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan hari besar bagi masyarakat yang menganut agama Hindu. Perayaan hari Nyepi pada masyarakat Tengger tidaklah jauh beda dengan Hari Nyepi di daerah lain. Akan tetapi pada masyrakat Tengger, hari besar ini akan dilaksanakan bersamaan dengan adat Pati Geni, yaitu ritual dimana masyarakat dilarang untuk menggunakan penerangan di dalam ataupun diluar rumah, baik berupa cahaya api maupun cahaya lampu selama aehari semalam.

  • Upacara Karo

Hari-hari penting lainya bagi Masyarakat Hindu Tengger diantaranya adalah Hari Raya Karo. Upacara Karo ini dilaksanakan sekali dalam setahun, selama 15 hari berturu-turut, antar warga saling bersilaturahmi, baik sesama kepercayaan maupun berbeda. Tujuan bersilaturahmi dengan tetangga dan agar manusia kembali pada kesucian untuk memperingati Sang Hyang Widhi. Upacara ini disebut juga satya yoga. Biasanya sebelum dilaksanakan upacara ini dilebih dahulu dilakukan pemujaan pada arwah keluarga yang telah tiada di Pura secara bersama-sama.

  • Upacara Galungan

Upacara galungan merupakan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat tengger Ngadas yang dilakukan dengan cara, seluruh masyarakat Tengger membawa berbagai macam makanan yang kemudian dibawa ke Sanggar dan bersembahyang bersama, setelah itu makanan makanan tersebut dimakan bersama. Upacara Galungan dilakukan 7 bulan sekali, dengan mengenakan baju hitam blangkon warisan nenek moyang, jatuh pada hari rabu kliwon, berdasarkan perhitungan menurut kalender tengger.

  • Upacara Kuningan

Sesudah dilakukan upacar Galungan, sepuluh hari kemudian akan diperingati Hari Kuningan. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Pura, dengan sembahyang, kemudian diakhiri dengan makan bersama atau krayanan. Upacara ini bertujuan untuk menyelamati warga. Biasanya dilaksanakan pada Rabu Agung.

  • Upacara Kasada

Bagi masyarakat Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Dalam setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara adatbesar yaitu Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara tersebut diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa. Dalam upacara ini seluruh umat Hindu dari berbagai daerah sekitar Bromo berkumpul, mengadakan persembahyangan, dan makan-makan besar. Selain itu mereka juga membuat ongket yaitu sejenis susunan-susunan hasil bumi yang dikumpulkan oleh warga, yang kemudian akan di buang ke kawah Bromo. Upacara Kasada ini dianggap oleh masyarakat Tengger sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap Dewa-dewa yang telah memberikan kesuburan alam dan kemakmuran pada desa-desa dan masyarakat Tengger. Selain sebagai tanda terimaksih pada sang Dewa, upacara Kasada juga bertujuan agar masyarakat Suku Tengger terhindar dari segala malapetaka atau bahaya-bahaya yang kapan saja bisa datang.

Selain ritual diatas, ada juga ritual bersih desa setiap sebulan sekali yang akan dilaksanakan di rumah Kepala Desa, dan juga upacara yang dilakukan setiap sebulan sekali namun dengan nama yang berbeda, dari kasa, kaloro, ketelu, hingga kasada. Upacara ini dilaksanakan di rumah Kades dengan rangkaian acara ibadah dan makan bersama, kemudian besih desa. Tujuan acara ini adalah sebagai wujud syukur atas tersedianya rezeki yang cukup.

  1. Ritual terkait dengan kepentingan individu

Ritual yang dilakukan dengan kepentingan individual adalah ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan perorangan yang dalam hal ini berkaitan dengan siklus hidup seseorang, yang dilakukan dari masa ke masa.Upacara daur hidup yang ada di suku tengger ini dimulai dari upacara kehamilan, kelahiran, masa pubertas, masa berumah tangga hingga upacara untuk kematian.

  • Upacara Kehamilan

Ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamatan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar.

  • Upacara Setelah Kelahiran

Upacara setelah kelahiran terdiri dari beberapa tahap yaitu

  1. Upacara Sekul Brokohan

Upacara yang dilaksanakan setelah bayi lahir dengan selamat dan yang melakukan upacara tersebut adalah keluarga yang bersangkutan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar.

  1. Upacara Cuplak Puser

Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat.

  1. Selamatan Jenang Abang dan Jenang Putih

Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras). Maksud dari upacara ini juga untuk memohon keselamatan.

  1. Upacara kekerik

Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai berbicara.

  1. Upacara Among-Among

Rangkaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”, yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).

  1. Upacara Tugel Kuncung atau Tugel Gombak

Upacara ini diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Sang Hyang Widhi Wasa.

  • Upacara Masa Pubertas

Yang termasuk upacara pubertas yaitu upacara sunatan bagi anak laki-laki yang telah menginjak usia pubertas, syarat utuamanya adalah menyiapkan untuk segala sesaji yang dibutuhkan saat upacara dan pemantraan. Sunat harus dilakukan dulu oleh dukun, kemudian barulah dibawa ke medis. Untuk perayaan atau syukuran besar-besaran itu tidak diwajibkan, disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan keluarga.

 

  • Upacara Perkawinan

Upacara ini dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan yang masih berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus diadakan upacara ngepras, yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tungku, pintu, serta tangan para tamu,dengan maksud agar para tamu memberi restu.

Ketika ada warga Tengger Desa Ngadas yang akan menikah dengan orang daerah lain atau memiliki kepercayaan lain maka mau tidak mau harus melaksanakan adat Tengger terlebih dahulu. Akan tetapi setelah semua upacara dilaksanakan, untuk pelaksanaan kepercayaan di kembalikan pada yang bersangkutan. Artinya di sini tidak ada pemaksaan untuk konsisten terhadap agama Hindu. Karena memang ada beberapa yang dari Hindu berpindah Islam, begitupun dengan yang awalnya Islam pindah Hindu. Bagi yang tidak mengikuti acara keagamaan pun tidak akan mendapat sanksi dari tokoh adat, atau aturan.

  • Upacara kematian.

Pada masyarakat Tengger Desa Ngadas, tidak ada upacara kematian Ngaben seperti yang ada di Bali. Pada kepercayaan masyarakat Tengger apabila ada orang yang meninggal, maka jasad dari orang yang meninggal tetap dimakamkan seperti orang Islam. Orang Hindu masyarakat Tengger apabila meninggal, akan dipakaikan kain kafan, dan di ikat 3 tali yang berbentuk pocong. Penguburan ada yang menggunakan peti dengan dihadap kan kearah selatan, namun ada pula yang tidak menggunakan peti, tergantung dengan kemampuan ekonomi keluarganya orang yang meninggal. Ketika seseorang yang meninggal, dipercayai bahwa ia akan kembali ke asalnya lagi, yaitu kembali ke bumi.

Jika upacara kematian yang ada di bali yang di bakar adalah jasadnya maka kalau di suku Tengger yang dibakar adalah replika dari orang yang meninggal atau yang biasa disebut dengan petra. Petra dibuat dari daun yang dibentuk mirip dengan orang yang meninggal. Daun yang dipakai adalah tiga macam daun yang biasanya masyarakat Desa Ngadas menyebutnya daun telotok, daun pabung dan bunga senikir. Setelah petra jadi, petra akan dibakar dan tempat pembakarannya yaitu di namakan punden yang terdapat di Desa Ngadas.

Dalam upacara kematian apabila pada orang muslim terdapat acara “nyewu”, tapi bagi masyarakat Tengger Desa Ngadas acara ini disebut “entas-entas”. Entas- entas ini mempunyai arti yaitu mensurgakan leluhur yang telah meninggal dunia dengan diwakili oleh replika replika atau petra.Upacara pembakaran petra dilakukan dua kaliyaitu di hari pemakaman orang yang meninggal dan yang kedua yaitu di hari dimana keluarganya telah mampu untuk melakukan acara entas-entas. Sesuai dengan makna katanya, tujuan dari upacara Entas-entas adalah untuk mengantarkan orang yang telah meninggal kedalam Surga. Kemudian ada lagi upcara unan-unan yang dilaksanakan di pure masing-masing setiap lima tahun sekali.

Dan upacara adat lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Tengger yaitu upacara Sadoran, yang dilakukan oleh tiga desa secara bergilir setiap tahunya. Sadoran ini merupaka bentuk tari-tarian, dan bisa dikatakan adalah sebuah khajat hiburan adat. Ritual-ritual agama ini sangat dijaga oleh masyarakat suku tengger, dan hati-hati dalam pelaksanaanya, sesuai dengan tuntunan kitab suci agam Hindu yaitu Weda.

  1. Penutup

Masyarakat Tengger maerupakan masyarakat yang menarik untuk dikaji, baik dalam aspek kehidupan religi maupun aspek kehidupan yang lainya. Masyrakat Tengger Desa Ngadas yang berada di kawasan kaki Gunung Bromo, dan cukup jauh dari pusat kota ini, tidak lantas membuat masyarakatnya tertinggal. Masyarakat Tengger Desa Ngadas tetap mengikuti alur peradaban kehidupan sesuai dengan yang ada. Namun di tengah modernisasi yang merombak dalam sendi-sendi kehidupan manusia ini, sebagai dampak dari arus Globalisasi, tidak lantas membuat masyrakat ini kehilangan ciri khasnya. Terutama karakteristik dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Setiap kebudayaan dalam masyarakat pasti beradaptasi dengan aspek lingkungannya. Seperti halnya ajaran Hindu, Hindu yang dibawa ke Bali akan berbeda dengan Hindu yang dibawa ke Tengger maupun di India. Hal tersebut muncul akibat adanya adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda juga.

Hindu yang terdapat di suku tengger dalam ranah ideologis memilki kesamaan dengan hindu yang terdapat di daerah lain, akan tetapi dalam ranah praktek mereka memiliki keragaman yang sangat khas yang mungkin keragaman ini tidak di temukan pada masyarakat Hindu di daerah lain .

Perbedaan ini terletak pada pemaknaan sapi, jika selama ini kita ketahui di daerah lain seperti halnya di Bali yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci, hal akan berbeda dengan pemaknaan sapi yang terdapat di suku Tengger Desa Ngadas. Disini sapi di perlakukan seperti hewan ternak lainnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari pun mereka tetap mengkonsumsi sapi.

Keunikan lain yang dimiliki oleh masyarakat Tengger Desa Ngadas yaitu dalam pelaksanaan upacara kematian, jika di Bali terdapat upacara Ngaben dengan dilakukannya pembakaran mayat, namun pada suku Tengger sendiri pembakaran bersifat simbolik yaitu dengan menggunakan replika yang biasa mereka sebut sebagai petra.

Selain itu suku Tengger juga mempunyai keunikan dalam tradisi sunat, jika kita melihat di agama hindu yang lain tidak terdapat tradisi sunat, hal ini berbeda dengan masyarakat suku tengger yang mana meski mereka beragama hindu tapi mereka tetap melaksanakan tradisi sunat.

Dengan berbagai ritual-ritual yang beragam jenisnya dan prasyarat yang banyak, yang mereka jalankan dengan kekhitmatan dan alur pokok yang sama setiap masanya, menunjukan sebuah kekuatan kepercayaan yang besar pada suku Tengger.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DaftarPustaka

Koentjaraningrat.2009.PengantarIlmuAntropologi. Jakarta :RinekaCipta

.                 2010. SejarahTeoriAntropologi 1.Jakarta :PenerbitUniversitas Indonesia

Spradley,James P. 1997. MetodeEtnografi.Yogyakarta : Tiara WacanaYogya