Desa Leahari Dan Dinamika Perubahan Sosial

November 13, 2015 in Sosiologi | Comments (2)

Leahari sebelum tahun 1985

Sebelum tahun 1985, Leahari sangat terisolir. Beberapa informan mengatakan indikator kuatnya adalah akses jalan menuju Leahari belum ada. Otomatis Leahari masih jauh dari sentuhan perubahan. Ironisnya adalah Leahari merupakan desa yang dekat dengan ibukota provinsi kala itu. Pembangunan infrastruktur desa maupun rumah penduduk masih menggunakan bahan-bahan yang dihasilkan oleh penduduk sendiri seperti penutup rumah dari atap dan dinding dari dahan pohon sagu (gaba-gaba). Bahkan untuk melakukan akses ke kota, biasanya masyarakat menggunakan jalur laut yaitu dengan menggunakan perahu yang dibuat oleh masyarakat sendiri. Jika ada usaha untuk mendatangkan bahan-bahan bangunan dari kota untuk pembangunan di Leahari, maka masyarakat cukup merasakan sengsaranya, sebab harus mengangkut bahan-bahan tersebut dengan berjalan kaki.

Menyangkut sistem mata pencaharian, masyarakat masih sangat bergantung pada hasil laut dan hutan mereka. Bertani dan nelayan sepertinya menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk. Hasil dari usaha dan kerja keras itu biasanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup hari-hari. Sangat jarang sekali, hasil hutan maupun laut orang-orang Leahari di jual ke kota, hal ini disebabkan oleh akses atau jalan yang belum ada. Sehingga kebanyakan masyarakat masih menggunakannya untuk kehidupan keseharian mereka. Barter atau menukar barang dengan barang adalah ciri khas hidup mereka untuk mencukupi hidup hari-hari. Mungkin belum terpikirkan untuk menjual barang-barang tersebut untuk menghasilkan uang, sehingga kebutuhan ekonomi keluarga lain dapat dipenuhi.

Hal diatas berdampak pula kepada pendidikan. Kenyataan itu memperlihatkan tidak banyak orang-orang di Leahari mampu memperoleh pendidikan tinggi. Menurut data di desa dan pengakuan beberapa informan kunci, kebanyakan orang tua di Leahari hanya lulusan SMP ataupun SMA, apalagi perguruan tinggi belum ada sama sekali. Memang akhir-akhir ini, barulah ada anak-anak yang melanjutkan study mereka ke perguruan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Namun sebelum itu sangat sulit sekali. Memang sangat ironis dengan kenyataan desa Leahari  yang tidak jauh dari ibukota provinsi. Namun faktor lain juga adalah karena orang-orang di Leahari kala itu belum menjadikan uang sebagai alat tukar atau transaksi ekonomi mereka.

Pasca Tahun 1985: Merembeknya Modernitas

Perubahan mendasar pada desa Leahari dirasakan setelah tahun 1985-an. Hal ini bersamaan dengan dibukanya jalan umum menuju desa ini. Akses jalan masuk desa memberi dampak yang cukup signifikan bagi perubahan dinamika sosial masyarakat. Beberapa hal yang dapat penulis uraikan terkait dengan perubahan yang dirasakan tersebut, diantaranya:

  1. Masyarakat Leahari sudah bisa berakses ke kota dengan menggunakan kendaraan bermotor (baik roda dua maupun empat). Hal ini memungkinkan hasil-hasil laut maupun darat mereka sudah mulai dijual ke Ambon. Pada titik ini, orang mulai menjadikan uang sebagai alat transaksi ekonomi
  2. Hal inipun membuka ruang bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM). Banyak anak-anak Leahari yang sudah mulai bersekolah ke luar desa, hingga mengecam pendidikan ke perguruan tinggi.
  3. Kebutuhan akan bahan dasar bangunan, seperti semen dan seng untuk bangunan rumah dengan mudah didapatkan oleh masyarakat dengan membelinya langsung ke Ambon. Banyak orang di Leahari sudah mulai merubah bentuk rumahnya yang semula beratapkan atap dan berdinding gaba-gaba, kini berubah menjadi permanen.. Bukan saja itu, bahan-bahan elektronik seperti televisi sudah menjadi incaran masyarakat,
  4. Ketika perkembangan komunikasi lewat penggunaan handphone (telepon genggam), masyarakat Leahari banyak menggunakan hal tersebut.

Dampak Modernitas Bagi Kehidupan Sosial Budaya

Kuatnya pengaruh dari luar memperlihatkan gejala perubahan sosial masyarakat yang dapat diamati secara langsung. Bahkan berdampak dalam kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan juga observasi di desa Leahari, penulis dapat menguraikan beberapa dampak modernisasi terhadap kehidupan sosial-budaya, sebagai berikut:

  1. Ketika uang menjadi pusat transaksi ekonomi, maka masyarakat berlomba-lomba untuk mencari uang. Seakan-akan tujuan dari hidup atau pekerjaan yang mereka lakukan adalah uang, semua hal diukur dengan uang. Alhasilnya dari pola yang demikian adalah meningkatnya konsurmanisme dalam masyarakat. Persaingan adalah hal yang tidak bisa dihindari di desa Leahari. Menurut data yang diperoleh, sekitar tahun 2005, orang-orang Leahari  hanya memiliki beberapa buah parabola saja (sekitar 3 buah) oleh keluarga yang digolongkan mampu (berpekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil) namun lambat laun atau selang beberapa tahun saja, hampir semua rumah di Leahari memiliki parabola. Ini memperlihatkan bahwa persaingan diantara warga masyarakat tidak dapat terelakan. Rasa tidak mau kalah, jika yang lain memiliki barang elektronik yang baru maka keluarga yang satu akan berusaha untuk memilikinya juga. Hasil dari persaingan ini sebetulnya berdampak pula pada menurunnya alokasi uang untuk biaya study anak. Bahkan menurut pengakuan informan, banyak sekali terjadi pengangguran di Leahari dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, khususnya anak laki-laki karena keterbatasan dana.[3]
  2. Relasi sosial yang dulunya mencirikan sikap keterbukaan dan gotong royong atau masohi dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan kini berubah menjadi sikap hidup yang cenderung individualistik. Orang lebih senang hidup untuk kepuasaan diri dan keluarganya dan tidak lagi berbagi dengan orang lain sebagai anak negeri. Persaingan yang kuat antar keluarga terhadap berbagai peralatan elektronik sebetulnya menghilangkan rasa kebersamaan yang ada dalam masyarakat. Dimana-mana orang berbicara mengenai uang, semua pekerjaan yang dulunya hanya bisa dikerjakan bersama-sama tanpa menuntut (tanpa pamrih) kini harus diukur dengan uang. jika tidak ada uang maka pekerjaan bangunan baik rumah maupun yang lainnya tidak bisa dikerjakan. Uang atau bayaran menjadi ukuran dalam semua relasi sosial masyarakat. Hal ini memberi ruang kepada kehidupan masyarakat yang tidak mau peduli dengan kekurangan orang lain. Orang sibuk mengurusi hidup dan keluarganya sendiri, suka bersaing dan tidak mau kalah. Jika orang lain punya barang baru, maka keluarga kami pun harus bisa memilikinya (ketatnya persaingan).
  3. Kuatnya pengaruh media elektronik (televisi) memberikan dampak tersendiri bagi masyarakat. Sebagai contoh misalnya, acara-acara di televisi yang memperlihatkan lemahnya hukum, maraknya kasus korupsi, praktek suap, jika ada masalah orang langsung lapor ke polisi, pelanggaran HAM, maupun berbagai aksi demonstrasi berdampak pula pada berbagai kehidupan sosial masyarakat. Dulu kalau orang ada masalah dalam desa, orang bisa menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan melalui perangkat desa, kini jika ada masalah orang tidak lagi mempercayakan perangkat desa untuk menyelesaikannya, tapi mereka langsung lapor ke polisi atau pihak yang berwajib. Bahkan jika ada pemerintahan desa yang keliru, maka tidak segan-segan masyarakat merencanakan untuk melakukan aksi demonstrasi untuk memprotes kepemimpinan yang demikian. Rasa percaya masyarakat kepada orang lain semakin menurun. Orang sudah semakin rasional, atau menggunakan akal dalam menyelesaikan segalanya. Tidak lagi bertumpuh pada nilai-nilai adat maupun lembaga-lembaga adat yang dipercayakan, malahan timbul berbagai kecurigaan.
  4. Penggunaan handphone dan siaran televisi disamping banyak memberikan dampak positif, namun lebih dari pada itu cukup memberikan dampak buruk bagi perkembangan mental dan jam belajar anak. Khusus untuk siaran televisi, anak-anak seringkali menghabiskan waktu mereka untuk menonton film (sinetron) sehingga jam-jam belajar anak seringkali terabaikan. Ditambah lagi dengan pengawasan orang tua yang lemah, bahkan orang tua turut membiarkan anaknya menonton televisi di jam-jam yang seharusnya digunakan untuk belajar. Selain itu tontonan siaran televisi yang terkesan tidak sopan, atau menampilkan adegan-adegan yang berlebihan pun turut membentuk pola perilaku dan mental anak. Pada sisi yang lain penggunaan Hp pun turut memberikan dampak buruk, sebab menurut beberapa informan mengakui bahwa seringkali anak-anak usia sekolah sering menonton film-film porno di Hp mereka. Hp yang seharusnya dipakai untuk tujuan komunikasi menjadi media menarik untuk menyajikan berbagai adegan-adegan panas yang belum pantas ditonton oleh anak-anak.
  5. Kerja sama Tiga Batu Tungku (TIBAKU) sebagai pilar penting dalam masyarakat dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi menjadi tidak bertaring. Pemerintah negeri, gereja dan pendidikan kini berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada kerja sama diantaranya. Padahal menurut pengakuan beberapa informan, awalnya TIBAKU ini berjalan dengan baik. Namun akibat pengaruh dari luar berdampak pula pada struktur dasar dalam masyarakat yang memporak-porandakan relasi sosial diantara lembaga-lembaga tersebut.  Masing-masing pihak cenderung mengurus apa yang menjadi bagiannya sendiri, tanpa mempedulikan lembaga yang lain. Jika ada satu lembaga yang mengambil alih tugas yang lain, acapkali ada kecemburuan sosial yang berlebihan dan menimbulkan konflik.
  6. Sejak tahun 2007, desa Leahari ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai ibukota kecamatan Leitimur Selatan yang dimekarkan dari kecamatan Baguala. Hal ini memungkinkan adanya pembangunan kantor-kantor pengelolaan administrasi kecamatan di Leahari, seperti kantor camat, polsek, dll., hal ini sebetulnya akan memberi ruang yang paling lebar terhadap berbagai pengaruh modernitas dan globalisasi yang mungkin saja memporak-porandakan kearifan lokal jika orang-orang di Leahari tidak memperhatikan hal ini. Oleh karena itu, lembaga-lembaga dalam negeri, termasuk gereja harus berperan aktif memberikan mekanisme pertahanan diri yang mungkin memberi ruang bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat ke arah yang lebih baik dan bukan sebaliknya menghancurkan masyarakat  Leahari itu sendiri.

Membaca Dinamika Perubahan Sosial di Desa Leahari

Perubahan sosial menggambarkan suatu proses perkembangan masyarakat. Pada satu sisi perubahan sosial memberikan suatu ciri perkembangan atau kemajuan (progress) tetapi pada sisi yang lain dapat pula berbentuk suatu kemunduran (regress).
Perubahan sosial dapat terjadi oleh karena suatu sebab yang bersifat alamiah dan suatu sebab yang direncanakan. Perubahan sosial yang bersifat alamiah adalah suatu perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri (masyarakat sendiri yang menjadi agen perubahan sosial – agen of change). Sedangkan perubahan sosial yang direncanakan adalah perubahan yang terjadi karena adanya suatu program yang direncanakan, seringkali berbentuk intervensi, yang bersumber baik dari dalam ataupun dari luar suatu masyarakat (dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat). Perubahan yang direncanakan yang datang dari dalam masyarakat yang bersangkutan, seringkali merupakan program perubahan yang dibuat oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, biasanya para elite masyarakat, yang ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Perubahan sosial dalam setiap masyarakat menunjukkan adanya perbedaan waktu yang dibutuhkan. Satu masyarakat berubah secara cepat tetapi masyarakat yang lain berubah secara lambat. Begitu pula bahwa perubahan tidak terjadi secara serempak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ada satu isu perubahan yang mampu mengubah satu unsur atau komponen masyarakat tetapi tidak mampu mengubah unsur-unsur atau komponen lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon setiap masyarakat terhadap perubahan itu berbeda-beda, bahkan terjadi pula perbedaan respon dari setiap komponen-komponen di dalam suatu masyarakat. Tingkat perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat sangat bergantung kepada sejauh mana kuat-lemahnya sumber-sumber perubahan (aspek eksternal) dalam mempengaruhi volume perubahan yang terjadi. Selain itu, tingkat perubahan tersebut bergantung pula pada respon atau penerimaan masyarakat yang menjadi sasaran perubahan.

Masyarakat Leahari memperlihatkan dinamika atau gejala sosial yang khas. Modernisasi sebagai gerakan sosial berlangsung dengan cepat dan tak terelakan bahkan berlangsung secara revolusioner (perubahan cepat dari tradisional ke modern).

Kenyataan di Leahari memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat berlangsung dengan cepat atau revolusioner pasca tahun 1985 ketika akses jalan dibuka ke desa tersebut. Struktur masyarakat setempat menjadi berantakan dan diganti dengan hal-hal  baru yang dibawah dari luar. Konflik sebetulnya ada hal yang nampak dari bentukan budaya lokal dan modernitas tersebut. Namun sebagai akibat dari ketahanan masyarakat yang lemah, menjadikan hantaman modernisasi menjadi serbuan yang tidak bisa dibendung kedatangannya. Masyarakat Leahari seakan-akan tidak mempunyai mekanisme pertahanan diri yang kuat untuk menangkis pengaruh modernisasi tersebut, sebagai akibatnya banyak sekali nilai-nilai lokal menjadi berantakan bahkan terkikis habis. Struktur dasar yang ada pada masyarakat seakan-akan menjadi tak bernyawa menghadapi benturan tersebut.

Modernisasi yang berlangsung secara revolusioner tersebut memperlihatkan bahwa mungkin masyarakat terlalu lama hidup dalam keterisolasian sebagai desa yang sebetulnya tidak harus terisoler sebab berada di pinggiran kota kabupaten (semi periphery). Sehingga ketika modernisasi merembak maka masyarakat pun menerima begitu saja berbagai budaya yang dibawah masuk termasuk yang dikomunikasikan lewat media elektronik (televisi dan handphone) tanpa menyaringnya lagi. Seakan-akan masyarakat di Leahari tidak mempunyai filter untuk menyaring berbagai perubahan tersebut. Saya melihat bahwa peran lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat kurang berperan dengan aktif, termasuk kesiapan lembaga-lembaga tersebut untuk menyiapkan masyarakat menghadapi modernisasi.

Dampak modernisasi sangat luas, baik yang dianggap positif maupun negatif oleh kalangan masyarakat di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, baik yang berkaitan dangan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya dan ilmu pengetahuan. Modernisasi sebagai fenomena perubahan mendapat respon yang beragam, bahkan dikritisi sebagai westernisasi. Bagaimanapun sebuah masyarakat bukanlah “bejana” kosong yang begitu saja menerima hal-hal yang berasal dari luar, tetapi ia memiliki mekanisme tertentu melalui norma-norma dan nilai-nilai tradisi (budaya) dalam menangani dan menanggapi perubahan yang terjadi. Dalam kaitannya dengan hal ini adalah peran para agen perubahan (pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat) yang mampu mengantisipasi berbagai perkembangan masyarakat sehingga mampu mengarahkan masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inilah yang sepertinya tidak diantisipasi oleh berbagai elemen masyarakat di Leahari.

Hal lain yang dapat diperhatikan juga adalah sebagai akibat dari ketidaksiapan masyarakat menghadapi modernitas, maka pertumbuhan masyarakatpun berjalan cenderung lambat. Beberapa hal nampak sangat revolusioner, namun untuk hal-hal yang cenderung berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan ke arah yang lebih baik dan terorganisir berjalan sangat lamban. Elemen-elemen sosial dalam masyarakat seperti staf pemerintah negeri, majelis jemaat maupun pihak pendidikan (TIBAKU) bergerak cukup lama, dan tidak mampu berhadapan dengan kuatnya arus modernisasi. Hal ini cenderung berdampak pada perilaku masyarakat yang masih mencirikan pola-pola lama, namun cenderung memaksakan diri untuk maju sehingga akibatnya pertumbuhan atau perkembangan masyarakat menjadi tidak terarah dan terorganisir dengan baik. Inilah yang sebetulnya menjadi kerja keras dari berbagai elemen dalam masyarakat untuk membentuk mental, sikap dan perilaku masyarakat menuju pertumbuhan masyarakat yang lebih baik lagi, apalagi Leahari adalah ibukota kecamatan saat ini.



2 Responses to “Desa Leahari Dan Dinamika Perubahan Sosial”

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

  1. Comment by mrbayuNovember 18, 2015 pukul 5:36 am   Reply

    judul sebaiknya dipendekkan lg sehingga ruangnya tidak diterabas

Leave a Reply