Potret Pertukaran Sosial : Pergeseran Makna Budaya (n)Jagong di Kab. Boyolali

November 13, 2015 in Sosiologi | Comments (0)

(n)Jagong

 

(n)jagong merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Candi apabila terdapat warga nya yang melakukan hajatan atau selamatan. (n)jagong merupakan istilah lain dari nyumbang yang ada pada masyarakat jawa pada umumnya. Hanya saja, apabila kita akan memberikan barang-barang kepada si empunya hajat, kita harus (n)jagong = (duduk) mengantri, dan di ujung antrian tersebut terdapat beberapa orang yang mencatat apa saja yang kita bawa untuk di berikan kepada yang mempunyai hajat tersebut. Setelah kita memberikan barang yang kita bawa tersebut, selanjutnya kita boleh menikmati hidangan yang di sediakan oleh si empunya hajat.

(N)jagong sangat penting bagi warga dusun tersebut karena dalam lingkungan agraris seperti Candi, uang tunai tidak mudah didapat ( pada masanya ). Proses menunggu panenan membuat uang tunai tidak selalu tersedia dalam jumlah banyak, khususnya untuk menyelenggarakan slametan. Tingginya penghargaan terhadap uang dan kebutuhan uang tunai yang tinggi membuat (n)jagong sangat bernilai. Sumbangan berujud uang sangat didambakan oleh penyelenggara hajatan, sehingga di Dusun Jatirejo kegiatan sumbangmenyumbang pada hajatan atau selametan berlangsung dan menjadi bagian tradisi yang tidak tergeser oleh berbagai perubahan sosial-ekonomi di sekitarnya, bahkan ketika desa-desa sekitarnya sudah tidak lagi menerapkan tradisi tersebut secara ketat.

(N)jagong yang dijelaskan di atas merupakan versi bagi warga perempuan atau sebut saja “ibu-ibu”, biasanya barang yang di bawa oleh “ibu-ibu” ini merupakan bahan pangan pokok seperti beras, gula, minyak dan telor yang di masukan kedalam wadah yang disebut cangkingan. Dan apabila “ibu-ibu” ini akan pamit pulang, maka cangkingan yang sudah dikumpulkan tersebut akan dikembalikan dan biasanya isi nya akan di ganti, misal dengan makanan ringan atau dengan nasi, lauk, dan kue basah. Lain lagi dengan versi “bapak-bapak” dalam tradisi (n)jagong tersebut, “bapak-bapak” membawa sejumlah uang yang di masukkan ke dalam amplop dengan nama pengirim di bagian luarnya. Lalu (n)jagong dan menikmati hidangan, apabila akan pulang “bapak-bapak” tersebut di berikan diberikan sebuah besek berisi nasi, sayur, dan lauk pauk. Besek tersebut umumnya berisi satu baskom nasi putih untuk porsi satu keluarga, dua jenis sayur, telur rebus, dan lauk yang beraneka ragam.

Dalam tradisi (n)jagong, terdapat sanksi sosial yang cukup kuat ketika seseorang tidak melakukan tradisi (n)jagong. Tradisi ini seakan-akan bersifat memaksa dan menjadi sebuah sistem yang mengontrol atau mengendalikan seseorang di dalam masyarakat. Sehingga mau tak mau seseorang harus menyumbang jika tidak ingin ‗dihukum‘ oleh masyarakat. Bahkan banyak masyarakat rela untuk berhutang atau menggadaikan barang kepemilikannya hanya untuk bisa menyumbang, agar tidak mendapat cap jelek di masyarakat.

Meskipun memiliki esensi hubungan timbal balik (resiprositas) di antara masyarakat, tradisi ini dapat berlangsung lama bahkan diwariskan dari generasi ke generasi. Peralihan bentuk (n)jagong dalam hajatan yang lebih berorientasi pada nilai uang terkadang menimbulkan masalah. Namun masalah yang muncul dalam tradisi (n)jagong tersebut tidak lantas menjadikan tradisi ini hilang atau ditinggalkan, bahkan kegiatan tersebut justru semakin marak terlihat di masyarakat Desa Candi. Masyarakat memiliki ketergantungan terhadap keberadaan tradisi (n)jagong sehingga tradisi tersebut menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di Desa Candi.

Dalam kajian Antropologi Ekonomi, fenomena (n)jagong atau katakana lah nyumbang bisa dimasukkan dalam kategori sistem pertukaran jenis resiprositas. Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Polanyi (1968) dalam Sjafri Sairin (2002) mengatakan bahwa Rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri institusional. Berpijak dari batasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Dalam tradisi (n)jagong seperti ilustrasi diatas, seseorang mempunyai “kewajiban” untuk membantu sesamanya ketika membutuhkan bantuan, dalam konteks ini adalah ketika terjadi hajatan di kampung. Seseorang di undang untuk menghadiri hajatan tersebut seraya menyerahkan sumbangannya yang besar kecilnya berbeda satu sama lain. Di lain waktu, ketika sang penyumbang giliran menyelenggarakan sebuah hajatan, maka orang yang di awal tadi disumbang mumpunyai kewajiban yang mengikat, yaitu membalas sumbangan dengan nilai yang kurang lebih sama. Memang tidak terdapat sanksi tegas ketika ini dilanggar, tetapi sanksi sosial cukup kuat mengikat warga sehingga memaksa mau tidak mau tetap melestarikan tradisi saling menyumbang ini.

Sjafri Sairin (2002) mengatakan, bahwa proses pertukaran resiprositas lebih pangjang dari pada jual beli. Proses jual beli biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, misalnya jual beli barang di pasar. Proses pertukaran resiprositas ada yang relatif pendek, namun juga ada yang panjang. Dikatakan pendek, kalau proses tukar menukar barang atau jasa dilakukan dalam waktu tidak lebih dari satu tahun.

Pergeseran Makna Budaya (n)Jagong di Desa Candi.

Tradisi (n)jagong memang sudah dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat Desa Candi, bahkan menjadi hal yang wajib di lakukan apabila terdapat masyarakat yang melaksanakan hajatan. Namun di balik keteratutan melaksanakan tradisi (n)jagong tersebut, terdapat hal-hal yang membuat tradisi tersebut berangsur-angsur mengalami pergeseran baik dalam bentuk nya maupun makna nya.

Sanksi yang diberikan apabila tidak melakukan (n)jagong ternyata memberatkan beberapa pihak sebut saja masyarakat miskin yang terdapat di Desa Candi. Ternyata banyak masyarakat terutama masyarakat miskin yang merasa di bebani dengan adanya tradisi tersebut, karena tidak setiap waktu mereka memiliki uang dan bahan pokok untuk di sumbangkan, apalagi (n)jagong tersebut tidak hanya di lakukan oleh satu pihak ( maksudnya perwakilan satu keluarga) tetapi oleh suami dan istri dalam satu keluarga. Akhirnya tradisi yang dianggap penting makna nya tersebut, kini berubah menjadi suatu hal yang membebani bagi sebagian warga.

Kemudian banyaknya warga pendatang dan juga warga yang merantau ke kota kemudian kembali ke Desa Candi dengan kebiasaan yang berbeda tentunya juga membuat pergeseran bentuk dari tradisi (n)jagong tersebut. Warga-warga tersebut biasanya hanya menitipkan sejumlah uang untuk di berikan kepada si empunya hajat tanpa melakukan tradisi (n)jagong, hal tersebut di karenakan memang tidak ada waktu atau bahkan malas untuk bertandang ke tempat si empunya hajat.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bentuk nyumbang yang semula berwujud barang atau jasa kini dan juga uang kini berganti sepenuhnya menjadi uang. Nilai-nilai solidaritas yang terkandung dalam tradisi (n)jagong juga berubah menjadi nilai tukar yang menerapkan standar dan sanksi sosial. Sumbangan yang seharusnya merupakan bentuk bantuan bagi mereka yang mengalami kesulitan, justru menjadi beban tersendiri bagi masyarakatnya. Sumbangan sebagai tanda solidaritas kini diwarnai oleh kepentingan-kepentingan sosial dan finansial. Dengan menyumbang, seseorang dapat menaikkan status sosialnya di mata masyarakat melalui jumlah sumbangan yang diberikan. Dalam hal ini (n)jagong atau katakanlah nyumbang mengandung nilai timbal balik. Masyarakat menginginkan apa yang diberikannya dibalas sebanding oleh orang yang pernah menerimanya. Jika resiprositas ini tidak terpenuhi maka akan ada sanksi sosial seperti cibiran atau gunjingan dalam masyarakat. Masyarakat yang terlibat membantu hajatan bukan lagi atas dasar keikhlasan untuk membantu, tetapi lebih kepada adanya timbal balik dari kerjasama yang mereka sepakati.

Hal-hal yang mempengaruhi pergeseran budaya (n)jagong ini misalnya banyaknya masyarakat yang bekerja di luar Desa Candi atau ber urbanisasi ke kota- kota besar seperti Jakarta, yang tentunya membawa kebudayaan atau kebiasaan baru yang berkaitan dengan metropolitan atau modernisasi sehingga cenderung melupakan tradisi (n)jagong tersebut.

Kemudian yang kedua yaitu banyaknya anak-anak muda yang tidak turut serta dalam tradisi (n)jagong ini dikarenakan beberapa hal yaitu bekerja di luar kota, menuntut ilmu di luar kota, dan bahkan tidak di perkenalkan tradisi tersebut oleh orang tuanya. Kemudian, berkurangnya orang tua di Desa Candi karena banyak yang meninggal dunia. Dan yang paling utama adalah menganggap bahwa tradisi (n)jagong tersebut adalah suatu hal yang memberatkan dan dianggap sebagai bentuk kelas sosial di masyarakat Desa Candi. Bahkan (n)jagong bukan lagi merupakan keihkhlasan individu untuk meringankan beban orang lain melainkan menjadi belenggu yang memberatkan. Pemikiran bahwa (n)jagong harus merupakan timbal-balik (resiprokal) membuat warga desa tersebut tidak bisa melepaskan diri dari ―lingkaran setan. Siapapun yang pernah menyelenggarakan hajatan dan menerima sumbangan harus ganti menyumbang. Mereka yang belum pernah menyelenggarakan hajatan padahal selalu menyumbang pasti berencana menyelenggarakan hajatan agar memperoleh sumbangan dan uangnya kembali. Sulur yang tanpa ujung pun mengikat warga dusun tersebut. Pikiran timbal-balik menggeser makna tradisi (n)jagong, dari membantu menjadi menjerat. Demi tradisi (n)jagong dan menjaga citra keluarga serta menghindari sanksi sosial, warga rela berhutang atau menjual miliknya yang berharga.

Pergeseran makna (n)jagong tersebut termasuk kedalam Resiprositas Negatif, dimana resiprositas negatif adalah suatu bentuk resiprositas atau pertukaran sistem pasar yang makna atau budaya nya sudah hilang atau telah memudar karena faktor-faktor eksternal misal hilangnya budaya gotong royong pada masyarakat pedesaan. Sama hal nya dengan pergeseran makna (n)jagong yang terjadi di Desa Candi. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, (n)jagong adalah sebuah tradisi yang dapat dikatakan memiliki makna timbal balik di antara para pelakunya. Dimana salah satu pihak yang melakukan hajat akan mendapatkan sejumlah sumbangan dari masyarakat dan apabila nantinya salah satu masyarakat tersebut juga mengadakan hajatan, maka masyarakat lainnya juga akan menyumbang sejumlah barang yang sama. Namun, lama kelamaan tradisi tersebut di anggap membebani bagi sebagian masyarakat ekonomi menengah kebawah, karena mereka tidak setiap saat memilik barang dan uang untuk di sumbangkan. Akhirnya tradisin (n)jagong terebut kehilangan makna aslinya dari yang tadinya membantu menjadi membebani. Pergeseran makna tersbut dianggap sebagai sebuah hal yang negatif karena dianggap menghilangkan kebudayaan yang sudah ada turun temurun teresbut, sehingga dapat dikatakan bahwa pergeseran makna budaya (n)jagong yang ada di Desa Candi dapat dikatakan sebagai salah satu contoh dari Resiprositas Negatif.


Leave a Reply