Zulfa Fahmy, S.Pd., M.Pd.

Seni bersumber pada alam. Air, hutan, manusia, hewan, bunga, dan semua yang ada di bumi ini merupakan sumber seni. Orang berpikir tentang keindahan gunung lalu mengubahnya dalam sebuah lukisan. Orang mendengar gemericik air lalu mengubahnya menjadi nada dan irama. Gerak hewan hewan yang sering dilihat diubah menjadi sebuah tarian. Hal tersebut hanya sebagian contoh dangkal tentang berkesenian, hanya sebagai penegasan bahwa sumber dari seni adalah alam.

Sebuah kesenian harus bermanfaat dan mengibur. Bermanfaat artinya mampu memberi hikmah/pelajaran bagi penikmatnya secara pribadi. Menghibur artinya mampu mengalihkan perhatian penikmatnya dari penatnya dunia.

Lalu, untuk menciptakan sebuah karya seni orang membutuhkan kepekaan melihat, mendengar, membaca, meniru, membuat, dan lain sebagainya. Orang harus pandai “merasakan” alam sekitar untuk mencipta sebuah karya seni. Dari kepekaan merasakan tersebut, orang akan mudah menemukan sumber inspirasi. Dengan kata lain, manusia butuh alam dan kepekaan rasa untuk mencipta.

Secara sederhana, wujud seni terkelompok menjadi empat bagian: seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni sastra. Untuk membuat sebuah karya seni rupa, orang butuh keterampilan tetang warna dan bentuk. Untuk membuat karya musik, orang membutuhkan keterampilan tentang nada dan irama. Untuk membuat karya tari, orang membutuhkan keterampilan tentang gerak. Untuk membuat karya sastra, orang butuh keterampilan tentang bahasa.

Dari semua media seni tersebut, bahasa menjadi sarana yang paling mudah dicerna, dilatih, dan dikembangkan. Sebelum bisa bernyanyi, orang butuh bahasa. Sebelum mengenal warna, orang butuh bahasa bahkan untuk menyebut warna. Sebelum mengenal tari jelas kita mengenal bahasa. (walau hanya satu kata). Maka dari itu, keterampilan mengolah rasa dalam media bahasa harus mendapat porsi yang cukup.

Fabel

Fabel merupakan salah satu produk sastra. Fabel juga termasuk karya sastra yang paling populer. Narvaez (2001:56) menyatakan bahwa cerita-cerita (termasuk fable) harus mampu menumbuhkan sensitivitas moral kepada pembaca. Sensitivitas moral ini menjadi dasar pembelajaran semua siswa. Jika siswa sudah memiliki sensitivitas moral, apa pun yang dipelajarinya akan menjadi pelajaran moral baginya.

Cerita fabel adalah cerita yang mengajarkan pembacanya berakhlak mulia dalam sikap dan tindakan yang tidak menyakiti hati sesama. Sugihastuti (2013:24-26) menyatakan fabel sebagai teks yang bersifat persuasif mampu mempengaruhi pembacanya. Kemampuan persuasif inilah yang menjadi kekuatan fabel untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada pembacanya. Sejalan dengan Sugihastuti, Musfiroh (2008:65) mengatakan “Nilai-nilai moral dalam cerita dapat dimengerti anak karena simbolisasi nilai-nilainya melibatkan dua hal sekaligus, yakni gambaran peristiwa dan kesimpulan yang ditarik pada akhir cerita”.

Orang Indonesia cenderung mudah mengingat cerita fabel daripada cerita-cerita yang lain. Dunia binatang telah lama melekat dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan hewan cerita fabel khas tiap-tiap daerah, misalnya Jawa dengan Kancil, Sunda dengan kura-kura, Toraja dengan kera, atau Bali dengan induk ayam hitam (Soetarno 1967:47). Hewan-hewan ini telah melekat erat di jiwa masyarakat setempat dan takkan dilupakan karena telah tertanam kuat.

Selain itu, cerita dapat digunakan oleh orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya (Suyanto & Abbas, 2001 dalam Musfiroh 2008:19). “Nilai-nilai moral dalam cerita fabel ditransmisikan melalui ganjaran baik dan buruk, peruntungan dan celaka” (Musfiroh 2008:65). Pembaca mempunyai kemampuan untuk menerima dan menolak nilai yang tak sesuai dengan kehidupanya dalam bermasyarakat.

Fabel adalah cerita tentang moral yang bertokoh binatang dan laiinya (nonmanusia). Sebuah fabel itu seperti sebuah cerita yang bertujuan menjaga kita dari berbuat kesalahan. Fabel adalah sebuah cerita singkat yang mengajarkan pelajaran moral. Cerita tersebut menolong kita untuk belajar antara benar dan salah. Namun, fabel tidak hanya mengajarkan tentang “Jangan berbohong” atau “Jangan sombong”, tetapi juga mengilustrasikan pelajaran moral manusia melalui hewan.

Fabel sudah sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Siapa yang tidak kenal fable “kancil mencuri timun”. Namun, apakah fable kita akan terus menerus tentang kancil dan kawan kawanya. Oleh karena itu produktivitas karya fable harus ditingkatkan. Tidak hanya oleh para pengarang fabel, tetapi juga dari para guru, siswa, dan juga orang tua.

Dalam kontek tulisan ini, maka para guru harus bias membuat fable. Tidak hanya itu, siswa juga setidaknya mampu membuat fable sederhana dalam rangka menanamkan nilai nilai moral dalam dirinya. Berikut hal praktis dalam membuat Fabel.

  1. Struktur Fabel

Ada empat struktur fabel: Orientasi, Komplikasi, Resolusi, Koda. Orientasi adalah tahap pengenalan yaitu tentang tokoh dan setting cerita. Komplikasi adalah tahap ketika konflik muncul antartokoh. Resolusi adalah tahap penyelesaian konflik yang dialami tokoh. Koda adalah tahap menyimpulkan, mentranformasi, menyampaikan nilai moral kepada pembaca/pendengar.

Memilih Hewan/benda

Pilihlah hewan/benda yang mudah dijumpai. Jangan terlalu repot memikirkan hewan apa yang akan menjadi tokoh fabel. Kalau sering menjumpai ayam, maka gunakanlah ayam sebagai tokoh fabel. Selain itu mugkin saja fabel bertokoh benda: penggaris, meja, kursi, dan lain sebagainya.

Buatlah alur yang mudah dicerna

Ada beberapa tipe kriteria alur dalam cerita fabel, yaitu (1) membuat binatang-binatang kecil yang tak mempunyai senjata atau binatang-binatang yang lambat selalu menang dalam melawan binatang-binantang besar yang bersenjata kuat/binantang-binatang yang cepat. (2) Membuat suatu binatang tertentu selalu menjadi cerdik, bahkan bijaksana. (3) Membuat binatang kecil mampu menolong binatang yang besar.

Beri nama yang unik

Pemberian nama yang unik membuat pembaca/pendengar akan mudah mengingat tokoh fabel. Namun, yang harus diingat, nama unik tokoh fabel jangan jauh-jauh dari nama aslinya atau kebiasaan binantang. Misalnya tokohmu kucing, maka beri saja nama “Cing Cing” atau “Si Maow”.

Gunakan onomatope

Onomatope adalah tiruan bunyi-bunyi binatang. Misalnya “Kukuruyuk” untuk suara ayam, “Mooooo” untuk suara sapi, dan lain sebagainya. Kita bias gunakan onomatope sebagai pelengkap yang menarik dalam fabel.

Akhiri dengan tepat

Cara mengakhiri fabel menjadi bagian yang tak kalah penting. Fabel bias diakhiri dengan berbagai macam cara. Cara yang paling mudah adalah simpulan cerita. Selain itu, bias juga ditambahkan dengan ajakan berjanji, hadist, ayat, peribahasa, pantun, kata mutiara, dan lain sebagainya.

Buatlah serial fabel sendiri

Seperti diketahui bahawa cerita kancil ada banyak cerita. Kita juga bias membuat serial fabel sendiri.

 

Sumber:

Hana, Jasmin. 2011. Terapi Kecerdasan Anak dengan Mendongeng. Yogyakarta: Berlian Media.

Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Memilih Menyusun dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Narvaez, Darcia. 2001. “Moral Text Comprehension: Implications for Education And Research”.  University of Notre Dame, USA: Journal of Moral Education, Vol. 30, No. 1. Hlm 43-54.

Soetarno. 1982. Peristiwa Sastra Melayu Lama. Surakarta:Widya Duta.

 

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”